22 : Mata-mata
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Melodi masih diam menatap dompet yang berada di dapur, dengan wajah kusut dan rambut berantakan seperti singa. Dompet siapa nih?
"Cuci muka dulu sana," ucap Abet yang sedang duduk bersama dengan seorang anak kecil.
"Mas Abet nyulik anak siapa?" tanya Melodi.
"Sembarangan! Ini anakku yang paling kecil." Anak laki-laki yang pendiam dan juga lucu, tak seperti ayahnya yang terlihat seperti penganut ajaran barbarisme.
"Eh? Kirain aku mas Abet jomblo."
"Emang," jawab Abet singkat.
"Lah, terus itu anak siapa ih sebenernya?"
"Istriku udah meninggal." Singkat, padat, dan menusuk. Melodi terdiam mendengar itu. "Enggak usah dipikirin. Itu kenapa aku enggak bisa full time di Mantra, karena harus jaga anak dan ada kerjaan lain di luar juga."
Melihat Melodi yang merasa bersalah karena sudah bertanya, Abet justru tersenyum. "Mau teh apa kopi?" tanya Abet sambil beranjak.
"Eh, enggak usah mas. Aku mau keluar cari sarapan sebentar lagi."
Melodi tiba-tiba teringat bahwa di tangannya ada sebuah dompet misterius. Dompet siapa sih ini?
Dibukanya dompet itu. Terpampang sebuah kartu identitas milik Harits Sagara. Melodi terfokus pada tanggal hari lahir Harits. "Wah! Sebentar lagi tahun baru. Ini si cebol ulang tahunnya meriah banget!"
"Harits?" Nada yang baru saja turun mendengar perkataan Melodi. Begitu juga dengan Deva yang sudah bersiap dengan jaket jeans nya.
"Ayo kita rayain," ucap Nada yang antusias.
"Males ah. Waktu Deva ulang tahun aja dia malah kabur kemana," balas Melodi.
"Aku setuju sama Nada. Biar gimana, dia itu keluarga kita di sini. Dan tanpa kalian tahu, waktu aku ulang tahun, dia beliin aku kado." Deva menunjukkan sebuah gantungan kunci berbentuk bola yang terpasang di kunci motornya.
"Serius?" Melodi agak terkejut. "Enggak nyangka."
"Ya, ya, ya, ya, kita rayain diem-diem," sambung Nada.
Melodi menghela napas. Sebenernya ia enggan, tetapi semua ingin memberikan kejutan untuk Harits. Jadi terpaksa ia harus setuju.
"Tapi si boncel ini tuh misterius. Aku tanya deh sama kamu, Dev, yang udah temenan dari kecil. Dia suka apa sih?"
Deva menatap Melodi. "Suka--ngehancurin harapan orang ...."
Melodi memasang wajah datar. "Coba, Nad. Kamu kan temennya yang sebenernya pacarnya."
"Ih apaan sih, Melo!"
"Harits suka apa?"
Nada tampak berpikir. Ia mencoba mengingat kenangan yang pernah ia intip dari Harits, tetapi banyak hal yang Nada lewatkan. "Apa, ya? Apa kita tanya aja langsung? Biar tau."
"Dodol! Malah enggak surprise dong." Melodi menggelengkan kepala.
"Mas Abet, om Andis suka apa?" tanya Deva.
"Pecinta wanita dia tuh."
Deva tersenyum pasrah. "Siapa tau ada clue dari kesukaan ayahnya. Like father like son." Pria gondrong itu mencoba mengingat kenangan masa kecilnya, tetapi mana mungkin hal yang Harits sukai dulu masih menjadi kesukaannya sekarang. Secara, manusia bertumbuh dan memiliki minat yang tak jarang berubah.
"Kasih aja topi baru!" ucap Nada.
"Yang lebih konyol?" balas Melodi.
"Permisi! Apakah benar, ini konferensi orang-orang idiot? Nyahahaha." Tiba-tiba suara cempreng itu membuat bulu kuduk mereka semua merinding. Gimana enggak? Lagi asik-asik diomongin, malah nongol. Harits turun dari tangga. Namun, karena sibuk tertawa, kakinya salah menapaki anak tangga dan terjatuh terguling-guling sampai bawah.
"Ih, kurcaci jatoh. Sukurin," timpal Melodi.
Deva menahan tawanya sambil membuang muka ke arah lain. Ia menoleh ke arah anaknya mas Abet. Segelintir memori membuatnya teringat akan masa kecilnya dulu.
"Surya, kamu enggak suka main game ini?" tanya Harits kecil ketika ia, Surya, Deva, dan Rava sedang main bersama. Harits tampak sibuk sendiri dengan mainan console video game milik Surya.
"Enggak, buat kamu aja gih," jawab Surya yang tak tertarik dengan permainan sejenis itu.
"Harits, dijemput sama ayahnya tuh," ucap Karmila, Ibu dari Deva.
"Aku bawa nih beneran?" Harits memastikannya sekali lagi.
"Iya, bawa aja."
Harits pergi membawa console video game milik Surya. Tak lama berselang Andis datang kembali bersama dengan Harits, ia mengembalikan benda itu pada Surya. Andis berkata, "itu mainan Surya, harganya mahal. Nanti kita beli yang baru aja ya. Yang itu dikembalikan dulu." Kemudian setelah itu ayah dan anak itu berjalan pergi, Harits menoleh ke belakang menatap benda tersebut, ia benar-benar ingin memilikinya. Andis hanya mampu membelikan imitasinya saja, sehingga Harits sempat ngambek beberapa hari.
Deva kembali dari lamunannya. Dia masih minat enggak, ya?
"Kita patungan kue aja, hadiahnya sendiri-sendiri ...." Deva baru sadar bahwa ada Harits di situ.
"Kue apa?" tanya Harits.
Melodi dan Nada menatap Deva tak mau tahu.
Bangkeh! Gua enggak sadar ada ini orang.
"Kue--tiaw," jawab Deva dengan wajah datar.
"Pada mau patungan kuetiaw? Gua ikut makannya aja nyahahaha." Harits lanjut berjalan keluar dan memanaskan mesin motornya.
"Deva!" Melodi melotot ke arah Deva.
"Enggak sadar aku ...."
"Jadi gimana?" tanya Nada.
"Kita patungan kue aja. Nanti hadiahnya masing-masing aja karena enggak ada yang paham sama kesukaannya dia. Semoga salah satu dari hadiah itu ada yang dia suka," balas Deva. Setelah semuanya sudah setuju, mereka semua bubar untuk melakukan kegiatannya masing-masing.
***
Melodi masih sibuk dengan penyamarannya. Karena tidak tahu apa-apa tentang Harits, ia memutuskan untuk mengikuti Harits ke kampus seharian. Siapa tahu ia menemukan petunjuk, begitu pikir Melodi.
Harits yang baru saja keluar dari kelasnya langsung berjalan ke arah belakang kampus. Di jalan ia sempat berhenti dan memberi makan seekor anak kucing dengan makanan kucing yang berada di dalam tasnya.
Setelah itu Harits makan di kantin. Ia berkumpul bersama teman-temannya. Harits benar-benar seperti orang yang berbeda. Ia aktif dan tak menyebalkan. Wajahnya terlalu lihai dalam menipu.
Pencitraan! batin Melodi.
Setelah Harits selesai makan dan pergi, Melodi menghampiri ibu kantin. "Bu, tadi yang pake topi itu makan apa aja?"
"Oh, mas Harits? Dia selalu beli tahu bakso," jawab ibu kantin.
Tahu bakso, ya? Wah informasi penting nih. Enggak usah beli kue ulang tahun. Beliin aja lilin sama tahu bakso.
Begitu Melodi memutar arah, Harits berdiri di belakangnya. Mendadak Melodi panik dan salah tingkah.
"A-aku bukan Melodi." Ia berjalan cepat meninggalkan Harits.
Harits dan ibu kantin bertatapan. "Itu orang kenapa, bu?"
"Enggak tau, tadi nanyain kamu makan apa."
"Hah?! Buat apa?" Harits memicingkan matanya. Pengguna ilmu hitam? Gua jadi target santet! Dan tadi dia nyebut Melodi? Apa kaitannya? Apa sebenarnya Melodi yang diincar?
"Bu, tadi aku kurang bayar." Harits memberikan uang di atas etalase. Kemudian segera berlari mengejar Melodi yang ia sangka pengguna ilmu hitam.
Dari jauh Harits menatap Melodi yang berjalan cepat. Melodi menoleh ke belakang, dilihatnya Harits yang berlari. Hal itu membuatnya semakin mempercepat langkahnya.
Sial! Ketahuan ...
Setelah menoleh, gadis yang tak jauh berada di depan itu berlari. Sial! Dia kabur, batin Harits.
Mereka saling kejar-kejaran. Harits mempercepat larinya. Melodi menoleh, jarak mereka semakin dekat. Kampret! Larinya cepet banget kayak tuyul.
Karena panik, Melodi tak sadar jika tali sepatunya lepas. Ia menginjak tali sepatunya sendiri dan jatuh. Harits langsung menerjangnya, menempelkan siku di leher Melodi. Melihat wajah Melodi yang tersenyum seperti orang bodoh, Harits memasang wajah datar.
Berasa kayak orang bego dong gua, batin Harits.
***
Kini mereka berdua duduk di kursi panjang tempat biasa Harits membuang waktu. "Ngapain sih?" tanya Harits.
"Kepo!"
"Asli mencurigakan banget, kenapa?'
"Mastiin kamu enggak punya pacar!"
Harits tersenyum. "Kamu udah sadar?"
"Sadar apa?" Melodi memicingkan matanya,
"Aku lebih ganteng dari Deva? Sampe kamu harus ikutin aku karena takut kehilangan aku?"
Melodi mengangkat topi Harits. "Oh iya, otaknya enggak ada ternyata," ucapnya sambil melihat kepala Harits.
"Cuk!" Harits merebut kembali topinya dan memasangnya. "Aurots ini!"
Mendengar itu Melodi hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menahan tawa. Lalu keadaan hening untuk sesaat, tak ada kata yang terlontar.
"Mastiin kalo cuma Nada yang kamu deketin," ucap Melodi tiba-tiba.
"Ngomong opo toh? Nada udah punya Faris."
"Mereka enggak pacaran. Dan Nada juga suka sama kamu," ucap Melodi. "Aku udah bilang, kalo dia harus memilih, tapi aku lihat semakin hari dia semakin deket sama kamu. Jadi aku cuma mau mastiin aja kalo kamu emang deket sama dia aja."
"Enggak ada urusan. Aku mau deket sama siapa ya terserah aku."
"Aku udah wanti-wanti sama Nada, kalo dia milih kamu, itu artinya dia harus menjauh dari Faris, dan sebaliknya. Kamu pun harus gitu. Kalo suka sama orang lain, jangan deketin Nada."
Harits merubah raut wajahnya. "Ini pembicaraan empat mata, jangan bilang siapa pun. Oke, gua akan jujur sekali lagi. Gua suka sama Nada." Harits merubah gaya bicaranya. "Berapa persen chance gua dapetin dia?"
"Nol," jawab Melodi. "Kalo kamu punya wanita lain."
"Enggak ada," ucap Harits.
"Lima puluh banding lima puluh." Melodi menghela napas. "Sebentar lagi kamu ulang tahun, kan?"
Harits memicingkan matanya. "Kok--lu tau?"
"Aku cenayang," jawab Melodi berbohong. "Intinya, kalo kamu suka dia, coba tembak waktu hari ulang tahun kamu."
Hehehe hadiah dari aku adalah hati adikku sendiri! Terbaik memang akuni.
Harits beranjak dari posisinya. "Enggak ada satu pun orang yang bisa ngatur Harits Sagara."
"Harits tunggu!"
Harits menoleh ke arah Melodi. "Apa lagi?"
"Mau nebeng pulang hehe tadi aku ke sini bareng Deva. Sekarang dia udah ngampus."
"Yeh, dasar kurcaci!" ledek Harits.
"Itu mah kamu!"
"Oh iya, lupa! Dasar nenek sihir. Sorry kebalik." Kini mereka berdua pulang menuju Mantra Coffee.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top