191 : Sadar

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Tak seperti minggu pagi pada normalnya. Harits menatap datar lurus ke depan. Tepat di sebelahnya berdiri gadis rambut pendek bersarung tangan hitam. Mereka sama-sama berdiri di belakang stand Mantra Coffee.

"Lu ngapain si?" tanya Harits. Ia sama sekali tak menoleh ke arah Nada.

Persis seperti Harits, ekspresi Nada datar menatap lurus ke depan. "Ceria dong, biar ada yang beli."

"Kayaknya yang kurang ramah itu muka lu dah." Pada akhirnya pria itu menoleh sambil memicing. "Lu ngapain?"

"Bantu kamu," jawab Nada singkat. Wajahnya berubah ketika seorang pelanggan pria datang. "Selamat pagi," sapa Nada.

Pelanggan itu agak salah tingkah disapa gadis cantik. "Pa-pagi."

"Selamat datang di Mantra Coffee, mau pesan apa, Kak? Ini daftar menunya." Nada menunjukan daftar menu yang terpampang di atas stand.

Harits menganga. Biasanya Nada itu pemalu dan tidak seperti apa yang ia lihat barusan. Gadis itu dengan cerianya menyapa pelanggan menampilkan wajah dan logat yang terdengar ramah.

"Latte. Less sugar less ice ya, mbak," pesannya.

"Ditunggu ya." Nada segera menyiapkan gelas plastik dan mengambil es batu. "Satu Ice Latte!" ucap Nada pada Harits.

"Ini kan dagangan gua, lu ngapain sih? Profitnya enggak cukup kalo buat berdua."

Nada tersenyum. "Aku enggak butuh bayaran."

"Lah, terus?" tanya Harits heran. Meskipun ia bingung dan merasa agak aneh dengan keadaan ini, tetapi Harits tetap berusaha profesional dan membantu Nada membuatkan satu pesanan latte.

"Aku cuma mau bantu kamu aja."

"Dalam rangka?"

Mendadak wajah Nada terlihat sedih, tetapi ia masih berusaha memasang senyum. "Maaf ya ... waktu itu lebih milih bubar."

Harits menuang latte yang ia buat di gelas takar ke gelas plastik berisi es batu. "Semua orang punya jalannya masing-masing, santai aja kali. Gua begini karena gua suka dan karena keadaan."

"Keadaan?" Kini giliran Nada yang heran.

Harits terkekeh. "Enggak apa-apa kok."

Satu pesanan latte telah selesai dibuat. Harits memberikan pesanan itu pada pelanggannya. Setelah itu masih belum ada pelanggan lain, mereka pun duduk santai di pinggir trotoar.

Suasana di antara mereka agak canggung. Tak ada obrolan yang terlontar hingga pada satu titik rasa penasaran Nada muncul.

"Kalo ada masalah cerita aja," ucap Nada.

"Masalah apa?" tanya Harits yang sibuk menatap layar ponsel.

"Tentang keadaan yang kamu bilang tadi?"

"Orang enggak ada apa-apa dan enggak kenapa-napa kok," jawab Harits.

"Ya udah, maaf udah nanya-nanya. Bagus deh kalo baik-baik aja," balas Nada.

Harits menghela napas. Ia tak tahan dengan jurus gadis yang satu ini.

"Gimana ya, beda sama kalian yang punya orang tua kaya, kehidupan ku itu pas-pasan. Kalian enak, bisa milih mau jadi apa, tapi enggak sama aku. Ya, aku bisa milih sih, tapi enggak ada jalannya, cuma milih doang nyahahaha. Ayahku gajinya pas-pasan, cukup buat menghidupi keluarga, tapi enggak lebih. Jadi ya aku yang harus tau diri sebagai anak. Kalo mau sesuatu yang lebih ya berusaha."

Harits yang awalnya menggunakan bahasa lu-gua, mendadak berubah. Terkadang jika lawan bicaranya memulai dengan aku-kamu, ia sering kali terbawa.

"Jadi kamu jualan buat nambah penghasilan?"

Harits mengangguk. "Aku kehilangan pengelihatan batin, aku udah enggak bisa jadi pemburu hantu. Jadi cuma ini jalannya. Kalo Mantra harus tutup, seenggaknya aku enggak akan biarin Mantra bener-bener mati. Karena selama ini aku hidup dari Mantra."

"Kalo konotasi kamu uang, kamu kan bisa kerja di kafe lain. Dengan kemampuan kamu dan pengetahuan kamu perihal kopi, aku yakin gajinya juga lebih besar daripada kamu jualan sendiri kayak gini. Kamu enggak harus mikirin semuanya kayak stok bahan baku, pengeluaran, pemasukan, dan printilan lain," balas Nada.

"Bisa sih, tapi buat apa? Pada akhirnya aku cuma akan resign tanpa ninggalin apa pun. Mantra itu beda sama kafe lain, Nad. Kopi yang disajikan di sana itu enggak sekadar minuman, ada cerita di setiap cangkirnya. Kita mendengarkan, kita memahami, itu bedanya Mantra sama tempat lain."

"Kalo gitu ayo kita bangun Mantra lagi? Kita buat Mantra kita sendiri."

Harits mengerutkan kening. "Hah?Gimana?"

Nada terkekeh. Ia bangkit dan membenarkan apronnya yang berantakan. "Nanti kita pikirin." Beberapa pelanggan datang dan menyibukkan mereka kembali.

Harits tersenyum tipis sambil mengambil ponselnya. Ia memotret Nada dari belakang dan mengunggahnya sebagai story dengan caption, 'Si rusuh'.

Ia tak akan pernah mengira, bahwa dari satu tindakannya dapat merubah banyak hal.

***

Mentari semakin naik, Harits dan Nada mulai keteteran menghadapi antrean yang membeludak. Pria bertopi biru itu agak bersyukur hari ini ada Nada yang membantu.

"Biasanya emang rame kayak gini, Rits?"

"Kagak, ini hari paling rame sepanjang sejarah gua buka di sini dah," jawab Harits.

"Untung ada aku," balas Nada.

Harits tak berkomentar, ia menangkap kehadiran beberapa pemuda-pemudi yang mengenakan almamater UGM. Terbesit sebuah pertanyaan dalam benaknya. 'Ada acara apaan nih anak-anak UGM?'

Dari kejauhan seorang pria gondrong dikuncir berjalan diikuti belasan orang. Melihat orang itu, Harits menyeringai. "Edan," gumam Harits.

Pria itu adalah Deva yang berjalan memalai jajaran Dewan BEM. Ia membawa alat pengeras suara. Pria gondrong itu sedang mengkampanyekan gerakan berdayakan UMKM dengan sebuah tag #DariKitaUntukKita.

Pada satu titik, Deva melewati stand Mantra Coffee. Ia dan Harits saling beradu tatap dalam tayangan lambat, tetapi tidak saling menegur. Hanya melempar seringai.

Ini bukanlah program kerja, Deva hanya tak sengaja melihat story Harits yang di mana ada gambar Nada sedang membantunya. Ia pun tergerak membuat sebuah story yang berupa ajakan untuk meramaikan Sunmor di kampus UGM. Karena memiliki followers yang mayoritasnya para penghuni UGM, akhirnya para pemuda ini pun memutuskan untuk bergerak. Barulah timbul usulan dadakan dari beberapa rekan Dewan untuk membuat gerakan ini menjadi sebuah gerakan nyata yang berdampak baik untuk banyak pihak, termasuk para pedagang di Sunmor dan citra BEM itu sendiri. Deva tak terlalu peduli dengan motif apa pun di balik gerakan ini, ia hanya ingin membantu Mantra dengan caranya sendiri.

Namun, rupanya hari ini Sunmor ramai bukan hanya karena pergerakan Deva. Pria gondrong itu tersenyum ketika ada sebuah notifikasi muncul di ponselnya. Isi dari notifikasi itu adalah live dari seorang Melodi Regita Mahatama yang sempat menghilang beberapa hari dari dunia maya. Hari ini Melodi kembali muncul dan langsung melakukan sebuah siaran langsung.

"Gaesss, hari ini aku lagi jajan di Sunmor nih. Yuk merapat! Sekalian nyanyi bareng."

Melodi berjalan dengan gitar akustiknya, ia berhenti di depan sebuah stand dan meletakkan tripod untuk kebutuhan live.

"Izin buat konten di sini ya," ucap Melodi.

Harits tersenyum dan mengangguk. "Silakan."

Berbondong-bondong followers Melodi pun ikut berkumpul meramaikan Sunmor, terutama para penggemar prianya. Namun, di tempat ini selain pria, banyak juga para wanita yang tersipu malu sambil berbisik-bisik melihat seorang pria tampan yang tiba-tiba ikut andil di belakang stand Mantra Coffee.

"Yo," sapa Harits pada Kevin.

Kevin hanya berdiri menatap Harits dengan senyum tipis. Saat ini Kevin sedang mengikuti Deva dengan almamaternya.

"Edan!" umpat Harits. "Kekuatan tiga orang aja bikin Mantra jadi rame begini, enggak abis pikri."

"Pikir, Harits," balas Nada.

"Lah, suka-suka. Gua maunya pikri."

"Jangan bercanda mulu, ini orderan kita melimpah, Harits," sambung Nada.

"Karena rame begini, butuh personil tambahan, kan?" ucap suara berat yang terdengar ramah.

Harits dan Nada menoleh, ditatapnya Cakra dan Jaya yang kebetulan datang bersamaan.

"Waktu itu lu ngajak gua gabung, kan? Sorry telat, gua baru bisa gabung sekarang," ucap Cakra.

Harits tertawa melihat Cakra, ia meninggalkan stand dan merangkul orang itu. "Udah waras lu, Cak?"

Cakra terkekeh. "Kan emang enggak gila dong."

"Mas, kalo lagi buat kopi jangan ditinggalin mendadak gini dong. Nanti kesan ke pelanggannya jadi jelek gara-gara kinerjanya lambat. Kan situ yang ngajarin dulu, jangan jilat ludah sendiri dong."

Harits menggeleng. "Udah pinter lu sekarang, Jay?"

Jaya terkekeh. "Dari dulu."

Semua berkumpul dan membantu dengan caranya masing-masing. Perhatian kecil Nada dan pergerakan Harits yang pasif menimbulkan sebuah efek samping yang tak terduga. Di tengah kehangatan itu ....

"Stok kopi abis," ucap Nada. "Gelas juga tinggal dikit sama es batunya enggak cukup buat back up orderan yang udah masuk."

Semua diam mematung, berbeda dengan di Mantra dulu yang memiliki banyak logistik. Di stand kecil ini Harits tak menduga akan datang orderan sebanyak hari ini.

"Perintilan lain gimana?" tanya Cakra.

"Susu sama sirup rasa masih cukup, kopi buat basenya aja yang abis," jawab Nada.

Melodi menghentikan permainannya, ia menyandarkan gitar di stand Mantra, lalu berjalan cepat mengejar Deva yang agak jauh dari posisi mereka.

Deva terkejut ketika lengannya ditarik mendadak. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah orang yang menarik lengannya ternyata Melodi.

"Temenin aku belanja stok bahan baku," ucap Melodi.

Deva mengerutkan kening. "Hah? Kenapa aku?"

"Udah cepetan!" Melodi menarik Deva.

Pria gondrong itu tak punya pilihan lain selain mengikuti Melodi yang berjalan agak cepat sambil menariknya.

"Kan ada yang lain, kenapa harus aku? Aku lagi ngobrol sama anak-anak BEM," ucap Deva.

Melodi masih berjalan tanpa menoleh. "Dulu, kita yang paling sering belanja bahan baku. Kalo aku ngajak orang lain sih bisa aja, tapi kalo bareng kamu aku pikir secara waktu lebih efisien. Kita udah tau harus beli di mana, beli apa, dan tau harga."

"Mel, sekarang aku udah punya pacar. Nanti dia cemburu."

Melodi menghentikan langkahnya, ia baru menoleh ke arah Deva.

"Udah tau," jawab gadis itu.

"Mel ...."

"Satu tambah satu berapa?" tanya Melodi memotong Deva yang hendak bicara.

"Dua," jawab Deva.

"Terus dikurang satu?"

"Ya satu. Kenapa sih?" tanya Deva heran.

"Ya gitu, hubungan kita sekarang cuma sebatas satu ditambah satu dikurang satu," jawab Melodi.

Deva menggaruk kepala. "Aku enggak paham."

"Kita itu awalnya cuma temen, terus hubungan kita berkembang jadi pacar. Setelah kita putus ya ibaratnya dua dikurang satu. Enggak ada angka tiga, empat, dan seterusnya. Kita enggak jadi mantan, musuh, atau apa pun itu. Kita cuma kembali ke fase sebelumnya, temen."

Deva tersenyum. "Ya, enggak salah sih."

"Bilangin pacar kamu enggak usah cemburu. Aku suka cowok lain dan kamu udah suka cewek lain. Kalo masih cemburu juga, kenalin ke aku orangnya biar kita temenan. Biar dia tau kalo dia lebih pantes buat kamu dan aku seneng kalian sama-sama."

"O-oke."

"Ya udah ayo cepet! Nanti Harits marah."

Mereka berdua melewati stand Mantra. Melo menahan Cakra dan Jaya yang hendak pergi untuk membeli bahan baku. "Tunggu di sini, biar aku sama Deva yang beli."

"Mau beli apaan emang?" tanya Jaya.

"Kopi bubuk campur, gelas plastik sama es batu. Ada lagi?" tanya Melodi kembali.

"Es batunya enggak usah, biar aku cari di warung deket sini aja." Cakra mengambil dompet dan mengeluarkan uang untuk biaya bahan baku dari Harits, tetapi begitu ingin memberikan uang tersebut, Melodi dan Deva sudah menghilang dari pandangan Cakra.

"Lah, ini duitnya sama gua. Gimana sih?"

"Ya udahlah, kita juga harus gerak cepet, Cak," ucap Jaya.

"Yuk." Cara dan Jaya pergi untuk membeli es batu di warung terdekat.

"Cukup buat berapa cup lagi?" tanya Harits pada Nada.

"Sekitar lima belas mungkin," jawab Nada. "Semoga aja Melodi sama Deva cepet."

"Mereka lebih dari cepet kok, tenang aja," balas Harits. "Dibanding chemistry kita semua, mereka berdua itu yang paling tinggi."

Ketika Melodi Deva dan Cakra Jaya pergi untuk membeli kekurangan yang ada, Harits, Nada, dan Kevin sibuk di belakang stand membereskan sisa orderan. Begitu tersisa dua cup, mereka bertiga saling berpandangan.

"Melo sama Deva belum dateng, ya?" tanya Cakra yang baru saja tiba membawa beberapa bongkah es batu.

"Sini, saya ancurin dulu es batunya." Jaya mengambil bongkahan itu dan menghancurkannya.

"Apa close order aja ya?" tanya Nada. "Kayaknya lama nungguin mereka."

"Jangan," jawab Harits. Ia menyeringai ke arah deretan pelanggan. Dari ujung barisan belakang, Deva berlari membawa dua item yang ia beli, tentu saja disusul Melodi di belakangnya yang tertinggal jauh. "Ini baru dimulai." Mereka semua bekerja sama untuk Mantra Coffee.

Dengan toko sekecil ini dan juga jumlah pembeli yang meledak tak membuat mereka semua terlihat tertekan. Sebaliknya, mereka justru terlihat menikmati ini semua.

***

Rintik hujan perlahan menjelma deras. Untungnya mereka semua sudah tutup toko dan singgah di kontrakan Deva. Harits sedang sibuk menghitung keuntungan besar hari ini.

"Tadi total belanjaan lu berapa, Poy? Belum masuk pengeluaran nih," ucap Harits.

"Udah, enggak usah," jawab Deva yang sedang bersandar di sofa.

"Lah, enggak bisa gitu."

"Lu simpen aja semuanya," balas Deva. "Kalo perlu barang-barang toko taro aja di sini. Daripada lo bolak-balik Jalan Magelang, mending di sini aja deket. Nanti ada gua, Kevin, sama Cakra yang siap bantu."

"Lah, gua enggak enak lah gila," balas Harits.

Deva tampak sedang berpikir. "Gua berubah pikiran ...."

"Tentang?" tanya Harits.

"Gua pikir-pikir BEM itu ada periodenya, tapi persahabatan itu selamanya. Gua kepikiran buat bantuin lu tanpa bayaran. Kalo lu masih mau buka coffeeshop, gua siap bantu. Kalo lu serius, lu tabung semua keuntungannya buat modal toko."

"Gila lu, Drong! Butuh waktu berapa lama?"

"Gua bantu pake penghasilan gua nge-jam sama dari adsense deh," celetuk Melodi.

"Saya juga bisa bantu dari penghasilan saya. Gini-gini kan saya abdi negara," sambung Jaya.

"Waktu kita semua pisah dan bagi hasil, aku masih nyimpen uangnya kok. Itu juga bisa dipake," balas Nada.

"Sama," jawab yang lain. Rupanya mereka semua tak pernah menyentuh uang bagi hasil Mantra selama ini.

"Gua sih sebetulnya masih dalam pengawasan psikiater, tapi gua diizinin buat jadi asistennya Bu Ajeng biar sekalian mempermudah kontrol. Mungkin dari situ juga gua bisa bantu financial Mantra buat bangkit," timpal Cakra.

"Keberatan enggak lu kalo kita bantu?" tanya Deva. "Gua paham, selama ini lu udah berjuang sendirian. Kalo kita semua dikasih kesempatan buat memperbaiki, yaaa kita akan gunain itu semaksimal mungkin sih, tapi kalo pun enggak ya itu keputusan lu."

Harits tak menjawab, ia menarik topinya ke bawah sehingga matanya tertutup. Tubuhnya perlahan bergetar. Ia tak pernah menduga bahwa teman-temannya akan berkata seperti itu.

"Dulu gua milih enggak lanjut gara-gara mau fokus ke musik, tapi nyatanya gua jadi lebih enggak produktif setelah Mantra bubar. Di sisi terdalam hati gua, ada yang hilang," ucap Melodi.

"Sepi, enggak punya temen ngobrol," ucap Kevin.

Semua memicing menatapnya. "Lu bukannya lebih suka diem?" tanya Cakra.

"Suka diam bukan artinya enggak suka komunikasi. Meskipun lebih banyak diam, aku senang mendengarkan candaan kalian," jawab Kevin.

"Pfftt ... baku banget ngomongnya kayak robot," celetuk Melodi.

"Lebih parah dari saya jatohnya," timpal Jaya.

"Nah, udah lama kita enggak kayak gini ya?" tanya Deva yang terkekeh. Ia kembali menatap Harits. "Jadi gimana, Bos?"

Harits masih tak menjawab. Sebab itu Nada mendekat. "Jangan ditanya dulu, dia lagi ngangis tau."

"Emang iya lu lagi nangis, Cel?" tanya Melodi.

"Kagak lah bego," balas Harits sambil sesekali menarik ingus yang meler.

Deva beranjak dari posisinya dan berjalan ke arah Harits, semuanya mengikuti pria gondrong itu untuk merapat dan saling merangkul.

"Gimana, Cel?" tanya Melodi.

"Tapi jangan tinggalin gua sendirian lagi. Meskipun sering menyendiri, tapi gua sebenernya enggak suka sendirian, bangsat!" balas Harits.

Semua tertawa mendengar ocehan Harits.

"Ya udah, mulai dari sekarang juga kita harus saling cari info tempat dan harga. Kalo bisa, satu semester ini kita gunain buat cari modal. Lebih cepet lebih baik," ucap Deva.

"Saran gua sih, kalo untuk Mantra Coffee sendiri, kayaknya bakal lama kalo cuma ngandelin Sunmor. Gimana kalo tiap malem kita buka angkringan kopi gitu?" usul Cakra.

"Ide bagus tuh, gimana menurut, Mas Harits?"

Harits membuka topinya, ia menatap Jaya dan Cakra dengan mata sembab. "Ide bagus."

"Ya udah, berarti yang lagi enggak sibuk bisa bantu-bantu. Yang sibuk enggak apa-apa fokus aja dulu, untuk sementara ini enggak apa-apa kita mencar, nanti akhir semester kita kumpul full team lagi buat laporan."

Semua menatap Deva sambil menganggukkan kepala tanda setuju.

Harits menyodorkan tangannya ke depan. "Satu untuk semua, semua untuk satu."

Deva ikut menjulurkan tangannya di atas tangan Harits. "Mantra untuk semua, semua untuk Mantra."

Semua mengikuti kedua orang itu untuk menyatukan tangan. "MANTRA COFFEE!" teriak Harits.

"Apa balesnya?" tanya Jaya.

"Belum briefing nih, kurang kompak!" balas Cakra.

Harits terkekeh. "Enggak tau nyahaha."

"Ya udah asal aja sih," balas Melodi.

"Ulang ya," ucap Harits. "MANTRA COFFEE!"

"Asjhdaksndjakdaadnj!" balas semuanya dengan kalimat yang tidak jelas.

Mereka semua tertawa bersama menutup pertemuan pada kesempatan kali ini.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top