23 : Kopi Joss
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Sore ini begitu teduh, rasanya cocok sekali duduk sambil menikmati secangkir affogato, seperti halnya Harits. Sorot matanya bergerak mengikuti Deva yang berjalan keluar kafe. "Mau kemana, drong?"
"Jemput anaknya om Ajay, bentar lagi dia landing."
"Lu tau, kan? Kalo bandara Adisutjipto udah bukan bandara utama?"
"Iya, ini mau jemput di Kulon Progo."
"Naik motor? Gimana kalo itu orang bawa-bawaan banyak?"
Deva tak memikirkan hal itu. "Terus gimana dong?"
Harits beranjak dari duduknya. "Naik mobil aja."
"Gua belum lancar bawa mobil," ucap Deva.
"Sama gua yuk."
"Ikut! Ikut!" timpal dua kembar yang sedari tadi menguping pembicaraan.
Harits menatap jam tangannya. "Lima menit harus udah kelar dandan, atau ditinggal."
Kedua gadis itu sudah menghilang dari pandangan Harits dan Deva. Kini Harits berjalan mengambil kunci mobilnya. Hari ini Mantra Coffee libur untuk acara penyambutan Mantra Reborn. Ya, memang kurang lengkap tanpa kehadiran anak dari salah satu founder Mantra ini.
Semoga aja Cakra orangnya asik, batin Harits.
Suara knalpot butut membuat Harits yang baru saja turun, menoleh. Karena acara dadakan ini, Jay akhirnya datang karena tidak tahu bahwa Mantra libur hari ini.
"Bubar-bubar, libur," ucap Harits.
"Serius?" Jay menatap Deva. Pria gondrong itu mengangguk. "Lah ...."
"Jaya, ayo ikut!" ucap Nada yang tiba-tiba muncul.
"Udah dandannya?" tanya Harits.
"Aku enggak pernah dandan tuh, cuma ganti baju aja sebentar."
"Idaman ...." ucap Harits lirih.
"Idaman siapa, mas?" celetuk Jaya yang mendengar ucapan Harits.
"Spiderman! Orang gua bilang spiderman."
Ketika Melodi turun, akhirnya mereka berlima naik ke dalam mobil. Harits dan Deva duduk di depan, sementara Jaya dipojok kanan kursi tengah, disampingnya ada Melodi, kemudian Nada dipojok kiri. Deva menatap Jaya dan Melodi dari kaca depan.
"Diliatin mulu," bisik Harits sambil terkekeh. Tentu saja ia menyadari sorot mata Deva. "Cemboker?"
"Berisik lu," balas Deva yang kelihatan tidak mood.
"Gila lu, ndrong." Harits menyalakan musik untuk menambah mood nya. Ia memasang lagu My Chemical Romance yang berjudul Helena.
"Ih, lagu apaan sih?" Nada memicingkan matanya dan hendak mengganti lagunya, tetapi Melodi menahannya.
"Kamu diam aja! Ini lagunya enak!" Melodi bernyanyi mengikuti alunan musiknya. Harits samar-samar ikut bernyanyi.
https://youtu.be/geHGPVTVj9Q
What's the worst that I can say?
Things are better if I stay
So long and goodnight
So long and goodnight
"Tumben selera musik lu bagus," ledek Harits pada Melodi.
"Dia itu vokalis band metal, wajar kalo paham musik-musik rock dan indie," celetuk Deva.
"Tapi sekarang Melodi enggak nyanyi scream lagi, dia udah dilarang dokter buat karirnya," lanjut Nada.
"Kenapa jadi ngomongin aku sih?! Marah nih aku." Melodi melirik ke arah Jay yang sedang tersenyum ketika mengetahui lebih banyak perihal Melodi.
Kini perjalanan dilanjutkan dengan membeberkan informasi kehidupan Melodi. Deva tersenyum, ia merasa hari ini mereka semua penuh dengan kehangatan. Biasanya selalu saja ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang membuat suasana keruh.
***
Mereka semua kini tiba di bandara. Deva turun, sementara yang lain menunggu di mobil. Mereka semua tak ada yang tahu seperti apa penampakan Cakra.
Tak lama berselang Deva kembali, ia meminta Harits untuk membuka bagasi belakang. Semua orang tak ada yang berani menoleh ke belakang. Mereka semua memasang wajah cool untuk first impression nya.
Cakra tinggal di Inggris, mereka merasa harus memberikan kesan istimewa ketika orang itu datang ke Indonesia.
"Enggak muat ini, dua orang pindah belakang gih," ucap Harits menatap formasi mereka.
Nada pindah ke belakang, sementara Melodi masih berada di tengah bersama Jaya. Mereka berdua tak ada yang mau pindah ke belakang karena sering mabuk jika merasa pusing. Secara, di belakang adalah tempat yang paling keras guncangannya.
Seorang pria berkulit putih muncul di sebelah Melodi. Masih tipikal kulit Asia, tetapi paling cerah ketimbang Deva, Jay, Harits, Melodi, dan Nada. Rambutnya berwarna abu-abu dengan sedikit warna hitam di pinggir bagian bawahnya. Ia mengenakan jaket baseball dengan headset menggantung di lehernya. Ada anting magnet di telinga kanannya.
"Hello, good evening, dude," ucap Harits dengan aksen persis google translate.
Cakra menatap Hartis, ia tersenyum. "Piye kabare?"
Semua orang berwajah datar. Ekspetasi mereka runtuh dalam sekejap. Harits mulai menggerutu tidak jelas. "Waktu Melodi sama Nada dandan, gua coba liat google translate buat nyapa dia. Eh—piye kabare su ... Inggris kromo toh ...."
Deva tiba-tiba saja tertawa. Jarang-jarang melihat pria gondrong itu tertawa lepas. Semua orang kini menatapnya. "Sorry-sorry, gua lupa bilang. Cakra ini bisa bahasa Indonesia sama Jawa, tapi karena di Inggris enggak kepake, jadi mungkin akan sedikit kaku penggunaannya."
Cakra Petang Buana, pria itu duduk di belakang bersama dengan Nada. "Kamu mau ngambil jurusan apa tahun ajaran baru?" tanya Nada.
"Psikologi. Nama kamu siapa?" tanya Cakra.
"Nada Regina Mahatama."
"Anaknya ...."
"Retsa Pratama dan Aqilla Maharani."
"Oh, i see. Psikometri?" Cakra menatap sarung tangan hitam milik Nada.
"Giliran sama Nada ngomongnya bahasa Inggris, su ...."
Deva melirik ke arah Harits yang tak henti-hentinya menggerutu. "Udah-udah, semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan." Deva mengembalikan kata-kata Harits yang pernah dilontarkan padanya. "Biasanya sih Nada jarang nomong, Rits. Ya, taulah, kalo dia banyak ngomong tandanya ...."
"Suka!" celetuk Melodi.
"Ih, enggak gitu ya!" Nada memprotes ledekan Deva dan Melodi.
"Kalian kembar?" Cakra menatap Melodi yang berwajah persis sama seperti Nada.
"Aku Melodi Regita Mahatama," ucap Melodi memperkenalkan diri. "Yang sakit kepala ini Jaya, terus yang ganteng itu Deva, dan yang jelek Harits."
"Oh, Harits ...."
"Apa lu manggil-manggil gua bangs ...." Melodi dengan cepat menjitak kepala Harits sebelum pria itu melepaskan kalimat seutuhnya.
"Maaf, ya tadi," ucap Jaya. "Manusia itu cenderung ingin memberikan sesuatu yang terkesan akrab. Contohnya kamu tadi yang nyapa pake bahasa Inggris. Aku pun sama, dan malah gunain bahasa Jawa."
Harits mulai tersenyum. "Kata Ayah, Om Ajay itu anak psikologi dan bisa baca karakter manusia. Kamu bisa?"
"Kayak kamu yang cemburu aku duduk di sini? Dan Deva yang cemburu sama Melodi dan Jaya? Atau Jaya yang seneng duduk di sebelah Melodi? Tapi Melodinya enggak seneng duduk di samping Jaya?"
Suram. Wajah mereka semua suram seketika. Tak ada kata yang terlontar hingga Harits tiba di Malioboro. "Ini namanya Malioboro, setiap turist pasti ke sini buat belanja oleh-oleh."
"Kamu capek enggak, Cak?" tanya Deva.
"Enggak kok, kenapa?"
"Kita jalan-jalan keliling Jogja, ya."
"Wah, terimakasih banyak. Aku seneng banget langsung diajak jalan-jalan."
Keadaan di Malioboro tak begitu ramai malam ini. "Kamu doyan kopi? Di sini itu wajib nyoba kopi joss!" ucap Harits.
"Kopi joss? Apa itu?" Cakra mengerutkan dahinya.
"Selain gudeg, kopi joss juga jadi daya tarik tersendiri di kota Jogja," lanjut Harits. "Yang unik itu cara penyajiannya."
"Wah aku jadi penasaran."
Mereka semua berjalan mencari angkringan dan memesan kopi joss. Cakra terperangah mendapati batu arang yang diceburkan ke dalam gelas kopinya.
"Abis dibuat, jadi tuh langsung diceburin batu arang yang masih panas. Nah, ketika batu arang itu nyebur, pasti bunyi 'jossss'. Suara itu yang jadi asal usul kopi joss ini, Cak. Seru deh, cobain."
Cakra meneguk kopinya, lalu menatap Harits. "Seger sih, enak."
"Cara minumnya salah," ucap Harits. Kini pria bertopi aneh itu menuangkan kopi hangat ke piringan alas gelas, lalu menyeruputnya lewat alas tersebut. "Bae-bae bibir lu rontok kena bara kalo minumnya pake cara biasa nyahahaha."
"Pengalaman berbicara," celetuk Deva.
"Dia itu pernah nyium baranya, Cak. Terus bibirnya jontor melepuh," lanjut Melodi sambil tertawa.
"Serius, mas Har?" Jaya menatap Harits. Ia pikir Harits ekspert soal kopi, tetapi nyatanya kopi joss ini adalah hal baru untuknya juga.
"Halah, jangan percaya."
Pantes bibir Harits ada rasa arang-arangnya, batin Nada yang pernah tak sengaja mencicipinya.
Suasana kembali ceria. Mereka semua tertawa dan saling mengakrabkan diri. Kedatangan Cakra adalah awal mula dari kisah persahabatan mereka semua.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top