189.2 : Penunggu
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Pada dasarnya setiap benda memiliki jiwa, setiap bangunan memiliki roh yang biasanya disebut penunggu. Jika kita telaah, bangunan kosong dan bangunan berpenghuni memiliki beberapa perbedaan. Meskipun sama-sama tidak direnovasi, rumah kosong biasanya cenderung lebih cepat rusak. Entah ditumbuhi tamanan liar, dijadikan kerajaan oleh hewan-hewan atau serangga, ditumbuhi lumut, tak jarang juga menjadi angker dan erat dikaitkan dengan hal mistis.
Opi merupakan roh dari Mantra Coffee itu sendiri. Ia terlahir kesepian, tetapi berkat kehadiran Dirga, Ajay, Andis, dan Tama ia mulai mengerti apa makna dari kebersamaan. Sayangnya, hari-hari indah yang ia kira akan berlangsung selamanya itu, ternyata hanyalah sebuah fatamorgana. Pada kenyataannya, cerita Opi dan keempat orang Mantra harus menjumpai sebuah titik besar yang bernama perpisahan.
"Serius lu?" tanya Ajay.
Dirga mengangguk dengan wajah sedih.
BRAK!
"Enggak bisa gitulah!" Andis tiba-tiba saja menggeprak meja sambil menatap gusar pada Dirga.
"Keputusan gua udah bulet, Mantra harus tutup," lanjut Dirga.
"Lu emang pemodal, tapi ini semua kan kita yang jalanin bareng, Dir. Enggak bisa dong diputusin sepihak gini," balas Andis.
"Ini demi kebaikan kita semua," sahut Dirga.
"Kebaikan kita? Atau kebaikan lu?" balik Andis.
"Gini deh, kita voting aja," usul Ajay.
"Kita kan genap, berempat, Jay. Mau voting gimana? Kalo skornya dua sama gimana?" seru Andis.
"Suara Dirga diitung dua, dia kan ibaratnya Direktur utama di sini," balas Ajay.
"Kalo gitu udah pasti Mantra enggak akan tutuplah," sambung Andis. "Tinggal kita bertiga sepihak, kelar."
Dirga menutup mata sambil memijat keningnya. "Gua juga enggak mau begini, tapi enggak ada jalan lain. Kalo lu emang pada mau voting, ya udah coba. Yang mau Mantra tetep jalan siapa?"
Andis dan Ajay mengangkat tangan, tetapi kedua orang itu menatap Tama dengan sorot mata penuh kekecewaan.
"Tam ... oi ...." Andis masih menatap Tama. Hanya pria tampan itu harapannya. Satu suara menentukan hasil akhir.
Tama tak kalah sendunya dari Dirga dan yang lain, malahan matanya berkaca-kaca. "Lu selama ini kuliah broadcasting buat apa?" tanya pria dingin itu pada Andis. "Lu juga, Jay. Lu kan dapet beasiswa ke Inggris, terus kalo Mantra tetep buka, siapa yang jaga? Gua percaya sama Dirga, gua yakin itu juga bukan keputusan yang enteng buat dia."
Andis dan Ajay terdiam. Namun, berbeda dengan Ajay yang sudah pasrah, Andis masih berusaha berjuang mempertahankan Mantra Coffee.
"Oke kalo mau Mantra Coffee tutup, enggak apa-apa, tapi sebutin alesan lu yang jelas ke kita. Lu bilang kita keluarga, kan?" Arah tatapnya dalam menatap kedua bola mata Dirga.
"Enggak bisa ...," gumam Dirga lirih. "Meskipun kita keluarga, tapi ada beberapa hal yang emang sifatnya privasi."
"Kan ...." Andis menggeleng kecewa. "Gimana gua mau ngerti kalo lu aja enggak mau coba ngertiin gua, Dir."
"Gua enggak bisa kasih tau detail alasan kenapa gua memutuskan akhir yang sad ending gini, tapi satu hal yang gua minta ... tolong percaya sama gua. Percaya bahwa berakhirnya tugas kita di Jogja berarti adalah akhir perjalanan Mantra Coffee. Tempat ini adalah roket kita untuk menuju bintang yang selama ini kita sebut mimpi. Sekarang kita udah siap berpencar di angkasa kehidupan, dan gua enggak mau ada yang tertinggal di roket ini. Bener kata Tama tadi, lu mau gini-gini aja? Seenggaknya mumpung masih muda, lu harus banyak melangkah, Dis. Nanti ... suatu saat mungkin ada masanya kita, atau bahkan lu sendiri buat tempat kayak gini lagi, tapi enggak sekarang. Jalan lu masih panjang."
Andis terdiam, raut gusarnya perlahan luntur ketika menatap Dirga yang terlihat sangat serius hingga matanya berkaca-kaca.
"Gua berpikir ... seandainya gua punya kemampuan buat membekukan waktu di titik ini dan enggak harus maju ... gua mau terus ada di sini bareng lu semua, tapi ternyata itu emang cuma sisi egois gua yang menolak perpisahan. Gua tau, kita udah bareng dari kecil, tapi tinggal seatap sama kalian bikin solidaritas ini rasanya lebih erat dari sebelumnya. Entah ya, kita semua punya mimpi, tapi rasanya ini semua yang kayak mimpi, dan sekarang kita semua harus bangun buat menghadapi kenyataan," balas Andis. Pria bertopi beanie itu melepas topinya dan menempelkannya di wajah untuk menutupi air mata yang jatuh.
Dirga mendekat pada Andis. "Yang selesai cuma kafenya aja. Buat kita, enggak ada kata selesai." Ia merangkul Andis, begitu juga dengan Ajay dan Tama. Mereka berempat saling merangkul dan menumpahkan lara bersama. Keputusan yang berat untuk mengakhiri apa yang mereka awali.
Di tengah momen haru tersebut, seorang anak kecil juga ikut merangkul mereka berempat sambil menangis. Ia adalah Opi, si arwah bangunan Mantra Coffee, salah satu dari beberapa arwah di Ruko Casa Grande.
Bukan hanya manusia yang sedih akan perpisahan, tetapi rupanya bangunan yang sudah menjadi rumah pun bisa menangisi perpisahan itu. Jelas saja, ia akan merasa kehilangan gelak tawa penghuninya, tak bisa lagi menyaksikan perkembangan hidup setiap penghuninya, tak mampu melindungi mereka lagi dari derasnya hujan, kencangnya angin, teriknya mentari, ataupun riuhnya badai.
Apa yang lebih menyiksa daripada disetubuhi rindu yang tak dibayar pertemuan?
Apa yang paling tak nyaman daripada sebuah perpisahan yang menyisakan sepi?
Apa yang lebih menyakitkan daripada segelintir ingatan yang dibiarkan usang tanpa pernah terulang kembali?
Ternyata benar, waktu memang seberharga itu. Apa yang telah terjadi tak akan pernah terulang kembali. Jogja itu kota pelajar, di mana banyak perantau yang datang dan pada akhirnya pergi. Mungkin tak semua orang mengerti tentang kata 'Istimewa' yang terletak di namanya. Mungkin mereka bisa kembali kapan saja untuk berkunjung, dan bernostalgia, tapi tidak dengan mengulang keadaan. Yang membuat Jogja Istimewa adalah kenangannya yang tak tergantikan, yang membuat kota ini istimewa adalah orang-orang yang pernah hidup dan bernapas di sini, mewarnai hari dengan berjuta kenangan suka dan duka.
Tak ada yang bisa mendengar tangisan keras Opi di hari itu, ketika mobil Dirga pergi membawa segalanya. Tak akan ada lagi Andis yang jenaka, tak akan ada lagi Tama yang pendiam, tak akan ada lagi Fajar yang mengamati setiap gelagat manusia, dan tak akan ada lagi Dirga yang selalu mampu menahkodai Mantra Coffee untuk mengarungi lautan bernama waktu.
Setelah Mantra Coffee, Opi tak pernah lagi merasakan kebahagiaan yang setara dengan empat tahun yang pernah ia lewati bersama keempat sahabatnya.
Tak ada alasan lain bagi Dirga untuk terluka, jika bukan demi keluarganya. Ia akan memulai perang dengan Martawangsa. Karena Frinza sudah tahu tentang keberadaan Mantra Coffee, Dirga mau tak mau harus menutupnya sebagai upaya melindungi Mantra. Ia hanya takut para Martawangsa menjadikan Mantra sebagai kelemahannya dan pada akhirnya berani menyakiti teman-temannya. Meskipun berat, ini adalah langkah yang benar menurut Dirga sebagai pemimpin.
Tentu saja Dirga tidak akan menceritakan alasan sebenarnya pada Andis, Ajay, dan Tama. Ia hanya tak mau menyeret teman-temannya ke dalam bahaya.
***
Menyaksikan itu semua lewat psikometri membuat Nada ikut menitihkan air mata. Entah haru, sedih, bangga, bahagia, atau yang lainnya. Rasanya setetes air matanya terkomposisi dari semua perasaan-perasaan tersebut.
Banyak kenangan hangat, dingin, bahkan panas di Mantra Coffee, tapi itu semua yang membuat tempat ini begitu berkesan. Dari sebuah pertikaianlah sebuah hubungan diuji dan bisa semakin erat. Kekeluargaan, kesetiaan, pengorbanan, Nada belajar banyak hal dari peristiwa para Mantra terdahulu.
Tentang bagaimana Dirga memperkuat hubungan kekeluargaan mereka dan juga menjaga relasi dengan pelanggan, bagaimana Tama menjaga hati dan tak memberikan celah pada gadis lain untuk masuk sebagai orang ketiga, bagaimana Ajay yang berpikir keras dan bersifat netral untuk menjadi penengah ketika ada pertikaian di antara mereka, bagaimana Andis selalu mengorbankan egonya dan menjadi pewarna untuk keutuhan Mantra.
"Karena pernah diisi oleh mereka berempat, rasanya para pengganti setelahnya itu enggak berarti. Semua orang yang ngisi ruko ini dari tahun ke tahun cuma fokus sama bisnis. Mereka bekerja, lalu setelah malam menjemput, mereka pulang. Berbeda dengan Mantra Coffee terdahulu ... berbeda dengan Mantra Coffee milik kalian ... bukan hanya sekadar bisnis yang ada di dalam pikiran. Segala canda tawa itulah yang paling aku inginkan," ucap Opi. "Aku bahagia ketika kalian menganggap ku sebagai tempat pulang."
"Kenapa kamu cuma ngasih tau aku?"
Opi tersenyum menatap Nada. "Karena teman sejatiku hanyalah para psikometri. Cuma sama kalian aku bisa menuangkan segalanya. Di luar itu, aku mau ngasih pembelajaran buat kalian. Kalian itu berbeda dengan Mantra yang sebelumnya. Dirga, Andis, Ajay, dan Tama itu merupakan sahabat dari kecil, sementara kalian baru bareng ketika tinggal di sini. Dari awal kalian tiba, kalian langsung menyuguhkan konflik antara Harits dan ketiga anak lainnya. Banyak hal yang aku ketahui sementara kalian enggak tau, terutama perasaan masing-masing kalian. Lewat kamu, aku berharap kedepannya kalian bisa lebih terbuka kayak Mantra terdahulu. Karena kunci untuk mengarungi waktu bersama-sama adalah keterbukaan."
"Kamu berharap pada orang yang salah, aku bukan orang yang bisa memegang kepercayaan kamu buat nyatuin mereka lagi," balas Nada.
"Kunci dari sebuah sihir itu adalah mantra. Setiap bait demi baitnya terkoneksi hingga mampu menghadirkan keajaiban. Dirga enggak akan bisa jadi nahkoda kalo awak kapalnya enggak percaya sama dia. Bayangin kalo Andis itu egois dan enggak mau ngalah, terus seandainya Ajay itu enggak peduli sama pertikaian mereka, dan apabila Tama yang ganteng itu jadi playboy. Apa jadinya Mantra?"
"Karam dilahap waktu," jawab Nada. "Mantra akan hancur dari dalam dan juga dari luar."
"Melodi itu orangnya jujur dan blak-blakan, kadang mulutnya bisa enggak sengaja nyakitin perasaan orang lain. Harits itu baik, tapi dia gengsi terlihat baik sehingga di mata orang lain dia itu buruk. Deva itu peduli, dia selalu berusaha jadi pelindung di setiap situasi, tapi dia rapuh. Cakra orangnya ramah dan murah senyum, tapi dia menyembunyikan sisi gelapnya dan malu buat cerita, dia takut penolakan. Nada ... kamu itu hebat, tapi selalu pesimis dan terkunci oleh Melodi, kamu selalu merasa bahwa kamu adalah versi gagal seorang Melodi." Opi menceritakan penilaiannya terhadap mereka semua pada Nada. "Secara individu, kalian itu semua baik dan hebat, tapi enggak secara kebersamaan."
Opi mengusap rambut Nada. "Kamu itu jauh lebih hebat dari apa yang kamu bayangkan, Nada. Kamu punya sesuatu yang Melodi—bahkan orang lain enggak punya."
"Dan apa itu?" tanya Nada.
Opi tersenyum. "Diri kamu sendiri."
"Apa hebatnya aku?"
"Enggak ada yang lebih peduli sama kehidupan daripada kamu. Berkaca sama jurusan yang kamu ambil. Inget lagi kebiasaan kamu setiap pagi di sini. Kenapa tamanan di sini terawat dan asri? Hubungan itu laksana sebuah tanaman, harus disiram biar dia tumbuh dan tetap hidup. Koreksi kalo aku salah?"
Nada terdiam meresapi setiap perkataan Opi. Gadis itu memandang pemuda yang sedang menatap langit dengan wajah sendu.
"Wadahku udah hancur, eksistensiku di dunia udah enggak lama lagi. Makanya aku berani keluar dari teritori ku buat ngasih tau Harits waktu kamu diculik Cakra, buat ngelindungin kamu tadi waktu dirundung anak kampus. Sebagaimana kalian merawat ku, aku akan mencoba merawat kalian. Mungkin ini pembicaraan pertama dan terakhir kita. Aku punya sebuah mimpi yang sederhana ... kalian lebih solid dari Mantra terdahulu. Mungkin kalian bukan sahabat dari kecil, tapi sebenarnya selain waktu, faktor yang bisa mempererat sebuah hubungan itu adalah konflik. Aku berharap kalian semua sadar bahwa kalian saling membutuhkan."
Pecah sudah lamunan Nada ketika pundaknya disentuh oleh salah seorang petugas keamanan di area itu.
"Ngapain duduk di sini sendirian, Mbak?"
Nada terlihat bingung, ia menoleh ke kanan dan kiri. "Pak, liat pemuda yang sama saya enggak?"
"Pemuda?" Orang itu memicing. "Saya perhatiin dari tadi situ sendirian."
Nada beranjak dari duduknya, ia berjalan pergi sambil berusaha mencari keberadaan Opi, tetapi ia tak mampu menemukannya.
"Di mana pun kamu berada, aku berdoa yang terbaik buat kamu, Pi," gumam Nada.
Kini gadis itu benar-benar melangkah pergi dari bangkai Mantra Coffee. Opi hanya bisa menatapnya bersama seorang pria berpakaian hitam.
"Sudah selesai? Tidak ada lagi penyesalan?"
Opi tersenyum sembari mengangguk pelan. "Sudah, Tuan Yama."
"Sekarang saatnya pulang." Yama menghentakkan tongkatnya ke tanah. Sebuah kabut tebal muncul menutupi pandangan ke arah depan. Mereka berdua berjalan masuk dan perlahan menghilang ditelan kabut suratma.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top