19 : Sihir
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Sihir adalah hal yang tidak rasional, tetapi sejatinya nyata. Banyak orang berpikir bahwa hal tersebut merupakan dongeng belaka. Sejarah pernah mencatat keberadaan sihir dan para penggunanya.
Sejarah sihir berawal dari kaum Bani Israel pada masa Nabi Sulaiman AS. Seiring berjalannya waktu, sihir mengalami perkembangan secara pesat sehingga mampu mencelakakan seorang yang menjadi targetnya.
Di Indonesia, sihir dikenal dengan ilmu hitam atau guna-guna. Orang yang mampu menggunakan ilmu hitam dikatakan dukun atau peramal. Banyak kejadian mistis di luar nalar manusia yang dilakukan para jin atau setan untuk membunuh target dari sihirnya tersebut.
Nada terdiam menatap pria yang berdiri di hadapannya.
"Yo, apa kabar?" ucap pria itu sambil tersenyum.
"Rizwana ...."
"Luka di tangan kamu, apa masih terasa sakit?"
Nada menatap bekas luka di lengan kirinya. Luka itu adalah luka yang dibuat oleh Rizwana, entah apa yang pria itu lakukan dulu, sehingga membuat Nada sempat kehilangan kesadaran dan mengalami kesurupan.
"Meskipun ini mimpi, kalo kamu yang muncul rasanya bukan mimpi. Apa mau kamu?"
"Ya, begitulah. Ini wujud astral yang menjelajah dunia mimpi," balas Rizwana. "Dalam waktu dekat, kita akan segera bertemu."
Dalam sekejap mimpi itu berakhir, membangunkan Nada dari tidur siangnya. Dilihatnya Melodi yang sedang duduk di sampingnya. "Melo ...," ucap Nada lirih.
"Udah tiga hari ini demam kamu enggak turun," ucap Melodi. "Hasil cek darah bagus, dan enggak ada tanda-tanda demam berdarah atau tifus."
"Aku enggak apa-apa kok ...."
"Ndasmu rapopo! Wong ngomonge lirih gitu!" Melodi ingin menangis rasanya melihat Nada yang tak kunjung sembuh dari sakitnya. "Aku suruh Harits anter ke rumah sakit lagi ya naik mobil."
"Enggak mau, aku enggak mau ngerepotin orang lain."
"Bodo! Bodo! Bodo!" Melodi berjalan keluar dari kamar Nada. Kini ia turun dan berjalan ke tangga sebelah kiri. "Ceboooool!" Melodi berteriak dari lantai bawah.
Tak lama sosok itu muncul. "Berisik nenek sihir!"
"Nada sakit, aku minta tolong dong. Anterin dia ke rumah sakit."
Harits matian-matian menolak permintaan Melodi, tetapi hanya mati-matian di mulut saja. Nyatanya ia langsung mengganti pakaian dan memanaskan mobil.
Dasar munafik! batin Melodi.
"Mana si korban?" tanya Harits yang sudah siap berangkat.
"Anu--tolongin dong. Dia susah buat bangun."
"Aku enggak apa-apa naik ke atas?"
"Kalo ada Deva aku bakal nyuruh Deva, tapi adanya cuma satu cowok cebol, yaudah deh. Enggak apa-apa soalnya urgent."
Melodi membimbing Harits naik ke kamar wanita. Tak butuh waktu lama, pria itu turun menggendong Nada. Suhu tubuhnya terlalu tinggi untuk dikatakan demam biasa.
"Kamu enggak usah ikut. Aku mesen stok barang, hari ini barangnya sampe, kamu tungguin aja. Kalo ada apa-apa aku kabarin. Aku juga udah kontak mas Abet kok." Harits menggendong Nada ke dalam mobil, lalu segera berangkat, meninggalkan Melodi seorang diri.
***
Sudah dua jam kurang lebih Melodi duduk melamun. Gemerincing lonceng berbunyi, membuat Melodi menoleh ke arah pintu.
"Nada sakit?" tanya Abet yang baru saja datang dan langsung merapikan stok barang yang berantakan di pinggir pintu bagian dalam.
"Iya, mas. Udah beberapa hari demam, padahal kemarin udah ke klinik buat cek darah dan hasilnya normal."
"Tama pernah demam tinggi dan sering mimpi buruk dulu. Persis kayak Nada, dari segi medis dia sehat-sehat aja," ucap Abet.
"Ayah juga pernah? Kok bisa?"
"Ada sebuah kelompok pengguna ilmu hitam, salah satunya bernama Wengi," jawab Abet. "Wengi ini pernah nusuk tangan Tama pake gunting, terus dia jilat lukanya Tama. Setelah itu kejadian-kejadian aneh sering Tama alami. Dia sering halu, demam, mimpi buruk sampe teriak-teriak."
"Ilmu hitam?"
"Nanti coba dikasih daun bidara, siapa tau Nada kena guna-guna."
"Masih aja percaya sama yang begituan," celetuk Melodi.
Abet tesenyum, ia mengambil pisau di dapur. "Ya, percaya enggak percaya hal seperti itu emang ada." Ia menebas lehernya sendiri dengan pisau itu.
"Mas Abet!" Melodi beranjak dari duduknya sambil histeris menatap Abet yang menggorok lehernya sendiri. Gadis itu merinding sambil memicingkan matanya. Tak ada darah yang keluar, pisau itu seperti mainan yang tak berbahaya dan sama sekali tidak tajam. Padahal Melodi sering menggunakan pisau itu untuk memasak sarapan.
"Pisau ini tajem," ucap Abet sambil memotong beberapa kardus barang yang belum lama datang ke Mantra Coffee.
Kini Melodi wajib percaya dengan ilmu hitam dan sejenisnya. Memang ia sadar bahwa dirinya memiliki kemampuan yang aneh, tetapi Melodi tak pernah mengaitkan kemampuan seperti retrokognision, psikometri, prekognision, dan sejenisnya ke dalam kategori mistis.
Sedang asik mengobrol, lonceng di pintu berbunyi, seorang pria dengan jaket bomber krem bertuliskan Kencana Selatan masuk ke dalam kafe. Ia tersenyum sambil menatap interior ruangan.
"Maaf, mas. Kita masih tutup," ucap Melodi.
"Aku temennya Nada," ucap pria itu. "Nadanya, ada?"
Tumben. Apa Nada pernah cerita kalo dia punya kembran? Nada kan enggak pernah cerita. Biasanya orang yang tahu pun sering ketuker. Apa lagi yang jarang ketemu.
Melodi menatap jaket yang dikenakan orang itu, samar-samar ia mengingat sesuatu. Waktu itu Nada menceritakan peristiwa ketika Tantra bubar. Ia meminta pada Melodi untuk kembali ke masa lalu untuk mencegah insiden tersebut, tetapi Melodi gagal karena tak mampu menggunakan kemampuan retrokognision miliknya.
"Kamu harus cari cowok yang pake jaket bomber warna krem. Di bagian belakang jaketnya ada tulisan Kencana Selatan. Berusaha yakinin Surya dan anak Tantra kalo kamu datang dari masa depan. Jangan terlibat masalah sama pria jaket bomber itu! Dia orang yang berbahaya! Pancing anak Tantra buat nangkep orang itu sebelum semuanya terlambat. Surya sama Chandra enggak boleh berpisah karena mereka saling melengkapi."
"Kencana Selatan?" Melodi tiba-tiba saja gemetar.
"Jangan terluka kalo kamu berhadapan sama dia. Dia bisa ngendaliin orang lain yang kontrak darah sama dia."
"Kontrak darah itu apa?" tanya Melodi.
"Ketika darah kamu sama darah dia bercampur," jawab Nada.
Abet menyadari rasa takut di sekujur tubuh Melodi. "Kamu kenal?" tanya Abet.
"Nada enggak ada. Jangan ganggu Nada ...," ucap Melodi lirih.
"Aku punya urusan yang belum selesai," balas orang itu. "Boleh aku tunggu di sini?"
"Mas Abet ... orang ini harus pergi. Dia itu--berbahaya."
***
Harits dan Nada sedang duduk di ruang tunggu. Beberapa menit lalu, Nada baru saja disuntik lagi untuk mengetahui hasil lab terbarunya.
Harits mengambil ponselnya dan menelpon Jaya. "Jay, di mana? Bantuin Melodi sama mas Abet ngitung stok barang, ya."
"Iya, mas. Ini lagi makan dulu sebentar di burjo deket Mantra kok," jawab Jaya.
"Yowes, suwun, ya." Harits mematikan panggilan.
"Nada Regina Mahatama," panggil seorang perawat. Harits dan Nada berjalan menuju orang itu dan masuk ke dalam ruangan.
"Dari hasil cek lab semua normal, enggak ada gejala penyakit. Sejujurnya kami juga bingung ini demamnya karena apa."
"Oke, deh." Harits memotong ucapan perawat itu yang belum selesai. Ia mulai paham, jika medis tak menemukan tanda penyakit, berarti itu adalah guna-guna. Ia memberikan kode pada Nada pergi keluar ruangan.
"Harits, itu mbaknya belum selesai ngomong," ucap Nada.
"Ini sihir. Percuma di sini, buang-buang waktu," balas Harits.
Kini mereka berdua berjalan ke parkiran, dan masuk ke dalam mobil. "Apa yang kamu lakuin selama beberapa hari ini? Pernah nyinggung seseorang maybe?"
"Aku enggak pernah berinteraksi sama orang lain selain anak Mantra. Seingetku aku mulai demam pas luka ini terasa sakit lagi." Nada mencengkeram lengan cardigannya.
"Luka?" Harits memicingkan matanya.
"Ini." Nada menggulung cardigan hitamnya dan menampilkan bekas lukanya.
"Itu kapan lukanya? Gara-gara apa?"
"Waktu kejadian Tantra. Gara-gara Rizwana. Entah, selama demam juga aku sering mimpiin dia."
Harits tampak pucat. "Kamu tau, kan ... dia itu pimpinan Simfoni Hitam dulu?"
Nada hanya mengangguk.
"Itu bukan mimpi. Kalo dia dateng ke mimpi kamu, itu artinya dia bener-bener dateng." Harits menatap luka Nada. "Sakit kamu bukan tanpa sebab. Rizwana mulai bergerak. Dia bisa ngelacak orang lain yang bertukar darah sama dia. Seolah--dia udah paham DNA kamu. Simfoni hitam itu pemburu setan dan dukun, tapi perlu digaris bawahi. Untuk mendapatkan pola-pola pergerakan para setan dan dukun, kami belajar menjadi mereka. Kami bertiga, adalah pengguna atma sekaligus pengguna ilmu hitam."
***
Di sisi lain, Melodi duduk bersandar di pojok ruangan menatap Abet yang terkapar tak sadarkan diri.
"Yah, orang ini cukup gila, dia keras banget, sampai harus mengeluarkan tombak Karara Reksa. Aku akui dia kuat." Rizwana kini berjalan ke arah Melodi.
"Oi, ini belum selesai." Abet berusaha berdiri dengan tubuh yang penuh dengan luka.
"Oh, masih hidup, ya?" Rizwana tersenyum ke arah Abet, tetapi tak terlalu memusingkannya. Ia kembali menoleh pada Melodi dan terus berjalan. Setiap langkahnya memberikan tekanan. Auranya membuat pandangan Abet mulai kabur, Abet kehilangan kesadaran dan terkapar di lantai.
Begitu pun dengan Melodi. Pandangannya mulai samar. Tekanan spiritual Rizwana benar-benar bisa membuat orang yang tak punya benteng astral bisa pingsan seketika.
Gemerincing lonceng di pintu membuat Rizwana dan Melodi yang setengah sadar menatap ke arah pintu. Dilihatnya seorang pria yang masuk sambil melakukan tarian malangan. Auranya cukup membuat Rizwana tersenyum.
"Deva ...." Melodi kehilangan kesadarannya dan tergeletak di lantai.
Deva selalu melakukan ritual tarian malangan sebelum memanggil Tumenggung. Rizwana memicingkan matanya menatap ke arahnya. "Siapa kau?" ucap Rizwana. "Kau bukan Deva."
"Yahaha hanya seorang pegawai," ucap Jaya.
"Kau punya hak untuk hidup tenang. Pergilah, aku tidak punya urusan denganmu," balas Rizwana.
"Bagaimana bisa saya pergi meninggalkan seorang gadis ketika di depannya berdiri seorang pria yang membawa tombak?"
Rizwana hanya tersenyum, tatapannya selalu merendahkan orang-orang yang menentangnya. "Yaaa, enggak apa-apa juga kalo emang mau mati." Ia mengayunkan tombaknya dari kejauhan ke arah Jaya.
Jay memicingkan matanya melihat Rizwana yang seolah menyerangnya dari jauh. Namun, matanya terbelalak ketika mendapati angin yang seolah mencabik-cabik tubuhnya.
"Itu baru peringatan, sebaiknya kau pergi," ucap Rizwana. "Baru kena anginnya aja sensasinya cukup terasa, bukan?"
Perban yang selalu menutupi kening Jaya terputus akibat angin barusan. Tak ada lagi tatapan merendahkan. Rizwana menatap Jay dengan sorot mata yang tajam. "Siapa sebenarnya kau ini?"
https://youtu.be/cTjkSwV4QXM
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top