25 : Hujan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Sudah memasuki pekan liburan akhir tahun, tak ada satu pun pegawai Mantra Coffee yang pulang. Mereka ingin menghabiskan malam tahun baru di Jogja.
"Nad, kamu nanti tahan Harits supaya enggak pulang dulu sampe aku kasih kabar ya," ucap Melodi, dibalas dengan anggukan kepala Nada.
Hari ini Harits berulang tahun, semua orang berpura-pura tak mengetahui hal itu dan bersikap biasa saja. Namun, tanpa sepengetahuan Harits, mereka semua merencanakan untuk berpesta di Mantra, merayakan ulang tahunnya sekaligus acara tahun baru.
Nada mendapatkan tugas untuk mengulur waktu, mengingat sore ini Harits pasti akan menjemputnya di kampus. Sementara Nada mengulur waktu, Melodi dan yang lainnya bertugas untuk mendekor dan membeli kue ulang tahun.
Cuaca hari ini sangat tidak mendukung, pasalnya hujan terus mengguyur kota Jogja. Hanya berhenti sejenak, lalu kembali deras mengguyur bumi kembali. Untungnya Cakra bisa membawa mobil, ia bersama Melodi pergi membeli kue. Sementara Deva dan Jaya, dua sahabat akur ini mendekor ruangan.
Harits, pria itu berteduh dari sang hujan sore ini. Ia berada di kampus Nada. Memang semenjak Nada bermimpi buruk, Harits memberikannya perhatian lebih agar Nada tidak terjatuh pada permainan Rizwana.
"Maaf ya lama, baru selesai kelas," ucap Nada dengan napas yang hampir habis.
"Enggak usah lari-lari kali, toh ujan. Percuma juga buru-buru," Harits melirik ke arah jam tangannya. "Kamu udah makan?"
"Belum hehe. Laper sih, tapi ujan." Topi yang biasanya selalu menempel dengan kepala Harits kini terpasang di kepala Nada. Pria itu membuka jaketnya, lalu mendekatkan diri pada Nada. Kini mereka berdua berada di bawah jaket parasut hitam milik Harits.
"Hitungan ketiga, kita lari ke warung sebrang, ya," ucap Harits.
"Tapi kamu kan enggak suka makanan di situ?"
"Tiga!"
"Harits! Masa langsung tiga sih!"
Mereka berdua melangkah dengan tempo yang selaras. Harits mengikuti ritme napas dan juga langkah Nada untuk mengimbangi kecepatannya yang lebih pelan. Ada momen di mana mereka saling beradu tatap dan melempar senyum malu.
https://youtu.be/5ysdHjaeGGU
"Dasar lambat," ledek Harits dengan senyumnya.
Tak ada komentar balasan, Nada hanya mempercepat langkahnya. Melihat tingkah gadis itu, Harits hanya terkekeh.
Pada akhirnya, mereka tiba di warung makan itu. Nada memesan mie dokdok ala burjo, sementara Harits memesan magelangan, atau sering disebut nasi mawut, nasi goreng dicampur dengan mie goreng.
Harits masih ingat, ketika Melodi menantangnya untuk menyatakan perasaannya pada Nada tepat di hari ulang tahunnya. Pria itu meneguk ludah, entah, ia merasa hari ini adalah momen yang pas untuk itu.
"Seandainya Harits ulang tahun, Harits mau kado apa?"
Air teh hangat yang baru saja ia minum, langsung keluar lewat hidungnya. Harits tak menyangka pertanyaan itu keluar dari Nada. "Maksudnya gimana?"
"Iya kado--hadiah," jelas Nada.
"Enggak, maksudnya, kenapa nanya gitu?"
"Enggak apa-apa, kalo Nada mau boneka yang gede. Kalo kamu?" tanya Nada lagi sambil memakan mie nya. "Pasti ada yang kamu mau, kan?"
Harits pikir itu hanyalah pertanyaan random dari gadis ini, mengingat Nada memang terkadang terlalu random. Mana mungkin Nada tahu tanggal ulang tahunnya.
"Ada," jawab Harits.
"Apa?" Nada masih ingin melanjutkan kalimatnya, tetapi jawaban harits membuatnya terdiam.
"Kamu."
Nada terdiam, otaknya yang lambat berusaha untuk mencerna kata-kata Harits. Ia bukan tipikal pria yang bercanda seperti itu. "Mau apa?"
"Aku mau kamu," tegasnya pada Nada. "Aku tau kamu suka sama Faris, tapi kamu nanya aku mau apa, kan? Aku mau kamu."
"Ini bercanda jenis baru?"
Tak ada senyum bodoh di wajah Harits, sorot matanya tegas menatap Nada. "Serius."
Seketika keadaan menjadi akward. Tak ada kata yang terlontar di antara mereka, baik Nada maupun Harits. Untungnya sebuah pesan masuk ke ponsel Nada, pesan itu dari Melodi yang berkata bahwa Harits sudah boleh pulang.
Nada tersenyum. "Abis ini kita pulang, ya."
Harits hanya mengangguk, kali ini giliran ia yang tak berkomentar.
"Kamu kenapa?" tanya Nada.
"Kamu tahu, kan--aku suka sama kamu?" tanya Harits. "Kamu pernah membangun tembok di antara kita, tapi kenapa kamu juga yang ngancurin tembok itu?"
"Aku enggak tau," jawab Nada yang tampak bingung. "Sejujurnya aku ngerasa nyaman denger kamu berkeliaran di sekitar aku."
"Terus Faris?"
"Aku enggak tau ...."
"Oke, maaf. Sebaiknya kita enggak bahas tentang ini. Aku cuma mau jujur sama diri aku sendiri, sama perasaan aku sendiri untuk yang--pertama kali maybe. Sejujurnya baru kali ini aku suka sama cewek, setelah semua orang nganggap aku aneh karena suka ngomong sendiri dan caper dengan bercandaan aku."
"Kamu enggak aneh," ucap Nada.
"Makasih." Harits mencoba untuk tersenyum. Memang ia sudah paham respons Nada jika ia jujur, tetapi Harits hanya ingin mengungkapkannya saja. Setidaknya ada rasa lega dalam dadanya meskipun pernyataannya tak berdampak apa pun. "Hujan udah reda, yuk kita pulang. Percuma nunggu berhenti, ini mah hujan iseng! Baru reda, paling enggak lama deres lagi."
"Yaudah, yuk." Nada beranjak dari duduknya dan membayar makanannya.
Ketika naik di atas motor, Nada berpegangan pada kaos Harits. Pria itu mengenakan jaket secara terbalik hanya untuk menopang bagian tubuh depannya dari angin dan sang hujan. "Jalannya licin," ucap Harits secara mendadak. "Pegangan kalo enggak mau jatoh."
Nada hanya tersenyum, ia kini berpegangan pada pinggang Harits. Tak ada kata yang terucap di atas motor, tetapi Harits paham, Nada sedang tersenyum. Bukannya ia cenayang, hanya saja terlihat dari kaca spion.
Begitu mereka sampai di Mantra, keadaan kafe gelap. Memang waktu sudah memasuki waktu maghrib. Mentari sudah lengser dari tahtanya. "Ini kok--gelap? Pada kemana para office boy?" tutur Harits saat turun dan menatap Mantra.
"Iya, ya, pada kemana nih?" Nada berusaha mengikuti permainannya. Ia berjalan di belakang Harits.
Pintu tak terkunci, Harits dengan penuh kewaspadaan masuk ke dalam kafe. Tiba-tiba lampu menyala, ada suara terompet dan juga kertas-kertas beraneka ragam warna yang terlempar ke arahnya. Harits memasang wajah datar. "Apa kalian semua bodoh?"
"Kamu yang bodoh!" balas Melodi. "Selamat ulang tahun, si bodoh!"
"Kamu pikir kita enggak tau kapan ulang tahun kamu?" ucap Nada yang kini berdiri di samping Melodi.
Harits memicingkan matanya. Jadi pertanyaan tadi bukan tanpa sebab?
"Berbahagialah di hari ulang tahunmu, sebab kematianmu semakin dekat nyahahaha," ucap Jaya mengikuti logat Harits.
Deva berjalan membawa kue ulang tahun dengan lilin berangka seratus.
"Bangsrot! Dikira apaan gua udah seratus tahun?!" protes Harits.
Entah sudah berapa lama waktu begulir, Harits yang biasanya hanya menatap iri anak-anak yang ulang tahunnya dirayakan, kini untuk pertama kalinya merasakan secara nyata pesta yang dirayakan untuknya.
"Dih, nangis!" ledek Melodi yang melihat mata Harits berkaca-kaca.
"Gua cuma enggak biasa ada di tengah acara culun begini, mata gua perih!"
Cakra merangkul Harits. "Happy birthday to you."
"Itu bisa bahasa Inggris!" Harits menutupi kedua matanya. "Sial, aku tertipu."
Melodi menyenggol Nada, Nada menatapnya seolah berkata, "apa?"
"Itu nangis, apain kek!"
"Dih! Kok aku?"
"Udah sama, apain kek!" Melodi mendorong Nada hingga menabrak Harits.
"Melo!" Kini Nada berdiri di depan Harits. Ia menoleh ke arah Melodi sambil memasang wajah garangnya seolah berkata, "awas kamu nanti!" Lalu Nada menoleh kembali ke arah Harits. "Selamat ulang tahun," ucapnya penuh kelembutan.
"Bentar dah, mending tiup dulu lilinnya," protes Deva. "Pegel gua." Semua bertepuk tangan sambil bernyanyi. "Tiup lilinnya-tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga woy!"
"Bacot pada!" Harits menatap kue ulang tahunnya.
"Berdoa dulu Harits! Baru tiup," ucap Nada.
Harits memejamkan matanya, ia sedang mengucapkan permintaannya di dalam hati, kemudian meniup lilinnya hingga padam.
"Minta apa?!" tanya Nada.
Harits tersenyum. "Rahasia."
"Wey, potong kuenya," ucap Deva. Harits segera memotong kuenya dan mengambil potongan pertamanya.
"Cieee buat siapa tuh potongan pertama!" ledek Melodi sambil melirik ke arah Nada. Harits hendak berjalan menuju Nada
Gemerincing lonceng di pintu membuat semua mata mengarah pada tamu yang baru saja datang. Seorang pria dengan jaket baseball masuk ke dalam Mantra Coffee.
"Faris?" Nada menatap Faris yang tiba-tiba muncul.
"Selamat tahun baru," ucap pria itu pada Nada sambil membawa setangkai bunga mawar yang agak basah.
Nada, gadis itu berjalan ke arah Faris hingga membuat Harits hanya bisa menatap punggungnya yang kian menjauh. "Kamu kapan sampe Jogja? Kok enggak bilang-bilang? Kehujanan enggak? Ih! Kok ajaib sih."
"Kalo bilang namanya bukan surprise," balas Faris sambil memberikan mawar yang ia bawa. "Mumpung aku lagi libur kerja, jadi liburan ke Jogja deh, sekalian menjemput rindu."
Semua mata kini menatap Harits yang sedang memakan potongan kue ulang tahunnya sendiri. Sepotong kue yang harusnya ia berikan untuk Nada. Setelah habis, Harits berjalan ke arah pintu. Ketika ia lewat di samping Nada, Harits berbisik. "Semua yang aku ucapin hari ini--cuma bercanda nyahaha ...." Ia keluar.
Harits menutup matanya sebelum meniup lilin. 'Aku harap kita bisa seperti ini untuk waktu yang lama, agar waktu punya kesempatan membayar semua usahaku nanti dan mencairkan hatimu yang beku. Aku mau kamu jadi milikku, cuma itu.'
"Apanya yang berubah? Nyaha ...." Air matanya membaur bersama hujan yang perlahan mulai deras kembali. "Apanya?" Suaranya lirih tertelan gelagar petir yang lantang.
***
Melodi mengisyaratkan Deva untuk mencari Harits, takut-takut bocah itu bertindak bodoh. Siapa yang tidak khawatir pada seseorang yang begitu saja pergi meninggalkan pesta ulang tahunnya? Apa lagi di tengah badai. Deva mengambil payung dan keluar untuk mencari Harits.
"Ada apa sih? Kayaknya rame banget," tanya Faris.
"Harits ulang tahun," jawab Nada.
"Serius? Mana orangnya, aku terakhir ketemu dia waktu dia nginep di rumah kamu." Faris mencari keberadaan Harits.
Nada menatap hujan diluar. Kedatangan Faris membuatnya jadi lupa diri. Entah, tatapan Nada membuat Faris mengerti satu hal. "Kayaknya aku bikin kacau acara kalain, ya?"
"Eh--enggak kok."
Faris menghela napas. "Mana mungkin yang punya hajat pergi begitu aja, kan? Aku yakin dari dulu kalo dia itu suka sama kamu. Feeling ku enggak pernah meleset, tiap ada cowok yang suka sama kamu, aku pasti tau kalo ngeliat secara langsung. Kevin misalnya ...."
Nada tak menjawab. Diamnya bermakna, "iya." Untuk Faris.
"Aku udah bilang, kan? Kalo kita itu enggak pacaran, dan kamu bebas suka sama cowok mana pun, jadi seumpama kamu suka sama dia, yaa--hak kamu," tutur Faris. "Pacaran ... setiap yang putus, pasti berubah. Enggak lagi sama. Ibarat gelas pecah, ada serpihan yang enggak akan pernah bisa kembali."
Faris mengangkat wajah Nada, ia menopang dagu Nada hingga mereka saling bertatapan. "Seandainya kita pacaran, apa ada jaminan kita enggak akan putus?"
Nada hanya menggeleng.
"Kamu boleh berpetualang jauh, kamu boleh jatuh cinta sama pria mana pun di dunia ini, serius. Yang kamu harus tau itu cuma--aku di sini." Faris tersenyum dan berusaha menenangkan Nada. "Pria yang berdiri di akhir itu cuma aku, Nad."
"Kamu boleh berlayar keliling dunia, Nad, tapi suatu saat kamu akan berhenti. Dan aku adalah pelabuhan terakhir yang akan kamu tuju, di mana kamu akan tinggal dan menetap di sana sebagai Ratunya."
Nada menatap Faris tanpa kata, Faris selalu bisa membuatnya merasa tenang.
"Saat ini, dia yang paling butuh kamu. Sana kejar."
Dalam waktu sesingkat itu, kini Faris duduk sendirian tanpa gadis yang sebenarnya ia cari-cari hingga ke kota Jogja.
"Kamu enggak apa-apa, Ris?" tanya Melodi.
"Aku sedih kalo enggak ditawarin kopi. Aku pembeli loh."
"Oh iya, lupa! Bentar ...." Melodi mengambil menu dan memberikannya pada Faris.
***
Harits duduk di kursi taman, ia seperti orang bodoh yang menyalakan rokoknya di tengah hujan. Tatapannya kosong menatap ke tanah.
Hujan seakan berhenti, sebuah payung melindunginya dari sang hujan. Harits hanya tersenyum mendapati orang baik yang berdiri di belakangnya sambil memayunginya.
"Selama ini gua bertanya-tanya," ucap Harits. "Gimana rasanya kue ulang tahun?" Ia berusaha tertawa. "Gua pikir rasanya enak ..." Harits tersenyum getir. "Ternyata rasanya sakit."
"Drong, coba jawab ... apa salah gua sampe harus ngerasain ini semua? Padahal gua cuma berusaha berubah," lanjut Harits. "Gua udah jujur, apa menurut lu gua salah? Gua tau dia suka sama orang lain, tapi apa gua salah suka sama dia?"
Kursi itu terlalu panjang untuk diduduki seorang diri, kini payung itu tak lagi menutupi Harits, kursi panjang itu kini sudah terisi penuh dengan dua orang dewasa yang duduk di atasnya.
"Hidup itu roda angkara, enggak selamanya yang di atas memimpin, dan enggak selamanya yang di bawah tunduk. Hidup enggak melulu berjalan seperti apa yang kita harapkan. Ada waktunya kita semua terpuruk, ada waktunya kita semua bangkit."
Raut wajah Harits berubah ketika menatap pria di sampingnya. Senyum khas itu terpampang menatap Harits.
"Rizwana ...."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top