193 : Halaman Terakhir (END)
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Melodi masih duduk sambil mengamati sekitar. Ia menguncir rambut dan mengeluarkan buku catatan dari dalam kantung cardigan kuningnya. Buku itu berisi tentang keresahan yang ia rasakan. Setiap lara yang mengendap ia keluarkan dalam bentuk tulisan, setiap amarah yang menumpuk ia luapkan menjadi untaian kalimat. Tak terasa waktu sudah mengikis banyak hal hingga kini gadis itu harus menjumpai halaman terakhir dalam catatannya. Masih banyak yang ingin ia utarakan, tetapi rupanya Tuhan punya rencana lain.
Malam tak pernah lagi sama sejak kepergian mu. Waktu seakan berhenti pada satu titik dan enggan melangkah maju. Namun, aku keliru. Bukannya waktu yang berhenti, tapi aku yang tertinggal.
Banyak kepingan penting yang aku lupakan dan tanpa sadar jiwaku ikut terkubur bersama ragamu. Ketika para iblis bersulang merayakan aku yang sekarat, tiba-tiba 'mereka' datang memberi kehidupan. Tangan-tangan yang hangat mengeluarkan ku dari pusara hati. Aku besyukur karena mengenalmu, tapi aku lebih bersyukur karena dipertemukan dengan mereka.
Pena itu berhenti ketika Melodi menatap Harits yang sedang duduk mengipasi sate pesanan pelanggan.
"Te, sate, sate, sate, sate," ucap Harits dengan logat anehnya. "Te, te, te, te ... eh jadi jorok nyahaha."
Melodi tersenyum menahan tawa, terkadang hal random dari orang itu membuat tawanya tak tahan untuk keluar.
"Becanda mulu lu ah!" timpal Deva. "Jadi kagak konsen gua nyeduh minuman."
"Ampun mbah dukun," balas Harits. "Jangan santet aku dengan rambutmu yang indah itu nyahaha."
Melodi menggeleng. Memang, Deva gondrong seperti saat ia menapaki kaki di Jogja dahulu, tetapi perawakannya jauh dari dukun yang terkesan urakan.
'Gondrong, ya?'
Jika diingat-ingat, dulu Harits dan Deva tak sedekat itu. Pertama kali mereka tinggal di Jogja, Harits merupakan orang yang tidak disukai oleh Melodi karena sikapnya yang urakan dan terkesan kekanak-kanakan. Hubungan mereka semua kurang baik kala itu. Jika bukan karena Nada yang menjadi jembatan, mungkin sampai saat ini tak akan ada yang berubah. Namun, takdir berkata lain. Waktu merubah segalanya.
"Mantra itu adalah deretan bait yang mengandung sihir, ia tidak diturunkan. Kita dipertemukan bukan karena sesuatu di masa lalu, tapi sebaliknya, kita dipertemukan oleh takdir untuk membuat masa depan." Melodi bermonolog sambil menulis kata-katanya barusan.
Di sisi lain Deva yang sedang saling sindir dengan Harits tak sengaja menangkap keberadaan Melodi yang sedang menulis. Entah sejak kapan gadis itu senang menulis, dan tanpa Melodi sadari mungkin saat ini ia lebih terlihat seperti penulis daripada musisi.
Masih melekat hangat kenangan mereka di benak Deva. Ke mana Deva pergi, Melodi selalu ada di sana menemaninya. Mereka sering bermain gitar bersama dan bernyanyi saling mengungkapkan rasa lewat lagu.
Entah sudah berapa lama pria gondrong itu tak pernah lagi memegang gitar. Baginya, saat jemarinya menggetarkan senar, suara alunan itu membuatnya sakit. Entah, bukan penyakit medis. Gitar itu jujur, ia tak pernah bohong, apa yang dimainkan adalah apa yang dirasakan. Deva tak pernah baik-baik saja sejak ia kehilangan Melodi dari hidupnya.
Namun, kini Deva menyadari bahwa selama ini ia telah salah arah. Ia terlalu fokus pada sesuatu yang hilang, sehingga Deva tak pernah memiliki waktu untuk menemukan hal-hal baru. Rupanya kesepian bukan alasan untuk tidak bahagia. Adalah benar, bahwa yang membuat seseorang merasa tidak bahagia adalah dirinya sendiri.
"Muka lu kayak orang idiot!" ucap Deva sambil menggelengkan kepala menatap Harits yang bersin. "Sampe lu bersinin makanan pelanggan, gua cabut otak lu."
"Baiklah Pak Wawasan. Tadi juga bersinnya enggak ke makanan kok," balas Harits.
"Iya sih, tapi lu bersin ke gua bangke!" protes Deva.
"Nyahaha biar lu kena virus."
Banyak hal yang memiliki makna lebih besar dan Deva merasa bersyukur telah menyadari hal itu sebelum terlambat.
"Rits, Cakra mana?" tanya Deva. Melihat pelanggan yang semakin ramai, ia butuh bala bantuan.
"Itu di belakang lu, dodol," jawab Harits.
Deva menoleh, tetapi tak ada siapa pun di belakangnya.
"Nyahaha satu monyet ketipu ulala."
Pria gondrong itu hanya bisa menggeleng sambil sesekali menggaruk kepala.
Di sisi lain Cakra sedang berdialog dengan Nada sambil berjalan menikmati udara malam.
"Udah lama kita enggak jalan gini," ucap Cakra.
Nada mengangguk. Keadaan mendadak canggung. Banyak hal yang berubah, termasuk hubungan mereka berdua.
"Cak ...," panggil Nada lirih.
"Ya?"
"Maaf aku mutusin kamu karena enggak bisa nerima kamu apa adanya. Mendadak kamu jadi orang asing yang kasar, nyeremin, manipulatif ...."
"Maaf aku juga enggak pernah cerita apa-apa soal gangguan jiwaku," balas Cakra.
"Kalo kamu mau, kita bisa mulai semua dari awal lagi."
Cakra tersenyum. "Piring yang udah pecah enggak akan kembali utuh, itu yang aku percaya. Lika-liku kehidupan ini rumit, tapi punya alur yang pasti. Kita jalanin aja apa adanya, Nad. Keputusan kamu waktu itu enggak salah, itu cuma upaya protektif kamu buat ngelindungin hati kamu dari perih yang aku kasih."
"Tapi itu bukan kamu, Cak," balas Nada.
"Aku adalah aku, dan semua yang ada dalam diriku adalah milikku. Jangan ngerasa bersalah, Nad. Kita belum siap buat lanjut. Baik aku yang masih takut nyakitin kamu atau kamu yang mungkin belum bisa nerima sisi lain aku. Kita cuma belum siap."
Nada terdiam mencerna semua ucapan Cakra.
"Enggak perlu ditunggu kapan siapnya, biar waktu yang menjawab. Toh kalo jodoh enggak akan ke mana, kamu pasti pulang ke pelukanku. Kalaupun bukan jodoh, pasti ada manusia yang lebih baik buat masing-masing kita," sambung Cakra.
Nada tersenyum. "Bener, Cakra. Kita ikutin aja alurnya."
Tak terasa langkah mereka berdua kini telah kembali ke tempat di mana yang lain menunggu.
"Woy, Cak! Kalo enggak sibuk bantuin Deva dong, manja bet tuh orang, rewel!" teriak Harits.
Cakra tersenyum. "Otewe!" Sebelum pergi ia menatap Nada. "Nad, inget satu hal ... kamu sama Melodi bukan orang yang sama. Kamu adalah kamu dan Melo adalah Melo. Kamu istimewa dengan apa adanya kamu."
Nada membalas senyum Cakra. "Makasih buat reminder nya, Cakra."
Cakra berbalik arah lalu berjalan cepat menuju Harits dan Deva. Malam ini merupakan malam terakhir Mantra membuka angkringan. Besok mereka sudah mulai fokus untuk lembaran baru.
Suara knalpot cempreng Mamat memecahkan gendang telinga. Jaya turun dari motor bersama dengan seorang gadis berwajah chineese berambut sepanjang bahu. Gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah Iris, pacarnya.
"Wih, makin lengket aja nih," ucap Deva melihat Iris yang sedang berjalan sambil memeluk tangan Jaya seolah pria itu tak boleh pergi ke mana-mana.
"Kamu enggak temenin pacar kamu, Dev?" tanya Jaya.
Deva melirik ke arah Jashinta yang sedang duduk ditemani Sekar.
"Masih sibuk, Jay. Nanti kalo senggang baru ke sana," ucap Deva sambil menyenggol Harits. "Iya, enggak?"
"Iye, iye, iye," balas Harits.
"Saya duduk dulu ya nemenin Iris, capek perjalanan jauh, Bung."
"Silakan," balas Deva.
Jaya berjalan dan duduk di lesehan kosong bersama Iris.
"Enjoy your time!" sambung Harits.
Iris menatap tajam ke arah Harits seolah ingin membunuhnya.
"Mas Harits emang begitu, maklumin aja," ucap Jaya.
"Kenapa kamu manggil dia pake embel-embel 'Mas' sih, Mil?" tanya Iris. "Kamu sama dia seumuran, kan?"
Jaya menggeleng. "Enggak, tuaan saya satu tahun kayaknya."
"Terus kenapa?"
"Ini cerita lama sih, waktu saya nemu keluarga lain selain Peti Hitam. Kamu tau kan kalo saya itu lahir tanpa keluarga? Banyak hal terjadi dalam cerita yang saya lalui."
Iris duduk menyimak. Gadis itu memang agak terlihat seram karena wajahnya yang jutek, tetapi sebenarnya ia adalah pendengar yang baik.
"Dari dulu saya enggak pernah punya temen karena saya tinggal di Hutan Larangan. Anak-anak lain bilang saya itu anak hantu, anak monyet, anak hutan, katanya saya juga bau."
Iris tertawa mendengar cerita Jaya. "Mandi makanya, Emil."
"Udah, tapi tetep bau," balas Jaya.
Iris menjadi pusat perhatian karena tawanya yang cukup kencang. Pada satu titik ia berhenti tertawa. "Kamu malu enggak sih punya pacar kayak aku?"
Jaya menggeleng. "Sama sekali enggak."
"Terus, terus, aku mau denger lagi. Gimana lanjutan kamu si anak hutan yang bau itu?"
Jaya kembali mengenang masa lalu. "Selain saya yang katro, ternyata begitu pindah ke Jogja si Mamat juga jadi sorotan. Baru hari pertama masuk saya udah dijauhin. Ya, beda sih, enggak ada yang ngatain, tapi semua orang seakan enggak mau bergaul aja sama saya. Terus ada satu orang yang mau ngobrol meskipun saya tau dia juga agak gimana gitu sama saya. Tuh orangnya." Jaya menunjuk Melodi.
"Terus jadi deket?"
Jaya menggeleng. "Dulu saya suka sama dia. Di luar dia yang mau ngobrol sama saya, saya juga suka cantiknya dia ...." Pria itu berhenti ketika melihat wajah datar Iris. Sontak ia mencubit pipinya. "Itu kan dulu, sekarang saya cuma suka sama kamu. Masih mau lanjut enggak?" Iris mengangguk sebagai jawaban.
"Pada satu momen, saya punya kesempatan buat nganterin dia pulang. Waktu itu saya seneng bukan main bisa nganterin dia, tapi ternyata ada hal lain yang membuat saya merasa enggak nyaman."
"Apa?" tanya Iris.
"Dia itu wanita sempurna, tapi masih kerja dan bersusah payah setelah seharian OSPEK. Sementara saya? Waktu itu saya malu sama diri saya sendiri. Begitu pulang, banyak hal yang saya pikirin. Saya mau kerja di tempat itu, tapi saya malu buat ngomongnya."
Iris menggenggam tangan Jaya yang mendadak memasang senyum pilu.
"Meskipun pada akhirnya saya berani buat ngomong dan berakhir penolakan. Bukan hal baru buat saya karena dari awal saya emang selalu sendiri. Saya berpikir, mungkin saya emang enggak cocok dengan dunia di luar Hutan Larangan. Ada satu hal yang buat saya enggak bisa berhenti merinding ... kalo bukan karena Mas Harits, saya enggak akan pernah ngerasain rasanya punya temen, punya keluarga baru, punya kehidupan yang normal. Mas Abet pernah bilang, saya boleh jahat sama semua orang, kecuali Mas Harits. Dia relain separuh gajinya buat bayaran saya. Dia satu-satunya orang yang membela saya padahal dia enggak kenal saya. Makanya sampai sekarang saya menaruh respect sama Mas Harits."
"Di luar wujudnya, ternyata dia baik?" tanya Iris.
Jaya mengangguk. "Manusia paling baik."
"Ekhm! Ekhm! Ekhm!" Harits berdehem sambil mencuri-curi tatap ke arah Jaya.
Jaya hanya bisa terkekeh. "Meskipun lebih sereng ngeselin sih." Jaya bangkit dari duduknya. "Saya bantu mereka dulu ya, kamu gabung aja sama Jashinta dan Sekar."
"Oke." Iris beranjak dan membaur dengan kedua gadis itu.
Ketika Jaya datang membantu, sebenarnya Harits ingin bertukar tempat. Ia ingin beristitahat sejenak, tetapi Rinjani muncul dan menghampiri Kevin yang sedang menusuk sate untuk dihabiskan malam ini.
"Vin, ada waktu enggak sebentar?" tanya Rinjani.
Harits menghela napas, ia menepuk pundak Kevin. "Sono lu, biar gua yang urus."
Kevin mengangguk, ia meninggalkan posisinya untuk berbincang dengan Rinjani. Mereka menggunakan spot Jaya dan Iris beberapa waktu lalu.
"Vin, makasih banyak buat semuanya ya."
Kevin mengerutkan kening.
Rinjani tersenyum sambil mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. "Tadaaaaa!"
Pria tampan itu tersenyum ketika tahu bahwa buku itu merupakan sebuah skripsi.
"Udah beres semua, tinggal nunggu wisuda deh." Rinjani tampak senang sekali.
"Selamat ya," ucap Kevin yang ikut merasa senang.
"Oh iya!" Rinjani mengeluarkan satu barang lagi dari dalam tas. "Ini buat kamu. Semoga muat dan semoga suka."
Kevin mengambil sebuah bungkusan kado yang Rinjani berikan.
"Kalo penasaran buka aja," ucap Rinjani.
Kevin pun mengikutinya, ia membuka kado tersebut. Ditatapnya sebuah jaket outdoor berwarna biru dongker.
"Itu jaket yang biasa dipake sama pendaki gunung. Kalo nanti kamu dateng ke Lombok dan naik ke Gunung Rinjani, kabarin aku. Aku siap nemenin ke puncak."
"Lombok?" Kevin memicing.
Rinjani mengangguk. "Iya, selesai kuliah aku pulang ke Lombok. Makanya aku kasih kenang-kenangan sekaligus hadiah ucapan terimakasih udah bantuin skripsian."
Kevin memang pendiam, tapi kali ini ia ingin bicara. Namun, semuanya tertahan di bibir dan terlalu rumit untuk dikeluarkan. Entah, rasanya lebih mudah mengeluarkan air mata saat ini.
"Vin, kamu enggak kenapa-napa, kan?" tanya Rinjani.
Lagi-lagi ia ingin bicara, tetapi tak bisa. "A-a-a ...."
Gadis itu mengerutkan kening. "A?"
Rinjani bukan siapa-siapa baginya, tetapi mengetahui tak akan ada lagi perjumpaan selanjutnya membuat dunia Kevin berputar.
"Vin, kamu sedih ya aku tinggal?" tanya Rinjani dengan wajah meledek.
"Ka-kamu ke sini lagi, kan?!" ucap suara berat Kevin yang akhirnya terbebas.
Rinjani tersenyum tak kalah sendu, ia tak bicara dengan bibirnya, hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Pada satu titik, ia terlihat mengusap mata. "Vin, aku pergi dulu."
Namun, tangannya tertahan, sebab Kevin menariknya. "Tunggu."
Rinjani merasakan hal yang sama dengan yang Kevin rasakan saat ini. Sebenarnya pun ia memendam rasa pada pria tampan itu. Ia pikir akan mudah berpisah dengan pria itu, tetapi melihat Kevin yang ingin menangis, Rinjani pun tak dapat lagi membendung sedihnya. Karena tak ingin terlihat menangis, Rinjani hendak pergi bersembunyi. Namun, saat ini dengan pasrah ia menunjukan sedihnya di depan Kevin.
"Tunggu aku, aku pasti datang," ucap Kevin. Satu tangannya menghapus air mata Rinjani yang luruh. "Nanti kita sama-sama nikmati matahari terbit di puncak Rinjani," ucap Kevin.
Rinjani menatap Kevin dalam-dalam dengan sepasang mata berkacanya. Ia tersenyum. "Aku tunggu."
Kini Kevin menatap Deva dan yang lainnya. Ia seperti ingin meminta izin untuk pergi.
"Sana," ucap Cakra yang lihai membaca situasi. "Anterin dia pulang. Santai aja sama yang di sini, banyak orang kok."
"Hus, hus! Nyahaha."
"Udah nangisin anak orang harus berani tanggung jawab," ucap Deva. "Sono lu."
Kevin tersenyum, masih menggandeng tangan Rinjani ia berjalan melewati barisan gadis patah hati.
Di sisi lain Melodi masih duduk mengamati rekan-rekannya bekerja dan juga para pelanggan yang sedang membunuh waktu di angkringan Mantra.
"Harits sama Sekar, Jaya sama Iris, Deva sama Jashinta, Kevin sama Rinjani. Kamu gimana sama Cakra, Nad?"
Dari kejauhan Nada melihat Cakra yang sedang bekerja, belakangan ini ia dekat dengan seorang gadis bernama Johana. Mereka berdua sama-sama dari jurusan Psikologi UGM dan saling terikat di pekerjaan sampingan Cakra sebagai asisten Ajeng.
"Sekarang kita masing-masing," jawab Nada. "Toh, ada cewek yang lebih baik buat dia."
"Siapa?" tanya Melodi. "Siapa cewek yang lebih baik daripada kembaran aku?"
"Johana namanya."
"Kamu enggak cemburu?" tanya Melo.
"Enggak kok, kalo emang nyatanya ada gadis lain yang jadi matahari buat Cakra ya oke aja selama itu baik buat dia," balas Nada.
Melodi mengusap punggung Nada. "Nanti kalo emang jodoh juga enggak ke mana kok, dia pasti pulang, tapi kalo bukan dia, yang terbaik datang di waktu yang tepat."
Nada tersenyum. "Betul itu!"
"Sekarang semua udah pada nemu bahagianya masing-masing, tinggal kita doang, Nad."
"Pembaca pasti seneng, Melo. Kita yang paling sering bikin orang patah hati, dan sekarang cuma kita yang kelihatan patah hati."
"Tapi enggak apa-apa, kamu masih punya aku," balas Melodi.
Nada tersenyum. "Kamu juga masih punya aku kok."
"Woy, monyet kembar! Bantu closing tuh gantian, malah ngobrol!" teriak Harits.
Nada menyenggol Melodi. "Kamu dikatain monyet tuh sama si lutung." Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Cakra. "Otewe."
Keadaan mendadak senyap untuk Melodi. Semua seakan bergerak lambat tanpa suara. Rasanya dingin, rasanya sepi. Mendadak ia ditikam rindunya sendiri. Melodi mencengkeram lengannya menahan perih di dada.
"Aku penasaran, saat ini kamu lagi ada di mana sih? Alam barzah atau ada di samping aku? Mungkin udah terlambat, tapi aku mau bilang aku kangen kamu, Po. Kangen kamu ganggu, kangen kamu kasih mawar, kangen kamu panggil Alunan, kangen tingkah bodoh kamu, kangen kamu berkeliaran di sekitar aku ...." Melodi bermonolog. "Makasih buat semuanya, dan maaf karena telat jatuh cinta. Kalo seandainya dikasih kesempatan buat meluk kamu, mungkin enggak akan aku lepas lagi"
Nada melambaikan tangan ke arah Melodi. "Melo cepet! Bantuin aku rapihin bakaran."
Melodi tersenyum. "Yah, inilah hidup. Enggak selamanya kita akan selalu ada di titik yang sama. Sebentar lagi aku sama anak Mantra mau memulai semuanya dari awal. Aku harus pergi." Gadis itu menulis kalimat akhir pada lembar terakhirnya.
Generasi penerus Mantra sudah berakhir bersamaan dengan halaman terakhir di buku ini. Mulai saat ini kami adalah Mantra itu sendiri. Kami bukan hadiah dari masa lalu, kami adalah masa kini yang akan mengukir masa depan.
Melodi menutup bukunya dan berlari ke arah Nada. "Otewe!"
***
Malam semakin malam, semuanya sudah habis tak tersisa. Harits duduk berselonjor di teras rumah.
"Gimana kabar bayi Mantra?" tanyanya pada Deva.
"Udah siap huni, paling tinggal beberes dikit terus mulai belanja mesin, bahan baku, sama perintilan," jawab Deva.
"Kalo bisa sebelum abis bulan udah clear, jadi awal bulan udah bisa opening," balas Harits.
"Enggak sabar lu ya?"
Harits terkekeh. "Semuanya pasti udah enggak sabar."
"Ngobrolin apaan sih?" Cakra datang, ia langsung duduk di antara Harits dan Deva.
"Masih sabar enggak lu?" tanya Harits.
"Enggak," jawab Cakra.
Harits menatap Deva. "Noh, kan."
"Kalo lu mau nginep mah besok juga udah bisa kali, cicil-cicil aja pindahan kalo mau," ucap Deva.
"Gimana, Cak? Mau nyoba nginep enggak?" tanya Harits
"Boleh, besok yak."
"Berkabar, sekalian gua suruh Radhi ikut ke sana buat cek lokasi. Dia belum sempet ke sana-sana," ucap Deva.
"Tapi mau dia bantu-bantu desain tempat?" tanya Cakra.
"Mau-mau aja dia mah, sekalian gua minta buat postingan buat opening awal bulan nanti," jawab Deva.
Melo dan Nada tak ikut perbincangan itu, tetapi mereka mendengarkan.
"Kamu kenapa, Nad?"
Nada tersenyum dan menggeleng seolah tak apa-apa. Padahal, setiap meruju pada topik pindah, mendadak wajah gadis itu terlihat murung. Melodi mengusap punggung Nada.
"Enggak apa-apa, semoga di tempat baru ini lebih baik daripada di Casa Grande dulu," ucap Melodi.
"Ya, semoga," balas Nada.
***
Amerika
Beberapa hari setelahnya ...
Surya sedang duduk di pinggiran kota New York menatap langit senja di atas patung Liberty.
"Mikirin apa?" Dewi muncul dan duduk di sebelahnya.
"Banyak hal," jawab Surya.
Putri tunggal Gemma Martawangsa itu menatap tangan Surya yang sedang menggenggam ponsel. Biasanya pria itu sangat jarang memegang ponsel jika tak ada hal genting.
"Ada info apa?" tanya Dewi yang khawatir.
"Dapet kabar dari Deva, Kevin, sama Nada. Mereka mau opening kafe baru di Jogja."
"Bukannya mereka udah punya Mantra Coffee?"
"Sempet ada insiden yang bikin mereka tutup, sekarang baru mau mulai lagi."
"Pas banget momennya, kamu mau pulang, kan?"
Surya tersenyum. "Tugasku di sini hampir selesai, malah udah bisa dibilang selesai."
Gadis itu tertunduk. "Bakal kangen sama kamu." Ia menyandarkan kepalanya di bahu Surya.
"Semangat kuliahnya," ucap Surya. "Aku tunggu kamu di Indonesia."
"Kamu gimana? Selama ini yang orang tau kamu itu kuliah. Nyatanya kamu cuma nemenin aku aja sama ngurusin orang itu. Dari awal kamu enggak pernah ambil study di Amerika ...."
Surya mengusap kepala Dewi. "Santai aja, itu urusan nanti. Biar aku urus sendiri."
Dewi terlihat murung. "Boleh aku minta sesuatu sama kamu?"
"Apa?" tanya Surya.
"Kalo nanti pulang, sering-sering pegang hape ya," pinta Dewi.
"Iya, nanti aku lebih sering liat hape." Surya beranjak dari duduknya. "Yuk, udah sore. Masih ada tempat yang harus kita kunjungin." Mereka berdua pergi sambil bergandengan tangan.
Surya dan Dewi pergi menunggangi taxi. Mobil itu melaju dengan kecepatan normal hingga pada satu titik berhenti di depan rumah sakit besar.
Sesampainya di tujuan, Surya dan Dewi turun, mereka segera masuk ke dalam sana. Tak banyak obrolan di antara mereka berdua sampai langkah kaki mereka berhenti serentak di depan sebuah kamar pasien VVIP. Surya membuka pintu, ditatapnya seorang pria yang berdiri membelakanginya sedang menatap keluar jendela. Dari pantulan samar di kaca jendela, rasanya tatapan pria itu seperti burung yang ingin bebas dari sangkarnya.
"Gimana keadaan lu?" tanya Surya.
Pria itu menoleh sambil tersenyum. Ia tak banyak omong, hanya melakukan sedikit gerakan tinju dan melompat tiga kali seolah sedang berkata aku baik-baik saja.
"Sebentar lagi kita pulang, gimana perasaan lu setelah hampir tiga tahun?" tanya Surya.
Pria itu terkekeh tak bisa menahan bahagia.
Surya tersenyum melihatnya yang kembali ceria, ia berjalan hingga berdiri sejajar dengan orang itu.
"Gua pikir lu udah tau jawabannya," jawab pria itu. "Aaaaaaa ... udah lama banget rasanya."
.
.
.
Author Note's
Jadi karena di Wattpad cuma bisa nampung 200 Chapter, dan kebetulan kuota tersebut habis. Jadi untuk kelanjutan Mantra Coffee Next Generation ini bakalan bersambung ke judul baru yang kayaknya mau aku namain Mantra Coffee Origin.
Why bukan Mantra Coffee Next Generation Season 2?
Kek terdengar biasa aja gitu nyahahaha! Klise.
Sesimpel pertanyaan 'Kenapa Mantra Coffee aku tambahin embel Classic di judulnya?'
Classic itu merujuk ke sesuatu yang lawas, tapi enggak ketinggalan zaman. Aku sengaja memberikan embel itu karena memang begitulah Mantra Coffee era Dirga di mataku. Jadul, tapi enggak alay. Meskipun lawas dan banyak kesalahan kepenulisan, aku berani bilang kalo cerita ini lebih berkesan daripada Next Generation.
Sementara Origin memiliki arti 'asal' yang aku filosofikan sebagai asal muasal Mantra. Di Mantra Coffee Next Generation emang Deva dan kawan-kawan ini seakan bawaan dari Mantra Classic, mereka enggak lepas dari bayang-bayang orang tua mereka dan di Origin ini mereka adalah versi original mereka sendiri tanpa ada bayang-bayang masa lalu. Konflik-konflik selama ini yang menguatkan hubungan antar karakter dan membuat mereka sadar bahwa mereka adalah keluarga.
Ya gitu doang sih paling pengumumannya. Jadi chapter 193 ini bisa dibilang jadi ending Mantra Coffee Next Generation bukan secara harfiah, tapi akhir dari bayang-bayang era Mantra Coffee Classic. Emang takdir yang mempertemukan mereka dari hubungan Mantra Classic, tapi intinya mereka sendiri yang memutuskan takdir mereka, dan Mantra Coffee Origin inilah jawabannya.
Stay tune aja ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top