2 : Topeng
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Dalam sebuah senyum, ada air mata yang bersembunyi. Sunyi dan senyap ketika semua yang terlihat hanyalah bayang semu. Begitulah topeng kehidupan. Menghadirkan hampa dalam jiwa.
Sudah terhitung tiga hari dua malam Harits hidup dan bernapas Jogja. Kemarin para leluhur sudah kembali pulang. Dirga dan Tama menuju Bandung, sementara Andis ke Jakarta. Sebelumnya, mereka sudah lebih dulu menapakkan kaki di tanah Jogja daripada penerus mereka. Untuk mempersiapkan segala urusan bangunan dan persiapan Mantra Coffee.
Lonceng di pintu berbunyi, tandanya seseorang masuk ke dalam kafe. Harits yang sedang membuat sarapan pun jadi menoleh. Dilihatnya tiga orang yang ia tak harapkan kehadirannya. Ya, mereka adalah Deva Martawangsa, Melodi Regita Mahatama, dan ... Nada Regina Mahatama. Para pasukan dari Bandung, penerus cerita kafe kecil yang tak lagi kecil ini.
"Yang cewek kamarnya di atas, lewat tangga sebelah kanan. Yang lewat tangga kiri kamar cowok," ucap Harits sambil lanjut memasak.
Lonceng kembali berbunyi. Lagi-lagi membuat Harits dan ketiga lainnya menoleh. Dilihatnya Abet yang baru saja masuk dan duduk di salah satu kursi pelanggan.
"Wah, baru pada sampe nih?" tanya Abet.
"Yang itu lead barista legend, Bang Abet," lanjut Harits.
"Bikin apa kamu, Har?" tanya Abet.
"Nasi goreng," jawab Harits singkat.
"Berapa porsi?"
Harits mulai berkeringat. Pasalnya, ia hanya membuat seporsi saja untuk dirinya sendiri.
"Nah, pas banget. Nasi gorengnya buat aku. Kamu ajak temen-temenmu sarapan sana. Mereka pasti laper baru sampe," lanjut Abet.
Ah, elah. Males banget, tolong.
Harits melirik ke arah Nada. Mata mereka berpapasan, lalu sama-sama membuang tatap ke sembarang arah. Sementara hanya Melodi yang menyadari itu, tetapi ia memilih untuk tetap bungkam. Mengingat masalahnya--masalah mereka semua dengan Harits Sagara ini.
Melodi menggandeng Nada, lalu berjalan menuju kamar mereka. Sementara Deva berjalan sendirian naik ke kamarnya.
"Kalian ada masalah?" tanya Abet.
"Enggak. Cuma agak canggung aja." Harits meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja Abet. Kemudian ia mengambil kunci mobil yang berada di kamarnya.
Dirga sudah menyiapkan satu unit mobil untuk kebutuhan belanja anak-anak Mantra. Hanya Harits yang bisa mengemudi dan juga memiliki SIM A. Secara tak sadar, ia adalah sopir para Mantra.
***
"Enggak negor?" tanya Melodi yang muncul di depan kamar Nada. Kembar itu memilih kamar yang berbeda. "Selain mau bareng aku. Kamu juga mau ketemu dia, kan? Buat selesain masalah yang waktu itu."
"Padahal itu semua gara-gara kamu," balas Nada. "Aku jadi canggung. Selama ini juga nomorku diblokir sama dia."
Kisah ini dimulai ketika mereka semua masih SMA. Waktu itu sudah memasuki pekan liburan. Dari Jakarta, Harits berlibur ke Bandung dan tinggal di rumah Tama untuk beberapa waktu. Harits dan Nada cukup dekat waktu itu. Sejujurnya, pria bertopi aneh itu menyembunyikan rasa pada Nada. Hingga peristiwa itu terjadi.
Melodi, kembaran dari Nada, berpura-pura menjadi Nada dan memancing Harits untuk mengakui perasaannya. Ketika Harits mulai terbuka dan jujur pada gadis di hadapannya, Melodi justru tertawa. Sementara Nada yang asli berada di belakang Harits. Sedang terkejut mendengar semua pernyataan Harits pada hari itu.
Hal itu membuat perasaan Harits terluka. Seolah-olah harga dirinya direndahkan dan diinjak-injak. Laki-laki memang cenderung menggunakan logika, tapi bukan berarti mereka tak memiliki hati dan bisa selalu cuek dengan hal-hal seperti itu. Entah--rasanya seperti, malu, marah, sedih, semua melebur menjadi satu saat itu. Pada hari itu juga, Harits memutuskan pulang kembali ke Jakarta tanpa berpamitan pada Nada.
Kini mereka semua turun dari kamar masing-masing dan berjalan masuk ke dalam mobil. "Nada di depan gih! Aku mau pacaran di belakang," ucap Melodi sambil menggandeng Deva. Pria tampan dengan rambut gondrong itu hanya diam sambil mengikuti Melodi. Sesekali pandangan Deva dan Harits bertemu, memancarkan aura sinis yang cukup pekat.
Harits dan Deva adalah teman kecil. Sewaktu Deva tinggal di Jakarta, mereka sering bermain bersama, tetapi mereka terjebak dalam sebuah konflik sepele. Harits mulai menggunakan kemampuan mediumshipnya untuk mencari uang, dan Deva tak menyukai itu. Menurutnya, Harits terlalu materialistik. Dan mereka tak pernah berbicara, hingga Deva pindah ke Bandung.
Bicara tentang kemampuan. Sejujurnya keempat anak ini secara kebetulan merupakan indigo. Harits, pria bertopi biru aneh itu memiliki kemampuan mediumship. Mampu melihat dan berinteraksi dengan mereka yang tak terlihat. Selain itu, Harits juga mampu menggunakan atma untuk memburu roh jahat. Harits menapaki jejak Andis, yaitu menjadi seorang broadcaster. Maka dari itu, ia mengambil jurusan Manajemen Produksi Siaran di kampus Sekolah Tinggi Multi Media yang terletak di Jl Magelang.
Lalu ada Deva Martawangsa yang merupakan anak dari Dirga Martawangsa. Deva bisa menggunakan prekognision, tetapi hanya samar-samar saja. Prekognision sendiri adalah kemampuan untuk melihat atau memprediksi sekilas kejadian yang akan terjadi di masa depan. Pria gondrong itu mengambil jurusan Sastra Jepang di Universitas Gadjah Mada. Padahal ia mahir bermusik, tetapi musik hanya sebatas hobi untuknya.
Tak seperti Deva yang hanya menganggap musik sebagai hobi saja, Melodi justru mengambil jurusan Penyajian Musik di Institut Seni Indonesia. Melodi memiliki kemampuan Retrokognision, yang di mana ia mampu kembali ke masa lalu. Hal tersebut mampu mempengaruhi kejadian-kejadian di masa depan. Namun, untuk memasuki mode tersebut, Melodi juga tak mengerti caranya. Bahkan ia hanya beberapa kali pernah menggunakan kemampuannya sendiri.
Yang terakhir adalah Nada, putri Tama dan Aqilla yang paling merasa tidak percaya diri karena kemampuannya yang kurang terampil dalam hal apa pun. Nada selalu mengenakan sarung tangan hitam untuk menonaktifkan kemampuannya. Psikometri, mampu menggali informasi dengan objek atau benda apapun yang ia sentuh menggunakan tangan telanjang. Pada setiap benda terdiri dari susunan atom yang telah membentuk kumpulan molekul. Molekul yang ada dibenda padat, benda gas ataupun cair itu memiliki getaran yang menghasilkan sebuah gelombang khusus. Kemudian kumpulan molekul serta atom itu dapat merekam sebuah peristiwa, dan dari rekaman itulah Nada mendapat informasi berupa cuplikan masa lalu. Oh iya, Nada mengambil jurusan Proteksi Tanaman di Institut Pertanian Stiper, atau yang lebih dikenal Instiper. Hal itu karena Nada sangat menyukai alam dan tumbuhan.
"Nad, diem aja. Ngobrol dong," ledek Melodi. Harits hanya menatapnya singkat dari kaca depan. Sejujurnya di depan, Nada dan Harits tak mengatakan barang sepatah kata pun semenjak mereka masuk ke dalam mobil. Suasana benar-benar canggung dan terasa tak nyaman.
Hartis tiba-tiba saja melipir ke dalam sebuah rumah makan sederhana. Ia memarkirkan mobil lalu turun. "Sarapan gudeg aja, ya," ucapnya pada ketiga anak baru ini. Deva, Nada, dan Melodi tak tahu menahu tentang Jogja. Mereka hanya mengikuti Harits, si orang yang lebih lama dua hari dari mereka bertiga.
Padahal suasana saat di kereta hingga tiba di Mantra biasa saja, tetapi hanya karena kehadiran Harits, suasana berubah menjadi tak nyaman. Entah, rasanya canggung. Terutama Nada, sebenarnya banyak yang ia ingin utarakan, tetapi nyalinya ciut ketika berhadapan langsung dengan Harits.
"Gua pengen--semua masalah kelar. Kalo lu merasa gimana-gimana sama kita. Bilang aja. Kita coba saling ngerti," tutur Deva secara mendadak. Ia menatap Harits yang sedang fokus dengan ponselnya.
Harits hanya tersenyum tipis. "Kan kalian sendiri yang mandang gua agak gimana gitu. Gua sih biasa aja." Perdebatan mulai terjadi di antara Harits dan Deva.
"Udah-udah. Kita sarapan dulu, ya," potong Melodi. "Nanti dilanjut lagi berantemnya di kamar cowok."
Ini si bar-bar bacot banget, batin Harits.
Ketika makanan datang, Harits memasukkan makanan itu ke dalam sebuah tempat makan yang ia bawa, lalu meletakkan uang di atas meja. "Seporsi enam ribu, sama minumnya seribu, jadi tujuh ribu."
"Mau ke mana?" tanya Nada.
"Mobil." Harits berjalan menuju mobil.
"Dasar, penghancur suasana!" celetuk Melodi ketika Harits sudah pergi.
Entah, Nada tak menganggap Harits pergi karena merasa tak nyaman dengan kehadiran mereka bertiga. Rasanya, pria itu pergi justru untuk membuat mereka bertiga merasa nyaman. Nada hanya melihat seorang pria kesepian yang sedang mengalah.
"Aku duluan, ya." Nada tak menghabiskan makanannya. Ia berjalan ke mobil menyusul Harits. Namun, di mobil tak ada siapa pun. "Loh, ke mana itu orang?" Nada berjalan untuk mencari keberadaan si topi biru itu, hingga ia menemukan keberadaan Harits yang sedang duduk di pinggiran sawah yang terletak di samping tempat makan tadi.
Seekor kucing lewat di samping Nada. Ia membawa potongan ayam. "Hey, kamu enggak boleh mencuri tau," ucap Nada pada kucing itu.
Mendengar suara Nada, Harits menoleh. "Biarin. Dia enggak nyuri. Ayamku jatoh. Rezekinya kucing itu."
Hanya Nada yang paham. Apa yang tersembunyi di balik topeng itu. Mungkin semua orang tak menyukai Harits karena sikapnya yang semena-mena dan kekanak-kanakan, tetapi suka tidak suka, Nada mengakui, bahwa Harits adalah orang terbaik yang pernah ia kenal, di luar keluarganya.
***
Sepulangnya mereka semua ke Mantra. melodi menatap kandang kosong yang berada di luar kafe. "Ini sangkar buat apaan?"
"Biarin itu tetep di situ," jawab Harits.
"Iya, tapi buat apa? Orang masih kosong gini, menuh-menuhin tempat aja ...."
Deva menepuk pundak Melodi sambil menggeleng. Mungkin hanya Melodi yang tak tahu, bahwa ada suatu makhluk tak kasat mata yang berada di dalam sangkar tersebut. Nada dan Deva memang tak bisa melihat apa itu, tetapi mereka paham tentang kemampuan Harits.
"Percaya enggak percaya, dengan adanya sangkar itu di situ. Mantra Coffee bakal lebih aman daripada dijaga sepuluh orang satpam." Harits masuk ke dalam kafe dan langsung hendak naik ke lantai atas.
Namun, Abet menghentikan langkah Harits. "Boy. Hari ini prepare abis-abisan. Besok kita grand opening," ucapnya sambil menyeringai.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top