189 : Nada

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Semenjak beredarnya video Melodi yang walk out dari panggung, keseharian Nada berubah. Semakin hari ia semakin tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Entah, rasanya ke mana pun Nada pergi, ia seperti ditelanjangi dengan pandangan meledek.

Percayalah, ketika ada orang yang memiliki penggemar, maka tak sedikit juga orang yang membencinya.

Meskipun mereka berbeda orang, tetapi efek itu dirasakan langsung oleh Nada selaku kembaran Melodi. Contoh kecilnya ketika berada di kantin, orang-orang kerap memasang video Melo untuk mengolok-olok Nada. Sebenarnya itu merupakan upaya untuk meledek Melodi secara tak langsung, tetapi karena wajah yang mirip, mungkin mereka pikir tak ada bedanya meledek Nada atau pun Melodi. Namun, itu hanyalah awal. Puncaknya ketika ada seorang mahasiswi selebgram dari Instiper yang kebetulan tak suka dengan Melodi.

Datang tak diundang, tiba-tiba saja ia merundung Nada. Tak jarang teman-temannya ikut meledek dengan menirukan suara Melodi yang fals di video.

Bahkan hari ini ketika Nada sedang duduk membaca buku di taman kampus, ia tiba-tiba saja didatangi oleh gadis tersebut. Amanda namanya.

"Baca apa, Nad?" tanya Amanda dengan senyum ramah menyapa.

Sayangnya, senyum itu terlihat tak ramah di mata Nada. Bagi Nada, ketimbang ramah, senyum itu lebih terlihat licik.

Seperti biasa, Nada enggan berbicara. Ia hanya menunjukan judul buku itu lewat sampulnya.

"Nad, aku mau denger suara kamu dong. Aku yakin suara kamu pasti lebih bagus daripada Melodi," ucap Amanda.

Nada menggeleng sebagai jawaban. Ia menyematkan senyum, lalu hendak bangkit. Namun, tiba-tiba saja teman-teman Amanda datang dan mengerubungi mereka.

"Lagi ngobrolin apa nih?" tanya seorang gadis. "Kayaknya lagi seru."

"Oh ini, katanya Nada mau nyanyi," jawab Amanda sambil tertawa kecil.

"Serius?! Coba deh, mau denger." Mereka semua berdiri mengitari Nada seolah tak membiarkannya pergi.

"Aku enggak bisa nyanyi," ucap Nada. Ia mencoba menggeser dua orang untuk membuat celah. "Permisi."

Kekuatan Nada tak mampu membuat jalan keluar, mereka semua merapatkan barisan dan bertepuk tangan sambil menyoraki Nada. "Nyanyi, nyanyi, nyanyi, nyanyi."

"Permisi, aku mau ke toilet," ucap Nada yang masih berusaha keras.

Salah satu teman Amanda terlihat sinis. "Mentang-mentang anak artis, sombong banget sih enggak mau main sama kita-kita?"

Seorang pria tertawa. "Sama aja kayak Melodi. Kalo di DM di Instagram enggak pernah bales. Bedanya yang ini enggak mau ngomong, sekalinya ngomong cuma permisi."

"Nyanyi dulu sebentar, abis itu boleh pergi deh," ucap Amanda.

Nada menoleh ke arah Amanda. Matanya berkaca-kaca menatap gadis cantik itu.

Melihat ekspresi Nada, Amanda menghela napas. "Kasih dia jalan gengs, udah kebelet banget kayaknya."

Mereka semua menuruti ucapan Amanda dan memberikan jalan untuk Nada. Begitu mereka merenggangkan barisan, Nada langsung berjalan cepat melewati mereka.

"Dikasih jalan enggak ada permisi-permisinya," celetuk gadis yang berwajah sinis pada Nada.

Nada tak menggubris ucapannya. Di dalam pikirannya, ia hanya ingin enyah dari hadapan mereka. Tak ada tempat yang lebih menenangkan daripada kamar mandi saat ini, ia sedang lelah berada di antara keramaian.

Sialnya, jejak Nada diikuti oleh orang-orang tadi. Amanda dan teman-teman perempuannya mengikuti Nada ke kamar mandi. Kini ketimbang tempat menyendiri, kamar mandi lebih seperti tempat eksekusi.

Jika orang-orang pada umumnya membuang kotoran di toilet, Nada agak berbeda. Ia membuang air mata dan juga segelintir gundahnya. Ketika sedang syahdu-syahdunya menuangkan rasa, tiba-tiba pintu biliknya diketuk.

Nada tak tahu jika ia sedang diikuti. Gadis itu pikir ketukan tersebut berasal dari mahasiswi yang sedang mengantre toilet. Ia pun mengusap air mata dan menekan tombol flush untuk menyamarkan sedihnya. Namun, begitu keluar, ia terkejut melihat Amanda dan tiga orang temannya sudah berdiri di depan pintu.

"Udah?" tanya si paling sinis.

Mendadak mulutnya membisu. Nada hendak pergi, tetapi lengannya dicengkeram oleh si gadis sinis.

"Sekarang udah selesai urusannya, kan?" Ia mengeluarkan ponsel dan membuka fitur kamera, lalu mengarahkannya pada Nada. "Sekarang nyanyi dong, tapi yang bagus, jangan kayak Melodi."

"Aku salah apa sih sama kalian?" tanya Nada sambil berusaha melepaskan lengannya dari si sinis.

"Enggak ada kok," jawab Amanda enteng.

"Terus kenapa gangguin aku?"

Amanda memicingkan mata dan melangkah maju. Wajahnya ia dekatkan dengan wajah Nada sambil menatap tajam. "Ganggu? Merasa terganggu?"

Nada mengangguk.

Amanda mundur, lalu tertawa bersama teman-temannya. "Bercanda, Nad. Enggak ada alasan pribadi kok. Seru aja."

"Seru aja?" Kini giliran Nada yang memicing.

Si gadis sinis sepertinya sangat tak suka dengan Nada. Ia mendorong tubuh Nada hingga membentur dinding. "Eh! Gara-gara kembaran lu tuh ...."

"Diem!" celetuk Amanda dengan nada meninggi, ia menatap temannya agak marah. Gadis sinis menunduk dan terbungkam, ia mundur kembali. Setelah itu Sang Ratu kembali menatap Nada. "Apa sih spesialnya Melodi?" tanya Amanda pada Nada. Mereka saling menatap dalam. "Cantik? Suaranya bagus? Body goals? Jago main gitar? Nilai akademiknya tinggi? Kaya raya?"

Nada terdiam seribu bahasa. Bukan karena takut atau tak bisa menjawab pertanyaan yang Amanda lontarkan. Hanya saja, ketika melihat mata itu, Nada seperti melihat dirinya sendiri. Dirinya yang iri dengan segala pencapaian Melodi, dirinya yang marah karena dunia selalu saja membandingkannya dengan Melodi, dirinya yang sedih karena selalu saja kalah dan gagal meskipun berusaha keras, dirinya yang malu karena terlihat payah.

Nada tiba-tiba tersenyum di hadapan Amanda. "Melodi spesial karena dia menjadi dirinya sendiri. Melodi selalu spesial dengan apa adanya dia."

"Pelacur ...," gumam Amanda lirih. "Dia pasti jual diri ke produser-produser buat dapetin ...."

PLAK!

Ucapan gadis itu terhenti tatkala sebuah tamparan bersarang di pipinya. Dengan wajah garang Nada menamparnya.

"Kamu gangguin aku, aku diem, tapi jangan sekali-kali kamu hina Melodi kayak gitu," ucap Nada. "Kamu pikir aku diem aja denger kembaranku dihina begitu?"

Tangan gadis itu terjulur ke rambut Nada, ia menjambak Nada dengan bringas. Nada berusaha melepaskan tangan itu dari rambutnya, tetapi Amanda tiba-tiba saja menghempaskan Nada ke dinding dan memojokannya.

"Jangan diem aja!" bentak Amanda. "Peretelin kancing kemejanya! Pelacur harus terlihat seperti pelacur!"

Sebenarnya teman-teman Amanda agak ragu, menurut mereka Amanda sudah agak kelewatan, tetapi karena kasta mereka yang lebih rendah, pada akhirnya mereka bergerak untuk mematuhi perintah Amanda. Namun, begitu ingin melaksanakan perintah itu, tiba-tiba saja terdengar suara flush dari salah satu bilik kamar mandi.

Amanda menoleh ke arah si gadis sinis. "Lu bilang enggak ada orang lain di sini selain kita sama si jablay?"

Gadis sinis meneguk ludah. "Be-beneran kok, co-coba aja periksa."

Amanda melepaskan Nada. "Minggir!" Ia mendorong si sinis dan berjalan ke arah bilik yang bersuara, lalu mengetuk pintu kamar tersebut. "Siapa di dalem?!" tanyanya marah. "Awas lu kalo bilang-bilang sama ...."

Wajah Amanda berubah menjadi pucat pasih ketika pintu bilik itu terbuka dan tak menampilkan siapa pun di dalam sana. Ia meneguk ludah sambil menoleh ke arah teman-temannya. "Ta-tadi dari sini, kan?"

Teman-temannya hanya mengangguk. Mereka semua mulai merinding dan sontak berlari ketakutan.

Nada yang dilema. Di satu sisi ia juga takut, tapi di sisi lain ia merasa lega karena kini ia lepas dari Amanda. Gadis bersarung tangan hitam itu bangkit dan segera keluar dari kamar mandi wanita.

Amanda dan kelompoknya benar-benar sudah pergi. Nada memanfaatkan waktu ini untuk segera pergi, tetapi ia tak ingin pulang. Hampir tak ada bedanya perlakuan di kampus dan juga di indekosnya. Para penghuni kos tak berbeda jauh dengan Amanda. Ya, mereka memang tak separah Amanda, tetapi mulut mereka lebih tajam seperti pisau yang menikam dari belakang.

Langkah kakinya berjalan secara acak. Sudah sangat lama sekali Nada tak pernah lagi berjalan menikmati langit sore. Ia terus berjalan hingga tanpa sadar langkah itu menuntunnya ke sebuah lahan kosong yang memiliki banyak puing-puing. Ya, lahan kosong itu merupakan bangunan Ruko Casa Grande yang kini rata dengan tanah. Bahkan langkah acaknya seperti disetel untuk selalu kembali ke tempat itu.

Nada duduk beralaskan rerumputan. Sesekali ia tersenyum sambil bernostalgia. Waktu memang singkat, tetapi kenangan di sana terasa panjang.

"Permisi ...."

Nada menoleh, ditatapnya seorang pemuda rupawan yang terlihat sedang mengawasinya.

"Ya?" ucap Nada.

"Boleh aku duduk di sebelah kamu?"

Nada menatap sekitar, tetapi memang hanya ada dia di tempat itu.

"Aku kenal kamu, Nada Regita, kan?" lanjut pemuda itu. Usianya agak lebih muda dari Nada, mungkin selisih dua tahun.

"Iya betul, kamu siapa, ya?" tanya Nada.

Pemuda itu tersenyum. "Opi."

"Opi?" Nada tak kenal dengan nama itu, juga wajah itu.

"Dulu aku selalu ke sini, jadi kenal semua anak-anak Mantra meskipun kalian enggak kenal aku sih hehe."

"Oh, boleh-boleh, silakan duduk," ucap Nada ramah.

Opi duduk di sebelah Nada. "Udah lama banget, ya," ucapnya sambil tersenyum. Ia seperti Nada, wajahnya seakan sedang bernostalgia.

"Aku berusaha inget-inget, biasanya aku kenal pelanggan yang sering dateng, minimal kenal muka, tapi kok aku enggak pernah inget kamu, ya, Pi?" tanya Nada.

Opi terkekeh. "Parah! Bahkan aku tau kalo kalian semua indigo. Bener enggak?"

"Enggak tuh," elak Nada.

"Kalo Nada punya psikometri."

Ucapan Opi membuat Nada tergagap-gagap, ia tak bisa mengelak.

"E-emangnya psikometri itu apa?" tanya Nada.

"Kemampuan melihat masa lalu. Kamu tau, kenapa seorang psikometri bisa melihat masa lalu?" tanya Opi.

"Karena setiap benda itu punya molekul, dan para psikometri mampu melihat ingatan berdasarkan ...."

"Salah," celetuk Opi.

Nada memicing. "Terus apa yang bener kalo aku salah?"

"Kamu gampang banget kepancing, sekarang aku jadi tau beneran deh kalo kamu itu psikometri. Padahal cuma nebak berdasarkan rumor aja," ucap Opi.

Nada terdiam, ia merasa bodoh sekarang. Namun, melihat wajah itu, Opi tertawa. Entah, tawa pemuda itu terdengar nyaman dan membuat Nada jadi tersenyum.

"Jawaban kamu terkait psikometri tadi itu jawaban teori ilmiahnya, tapi sebetulnya enggak sepenuhnya begitu."

"Terus gimana?" tanya Nada.

"Karena setiap benda itu punya nyawa," jawab Opi.

Nada terkekeh. "Ada yang namanya makhluk hidup, ada yang namanya benda mati. Benda mati itu enggak punya nyawa karena mati, Opi."

"Definisi hidup itu apa sih? Tumbuhan itu makhluk hidup, tapi dia terlihat seperti benda mati. Enggak bisa jalan, enggak keliatan buang air, enggak keliatan makan, cuma diem aja. Apa bedanya sama rumah?"

"Tumbuhan itu bertumbuh, Opi. Dari yang tadinya biji, terus bertumbuh jadi tangkai, daun, buah, mereka hidup."

"Salah."

Di mata pemuda itu Nada selalu salah.

"Disebut hidup karena suatu saat pasti akan mati," sambung Opi. "Semua yang ada di dunia ini sejatinya hidup. Coba kamu perhatiin rumah deh, kamu bandingin rumah kosong sama rumah yang berpenghuni. Meskipun sama-sama enggak direnovasi, pasti rumah kosong selalu ambruk duluan. Kenapa gitu?"

"Ya, karena ...." Nada tak tahu jawabannya.

"Disebut benda mati karena mereka mati ketika tidak dimiliki. Coba kamu tinggalin tempat tinggal kamu dalam waktu yang lama. Hewan-hewan akan bersarang di sana, kayak laba-laba, semut, atau serangga lain. Padahal enggak berpenghuni, enggak banyak aktivitas, tapi kenapa lebih banyak debunya? Banyak jamur bertumbuh? Banyak lumut? Mungkin kamu enggak sadar, tapi bangunan berpenghuni akan mati ketika penghuninya pergi."

"Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Nada.

"Karena kemampuan kamu itu aktif ketika kamu melihat ingatan dari apa yang kamu sentuh. Artinya benda itu memiliki memori. Benda itu menyimpan banyak kenangan suka maupun duka. Apa sesuatu yang mati mampu mengingat? Apa aku salah?"

Nada terdiam, ia seperti sedang berpikir. "Aku berpikir perkataan kamu ada benernya sih hehe."

Opi terlihat getir. "Temen-temen semua apa kabar?" Ia mengganti topik pembicaraan.

Nada menangkap maksudnya. "Melodi sekarang aktif di sosial media, Deva sibuk di BEM, Kevin juga, terus Harits ngelanjutin Mantra Coffee di Sunmor UGM, Jaya fokus di kepolisian, terus Cakra ...." Nada mendadak diam. Wajahnya penyimpan lara.

"Dia enggak baik-baik aja, ya?" tanya Opi.

Nada mengangguk.

"Nad, mau pisah sejauh apa pun, kalian itu keluarga. Udah seharusnya keluarga itu saling tolong menolong. Aku kenal salah satu penghuni di sini dan kita berteman cukup akrab. Dia awalnya pendiem banget, tapi lambat laun dia jadi orang yang peduli. Ngeliat perkembangan orang itu, rasanya aku udah tua banget. Dia anak Mantra pertama yang ngobrol sama aku."

"Siapa?! Harits, ya? Iya, kan?! Dia yang pertama di sini."

Opi menggeleng. Ia meraih tangan Nada dan melepas sarung tangannya.

"Mau ngapain, Opi?!" Nada terkejut dengan tindakan pemuda itu.

Opi meletakkan telapak tangan Nada di pipinya. Sekelibat ingatan masa lalu terpampang dalam benak Nada.

***

Sebuah mobil taxi berhenti di depan Ruko Casa Grande. Empat orang pemuda turun dengan tas dan koper mereka masing-masing.

"Ini tempatnya?" ucap pria bertopi beanie. "Wah, gila! Kita bener-bener jadi pengusaha cuy!"

Seorang pria dengan jaket jeans menyalakan rokok. "Lebay lu ah, paling ntar malem nangis gara-gara kangen rumah."

Pria bertopi beanie menatap seorang pria tampan bersarung tangan hitam. "Mana ada, paling si Tama noh yang nangis! Dia kan diem-diem cengeng."

Nada terbelalak mendapati kenangan orang tua mereka. Kenangan ini merupakan cerita awal dimulainya Mantra Coffee.

"Apa ini?" tanya Nada. "Siapa kamu sebetulnya?" Nada tiba-tiba mengingat perkataan Opi. "Karena setiap benda itu punya nyawa."

Suara langkah kaki terdengar di dalam teater psikometri. Nada menoleh, ditatapnya Opi yang berjalan dari arah belakang.

"Aku tau ada banyak pertanyaan yang mau kamu tanyain ke aku, kan? Kita ulang ya perkenalan kita. Opi itu nama yang temenku kasih, tapi nama asliku itu Mantra Coffee. Aku adalah roh dari bangunan yang kalian tempati. Mantra Coffee adalah pembuka sekaligus penutup kisah hidupku. Selamat menyaksikan tayangan terakhir. Sengaja aku pilih kamu karena kamu ngewarisin kemampuan temenku. Bisa aku percaya kamu, Nada?"

.

.

.

TBC







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top