188 : Jaya

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Iris masih terpaku menatap layar komputer. Ia sedang berselancar di deep web untuk mencari sumber informasi terbaru dari dunia gelap.

Pekerjaannya sebagai hacker sekaligus informan di Peti Hitam membuatnya kerap keluar masuk dalam sebuah dunia yang kotor dan menjijikan. Di sana banyak transaksi gelap seperti perdagangan narkoba, jual beli organ tubuh hingga menyediakan jasa pembunuh bayaran.

Fokusnya terpecah ketika sebuah bingkai foto kecil tak jauh di belakangnya terjatuh. Iris bangkit dan mengambil bingkai tersebut. Di sana terpampang fotonya dan Jaya yang terlihat cukup mesra. Sayangnya, bingkai itu pecah tepat di bagian wajah Jaya. Entah, mendadak lahir perasaan khawatir. Iris mengambil ponsel dan segera menghubungi Jaya untuk memastikan keadaannya.

"Halo, Emil."

"Ya, halo. Kenapa?" tanya Jaya.

"Kamu enggak apa-apa, kan?" Wajah Iris cukup terlihat resah.

"Enggak apa-apa kok, kenapa?"

"Enggak apa-apa juga, saya cuma khawatir."

Jaya terkekeh. "Saya enggak kenapa-kenapa, santai aja."

"Hari ini ada agenda? Ayo ketemu," ajak Iris.

"Maaf, saya ada agenda lain hari ini," balas Jaya.

Raut wajah Iris berubah. "Kamu enggak jalan sama cewek lain, kan?"

"E-enggak dong."

"Kalo sampe kamu berani, saya pastiin di depan pintu kamar kamu besok pagi ada kantung hitam yang isinya potongan tubuh cewek itu. Paham?"

"I-iya paham kok, saya cuma suka sama kamu."

"Oke, bye, take care." Iris memutuskan sambungan.

Iris menatap kembali foto Jaya yang pecah. "Semoga kamu beneran enggak apa-apa. Semoga Tuhan selalu melindungi kamu. Aku juga sayang kamu."

***

Jaya selesai berbicara panjang lebar, kini ia menekan tombol stop pada fitur recorder ponselnya.

Tepat ketika ia selesai merekam suara, panggilan dari Iris masuk.

"Ya, halo. Kenapa?"

Jaya tersenyum. "Enggak apa-apa kok, kenapa?" balas Jaya.

Dalam panggilan itu Iris seperti memiliki firasat buruk tentang Jaya, tetapi Jaya berusaha menepis pikiran tersebut dan meyakinkan Iris bahwa dirinya memang tak apa-apa.

Selesai panggilan itu, Jaya berjalan ke lemari bajunya, lalu mengambil kemeja putih dan setelan jas hitam.

Sambil bersiul, Jaya bercermin dan mengenakan pakaian tersebut. Selesai mengenakan setelan jas, Jaya menyisir rambut, lalu menutup tato di keningnya dengan perban.

Setelah rapi, Jaya mengelilingi ruangan kamarnya. Ia tatap topeng-topeng kerajinan tangannya yang tergantung di dinding sambil sesekali merapikan yang terlihat berantakan.

Pada satu titik Jaya berhenti di depan sebuah mainan gundam. Ia ambil benda itu dan menatapnya dengan senyum penuh lara.

"Saya mau berbincang banyak hal sama kamu, Wengi. Saya minta maaf, tolong jangan marah."

Setelah berucap begitu, Jaya berjalan keluar kamar. Baru saja ia keluar, Ibu kos kebetulan lewat di depannya.

"Eh Jaya, mau ke mana rapi banget?"

Jaya menyematkan senyum. "Ada acara di luar kota, Bu. Oh iya, saya titip kunci di Ibu, semisal saya belum pulang sampai satu bulan ke depan, saya taruh uang bulanan kos di atas meja belajar ya, Bu."

Ibu kos mengambil kunci Jaya. "Iya, hati-hati ya, Nak."

"Makasih, Bu. Saya permisi." Jaya pergi menuju motor tuanya.

Sesampainya di depan motor itu, Jaya tersenyum sambil mengusap jok Mamat.

"Udah keren pake jas begini, naiknya masih kamu, Mat."

Jaya naik di atas motor tuanya. "Mat, terimakasih ya udah nemenin saya selama ini dan mau diajak ke mana aja. Mungkin orang lain malu dan menganggap kamu butut, tapi saya bangga sama kamu. Meskipun kamu beberapa kali ancur dan saya harus mungutin perintilan kamu dijalan, saya seneng jalan sama kamu. Paling orang lain yang enggak seneng gara-gara suara cempreng kamu dan asap ngebul pantat kamu."

Tak ada rasa malu, Jaya tersenyum mengendarai motor tuanya. Ia dan Mamat melaju cukup jauh hingga ke Kaliurang atas dan berhenti pada sebuah bangunan tua terbengkalai. Setibanya di sana, Jaya turun dan berjalan masuk.

Bangunan itu merupakan tempat pertempuran dua Gardamewa satu tahun lalu. Di dalam sana rupanya ada seseorang yang sudah menunggunya.

"Maaf saya telat," ucap Jaya pada orang itu. Mungkin karena gelap, wajahnya tak terlalu jelas terlihat.

Orang itu tak membalas dengan kata-kata, ia memilih diam.

Jaya berjalan semakin mendekat. "Saya punya Ayah, namanya Bayu Martawangsa, tapi saya bukan Martawangsa. Saya itu anak yang dia temukan di hutan. Nah, ternyata ayah kandung saya itu Chandratama, salah satu Ashura keluarga Wijayakusuma."

Orang di depan Jaya terlihat tak peduli dengan itu semua, tetapi Jaya terus bercerita.

"Beberapa hari lalu, Ayah kandung saya menyusul Ayah tiri saya ke akhirat. Saya pikir saya enggak akan sedih, tapi ternyata saya cukup terpukul dengan kepergiannya. Saya dapet kabar itu dari Kakak saya. Belum lagi akhir-akhir ini saya merasa kesepian, entah—rasanya dada saya kosong. Banyak hal yang hilang dalam hidup saya."

Orang di hadapan Jaya menggaruk tubuhnya. "Aku punya alergi dengan omong kosong, bisa kau hentikan itu semua?"

Jaya terkekeh. "Oke, saya sudah selesai."

Orang itu pun melangkah ke arah Jaya. Semakin dekat, semakin jelas wajahnya.

"Aku pikir kau tidak akan datang karena takut?" tanya orang itu.

Jaya mengambil sebuah lembaran kertas dari kantong celana. Kertas itu memiliki stempel Dharma dan berisi biodata.

"Arai Purok, bencana dari Satu Darah yang ikut andil pembantaian di malam Walpurgis. Rekam jejak kejahatanmu terlalu banyak, sudah waktunya kamu ditangkap. Mana mungkin saya kabur dari penjahat."

Arai Purok tertawa. "Hanya itu alasannya?"

"Tentu saja tidak. Alasan utamanya karena kamu mengancam saya dengan menyeret rekan-rekan saya di Mantra, dan alasan saya datang ke sini ya sudah jelas ... saya percaya diri dengan kemampuan saya."

Sebelumnya, Jaya dan Arai mengangkat bendera putih sementara. Mereka tak ingin ribut di rumah sakit dan memutuskan membuat jadwal untuk hari ini.

"Peraturannya sederhana, yang bertahan hidup yang menang," ucap Arai.

"No, no, no, saya tidak mau," balas Jaya.

Arai mengerutkan kening. "Apa rasa percaya dirimu itu luntur?"

"Okelah, kalo saya mati berarti saya kalah, tapi masalahnya saya enggak mau nyawa kamu. Kalo saya menang ...." Jaya menunjuk Arai. "Saya mau kamu."

Arai tertawa. "Maaf, aku masih suka wanita, cari saja pria lain."

Raut wajah Jaya berubah, tatapannya tajam mengintimidasi. "Apa Satu Darah memang sebodoh ini? Saya mau kamu jadi bawah—rekan saya. Peti Hitam butuh kekuatan, dan saya menginginkan pasukan terbaik. Saya mau yang terkuat dari yang terkuat. Saya mau Peti Hitam di era saya menjadi yang terkuat sepanjang sejarah."

Tawa Arai semakin pecah. "Kau yang bodoh, mana ada bawahan lebih kuat dari atasannya, hah?!"

"Makanya itu saya datang ke sini sekarang, saya merasa lebih kuat dari kamu."

"Sudah ku bilang, kan ... aku alergi omong kosong."

Sebuah mandau melesat mengincar leher Jaya. Namun, dengan tangan merahnya Jaya menangkis mandau terbang milik Arai. Pria belah tengah itu tiba-tiba saja sudah mengenakan topeng Bapang.

"Oke, saya anggap yang barusan ini peluit dimulainya pertandingan." Jaya melempar mandau Arai dan melesat ke arah pria itu dengan beringas.

Arai melempar seringai pada Jaya. "Majulah, brengsek!"

Tanpa berdialog lagi, Jaya melesatkan kepalan tangannya ke arah wajah Arai. Arai bergeming menerima pukulan Jaya. Arah tatapnya bergeser, tetapi pandangan Arai masih menatap tajam ke arah Jaya.

"Maaf mengecewakan mu, tapi sepertinya omong kosong yang kau ucapkan beberapa saat lalu lebih besar ketimbang kemampuanmu," ucap Arai.

 "Saya belum selesai." Jaya menarik tinjunya dan mengatur ulang posisi, lalu melesatkan pukulan kedua.

Sebilah mandau terbang menghempaskan pukulan Jaya, membuat tinjunya mengudara ke atas. Jaya mundur karena serangan barusan, pusat keseimbangannya patah.

"Siapa bilang ini giliran mu lagi?" balas Arai. Ia mengumpulkan atma hitam di tangannya, lalu melesatkannya ke ulu hati Jaya. "Mampatei!"

Dalam topengnya, Jaya terbelalak dan memuntahkan darah. Ia sempoyongan hingga jatuh berlutut di depan Arai. Belum sampai di situ saja, Arai menjambak rambut Jaya, lalu dengan lututnya menghantam topeng Bapang hingga Jaya terpental dan terkapar.

 "Hey, kau belum mati, kan?" tanya Arai. "Jangan buat aku kecewa. Namamu tercatat di dalam daftar hitamku loh. Apa aku salah menilaimu?"

Jaya bangkit perlahan, ia membuka topengnya separuh wajah. "Tenang saja, ini kan baru dimulai. Saya akan pastikan mandau keduamu tercabut dari rumahnya."

Arai menyeringai. "Majulah, buktikan dengan kekuatan. Buat aku mencabut mandau keduaku."

Jaya memasang kembali topengnya. "Jangan salahkan saya, ya." Ia merenggangkan jari-jari tajamnya. "Kedepannya saya takut kamu enggak suka sama tato buatan saya."

Arai menatap jari-jemari merah Jaya sambil menggaruk tubuhnya. "Aku sudah bilang, kan? Aku alergi omong-kosong!"

"Jangan salahkan saya." Jaya mulai bergerak, kali ini ia berjalan mengitari Arai. Setiap langkahnya memiliki ritme tersendiri.

Pria Dayak tersebut mengerutkan kening ketika langkah Jaya meninggalkan jejak berupa bayangan. Di matanya, perlahan jumlah Jaya bertambah hingga seolah-olah ada banyak Jaya yang berjalan mengitarinya. Namun, bukannya tertekan, Arai menyeringai seolah ini menarik.

Secara mendadak, Jaya melesat ke depan menjadikan Arai sebagai pusat dari seluruh tujuan bayangannya. Namun, mandau terbang milik Arai melesat cepat mengitarinya, memenggal leher demi leher wujud yang mengelilinginya.

Keringat dingin menetes dari leher Arai. Sebuah mata pedang menempel di lehernya. Hanya perlu sedikit tenaga untuk memotong leher tersebut.

"Saya bisa saja menghabisi kamu, tapi saya sudah bilang, saya mau kamu jadi rekan saya," ucap Jaya yang saat ini berdiri di belakang Arai. Pria dengan rambut belah tengah itu sudah tak mengenakan Bapang. Perban di keningnya juga sudah terlepas, menampilkan tato Peti Hitam.

Arai melirik ke arah pedang hitam milik Jaya. Tubuhnya bergetar dan meledak menjadi tawa. Pada satu titik tawanya luntur menjelma hening. Matanya melotot dan menekan pedang itu ke lehernya.

"Kau pikir kau sudah menang?" tanya Arai. "Kau pikir bisa melukaiku dengan mainan ini?" Pria dengan tato terung di tubuhnya itu mencabut sebilah mandaunya yang menganggur dan memutar tubuhnya sambil menggenggam pedang Jaya, menarik sang musuh ke hadapannya.

Mandau tersebut membentur sesuatu yang keras. Rupanya Jaya melepas topeng bukan karena ia meremehkan Arai atau pun mengalah pada pedang Akara, tetapi sebelah tangannya sudah mengkristal dengan bentuk resonansi jiwa.

"Kamu terlalu meremehkan saya!"

Arai terbelalak ketika tangan kristal itu meninju ulu hatinya. Darah hitam tumpah dari mulutnya dan membuat pria Dayak itu gantian berlutut di hadapan Jaya.

"Pada dasarnya, Dharma itu merupakan induk. Nah, dari situ mulai terpartisi menjadi beberapa bagian lagi seperti Trishula yang bertugas melanjutkan jejak Dharma memerangi pelaku ilmu hitam, lalu Simfoni Hitam yang bertugas mengusir roh jahat, dan Peti Hitam yang menjadi penyusup, menyuplai informasi, juga melakukan hal kotor jika memang dibutuhkan."

Arai mendongak menatap Jaya. "Untuk apa menjelaskan hal bodoh seperti itu?" Ia perlahan bangkit.

"Tentu saja kamu harus tahu hal dasar dulu sebelum bergabung," jawab Jaya.

"Aku dengar Martawangsa senang menari?" tanya Arai.

"Ya, itu ritual untuk memanggil topeng," jawab Jaya.

Arai tiba-tiba saja bergerak secara tak wajar, ia seperti sedang melakukan tarian. "Bukan hanya Martawangsa yang suka menari, Dayak pun senang berpesta."

Jaya memicingkan mata, ia mencium aroma anyir yang sangat pekat. Semakin Arai menari, aroma itu semakin kuat.

"Perayaan seribu mandau ...," tutur Arai.

Jaya memang tak bisa melihat apa pun yang melesat ke arahnya, tetapi ia merasakan dari perubahan suhu, getaran udara, dan saat ini instingnya berkata bahwa ada serangan ghoib yang sedang mengincarnya.

"Mandau itu hidup selayaknya manusia, ia juga memiliki jiwa. Kau tahu, jiwa mereka sangat kelaparan dan haus darah," sambung Arai. "Mereka tidak akan berhenti sebelum nyawamu menjadi persembahannya." Saat ini, seribu mandau tak kasat mata mengincar nyawa Jaya.

Dengan kemampuan pedang Akara, Jaya menghilang. Ia masuk ke dalam bayangan dan berusaha mengatur ulang serangan, tetapi mandau-mandau ghoib itu tak bisa dibodohi, ia mengejar setiap bayangan yang Jaya tapaki.

"Kau bisa lari, tapi kau tidak bisa bersembunyi. Begitu perayaan seribu mandau telah dimulai, kematian mu sudah pasti. Sebenarnya terlalu berlebihan menggunakan ritual ini untuk melawan satu orang. Ya, karena jumlahnya banyak jadi setelah menghabisimu, mandau-mandau tak kasat mata ini akan menghabisi nyawa-nyawa di sekitar sini, mereka akan berhenti ketika dahaga mereka terpuaskan."

Jaya masih memacu kakinya untuk berlari dari satu bayangan ke bayangan lain. Sedikit demi sedikit luka di tubuhnya bertambah.

"Jika keadaannya terus begini, kau akan kalah," tutur Bapang.

"Saya tidak berniat untuk kalah, tapi saat ini saya ingin mencoba sesuatu," balas Jaya.

"Apa itu?"

"Pertama menangkap kedua mandau terbang, kedua melepaskan kalian dari wadah," jawab Jaya.

"Melepas kami dari wadah?" tanya Akara.

"Setelah menangkap kedua mandau berfisik, saya akan berfokus dengan Arai. Sisanya saya serahkan pada kalian berdua untuk menghalau perayaan seribu mandau."

"Apa kau pikir itu akan berhasil?" tanya Bapang.

"Intinya adalah menangkap mandau asli. Sejauh pertarungan ini berjalan, saya sudah menganalisa serangan Arai. Memang perayaan seribu mandau ini cukup berbahaya, tetapi untuk membunuh saya dibutuhkan banyak usaha. Permasalahannya adalah mandau asli yang memiliki fisik. Saya hanya manusia biasa, tentu saja jika dihadapkan dengan sesuatu yang berwujud, itu akan lebih merepotkan."

"Kalau begitu, terserah kau saja. Jika kau mati dalam pertarungan ini, aku akan melahap jiwamu," ucap Akara.

"Sayangnya aku sudah berada di sisinya lebih lama, tentu saja jiwanya adalah milikku!" balas Bapang.

"Sudah, sudah, nanti saja dilanjut berantemnya. Untuk saat ini saya tidak akan mati. Jadi bersiaplah mempertaruhkan segalanya."

Dialog berakhir. Jaya yang sedari tadi berlari, rupanya mengincar sesuatu. Pada satu titik ia keluar dari bayangan dan menjaga jarak dengan Arai.

Arai menyeringai begitu Jaya menunjukkan wujudnya. Kedua mandau milik Arai sudah bosan menunggu.

"Selamat tinggal!" teriak Arai.

'Jika saya kalah, bukan hanya saya yang berakhir, tapi orang-orang di sekitar sini. Arai juga pasti akan membunuh semua teman-teman saya. Membayangkan mereka akan mati membuat saya merasa hampa. Tidak apa jika saya terluka, saya itu kuat, jadi saya akan bangkit lagi dan lagi. Oleh sebab itu, saya akan selalu berdiri di depan teman-teman saya dan memberikan senyuman terbaik yang saya miliki tanpa menunjukan punggung saya yang berdarah.'

Jaya berfokus hanya untuk menghindari kedua mandau asli milik Arai. Begitu mandaunya meleset dari target, Jaya tak membiarkannya untuk menyerang kembali. Dengan kedua tangan merahnya, Jaya menangkap mereka. Masing-masing tangannya menggenggam satu gagang.

"Jika tidak dilepas, tangan mu bisa putus!" ucap Arai. "Apa kau mulai bodoh?"

Memang, rasanya kedua otot lengan Jaya memberontak seperti ingin memisahkan diri. Kedua mandau itu melesat dengan kecepatan suara, menangkap mereka adalah salah satu upaya terbodoh. Belum lagi, dari segala penjuru mandau ghoib milik Arai mencabik-cabik Jaya yang saat ini tanpa pertahanan. Memang, tubuh Jaya kuat dan memiliki perisai atma yang tebal, tetapi tentunya hal itu tak bisa menahan serangan Arai terus-terusan yang unggul dari sisi kuantitas.

"Hanya orang bodoh yang akan dengan senang hati melindungi teman-temannya meskipun harus mengorbankan dirinya. Orang bodoh tidak berpikir, orang bodoh akan bertindak dengan naluri. Jangan meremehkan orang bodoh yang satu ini!" Jaya berteriak keras menahan rasa sakit di tangannya. Urat-uratnya mencuat hingga menampilkan tangan perkasa yang terlihat sedang dipaksakan untuk menarik.

"Jika kau lepas gagang mandau itu, kelapamu akan putus. Jika kau tahan, kedua tanganmu yang akan putus. Silakan memilih."

Jaya tersenyum. "Saya ini adalah rantai yang tidak akan pernah putus." Pada sati titik, Jaya menghilang dari pandangan Arai, ia masuk ke dalam bayangan tempatnya memunculkan diri. Begitu kedua mandau Arai ia buang ke dalam bayangan, sekarang Jaya muncul kembali sambil memutar lengannya secara bergantian seperti sedang pemanasan ulang.

"Saya suka ekspresi kamu," tutur Jaya melihat Arai yang terlihat marah. "Merasa kehilangan? Tenang saja, setelah kamu kalah, saya akan mengembalikan senjata kamu, tapi enggak sekarang." Setelah selesai pemanasan, Jaya melebarkan kakinya untuk memasang kuda-kuda. "Jangan khawatir, kedua teman ghoib saya sekarang sedang bermain-main dengan mandau kamu yang lain. Sekarang hanya ada kita."

Arai tak banyak bicara, ia juga memasang kuda-kuda bertempurnya. Melihat Arai yang sudah siap, Jaya langsung berlari menerjang. Ia alergi menyerang orang yang tak siap bertarung.

Sebuah pukulan menjadi hadiah untuk masing-masing wajah mereka. Arai adalah tipikal orang yang bertahan dengan menyerang, persis seperti Jaya. Mungkin dari segi kekuatan mereka hampir setara, tapi ini bukan lagi adu kekuatan, tetapi adu ketahanan.

Kedua kaki mereka masih berporos pada pijakan yang sama tanpa sedikit pun bergeser, tetapi tangan mereka saling menghajar tanpa celah. Tak ada yang bertahan atau menghindar. Baik Jaya dan Arai melesatkan pukulan dengan niat menghabisi. Mereka saling memberi dan menerima.

"Jika tidak menghindar kau bisa mati! Jadi apa rencanamu, hah?!" teriak Arai sambil tertawa gila. Beradu pukulan dengan Jaya membuat gairah bertarungnya meluap.

"Kamu enggak akan tunduk sama orang yang lebih lemah, kan?! Saya enggak akan pernah menghindar. Saya itu kuat!"

Arai pikir Jaya adalah orang yang bergantung dengan pusaka, tapi kini ia mengakui bahwa kekuatan Jaya secara fisik mungkin saja setara dengannya. Namun, biar pun setara, bukan artinya mereka seimbang.

Lambat laun pukulan Jaya semakin melemah, mungkin karena batasan tubuhnya juga yang sudah menerima banyak luka, ditambah pukulan berat Arai bukanlah hal yang bisa disepelekan. Mungkin secara fisik mereka setara, tetapi dari efisiensi penggunaan atma, Arai jauh lebih unggul. Bahkan tanpa kedua mandaunya, Arai tetaplah berbahaya.

"Menyerahlah! Sampai kapan mau berusaha?!" teriak Arai.

Sebuah pukulan telak menghantam dagu Jaya hingga terpental dan membuat pandanganya kabur. Tubuhnya sudah gemetar dan tak mampu lagi berdiri. Arai menatap Jaya yang terkapar hilang kesadaran.

"Sudah berakhir," tutur Arai. Pria Dayak itu mendekat ke arah Jaya untuk menghabisinya. "Nilai mu sembilan dari sepuluh, kau sangat menghibur. Sebagai hadiah, aku hanya akan menghabisi separuh rekanmu." Arai mengumpulkan atma hitam ke tubuhnya. "Babilem ...." Lalu ia pertajam seluruh atma itu ke tinjunya. "Batajim ...." Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Arai melesatkan pukulan terkuatnya untuk membunuh Jaya. "Mampatei!"

Lirih embusan napas membuat Arai merinding. Matanya terbelalak ketika Jaya yang terkapar tiba-tiba saja menahan pukulan terkuat miliknya. "Apa-apaan ini? Kau berpura-pura pingsan untuk mengelabuhiku?"

'Meskipun hanya berpura-pura, tetap saja dia menahan seluruh kekuatanku dengan satu tangan. Orang ini tidak normal.' Batin Arai.

Jaya membuka matanya yang berwarna hitam legam. Ia menarik tangan Arai sambil berusaha bangkit dari posisinya. Arai yang tertarik ke arah Jaya langsung saja diberikan hadiah berupa lutut tepat di wajahnya, membuat Arai terpental.

"Bajingan ...." Arai bangkit kembali sambil menatap Jaya yang berdiri dengan tatapan kosong.

Saat ini Jaya memang sudah hilang sadar, tetapi hasratnya tak membiarkan Jaya kalah begitu saja. Keinginan, hasrat, insting ... banyak hal yang merangsang alam bawah sadarnya untuk terus bertarung meskipun otaknya tak lagi mampu memimpin tubuh. Tanpa sadar ia menekan batasannya hingga masuk ke dalam mode sunya.

Jaya melesat dengan cepat dan melepaskan pukulan demi pukulan tanpa ampun. Ia lebih cepat dan kuat daripada sebelumnya. Arai terdesak dan tak bisa melakukan serangan balasan. Tinju Jaya saat ini terlalu berat dan terasa menyakitkan.

'Apa-apaan orang ini?!' Pikir Arai.

"Kau pikir dengan siapa kau berhadapan?!" Arai kembali menghantam ulu hati Jaya, lalu melakukan uppercut ke dagu untuk merengut kesadaran pria itu lagi.

Sejenak gerakan Jaya terhenti, tetapi tiba-tiba ia kembali menerjang dan melesatkan satu pukulan keras ke wajah Arai hingga membuat pria Dayak itu menutup mata. Meskipun setetes, ada rasa takut yang tumbuh pada satu pukulan tersebut.

Sayangnya, pukulan terakhir itu tak pernah sampai. Arai membuka matanya dan mendapati Jaya yang sedang terdiam dengan pose memukul. Tinjunya tepat berada di depan wajah Arai, hanya beberapa inci antara kepalan tangan dan wajah. Saat ini Jaya benar-benar pingsan dengan posisi seperti itu.

"Dasar sinting," gumam Arai. "Orang macam apa yang hilang kesadaran dalam posisi begitu?"

Seorang wanita muncul dari balik dinding, ia membawa sebuah celurit besar. "Berani menyentuhnya, ku bunuh," tutur wanita itu penuh tekanan.

Arai menyeringai ke arah wanita itu, lalu membanting dirinya ke lantai. Ia menatap jam tangan separuh hancur yang ia kenakan di tangan kiri. "Sudah lebih dari satu jam," gumamnya. "Aku membuat sebuah tantangan untuk diriku sendiri, jika aku tidak bisa membunuh targetku di bawah satu jam, aku yang kalah. Jika ini pertarungan nyawa, mungkin aku masih bisa menang karena bagaimana pun juga harus ada yang mati meskipun waktu melewati satu jam, tapi dia tidak menginginkan nyawaku. Dia bilang, dia ingin aku bergabung dengan kelompok mainannya."

Setelah mengoceh tak jelas, pria itu kembali menoleh, tetapi wanita tadi sudah tak berada di tempatnya, ia sudah pergi entah ke mana.

Arai menoleh ke arah Jaya. "Melindungi sesuatu yang berharga, ya?" Kini Arai menatap langit-langit sambil tertawa. "Seandainya aku masih punya yang seperti itu, mungkin kita akan bertemu dalam kondisi yang berbeda dari sekarang. Yaaaa ... perjalananmu masih panjang sih. Seandainya dulu aku juga sekuat dirimu, aku tidak harus kehilangan satu pun senyuman dalam hidupku. Mungkin semua orang melihatku sebagai orang jahat, tapi sebenarnya aku hanya marah. Aku tidak bisa melindungi yang aku anggap berharga dan sebagai gantinya aku merengut apa yang berharga bagi orang lain." Arai beranjak dari duduknya dan membawa Jaya di punggugnya.

.

.

.

TBC





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top