24 : Cakra Petang Buana
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Nada terbangun dengan napas terengah-engah. Keringatnya membasahi pakaian yang ia kenakan hingga merembes ke kasur. Makin hari mimpi buruknya semakin menjadi-jadi. Dalam satu malam, Nada bisa bermimpi dan terbangun lebih dari tujuh kali, hal itu membuatnya lelah dan memicu sebuah emosi yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.
Cakra, pemuda itu paham arti dari sorot mata Nada ketika menatap Melodi dalam diam. Namun, Cakra memilih diam dan tidak melakukan-apa-apa.
Beberapa hari ini Nada sering kelelahan dan berdampak pada kesehatannya. Hari ini pun ia tidak masuk kelas dan memilih untuk beristirahat. Kantung matanya yang hitam lama kelamaan membuat Cakra penasaran.
Salah satu penyebab gangguan tidur atau insomnia adalah depresi, batin Cakra. Hanya ada dirinya dan Nada di Mantra Coffee pagi ini, sementara yang lainnya sudah berangkat ke kampus mereka masing-masing. Selain depresi, bisa juga gara-gara rasa cemas dan takut.
Cakra menepuk pundak Nada sehingga gadis itu menoleh. Sebuah kertas terbakar tepat dihadapannya, Cakra mengucapkan beberapa sugesti secara cepat. Nada tiba-tiba saja tumbang. Cakra membuang kertas yang menjadi abu itu dan menangkap Nada yang terjatuh.
"Bayangkan kamu berada di tempat yang paling nyaman. Rileks, semakin dalam, hingga kamu merasa sangat nyaman."
Nada berbaring di lantai sambil memejamkan matanya. Cakra menopang kepala Nada dengan pahanya. Ia memijit lembut kening Nada, berusaha membuatnya rileks. "Apa yang paling kamu takutkan?" tanya Cakra.
Gadis itu mengeluarkan air matanya. "Dibuang ...," ucapnya lirih.
"Dibuang?" Cakra memicingkan matanya. "Sama siapa dibuang? Dan kenapa harus membuang kamu?"
"Aku bukan anak kebanggaan ayah dan bunda, aku anak yang aneh sampai-sampai di mana pun aku berada selalu ada penolakan. Aku cuma si palsu yang kebetulan lahir di keluarga yang manis. Aku cuma kebetulan mirip sama Melodi dan sering ngerepotin dia."
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" tanya Cakra.
"Aku enggak bisa apa-apa, aku enggak punya prestasi. Di keluargaku semua orang punya prestasi, kecuali aku. Aku ... menyedihkan."
"Apa menurut kamu, mirip sama Melodi itu adalah sebuah beban? Apa menurut kamu prestasi itu merupakan tolak ukur sebuah kesuksesan?"
"Ya, menjadi kembaran seorang jenius itu tekanan. Media itu jahat, beberapa kali mereka membandingkan aku dan Melodi hingga seluruh orang tau kalo aku ini enggak berbakat. Semua orang yang deketin aku itu cuma mau deket sama Melodi. Dan prestasi itu menurutku indikasi seseorang cerdas atau enggak, berbakat atau enggak, jenius atau enggak."
"Apa semua yang ada di Mantra Coffee ini berpikir seperti itu? Menganggap kamu tidak berbakat? Bakat itu anugrah, tapi bukan jaminan. Asal kamu tau, banyak orang yang hidup dengan keterbatasan, entah fisik, atau materi, tetapi mereka bisa sukses dengan cara mereka sendiri. Prestasi bukan tolak ukur kesuksesan, tapi usaha."
Nada diam, ia tak berkomentar.
"Aku baru sehari di sini, tapi rasanya aku paham bahwa ada suatu ikatan yang perlahan mengikat erat hubungan antara satu sama lain. Harits, Jaya, Deva, Melodi, bahkan aku ... kita semua enggak pernah berpikir bahwa kamu itu beban, kita enggak pernah berpikir kamu itu tidak berprestasi. Aku emang belum kenal lebih jauh orang-orang di sini, pun termasuk kamu. Menurutku kamu cantik, kamu juga ramah, anak yang asik ... hilangkan pikiran-pikiran negatif itu. Kamu spesial dengan apa adanya diri kamu sendiri."
***
Nada terbangun dari tidurnya, dilihatnya jam di dinding yang menunjukkan pukul tiga sore. "Hah! Aku ketiduran lama banget!" Nada merubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap interior kamar. "Tunggu ... ini kamar siapa?"
Pintu terbuka, Cakra masuk ke dalam kamar sambil memainkan ponselnya. Ia menatap Nada yang baru saja terbangun. "Selamat sore," ucapnya sambil tersenyum.
"Ini di mana?" tanya Nada.
"Kamarku," jawab Cakra tanpa dosa.
"Heh! Ini tempat terlarang tau! Cewek enggak boleh naik ke tempat cowok, sebaliknya juga." Nada hendak bangun, tetapi Cakra mengunci pintu.
"Duduk di sini." Ia memerintahkan Nada untuk duduk di kursi yang terletak di depan sebuah cermin.
"Ngapain? Haram, Cakra ...."
"Setelah ini selesai kamu boleh pergi."
Karena Cakra orang yang keras, Nada akhirnya mengikuti perintah Cakra, ia duduk di depan cermin itu. Cakra kini memasangkan kain di leher Nada persis seperti seseorang yang ingin memotong rambut.
"Ini mau ngapain sih?"
Benar saja, Cakra memotong rambut Nada tanpa persetujuannya.
"Cakra!" Nada terlihat agak marah.
"Aku bisa aja udahan, tapi modelnya jadi jelek banget. Jadi mau pergi apa lanjut?"
Memang terlihat dari cermin itu, rambut Nada yang terliihat aneh gara-gara Cakra memotongnya cukup banyak. Kini gadis itu menghela napas dengan wajah datar. Ia tak berkomentar.
Cakra paham, gadis itu sedang marah padanya. Sementara Nada memilih untuk diam karena nasib rambutnya berada di tangan Cakra. Pria itu hanya tersenyum. Melihat Cakra tersenyum dari pantulan cermin, Nada menjadi semakin bad mood.
"Coba kamu lihat cermin," ucap Cakra, sontak membuat Nada menatap ke arah cermin. "Lihat wajah kamu sendiri."
"Udah sering!" balas Nada dengan nada tinggi.
"Terus kenapa suka insecure? Kamu harus sadar, kamu itu cantik."
Kata-kata itu membuat wajah Nada memerah.
"Tatap dalam-dalam diri kamu yang ada di cermin itu," ucap Cakra. Nada menatap dirinya sendiri melalui cermin itu. "Dia dan kamu itu berbeda. Sampai kapan pun, dia enggak akan pernah bisa jadi kamu. Kamu itu Nada di dunia nyata, dan dia Nada di dunia cermin."
"Kamu dan Melodi pun begitu. Kalian ya kalian. Nada dan Melodi bukan orang yang sama. Sampai kapan pun, kamu enggak akan pernah bisa jadi Melodi, karena kamu adalah Nada. Nada dengan segala kekurangan dan kelebihannya."
Melihat Nada yang kini kehilangan amarah, Cakra mencoba memberikannya sugesti. "Kalo barang ada istilah ori dan KW, tapi kalo manusia? Manusia itu ori semua, enggak ada yang imitasi, itulah hebatnya Tuhan. Jadi kamu itu bukan yang palsu, bukan juga imitasinya Melodi. Enggak ada istilah produk gagal. Karena sejatinya, manusia itu adalah makhluk yang paling sempurna. Tinggal bersyukur aja, atas apa yang diberikan Tuhan. Manusia itu makhluk sosial yang pasti membutuhkan manusia lain, maka dari itu mereka diciptakan berbeda-beda untuk saling melengkapi. Jangan berpikir kalo kamu itu enggak bisa ngelakuin apa yang Melodi lakuin, kemampuan kalian hanya berbeda. jauh disebrang lautan, ada jutaan orang yang menganggap kamu itu jauh lebih hebat dari mereka. Bukan karena mereka payah, tetapi kamu memiliki apa yang mereka enggak punya. Sekali lagi, setiap manusia itu berbeda. Kagumi diri kamu sendiri, sebelum mengagumi orang lain."
Tak ada yang bisa menahan senyum ketika seseorang memberikannya kalimat seperti itu. "Terimakasih ya, Cakra ...." Nada tampak merasa baikan.
"Kita bisa menilai orang lain, dan cuma orang lain yang bisa menilai kita. Jangan menilai diri kita sendiri, sebab yang merasa rendah akan tunduk pada dunia, dan yang merasa tinggi akan mendongkak seperti langit."
"Udah selesai." Cakra melepaskan kain yang menutupi Nada. Kini Nada tercengang menatap dirinya sendiri di depan cermin.
***
Harits, Jaya, Deva, dan Melodi sedang prepare toko. Mereka semua menatap ke arah Nada yang turun dari tangga sebelah kiri. Tak ada kata yang terucap.
"Jangan liat aku!" Nada berlari langsung naik ke tangga sebelah kanan. Tak lama, ia turun kembali membawa handuk dan masuk ke kamar mandi.
"Itu--Nada?" tanya Harits.
"Kayaknya sih--iya," jawab Jaya.
Harits membuang tatap. "Bangsat! Cantik banget."
Nada, gadis suram itu kini berpenampilan lebih cerah dengan rambut model bob sepanjang leher. Sengaja Cakra memotong rambutnya pendek sebagai pelampiasan untuk Nada yang merasa lebih payah dari Melodi. Banyak filosofi dari rambut pendek, seperti, wanita rambut pendek tidak terlalu peduli dengan pandangan orang, yang terpenting mereka merasa nyaman. Wanita dengan rambut pendek mudah bersosialisasi, berani tampil beda, mandiri, mampu mengendalikan diri, dan menyukai tantangan.
"Kamu yang potong?" tanya Melodi mendapati Cakra yang turun membawa sapu dan pengki yang berisi rambut.
"Iya," jawab Cakra sambil tersenyum. "Mau juga?"
"Mau! Ih, Nada jadi cantik banget! Aku enggak boleh kalah lah!"
"Nada!" teriak Cakra di depan kamar mandi. "Ada yang mau mirip kamu tuh! Ceritanya ada yang enggak mau kalah."
Nada hanya tersenyum di balik pintu kamar mandi. Entah, ia merasa lebih bebas sekarang. Rasanya tak ada lagi beban. Padahal hanya perbedaan model rambut saja, kini Nada dan Melodi benar-benar seolah bukan anak kembar.
***
Suasana Mantra kali ini cukup ramai. Ada Kiweng yang selalu sendiri datang ke Mantra, lalu ada Wira yang kali ini membawa pacarnya yang galak, ada juga Sekar yang membawa teman-temannya.
Melodi tak jadi menyewa jasa dari temannya untuk menggambar mural. Rupanya Cakra lihai dalam menggambar. "Kamu di Inggris belajarnya ngapain aja sih?" tanya Nada.
"Ya biasa aja kayak anak sekolah," jawab Cakra singkat. Ia sedang fokus menggambar.
"Nad, minum dulu nih rebusan air bidaranya," ucap Melodi yang membawakan sebuah minuman.
Rebusan daun bidara?
Cakra mulai menerka-nerka. Tentu saja ia paham beberapa fungsi daun bidara, seperti penangkal sihir dan guna-guna. Apa Nada enggak bisa tidur karena pengaruh ilmu hitam?
Si anak baru itu menyampingkan hal tersebut dan fokus menggambar. Hingga tak terasa kini Mantra sudah berada di penghujung waktu, rasanya baru beberapa paragraf di atas mereka prepare toko. Cepet banget emang kalo baca mah. Nulisnya lama.
"Istirahat dulu, boy," ucap Harits yang masih meneguk secangkir americano. "Dilanjut besok kan bisa."
"Jam segini malah ngopi, awas insomnia," balas Cakra sambil terkekeh.
"Kenapa nama lu Cakra Petang Buana? Kenapa enggak Cakra Kutang Buaya? Nyahahaha."
"Unik sih. Nama ayahku Fajar, ibuku Senja, terus adikku yang masih kecil namanya Dini."
"Dini hari?" ledek Harits.
"Dini Khatulistiwa Buana." Cakra menghentikan kegiatannya. "Entah, mereka katanya iseng kasih nama Petang sama Dini, biar keliatan keluarga unik aja. Aslinya cuma Cakra Buana, Cakra bermakna senjata, Buana berarti dunia."
"Senjata dunia? Keren." Harits mulai tertarik dengan ucapan yang awalnya basa-basi itu.
"Waktu muda, ayah sama ibuku keliling dunia. Mereka punya impian menjelajah seluruh dunia ini. Ayahku berhenti kuliah dan mencoba meraih impiannya itu bersama wanita yang setia menemaninya."
"Dan tercapai?" tanya Harits penasaran.
"Enggak," ucap Cakra sambil menatap bulan di luar. "Setelah aku lahir, mereka enggak ngelanjutin impian itu."
"Dasar si perengut impian orang tuanya! Nyahahaha."
"Karena mereka bilang, akulah seluruh dunia mereka."
"Romantis banget orang tua kamu," ucap Deva yang tiba-tiba muncul mengenakan topeng Tumenggung. Kemunculan yang spontan itu membuat Harits dan Cakra terjatuh akibat terkejut.
"Jangan nongol kayak gitu apa! Mana rambut gondrong, pake topeng badut. Bener-bener dah," protes Harits.
"Ngeri banget sumpah." Cakra tertawa dengan kejadian ini. Bisa-bisanya ia terkejut sampai terjatuh dari kursi karena berusaha lari.
Deva melepas topengnya. "Abisan, kalian enggak naik-naik, ya gua turun. Penasaran, lagi ngobrolin apaan."
"Malem masih panjang, mau ngopi, Cak? Dev?" Harits beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur.
"Aku mau signatur buatan kamu," ucap Cakra.
"Samain deh," timpal Deva.
Harits meracik kopi untuk mereka berdua. Setelah itu, mereka bertiga berbincang perihal pengalaman hidup Cakra di Inggris. Kopi-kopi itu hanya sesekali disentuh, kemudian dibiarkan menggigil. Obrolan ditambah canda dan tawa itu yang membuatnya tetap hangat.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top