186 : Melodi
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"How can you see into my eyes like open doors?
Leading you down into my core,
Where I've become so numb."
Penonton bersorak-sorai di depan panggung ketika Melodi membawakan lagu Bring Me To Life dari Evanescence.
Hari ini Fakultas Seni Pertunjukan sedang menggelar event kecil-kecilan di kampus ISI. Berhubung Zara berhalangan hadir sehingga Rekustik tak bisa tampil, kesempatan itu dimanfaatkan oleh salah satu grup band rock dari Fakultasnya untuk mengajak Melodi menjadi vokalis mereka. Tentu saja, awalnya Melo menolak karena mereka meminta Melodi menjadi vokalis, bukan gitaris.
Memang benar, suara Melodi bagus, tetapi ada rasa insecure dalam dirinya ketika on stage tanpa memegang gitar. Entah, rasanya ada yang kurang. Persis seperti Aqilla yang dahulu drop performance jika pick gitarnya tak berada di tangan. Namun, karena terlanjur meng-iya kan ajakan tersebut, mau tak mau Melodi harus bersikap profesional dan bertanggung jawab di atas panggung.
Lagu pertama pun berakhir dengan baik-baik saja. Sejenak Melodi menutup mata sembari menghela napas merilekskan diri hingga intro lagu kedua mulai dimainkan. Namun, bukannya makin tenang, ia justru gelisah. Terbukti, begitu suara Melodi masuk, rupanya vokal dan instrumen terdengar sumbang dan tak sinkron. Suara Melodi lebih rendah ketimbang instrumen.
'Duh, salah.' Melodi membatin dan segera memperbaiki kesalahannya. Sayangnya, satu kesalahan itu membuat ritme permainan jadi amburadul. Kurang komunikasi menjadi faktor utamanya.
Karena blunder tersebut, tak sedikit penonton yang justru tertawa. Bagi mereka kesalahan itu terdengar lucu, tapi tak begitu dengan Melodi. Gadis yang merasa kacau itu tiba-tiba saja melakukan walk out. Ia berjalan hendak meninggalkan panggung dengan mental yang hancur. Entah malu, marah, sedih, kecewa, tak ada yang tahu perasaan mana yang paling mendominasi.
"Mel, Melodi," panggil pria yang memegang gitar. Melodi mengabaikannya dan terus berjalan turun dari panggung. Mereka tak menghentikan permainan, bassist mereka maju untuk mengisi vokal yang kosong.
Di sisi lain Melodi menghilang dari kerumunan. Dengan wajah memerah, ia mencari tempat untuk menyendiri. Selain kurang percaya diri saat tak memegang gitar, tentunya permasalahan akhir-akhir ini juga ikut andil membebaninya. Begitu ia menemukan tempat yang sepi, Melo langsung duduk bersandar di dinding. Matanya tak mampu membendung air yang tumpah, ia menangis di antara kerumuman sepi.
Jika ada Deva di sini, mungkin pria itu akan duduk di sebelah Melodi tanpa kata, membiarkan Melodi mengusir gundahnya sendiri. Ia hanya akan menemani gadis itu hingga gundahnya pergi. Selepas itu, baru Deva akan menghibur Melodi entah dengan cara apa.
Sebaliknya, jika ada Ippo ....
"Aaaaa gimana ya ... coba liat ke sini deh, Alunan."
Entah hal bodoh apa yang akan pria itu lakukan untuk membuat Melodi tertawa dan melupakan sedihnya.
Sayangnya—kini tak ada siapa pun di sisinya. Deva, Ippo, bahkan teman-temannya yang lain. Bohong jika Melodi tak mengharapkan seseorang untuk datang menemaninya, saat ini ia sangat butuh kehadiran orang lain.
Hampir setengah jam Melodi menyendiri. Ketika menyadari tak akan ada yang datang, Melodi segera menghapus air mata dan beranjak dari duduknya. Ia berniat untuk pulang.
"Melodi."
Suara pria yang ia kenal membuatnya menoleh. Ditatapnya seorang pria yang dahulu pernah ia patahkan hatinya.
"Jaya ...."
Rupanya Jaya ikut meramaikan konser kecil-kecilan di kampus sebagai penonton. Begitu melihat Melodi yang walk out dan menghilang, ia segera mencari gadis itu karena khawatir.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya Jaya.
Melodi tersenyum, tetapi tak menutupi apa pun dari Jaya. "Enggak apa-apa kok."
"Kamu mau ke mana?"
"Mau pulang," jawab Melodi.
"Saya anter, ya." Jaya mendekat.
Melodi tak menjawab, ia justru tertawa. "Dulu pertama kali kita kenal, kamu pernah nawarin tumpangan dan untungnya aku bawa motor saat itu. Inget enggak? Jadi aku bisa nolak."
Jaya mengangguk. "Tapi gara-gara banyak motor lain yang nutupin motor kamu, kamu enggak bisa pulang."
"Terus kamu bantuin tanpa dimintain tolong," balas Melodi. Ia menatap Jaya dengan wajah bersalah. "Besoknya, aku enggak bawa bekel makan siang, terus kamu dengan sok pahlawannya ngasih bekel kamu ke aku. Kamu jadi dihukum gara-gara kecerobohan aku."
Jaya terkekeh sambil menggaruk kepala. "Nah itu, saya jadi disuruh lari keliling kampus."
"Terus sorenya kamu ngenalin aku sama Mamat, motor tua kamu," lanjut Melodi. "Emangnya bener, waktu itu temen kamu cuma si Mamat?"
Jaya mengangguk. "Iya, secara global cuma si Mamat doang, tapi secara harfiah, kalian temen pertama saya."
Melo menatap langit malam. "Si Mamat ngambek gara-gara keujanan, terus gara-gara itu aku jadi pulang telat dan berantem sama Deva."
Kini giliran Jaya yang memasang wajah bersalah. "Maaf ...."
"Enggak apa-apa, semua yang terjadi dalam hidup kita adalah yang terbaik buat kita kok," ucap Melodi.
"Berarti kejadian di panggung tadi juga yang terbaik, makanya jangan sedih lagi. Siapa tau, kalo kamu masih di atas panggung, ada kejadian buruk yang dateng. Siapa tau," balas Jaya.
Melodi menghela napas. "Kalo kamu mau lanjut nonton, nonton aja, Jay. Aku bisa pulang sendiri."
Jaya tersenyum. "Oke." Ia pergi meninggalkan Melodi seorang diri.
Begitu gadis itu hendak pergi dan menoleh, ia terbelalak mendapati Harits yang berdiri tak jauh di depannya. Pria bertopi biru itu muncul dengan napas terengah-engah.
"Ngapain lu, Cel di sini?" tanya Melodi heran. Tentu saja ia heran, memang tak seharusnya makhluk itu berada di sini. Habitatnya berada jauh di sekitaran Jalan Magelang, bukan di Bantul.
Harits mendekat. Ia menunjukan ponselnya pada Melodi. Ada sebuah tayangan yang masih sangat panas dan cukup viral. Sebuah video yang memperlihatkan kejadian beberapa menit lalu.
"Oh itu, gua pikir apa," ucap Melodi dengan sisa-sisa sendu di wajahnya.
"Lu kenapa?" tanya Harits.
"Enggak kenapa-napa," jawab Melo.
"Gua ke kosan lu, lu enggak ada. Gua cari lu ke mana-mana, lu juga enggak ada. Untung Jaya ngabarin, jadi bisa ketemu lu."
Melo tersenyum meledek. "Khawatir lu ya?"
"Iyalah, bego! Pikir pake otak. Lu kenapa sih?" tanya Harits.
"Yaaaa—emangnya kenapa?" Gelagat Melo agak aneh, ia dibuat salah tingkah oleh pria bertopi biru di depannya.
"Udah makan lu?" tanya Harits.
"U-udah, kenapa?"
"Lu kan kalo sedih makannya banyak. Udah ayo gua traktir makan sini," balas Harits. Tanpa sadar ia tahu kebiasaan Melodi yang kerap galau semenjak kepergian Ippo. Gadis itu cenderung lebih banyak makan ketika ia merasa sedih.
Melodi terkekeh, tetapi juga mengangguk. "Ayo deh. Traktir loh ya!"
"Iye, ayo buru." Harits memutar arah dan melangkah menuju motornya terparkir.
Melodi berjalan di belakangnya dengan senyum yang ia buat tanpa sadar. Kehadiran Jaya dan Harits membuat Melodi merasa tak sendirian.
***
Motor Vario biru milik Harits berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan.
"Mas, pecel ayamnya dua, nasinya pake nasi uduk," pesan Harits. Ia kemudian menatap Melodi. "Pecel ayam, enggak ada nego-nego, enggak ada terserah, enggak ada penolakan."
"Siap!" balas Melodi. "Eh, ngomong-ngomong—Sekar emangnya enggak cemburu kalo lu berduaan sama gua?"
Harits terdiam. "Cemburu lah," jawab Harits.
"Terus lu ngapain malah ke sini? Jahat lu."
"Lebih jahat biarin seorang sahabat terpuruk sendirian. Sekar juga paham kok, toh sifat ini yang dia suka dari gua meskipun itu nyakitin dia."
Mendengar jawaban Harits, Melodi terdiam. Banyak sifatnya yang mungkin melukai Harits, tetapi orang itu ada di sini untuknya ketika tak ada siapa pun.
"Rits ...."
"Gua berpikir, kenapa harus tinggal bareng lu-lu pada sih?" celetuk Harits. "Gara-gara lu, gua berasa kayak orang tolol di depan Nada. Gua sama Deva juga kurang akur karena masalah Simfoni Hitam dulu. Belum lagi Nada—banyak hal yang gua enggak suka hidup bareng kalian."
Melodi merasa tak memiliki kata-kata yang pantas untuk membalas ucapan Harits.
"Tapi siapa yang sangka, gua merasa kehilangan ketika kita semua berpisah. Karena gua tau rasanya kesepian, seenggaknya gua enggak mau lu semua ngerasain hal yang sama. Makanya sekarang gua ada di sini, biar lu paham makna seorang sahabat. Entah ya, liat video lu yang kek kena mental gitu, gua takut lu kenapa-napa, tanpa pikir panjang gua udah di sini."
"Makasih udah hadir buat gua ...."
"Gua cuma satu orang, Mel. Seandainya ada anak Mantra yang merasa kesepian dan lu tau itu, temenin dia. Mantra itu cuma sebatas turunan dari bokap-bokap kita, tapi setelah dipikir-pikir, kayaknya enggak deh. Kita yang jalanin ini semua dan gua merasa semua ini tuh kayak sihir. Mantra itu artinya susunan kata yang mengandung kekuatan ghaib, Mantra itu kayak puisi, punya rima dan irama. Ini bukan sekadar cerita masa lalu yang diwarisin. Kalo ini cuma warisan kayak gitu, mungkin gua enggak akan merasa kehilangan."
"Mantra itu—tumbuh di dalam diri kita dan mengakar," sambung Melodi. "Jujur gua pun merasa kehilangan, tapi di sisi lain gua merasa enggak bisa terus bareng kalian. Kalian bukan penghambat, tapi gua merasa enggak akan maju."
"Udah berapa lama lu terbebas dari Mantra-mantra itu? Apa sekarang lu lebih baik?" tanya Harits. Ia menggeser ponselnya ke depan Melodi, ada sebuah pesan dari Zara untuk Harits lewat sebuah kolom chat. "Si Zara-Zara ini contoh temen yang enggak boleh lu tinggalin sih, dia sampe niat cari kontak gua dan minta tolong buat hibur lu."
"Harits, sorry ganggu. Ini gua Zara temennya Melodi di kampus. Gua enggak terlalu paham ada apa sama kalian, tapi setelah kalian pisah, Melo itu kayak kehilangan dirinya sendiri. Mungkin dia enggak sadar, tapi ini lebih parah daripada waktu kehilangan Ippo. Tolong bantu dia ya, gua cuma ada satu, jadi enggak bisa terus-terusan ada di samping dia."
"Lu bilang lu mau berkarya, tapi faktanya lu jadi kurang produktif. Apa Mantra-mantra itu penyebab lu enggak maju?" Harits menggeleng. "Tanpa lu sadar, justru sebaliknya."
Setelah dipikir-pikir, perkataan Harits ada benarnya. Sejak memutuskan hidup sendiri, Melo lebih sering merenung ketimbang berkarya. Ia seperti memiliki beban pikiran yang tak pernah menemui solusi.
"Dulu lu sama Rekustik lebih aktif, terus di luar kampus, lu punya gua, kan? Kita akustikan sambil nyamar. Okelah, kita semua punya mimpi, tapi menurut gua untuk menggapai mimpi-mimpi itu kita butuh support. Enggak ada orang yang bisa sampe ke bulan dengan usaha dia sendiri sih," lanjut Harits. "Si tangan kuat juga enggak bisa."
Melodi memicingkan mata. "Si tangan kuat siapa?"
"Neil arm strong," jawab Harits.
Melodi terbahak-bahak. "Receh banget lu!"
"Lah, tapi suka kan lu?"
"Iya sih," jawab Melodi. Tiba-tiba mereka berdua terdiam. "I-iya suka jokes-jokes lu maksudnya, Cel."
"I-iya tau gua juga kok nyahahaha. Masa suka sama gua, aneh lu."
Keadaan mendadak akward. Untungnya pesanan mereka berdua datang sehingga ada jeda untuk mencairkan suasana kembali.
"Gua boleh nambah?" tanya Melodi.
"Enggak."
"Kata lu mau traktir gua sepuasnya?"
"Makan tuh kata-kata gua. Kalo makanan beneran ya cuma ini, duit gua enggak banyak, tapi bacotan gua berlimpah," balas Harits.
"Yeuuu aneh!"
Lanjut, mereka berdua menghabiskan makanan masing-masing hingga piring mereka bersih tanpa noda.
"Lu enggak pulang?" tanya Melodi.
"Pertanyaan bodoh," jawab Harits. "Ayo gua anter lu pulang dulu, abis itu baru gua pulang." Harits berdiri dan berjalan menuju kasir. Setelah membayar, ia mengantarkan Melodi ke indesoknya.
***
"Hati-hati lu." Melodi mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya pada Harits.
"Oke." Harits menempelkan kepalan tangannya pada tinju Melodi.
"Berkabar kalo udah sampe kosan, Cel."
"Kayak apa aja lu," balas Harits.
"Udah malem, takutnya lu kenapa-napa. Pokoknya lu kabarin gua, kalo enggak ada kabar, gua ke kosan lu, gua cari lu sampe ketemu."
"Nyahaha lebay lu! Ya udah, nanti berkabar lagi. Bye." Harits memutar motornya dan pergi dari hadapan Melodi.
Begitu Melodi memutar arah, ia menyadari ada seorang pria yang duduk tak jauh dari kosannya. Pria itu berjalan ke arah Melodi berdiri.
"Gua enggak nyangka, lu malah kabur dan pacaran," ucap pria yang merupakan gitaris dari band Melodi di event tadi.
"Udah gua bilang, gua enggak bisa nyanyi tanpa gitar," balas Melodi.
Pria itu menggeleng. "Alesan lu." Ia menyodorkan amplop pada Melodi. "Ini bayaran lu."
"Enggak usah, gua cuma bawain satu lagu, sisanya ngancurin suasana doang." Melodi menolak untuk diberikan bayaran.
"Terserah." Pria itu melempar amplop berisi uang ke tanah, lalu pergi. Sebenarnya bukan karena tingkah Melodi di panggung yang membuatnya marah, tetapi karena Melodi baru saja di antar oleh seorang pria. Ia suka dengan Melodi dan saat ini merasa cemburu sekaligus kecewa.
Melodi memejamkan mata, ia merasa malu karena kejadian di kampus tadi, tetapi bukan begini caranya. Melihat amplop itu dibuang ke tanah membuat Melodi merasa bahwa harga dirinya sedang direndahkan. Tanpa peduli dengan uang itu, Melodi berjalan masuk kedalam kos.
Kosan Melodi merupakan sebuah bangunan berlantai tiga yang memang dikhususkan untuk kos-kosan. Setiap lantai memiliki kurang lebih lima belas kamar. Ya, tempat ini tergolong mewah, bahkan dibandingkan dengan Nada atau bahkan yang lainnya, kos-kosan Melodi relatif lebih mahal.
Malam kian sendu, Melodi mencumbu senar gitarnya tanpa suara. Ia lebih suka bernyanyi dengan jari-jemarinya ketimbang mulut. Pada satu titik, salah satu senarnya putus hingga membuat tangan Melodi terluka.
Kasihan luka itu, ia tak salah, tetapi dijadikan kambing hitam oleh Melodi sebagai alasan untuk menangis.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top