187 : Deva
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Jadi gimana, Pak?" tanya seorang gadis. Ia sedang duduk lesehan di dalam sebuah forum bersama beberapa orang lainnya.
Semua mata memandang ke arah pria gondrong yang sedang menatap meja dengan tatapan kosong. Ia dipanggil 'Pak Ketu' bukan tanpa alasan. Pria itu merupakan Ketua BEM UGM tahun ini.
"Pak? Pak Ketu? Halo?" lanjut gadis itu lagi.
"Woy." Salah seorang pria dengan almamater berwarna khaki muda menyenggol Deva.
Pecah sudah khayalannya, Deva menatap orang yang menyonggolnya. "Hah?"
"Itu loh." Pria itu menunjuk ke arah gadis yang tadi berbicara. "Kalo orang ngomong yo disimak."
Deva menoleh. "Gimana, gimana?" tanyanya pada gadis itu.
"Jadi gimana masukan ku barusan, Pak Ketu?"
"Sorry-sorry, bisa diulang lagi? Aku kurang fokus tadi," ucap Deva.
Gadis itu menghela napas, dengan sabar ia mengulang kembali perkataannya. Ini bukan kali pertama Deva melamun di tengah rapat. Beberapa anggota sudah memakluminya, tetapi sebagian kecil merasa tak nyaman dengan hal itu.
Memang, selelah apa pun kondisinya, seberat apa pun masalah yang ia hadapi, Deva harus bertanggung jawa atas jabatan yang ia genggam. Ia harus mampu keluar dari zona tak nyamannya dan berusaha memanajemen kondisi.
Sejenak Deva memejamkan mata sambil mengikat rambutnya. Begitu ia membuka mata, rasanya auranya berubah. Kegiatan rapat siang ini berjalan lebih serius setelah Deva kembali fokus.
***
Singkat cerita, rapat berakhir. Semua meninggalkan aula kecuali Deva dan seorang pria yang tadi menyenggolnya.
"Kowe mikirin opo toh?" tanyanya pada Deva.
(Lu mikirin apa sih?)
"Kagak tau, Us. Dibilang banyak pikiran, tapi enggak ada yang dipikirin. Dibilang kosong juga ya enggak kosong," balas Deva.
Daus menghela napas, ia menepuk pundak Deva. "Semangat, Dev." Pria itu beranjak dan meninggalkan Deva seorang diri.
Seperginya Daus, Deva merebahkan dirinya di lantai menatap langit-langit. Ia memejamkan mata hingga tanpa sadar pria gondrong itu tertidur.
Kurang dari sepuluh menit, ia tiba-tiba terbangun. Begitu membuka mata, Deva terkejut menatap wajah Jashinta. Saat ini kepalanya berada dalam pangkuan gadis itu.
"Halo, selamat pagi," ucap Jashinta. Gadis itu tersenyum menatap Deva yang baru saja terbangun.
"Eh, Je." Deva hendak bangun, tetapi Jashinta menahan kepala pria itu sambil memijat lembut keningnya.
"Kalo capek tidur aja lagi," balas Jashinta.
"Kamu kok tau aku di sini?" tanya Deva.
"Tadi ketemu Daus, dia bilang kamu di sini, ya udah aku ke sini deh," jawab Jashinta.
Kantung mata Deva tak bisa berbohong, ia memang tampak kurang tidur. Selain banyak program di BEM, rupanya berpisah dengan Mantra cukup membebaninya. Belakangan ini ia kurang hiburan. Rasa khawatir dengan Cakra juga kerap membuatnya merasa resah.
"Nih, aku bawain makanan."
"Kamu sendiri udah makan?" tanya Deva.
"Aku nungguin kamu kelar rapat dulu, aku maunya makan bareng kamu."
Deva bangkit dengan posisi duduk. "Ya udah, kita makan yuk. Makasih ya, udah perhatian."
"Sama-sama, Deva." Jashinta tersenyum. "Meskipun aku cuma pacar boongan kamu, tapi aku seneng dalemin peran ini. Seenggaknya sampe kamu bener-bener lupain Melodi."
Deva terdiam, entah ... rasanya ia tak tahu harus bersikap bagaimana. Di tengah gundah itu, Jashinta meraih tangan Deva sambil menatapnya dalam-dalam.
"Dev, jangan terlalu dipikirin. Untuk saat ini aku seneng kok jalaninnya. Nanti kalo ini udah enggak lagi menyenangkan, kita udahan. Santai aja, ya. No baper-baper club!"
"Makasih ya, Je, dan maaf."
"Maaf buat?" tanya Jashinta.
"Banyak hal," jawab Deva.
"Contohnya?"
"Ngerepotin kamu."
Jashinta terkekeh. "Enggak repot kok, tapi kalo nanti kerepotan aku bilang."
Dalam rangka melupakan Melodi, Deva meminta tolong pada Jashinta untuk membantunya. Jashinta tak keberatan menjadi pelarian untuk Deva dengan status pacar palsu. Mereka menjalani hubungan ini dengan back street. Gadis itu paham, Deva hanya butuh treatment untuk move on, makanya mereka berkomitmen untuk tidak mengumbar hubungan mereka. Katanya, cara terbaik untuk melupakan adalah dengan mencari hati baru. Ya, kita lihat saja.
Jashinta menatap jam tangan setelah makanannya habis. "Dev, aku duluan ya, masih ada kelas."
"Oh oke."
Gadis itu beranjak dari duduknya, ia hendak melangkah pergi, tetapi tiba-tiba kembali berhenti. "Eh iya, lupa." Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ikut ya, Dev."
Deva mengambil selembaran kertas yang disodorkan oleh Jashinta. "Apa nih?"
"Baca aja dulu. Ya udah, aku pergi dulu ya." Jashinta berjalan meninggalkan Deva.
Kertas itu merupakan sebuah poster pertandingan futsal Fakultas FIB. Entah gadis itu tahu dari mana jika Deva pada dasarnya menyukai olahraga tersebut. Mirisnya lebih daripada Melodi, Deva ingin melupakan cita-citanya sebagai pesepak bola. Saat ini bermain pun rasanya enggan.
"Bola, ya?" Tatapannya melemah. "Maaf, Je. Aku enggak bisa." Deva mengambil ponsel dan memotret poster itu, lalu ia jadikan story tanpa caption.
***
Senja menjemput, Deva pun tiba di rumah. Sejak Cakra dirawat ia hanya tinggal bersama Kevin di rumah yang cukup besar ini. Namun, beberapa hari belakangan, Kevin jarang berada di rumah. Siang tadi saja pria tampan itu tak hadir pada rapat BEM.
Deva beristirahat di sofa ruang tengah, ia bersandar sambil memijat pelan keningnya yang terasa agak pusing. Di tengah relaksasinya, dering notifikasi ponsel membuatnya kembali membuka mata. Ada sebuah pesan masuk dari Jashinta.
"Ayo kita cari sepatu futsal buat kamu main." Begitu katanya.
Entah mengapa gadis itu sangat antusias mendukung hal yang Deva coba lupakan. Padahal pria gondrong itu sama sekali tidak berminat ikut. Terlebih, ia tak memiliki tim, juga tak ada yang mengajaknya menjadi tim.
Deva menghela napas masih sambil memijit keningnya. "Hadeh." Ia akhirnya bergerak untuk membalas chat tersebut. Karena rasa tak enak, pada akhirnya Deva meng-iya-kan ajakan Jashinta untuk membeli sepatu.
"Oke deh, nanti malem ya." Deva mengirim pesan balasan.
Singkat cerita, setelah maghrib Deva keluar rumah untuk membeli makan di burjo dekat sana. Biasanya ia selalu makan bertiga, tapi belakangan ini Deva selalu sendiri.
"Karo opo, Mas e?" tanya seorang gadis yang menjaga warung makan tersebut.
(Sama apa, Mas?)
"Karo mie dok-dok deh, Mbak e," balas Deva.
(Sama mie dok-dok deh, Mbak)
"Dienteni yo, Mas."
(Ditunggu ya, Mas)
"Yo," balas Deva. "Ojo suwi-suwi yo, Mbak e," lanjut Deva dengan logat guyon.
(Jangan lama-lama ya, Mbak)
Deva memang tergolong tampan dan cukup sempurna untuk takaran seorang pria. Tubuhnya tinggi dan atletis, kulitnya cerah dan bersih karena pandai merawat diri. Secara non fisik ia juga harum dan sopan. Tak jarang ada yang naksir, termasuk mbak-mbak burjo di sini, tetapi ....
"Mas Kev ra melu po, Mas Dev?"
Ra : Ora, Po : Opo. (Mas Kevin enggak ikut apa/ya mas?)
Namun, sesempurnanya Deva atau semanis-manisnya Cakra, mereka berdua hanyalah serangga jika ada Kevin di antara mereka.
"Kevin lagi sibuk dia akhir-akhir ini," jawab Deva.
"Salam yo."
"Iya, nanti saya salamin," balas Deva.
"Kalo sekarang salamnya buat mas Deva ae."
Deva terkekeh. "Waalaikumsalam, mbak e."
"Yo wis, tak buatkan dulu pesenan e." Mbak penjaga burjo meninggalkan Deva dan fokus membuat pesanan.
Tak lama berselang pesanan Deva datang. Mungkin sebagian orang ada yang gemar makan sambil menikmati selingan lain seperti nonton atau bermain ponsel, tetapi Deva tidak. Jika makan, ia hanya fokus makan. Setelah makan barulah ia melakukan aktivitas lain. Oleh sebab itu jika sendirian, Deva biasanya hanya sekitar sepuluh menit di burjo, lalu pulang.
Selesai makan, ia berjalan pulang. Jarak dari burjo ke rumah tidaklah jauh. Bahkan dari burjo pun Deva masih bisa memantau tempat tinggalnya.
Matanya memicing ketika melihat vespa kuning berada di depan pagar, tetapi tidak ada pengendaranya.
Tok ... tok ... tok
"Assalamualaikum, Deva, Kevin, halooooo," ucap Melodi berusaha memanggil penghuni rumah.
"Ehmm ...." Deva berdehem hingga membuat Melodi menoleh ke pagar di belakangnya. "Cari siapa, Mbak?"
Gadis itu membawa sebuah kantong plastik yang cukup besar. Ia berjalan mendekat pada Deva dan menyodorkan bawaannya. "Cari kamu. Nih buat kamu."
"Apa nih?" tanya Deva sambil menatap plastik itu dan berusaha menerka isinya.
"Buka aja sendiri," jawab Melodi tersenyum.
Di dalam plastik, ada sebuah kotak. Deva mulai menerka ada apa di dalam sana. "Jangan bilang ...." Deva mengeluarkan kotak itu dari plastiknya. Kotak itu merupakan sebuah kotak sepatu. Untuk memastikan, Deva membuka kotak itu. Rupanya benar, itu adalah sepasang sepatu futsal.
"Aku liat story kamu, karena aku pikir kamu bakalan main futsal lagi, jadi aku beliin itu karena tau kamu enggak punya sepatu," ucap Melodi. "Ukurannya juga pas kok, aku pilih warna biru karena kamu suka warna itu. Suka enggak? Maaf kalo enggak suka modelnya."
Baru saja Deva ingin menjawab, tiba-tiba matanya menangkap kehadiran Jashinta tak jauh dari halaman. Menyadari Deva melihatnya, gadis itu tiba-tiba saja pergi.
Deva terdiam, sebuah gambaran masa depan tepampang di pikirannya. Jashinta pergi dengan langkah yang cepat. Gadis itu menangis, dan karena merasa malu ia pun berlari agar cepat sampai ke kosannya. Di persimpangan tiga yang mengarah ke UGM, ada sebuah motor yang melaju cepat.
"AWAS!" teriak Deva sambil tangannya berusaha meraih ke depan.
"Dev? Kamu--kenapa?" tanya Melodi.
Dalam tayangan prekognisi, Deva baru saja disuguhkan sebuah kecelakaan maut yang menewaskan dua orang. Sang pengendara yang terpental dan terseret cukup jauh, juga Jashinta yang mengalami pendarahan di kepalanya.
Deva mengembalikan kotak sepatu itu ke tangan Melodi. "Maaf ...."
Melodi terbelalak ketika Deva tiba-tiba saja berlari melewatinya. Raut wajah Deva menyiratkan sesuatu yang tak bisa dibaca oleh Melodi.
Deva berlari sekuat tenaga memacu kakinya dengan kecepatan terbaik yang ia miliki, tetapi secepat apa pun Deva berlari, sejauh ini belum ia temukan sosok gadis itu.
Pada satu titik, Deva berhenti total dan tiba-tiba saja menari tarian malangan. Ada gerombolan anak kecil yang sedang menyaksikannya.
"Angkat wajahmu, Tumenggung," gumam Deva bermonolog.
Entah di tengah keramaian, kini Deva tak peduli. Ia mengeluarkan Tumenggung dan langsung mengenakannya. Seketika itu juga ia menghilang dari pandangan anak-anak tersebut.
"Kalian lihat ono uwong ra tadi?" tanya seorang anak kecil.
(Kalian lihat ada orang enggak tadi?)
"Loh iyo, ngendi e?" tanya anak yang lain.
(Lah iya, ke mana ya? )
Tak jauh di depan, Jashinta yang tengah berlari dan acuh pada sekitar tiba-tiba saja mendengar suara decit rem yang beradu dengan aspal. Ia menoleh dan sontak kakinya membeku ketika melihat motor yang sedang melesat cepat ke arahnya. Rem itu tak mampu menangkal kecepatan motor tersebut.
"E bujug, awas!" teriak buibu random.
Jashinta memejamkan mata dengan tubuh gemetar. Sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan seterusnya, tak ada kejadian apa pun. Ketika ia membuka mata, tubuhnya berada dalam dekapan seorang pria bertopeng.
Gadis itu memang tak tahu wajah di balik topeng, tapi ia kenal aroma tubuh itu. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi Deva tak membiarkannya.
"Jangan pergi ....," gumam Deva lirih. "Aku udah bilang, kan ... jangan pernah pergi tinggalin aku."
Jashinta menutup kedua matanya. "Maafin aku," ucap gadis itu sambil terisak. "Aku yang mau bantuin kamu, tapi malah aku sendiri yang sakit ... maaf."
"Melodi itu cantik, dia sempurna sebagai seorang wanita, tapi cerita antara aku sama dia udah selesai. Berat lupain dia, tapi aku berusaha keras sampe buang harga diriku minta tolong ke kamu. Enggak peduli kalo orang lain ngecap aku jelek. Kamu pun punya pilihan buat enggak bantuin aku. Kalo buat kamu ini enggak menyenangkan lagi, kamu boleh pergi kok, Je, tapi pelan-pelan. Jangan lari, nanti ketabrak."
Jashinta menyentuh topeng Tumenggung dan membuka topeng itu. Ia menahan tawa melihat wajah Deva yang sedang menggembungkan pipinya sehingga membuat bibirnya maju.
"Muka kamu kenapa begitu sih? Mau nangis jadi ketawa kan ih!"
"Jangan protes, aku lagi berusaha buat enggak nangis lagi," balas Deva.
Jashinta tertunduk dengan senyum sendu. "Aku mau bantuin kamu karena aku suka sama kamu."
Mendengar pernyataan Jashinta, Deva terbelalak.
"Sejak belum kenal kamu, aku sering merhatiin kamu dari balik meja kasir. Setiap aku jaga di toko, aku berharap kamu dateng meskipun cuma jajan air mineral. Mungkin orang lain enggak akan ngejar kamu waktu belanjaannya ketinggalan di kasir, tapi yang ada di sana waktu itu aku dan kebetulan yang belanjaannya ketinggalan itu kamu. Aku berpikir, mungkin ini cara takdir mempertemukan kita. Aku enggak mau buang kesempatan itu dan aku kejar kamu sampe Mantra Coffee. Aku tahu kamu tinggal di sana karena aku mencoba cari tahu tentang kamu sebelum kejadian itu, dan agak nyesek waktu tau kamu udah punya pacar dan pacar kamu cantik. Mungkin juga kamu enggak sadar, aku sering mampir ke Mantra dan aku tahu shift kamu jaga."
"Je, aku ...."
Jashinta menempelkan jari telunjuknya di bibir Deva. Ia tak ingin memberikan kesempatan bicara untuk pria itu.
"Enggak tau, ngeliat kamu sama Melodi tiba-tiba aja air mataku keluar, dan aku refleks lari. Dia lebih peka dari aku, tiba-tiba dateng bawain sepatu futsal buat kamu. Dia tau ukuran kaki kamu, warna kesukaan kamu, mungkin segala hal tentang kamu. Sadar aku enggak tau apa-apa tentang kamu, aku mendadak kosong."
"Maaf ...." Hanya itu kata yang terlontar dari mulut Deva. Keadaan mendadak hening.
Jashinta baru menyadari, mereka sedang berada di persimpangan, menjadi tontonan banyak orang.
"Dev ...." Ia terbelalak ketika tiba-tiba saja mereka berpindah tempat. Kini mereka ada di salah satu atap bangunan tinggi milik UGM. "Loh, kok?!"
"Topeng ini namanya Tumenggung, dia pusaka keluarga yang diturunin dari generasi ke generasi. Kemampuannya bisa mempercepat waktu di sekitar penggunanya, jadi aku bisa pindah tempat dengan cepat di luar mata orang biasa. Selain itu, aku juga punya prekognision. Prekognision itu adalah kemampuan untuk bisa nerawang masa depan. Enggak 100% terjadi sih, tapi akurasinya cukup tinggi karena latihan yang intens."
"Kamu indigo?" tanya Jashinta.
Deva mengangguk. "Kalo di mata kamu indigo itu cuma bisa lihat setan, kamu salah. Sejujurnya di Mantra Coffee itu isinya anak-anak indigo, dan orang tua kami punya sejarah yang panjang sampe turun ke kami."
"Kenapa kamu ngasih tau itu semua ke aku? Itu kan seharusnya ...."
"Biar kamu tau, biar kamu enggak merasa kosong. Kalo kamu mau tau tentang aku, mulai sekarang aku akan banyak cerita tentang diriku. Terkait futsal, sebetulnya kayak Melodi aja, aku berusaha ngelupain segala hal tentang bola. Entah sepak bola, mini soccer, atau futsal, aku selama ini lari dari itu semua. Aku pernah kecelakaan dan kakiku patah. Sembuh sih, tapi banyak hal yang berubah, contohnya cita-citaku."
"Maaf, Dev, aku enggak tau. Karena kamu ketua BEM, info seputar kamu banyak di internet. Aku coba cari tau tentang kamu dan ternyata kamu banyak prestasi di bola," balas Jashinta dengan wajah tertunduk. "Aku pikir kamu bakalan seneng ...."
"Berkat kamu aku sadar, baik Melodi atau pun bola, mereka sama. Enggak perlu ada yang dilupain karena bagaimana pun juga, mereka pernah bikin aku seneng. Maaf karena keliru, mulai sekarang aku enggak akan lari lagi."
"Kalo gitu ... berarti kita udahan?" tanya Jashinta. Ia mencoba tersenyum seolah-olah memang ia tak apa-apa, tetapi sayangnya senyumnya tak mampu berbohong perihal rasa.
"Tidak melupakan bukan artinya harus kembali," balas Deva. "Kalo kamu mau pergi, aku enggak akan larang. Kalo kamu merasa udah enggak seneng lagi, kamu boleh udahan, tapi satu hal yang harus kamu tau. Aku seneng jalanin semua ini. Aku emang sedalam itu suka sama Melodi, tapi aku percaya bahwa kelak ada orang lain yang akan membuat aku berpikir ... aku beruntung memilikinya. Seorang gadis yang akan membuat aku merasa benar tentang pilihanku memilih dia, bukan Melodi, bukan gadis lain atau siapa pun."
Jashinta terdiam mendengar perkataan Deva.
"Kamu enggak harus bertahan kalo sakit ...." Deva memalingkan wajah dari Jashinta. "Meskipun aku berharap bahwa gadis itu adalah kamu."
Jashinta ikut memalingkan wajahnya, tetapi tangannya menggenggam erat tangan Deva. "Aku di sini kok, enggak ke mana-mana."
"Mu-mungkin perasaanku ke kamu belum bisa ngalahin perasaan aku ke Melodi, ta-tapi suatu hari nanti, aku percaya bahwa cuma ada kamu di hatiku. Aih, sial ... aku enggak jago ngomong beginian nih, sorry."
Jashinta tertawa karena menurutnya Deva lucu. "Aku juga akan berusaha buat jadi satu-satunya yang ada di hati kamu."
"Kamu mau jadi pacar aku, Je? Pacar beneran, bukan status palsu atau apa pun itu, tapi kayak yang kamu tau, aku masih ...."
"Mau," jawab Jashinta.
Deva kembali menoleh ke arah Jashinta. Mata gadis itu memang sembab karena air mata, tetapi saat ini ia sedang tersenyum pada Deva. Deva merasa bahwa Jashinta sedang bahagia saat ini. Terukir seutas senyum juga di bibir Deva mengetahui itu semua.
"Aku mau nerima kamu, nerima kekurangan kamu, nerima masa lalu kamu, nerima segala hal tentang kamu. Ayo kita sama-sama berusaha!"
Deva ikut tersenyum. "Iya, semangat buat kita!"
***
Melodi yang sebenarnya mengikuti Deva sedari awal kini terduduk menatap kotak sepatu yang ia bawa untuk Deva. Bukannya ingin kembali pada pria itu, hanya saja ia mengingat kata-kata Harits untuk berusaha menemani ketika ada yang membutuhkan.
Melodi tahu betapa Deva mencintai sepak bola, ia juga paham betapa Deva kecewa pada takdir. Melihat story Deva perihal bola, Melodi merasa pria gondrong itu resah. Ia seperti sangat ingin mengikuti kejuaraan itu, tapi di sisi lain ia juga tak ingin ikut. Sebagai upaya menguatkan Deva, Melodi sengaja membelikannya sepatu guna mendorong Deva untuk berani mengambil resiko. Memang, Deva sudah menyerah perihal cita-cita, tetapi setidaknya ia tak harus membuang kesenangan dalam hidupnya. Meskipun sebagai hobi, setidaknya Melodi ingin Deva menikmati apa yang ia senangi.
"Sekarang kamu punya orang yang berharga buat kamu, selamat Dev," gumam Melodi bermonolog. "Seandainya Ippo masih ada, mungkin ukuran kakinya sama kayak kamu."
Gadis itu memutar arah dan berjalan pergi menuju tempat motornya tertinggal.
"Yaaaa—seenggaknya sekarang Deva udah enggak galau lagi." Melodi mengurungkan niatnya bertemu Deva dan menyimpan sepatu yang ia beli untuk seseorang yang lebih pantas. Gadis itu terlihat sangat bahagia mengetahui sahabatnya bahagia. Tak ada rasa cemburu di hatinya, bahagianya benar-benar tulus. Kini ia bisa lebih ikhlas melepaskan Deva tanpa rasa bersalah.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top