21 : Perlahan Memburuk
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Coba tuk melawan, getir yang terus kukecap, meresap ke dalam relung sukmaku ...." Malam ini Melodi dan Deva membawakan judul Semua Tak Sama dari Padi. Duo akustik itu selalu pecah dalam membawakan lagu-lagu yang mereka mainkan.
Nada menatap Melodi yang seharusnya memukau dengan tatapan sendu. Entah, terkadang melihat Melodi yang lebih ceria dan populer membuat perasaan irinya muncul.
Seandainya aku yang ada di sana ....
Coba aja, aku yang bisa begitu ....
"Kak Melodi, ya? Mau foto dong! Aku fans berat kakak yang udah ngikutin kakak sejak dulu banget dari akun sosial medianya bunda Aqilla," ucap salah satu pengunjung. Memang, selain kopi dan tempat yang nyaman, keunggulan Mantra Coffee ialah sosok Melodi yang mengikuti jejak Aqilla menjadi musisi dan bergelut di dunia sosial media. Promosinya di medsos itulah salah satu faktor kafe ini selalu ramai dikunjungi.
Cekrek!
Nada menoleh ke arah Harits. "Hapus enggak!" Gadis itu tidak suka difoto.
"Gimana mau kayak si Spongebob," balas Harits menatap foto Nada di layar ponselnya. "Difoto dikit aja langsung mara-mara."
Rasanya Nada lagi tak berminat untuk meladeni bocah menyebalkan itu. Ia lebih memilih mengalah dan diam. Nada menatap luka di tangannya, entah sudah berapa lama sejak ia terakhir kali tidur nyenyak. Semua mimpi buruk yang belakangan ini terjadi membuatnya lelah dan perlahan merubah sikapnya ke arah yang negatif seperti iri, cemburu, tempramental, dan tertutup.
Lonceng di pintu berbunyi. Seorang pria dengan rambut sepanjang pinggang masuk ke dalam kafe. Rambutnya lurus bagaikan mimi peri—eh, ibu peri.
"Kiweng!" sapa Melodi.
"Oh, Melo," jawab Kiweng sambil tersenyum. Sejujurnya wajah orang itu cukup mengerikan. Bukan karena sangar, tetapi sorot matanya begitu redup, lengkap dengan senyumnya yang aneh. Cocok sekali untuk pemeran film horor yang menjadi pemeran hantunya. Wajahnya juga sangat putih agak pucat. Sejujurnya Melodi agak takut padanya dulu, tetapi begitu mengenal Kiweng, dia adalah pria yang cukup lucu dan asik.
Kiweng menoleh ke arah Jay. "Jaya si penunggang Mamat," ledeknya sambil terkekeh. "Aku pesen yang biasa, ya." Kiweng memang sering menghabiskan waktu di Mantra. Ia selalu memesan long black.
"Aku penasaran, kamu itu bisa tidur enggak sih?" tanya Jay padanya.
Kiweng mengeluarkan obat dari kantong celananya sambil tersenyum. Itu adalah obat tidur. Jaya hanya menggeleng melihat itu.
"Oh iya, Weng. Walid bisa?" tanya Melodi. Walid merupakan salah satu teman ospek mereka dari jurusan desain komunikasi visual atau yang kerap disingkat menjadi DKV. Bisa dibilang bahwa Melodi, Kiweng, Jaya, dan Walid merupakan rekan ketika ospek kampus.
Kiweng mengacungkan jempolnya.
"Kamu kok mirip Nada, ya?" Melodi tiba-tiba saja mengingat Nada yang biasanya selalu memberikan jempol pada setiap pertanyaan yang dilemparkannya.
"Walid udah oke. Minggu depan dia ke sini buat ngomongin konsep mural yang kamu minta," balas Kiweng.
Melodi merasa ada yang kurang dari Mantra Coffee. Setelah berunding dengan semuanya, akhirnya mereka semua memutuskan untuk mencari seseorang untuk menggambar mural Mantra Coffee.
"Harga spesial, kan?" lanjut Melodi.
"Iya, dasar si gila harga temen!"
"Kiweng memang yang terbaik dalam nego-menego deh!" Setelah itu Melodi kembali bekerja.
***
Malam kian gulita. Kini Nada berdiri di depan rumahnya. Langit yang gelap diiringi samar-samar gemuruh membuat Nada melihat ke arah jam tangannya. Dilihatnya pukul tiga pagi.
"Anak bunda keren!"
Mendengar itu Nada segera menoleh ke arah rumah dan berjalan ke arah jendela untuk mengintip ke dalam rumah. Ada Tama, Aqilla, Melodi dan Vian di sana. Seluruh keluarganya hadir dalam suasana hangat itu tanpa dirinya.
"Keren dong!" balas Melodi sambil terkekeh. Melodi tampak memegang sebuah piala.
"Vian kalo udah besar mau jadi juara juga," ucap Vian kecil sambil menarik lengan Ayahnya.
Tama hanya tersenyum sambil mengusap kepala Vian, lalu berdiri, kemudian menggendongnya.
Suasana yang dingin diikuti gerimis tipis itu membuat Nada menggigil. Ia berjalan ke pintu dan membukanya, membuat satu keluarga itu menoleh.
Nada terdiam ketika semua mata menatapnya heran. "Kenapa?" tanya Nada.
Aqilla menatap Tama. Ia seakan berbisik. "Dia balik lagi ...."
Tama menurunkan Vian, lalu berjalan ke arah Nada. "Pergi kamu, dasar gagal!"
Mendengar itu Nada terkejut dan matanya mulai berkaca-kaca. Ia hendak menghapus air matanya, tetapi tangannya menghilang.
"Tangan ini harusnya punya Melodi," ucap Tama memegang kedua tangan Nada yang berbalut sarung tangan hitam. "Kamu itu seharusnya enggak terlahir numpang bareng Melodi."
Numpang?
Air matanya mulai menetes, nada menangis.
"Nada, Nada ...."
Nada membuka matanya. Ia berada dalam dekapan Melodi. "Everything will be fine, ok." Entah sudah berapa malam ini Nada selalu berteriak atau menangis ketika tertidur. Mimpi buruk yang diberikan Rizwana bukan main-main. Pria itu menginginkan Nada. Seperti halnya Kirana, Rizwana berusaha untuk merusak mental Nada, lalu datang sebagai juru selamat.
Nada agak mendorong Melodi untuk melepaskan dekapannya. "Oke, maaf ganggu waktu tidur kamu beberapa hari ini." Ia beranjak dan mengambil segelas air.
"Kamu mimpi apa?" tanya Melodi yang sangat khawatir.
Nada hanya menggeleng menjawab pertanyaan itu.
"Aku temenin, ya?"
Nada mengangguk. Memang, mereka berdua sudah lama memutuskan untuk pisah kamar, malah sejak mereka masih bersekolah di Bandung.
Malam ini Melodi dan Nada tidur di ranjang yang sama. Sebagai kakak yang lebih tua beberapa menit, Melodi berusaha untuk membuat Nada tertidur nyenyak.
***
"Udah, enggak perlu dandan, ribet," ucap Deva yang melihat Melodi sibuk sendiri.
"Namanya juga cewek," balas Abet yang sedari pagi sudah datang membawa sarapan.
"Anterin aku ya, Dev. Nanti jam tiga jemput," ucap Melodi yang sedang mengikat tali sepatunya.
"Oke."
Nada yang sedang duduk sambil sarapan hanya menatap mereka berdua dalam diam.
"Nada, mas Abet, aku berangkat dulu, ya." Melodi berjalan keluar Mantra membawa helm.
"Aku anterin Melo dulu." Deva berjalan di belakang Melodi.
Setelah mereka berdua pergi, Nada segera menyelesaikan sarapannya dan setelah itu ia berjalan ke kamar mandi membawa handuk.
Abet tentu saja menyadari tatapan-tatapan Nada yang selalu mengarah pada Melodi.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, Nada juga segera bersiap menuju kampus. Nada tidak bisa mengendarai motor, jadi ia selalu berjalan kaki menuju kampusnya. Ya, karena jarak kampusnya juga tak terlalu jauh dari lokasi Mantra Coffee.
"Mau mas anter?" tanya Abet pada Nada yang sedang memakai sepatu.
"Enggak usah, mas." Nada tersenyum pada Abet, kemudian ia berjalan keluar Mantra.
"Enggak sehat ini," ucap Abet. "Dia cemburu sama Melodi." Abet menatap lantai atas dan berjalan menuju kamar Hartis. "Harusnya ini orang bangun pagi kek!"
Abet membuka pintu kamar Harits. "Woy pemalas, bangun!" Namun, tak ada siapa-siapa di dalam kamar. "Ke mana itu anak?" Abet kembali turun. Ia mendapati Harits yang baru saja pulang.
"Dari mana kamu?"
"Bisnis," jawab Harits singkat.
"Bisnas, bisnis ...." Abet menjewer telinga Harits. "Bisnis apa berangkat malem pulang pagi?"
"Adoooh! Ampun, mas Abet ...." Harits akhirnya menceritakan pekerjaan sampingannya pada Abet.
"Jadi kamu itu pemburu hantu?"
"Yups, aku promo online kalo di Mantra Coffee ini ada jasa pemburu hantu," jawab Harits.
Abet membuka situs milik Harits dan membacanya. "Temui pria bertopi biru dan bisikan mantranya, anggur hitam."
"Terus gimana kalo dia ngucapin mantranya?" tanya Abet.
"Kita janjian dan dia konsul seputar masalahnya."
"Enggak jauh-jauh sama arwah penasaran. Bapak sama anak sama aja."
"Ayah juga gitu?" tanya Harits penasaran.
Abet menceritakan bahwa Andis adalah pelayan malaikat maut. Ia membantu arwah-arwah untuk pulang ke alamnya sebelum menjadi roh jahat.
"Ya, aku akui, dia keren. Sial," ucap Harits agak tak ikhlas. "Tapi aku lebih keren, heh."
"Oh iya, aku mau ngobrolin sesuatu, ini tentang Nada," ucap Abet.
"Nada kenapa?"
***
Nada beranjak dari duduknya. Ia membawa tas dan segera menuju kantin kampus karena lupa membawa bekal makan siang.
"Hey," sapa seorang pria yang baru saja meninggalkan rombongannya.
Duh, males banget sih ....
Nada tak merespon pria itu dan masih lanjut berjalan tanpa mengurangi kecepatannya.
"Nada, tunggu."
Nada menatap ke arah rombongan pria itu yang sedang menatap mereka berdua dengan wajah tersenyum, seolah meledek.
Nada diam sambil menoleh ke arah pria itu, seolah berkata, "apa?"
"Kamu punya kafe, ya?" tanya pria itu. Nada hanya meresponnya dengan anggukan kepala.
"Kita boleh mampir ke sana?" Lagi-lagi Nada membalasnya dengan anggukan kepala.
Pria itu tersenyum. "Buat temen gratis, kan?" Nada tak berkomentar. "Gabung sama kita aja, kamu sendirian terus." Pria itu menuntun Nada menuju rombongannya.
Nada ingat betul, ia pernah beberapa kali didekati, tetapi semua itu memiliki kepentingan lain. Seperti seorang pria yang mendekatinya, tetapi berujung untuk minta dikenalkan dengan Melodi. Ada juga kasus ketika Nada dijadikan pelarian beberapa laki-laki yang ditolak oleh Melodi karena wajah mereka mirip.
Nada pun sadar, kali ini orang-orang yang mendekatinya punya maksud dan tujuan lain, yaitu gratisan di Mantra Coffee. Namun, Nada tak punya keberanian untuk menolak dan tetap berada di tengah mereka.
"Nada!"
Nada dan gerombolannya yang baru saja keluar gerbang kampus menoleh ke arah Harits yang sedang duduk di sebuah rumah makan. Rumah makan itu tepat berada di pinggir jalan, sebrang kampus.
Harits?
"Kamu kenal?" tanya teman-teman baru Nada. Nada membalasnya dengan anggukan kepala.
Harits beranjak dari duduknya dan menghampiri Nada yang berada di sebrang jalan. "Udah pulang?" tanya Harits begitu tiba di depan Nada.
"Udah, tapi mau makan siang dulu," jawab Nada.
Sejujurnya, orang-orang ini mungkin baru pertama kali mendengar suara Nada.
"Yaudah yuk, cari makan bareng aja, sekalian pulang." Harits berjalan menuju motornya yang terparkir di depan rumah makan itu. Namun, Nada diam tak bergerak. Entah, ia bingung memilih antara Harits atau rekan-rekan palsunya. Sebenernya ia ingin pergi, tetapi Nada tak punya keberanian. Wajahnya terlihat getir.
Harits menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang. Ia paham arti sorot mata itu, justru sangat memahaminya. Kini pria bertopi biru itu berbalik arah.
"Ayo. Hari ini panas, sekalian kita jajan ice cream." Harits menarik Nada keluar dari rombongannya. Entah, wajah Nada memerah. Waktu seakan melambat ketika pria yang lebih pendek darinya itu menarik tangannya. Dalam waktu yang lambat itu, Nada tersenyum.
"Aku pulang duluan, ya," ucap Nada pada orang-orang itu.
"Oi, tadi dia ngomong, kan?"
"Dia juga senyum, kan?"
Orang-orang itu terdiam menatap Harits dan Nada yang bergandengan tangan menyebrang jalan. "Kamu kenapa ada di sini?" tanya Nada.
"Iseng cari makan di daerah sini," jawab Harits singkat tanpa menoleh.
"Terus udah makan?"
"Belum. Baru minum aja gara-gara menunya enggak enak."
"Terus sekarang mau makan apa?" tanya Nada.
"Terserah. Aku ikut aja. Semua pilihan yang akan keluar dari mulut aku enggak akan pernah nemu kata setuju. Sejatinya cewek selalu benar." Harits memasangkan helmnya pada Nada.
"Loh, kok aku? Kan kamu yang bawa motor?"
"Topi ini sejuta kali lebih kuat dari helm. Kamu pake aja helmnya, biar aman. Meskipun enggak sekuat topiku ini nyahahaha." Kini Harits naik ke atas motornya diikuti Nada di belakangnya. "Mulai besok, aku anter aja kalo berangkat. Ternyata lumayan jauh kalo jalan, kasian kamu."
"Kok kamu jadi baik?" tanya Nada.
"Dari dulu aku emang baik, kamu aja yang enggak sadar nyahahaha."
"Sadar kok," jawab Nada yang duduk di belakang Harits. Senyumnya terpampang sepanjang jalan. Bukan karena dia suka Harits. Hanya saja, Nada senang, bahwa masih ada orang yang peduli padanya. Saat ini ia hanya ingin diperhatikan.
***
"Dev, gimana kuliah kamu?" tanya Dirga dalam panggilan telpon.
"Aman kok."
"Kalo sibuk, kamu rekrut aja pegawai. Nanti ayah bantu masalah salary mereka kalo emang omset Mantra masih kurang."
"Ada satu sih temennya Melodi, namanya Jaya, dia megang dapur."
"Dia pake kamar yg atas?" tanya Dirga.
"Dia pulang pergi ke Bantul. Kamar atas masih kosong. Ayah bilang simpen kamar itu buat temen ayah, kan?"
"Iya, rencana dalam waktu dekat, anak dia bakal kuliah di Jogja. Paling minggu depan dia ke sana. Nanti tolong kamu jemput ya di bandara, nanti ayah kasih kontaknya."
"Loh? Satu semester aja belum ada, emang bisa masuk kuliah di tengah-tengah semester gini?"
"Ya enggak sekarang. Dia masuk tahun depan pas tahun ajaran baru. Cuma, dia butuh penyesuaian aja."
"Penyesuaian?" Deva memicingkan matanya.
***
Liverpool 2039.
"Udah lancar ngomong bahasa Indonesia?"
"Udah dong. Dari dulu kan udah bisa, hanya saja butuh dilancarkan lagi," jawab seorang pria muda dengan rambut belah pinggir yang diwarnai abu-abu dengan menyisakan warna hitam di pinggiran bawahnya. Ada tahi lalat kecil di bawah mata kirinya. Sebuah headset berwana putih menggantung di lehernya.
"Bahasa kamu masih agak kaku, yang ada nanti malah diceng-cengin sama anak sana."
Pemuda itu tersenyum. "Hanya masalah waktu. Nanti juga lancar sendiri. Bisa karena terbiasa. Papa pernah bilang, jika kita ingin menguasai sebuah bahasa, maka tinggal lah di tempat bahasa itu tinggal."
Fajar Utomo, pria itu tersenyum menatap putranya. "Tahun depan papa sama mama baru bisa nyusul pindah ke Indonesia. Selama itu, jaga diri kamu baik-baik ya, Cakra."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top