185 : Harits
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Senja melahirkan nada-nada sendu, Harits duduk termenung menghabiskan waktu di pinggir pintu. Tak ada alasan tertentu, hanya sebuah kebiasaan baru yang tercipta akibat bisikan-bisikan rindu.
Helaan napasnya merajai kesunyian yang merekat pada tiap sudut-sudut ruang. Harits beranjak dari duduknya, lalu berjalan keluar kamar. Ia menutup pintu dan menguncinya, seraya mengenakan sandal tanpa topi birunya. Sore ini Harits berniat untuk menangkap udara segar, ya, begitulah kesehariannya sepulang kuliah. Rasa bosan kerap membuatnya dilumat pilu.
Sama seperti langit sore, hampir tak ada mentari di wajahnya. Selain kehilangan Mantra dan seisi-isinya, salah satu faktor yang membuat Harits seperti ini adalah kehilangan kemampuan untuk melihat dan berinteraksi dengan mereka yang tak terlihat.
Tak banyak yang tahu, ketika merasa sendiri, pria itu tak jarang sudi mendengarkan cerita masa lalu para arwah. Terkadang sedih, terkadang marah, terkadang penasaran, dan terkadang pula Harits tertawa mendengar cerita-cerita mereka.
Memang, masa lalunya cukup kelam dan tidak bersahabat dengan para makhluk itu, tetapi waktu perlahan mengikiskan keras hati Harits dan memadamkan api amarah dalam dirinya. Lambat laun Harits berdamai dengan dirinya sendiri, juga berdamai dengan mereka yang tak berniat untuk mengganggu. Ya, Harits berbeda dengan Andis yang kerap membantu. Ia tak pernah membantu arwah, hanya sebatas berinteraksi. Ia pikir kemampuannya adalah kutukan, tetapi rupanya yang namanya kutukan itu adalah ketika kita kehilangan apa pun yang menjadi bagian dari diri kita. Kini hari-harinya menjelma sepi.
Harits berjalan hingga langkah kakinya berhenti di depan kosan Sekar. Jarak antara kos Harits dan Sekar tak cukup jauh. Hanya berkisar 10-15 menit saja jika berjalan kaki.
Tak lama berselang, Sekar keluar. Mereka sudah janjian untuk bertemu dan makan sore bersama. Katanya Sekar sedang menghindari makan malam lantaran berat badannya bertambah akhir-akhir ini. Dugaannya karena sering makan terlalu malam. Makanya, mereka memutuskan untuk makan sore.
Harits menyadari sesuatu, ketika Sekar membuka pintu, ia selalu menatap ke arah Harits, tapi sebenarnya bukan. Tatapan itu tertuju ke arah belakang pria itu. Namun, tatapan itu hanya sepersekian detik saja, jadi selama ini Harits tak terlalu menghiraukannya.
"Yuk," ucap Sekar. Ia berjalan di sebalah Harits dan menggandeng tangan pacarnya.
Di perjalanan menuju rumah makan, hampir tak ada percakapan. Mereka hanya berjalan sambil bergandengan tangan saja. Harits menghela napas, rupanya ia memang harus membuka topik obrolan. Ya, sekalian, sudah saatnya menuntaskan dahaga akan rasa penasarannya.
"Sebenernya kamu liat apa sih?" tanya Harits.
"Liat kamu," jawab Sekar dengan gombalannya. Gadis itu menatap Harits sambil tersenyum.
"Bukan. Setiap aku jemput kamu dan setiap kamu keluar, sesaat sebelum kamu liat aku, kamu biasanya liat sesuatu yang ada di belakang aku. Kamu liat apa?"
Sekar memicingkan mata menatap wajah pria di sampingnya. "Liat apa?"
"Kita sama-sama tau kalo masing-masing kita itu punya kemampuan bisa ngeliat mereka, kan? Aku udah bilang, kemampuan ku tiba-tiba ilang dan enggak bisa liat mereka lagi, tapi bukan berarti aku enggak mau tau. Aku penasaran, sebetulnya di belakang ku ada apa?"
"Enggak ada apa-apa kok," jawab Sekar.
"Kemarenan kamu bilang ada anak kecil ngikutin aku, dia masih ada?"
Sekar terdiam, ia tak tahu harus berkata apa. Melihat wajah Sekar yang murung, Harits mengurungkan niatnya untuk mengorek jawaban. "Aku enggak tau apa-apa, tapi kalo emang berat buat jawab, kamu simpen aja jawabannya. Nanti, kalo udah waktnya, jangan lupa kasih tau, ya," ucap Harits sambil tersenyum.
"Rits, sebagai orang yang mampu melihat, mendengar, dan berbicara dengan mereka, terkadang ada hal yang kita, manusia enggak boleh kasih tau sama orang yang enggak punya kemampuan ini. Pada dasarnya semua hal ghoib itu misteri, dan biarin aja itu jadi misteri. Kita beda alam, kita fokus aja sama kehidupan kita selagi kita masih dikasih waktu buat hidup. Maaf ... ada banyak hal yang enggak harus kamu tau. Bukannya aku enggak mau kasih tau, tapi aku cuma berusaha menjaga apa yang seharusnya."
"Enggak usah merasa gimana-gimana, aku ngerti kok. Makasih ya, udah mau jelasin dan jujur sama apa yang mau kamu ucapin," balas Harits. Jempolnya mengelus punggung tangan Sekar dengan lembut. "Kalo enggak boleh tau tentang mereka, berarti boleh tau tentang kamu lebih banyak lagi?"
Sekar mengangguk. "Boleh, tapi ada juga yang enggak boleh."
"Kok gitu?" tanya Harits, wajahnya agak kecewa. "Kamu nyembunyiin apa dari aku?"
Wajah Sekar memerah. "Nanti kalo udah nikah baru aku kasih tau."
"Nyahaha perjalanan masih panjang, Bung! Tapi enggak apa-apa, intinya jangan pernah bosen ceritain kisah hidup kamu ke aku, ya," ucap Harits.
"Kamu juga jangan bosen dengerin kisah hidup aku, ya," balas Sekar.
***
Mentari dilumat gelap, setelah makan sore dan mengantar Sekar hingga pintu kosannya, Harits berjalan pulang. Sejujurnya ia masih dihantui rasa penasaran perihal sesuatu yang mengikutinya.
Jalanan di perkampungan sudah sepi ketika gelap menjemput, Harits harus melewati jalan yang kanan kirinya sawah dan sungai. Hanya ada beberapa penerangan di pinggir jalan, tetapi kegelapan lebih mendominasi.
Berkisar beberapa meter di depan, ada seorang Ibu dan anak kecil yang berjalan berlawanan arah dengannya. Si Ibu dengan plastik belanjaannya, dan si anak yang kira-kira masih duduk di kursi TK.
Tadinya mereka berdua berjalan segaris lurus dengan Harits, tetapi tiba-tiba si anak menggandeng ibunya agak kepinggir agar tidak sejalur dengan pria di depan mereka. Harits menyadari itu, tetapi ia tak mau pusing dan terus berjalan dengan cuek hingga jarak mereka menipis.
Belakangan ini ketika Harits sedang berjalan kaki, atau joging di sekitaran Jalan Magelang, segelintir anak-anak menatapnya dengan rasa takut. Terutama anak bayi, bayi-bayi itu selalu menangis ketika kehadiran Harits semakin dekat, mereka seperti mendeteksi kehadiran lain dengan radar mereka. Hal itulah yang membuat Harits merasa tak nyaman dan memutuskan bertanya pada Sekar perihal sesuatu yang mengikutinya, tetapi ternyata Sekar yang tahu jawabannya tak mau memberikan Harits sedikit pun contekan. Bagi Sekar, bagaimana pun, mencontek adalah hal yang salah, apa lagi mencontek hal ghoib.
"Holmaaaat ... glak!"
Harits mengerutkan kening ketika anak yang kini berada di sebelahnya tiba-tiba menghadap ke arahnya sambil memberikan hormat. Dengan wajah cool Harits menatap tipis dan membalas hormat anak tersebut, lalu kembali menatap ke depan, terus berjalan maju.
Selepas Harits melewatinya, anak itu memutar arah mengikuti arah Harits berjalan, menatap punggung pria itu dengan mata berbinar. Tingkah yang agak aneh dari anak itu membuat Ibunya berhenti melangkah dan menatap ke belakang, ke arah anaknya yang sedang berdiri menghadap pria yang barusan lewat.
"Dek, kamu ngapain sih? Kamu kenal orang yang barusan lewat?"
Si anak membuka mulut, ia hendak memberitahu Ibunya perihal hormatnya pada Harits.
"Sssstttt ...."
Terdengar suara lirih di telinga si anak yang membuatnya tersenyum pada ibunya. Ia menempelkan jari telunjuk ke depan bibirnya dan mengurungkan niat untuk bercerita. "Rahasia." Lalu mereka lanjut berjalan.
Tak banyak yang tahu, bahwa seorang anak kecil berpakaian serba hitam sedang menatap anak itu dengan wajah ramah penuh senyum. Ia menempelkan jari telunjuk ke depan bibir untuk membuat anak itu bungkam. Setelah anak itu bungkam, si anak berpakaian hitam lanjut berjalan mengikuti Harits.
Mungkin di mata orang normal, Harits selalu berjalan sendirian, tetapi di mata sebagian anak-anak, dan juga orang-orang yang memang mampu melihat kehadiran 'mereka', Harits ... pria itu berjalan dengan burung hantu yang selalu bertengger di pundaknya. Selain burung hantu, ada seorang anak kecil berparas tampan dengan pakaian serba hitam yang selalu berjalan di belakangnya, bersebelahan dengan manusia berkepala banteng. Di belakang anak berpakaian hitam dan manusia banteng, ada puluhan, atau mungkin ratusan anjing-anjing hitam bermata merah. Ketika Harits berjalan, ia selalu membawa sebuah parade yang hanya bisa disaksikan sebagian kecil orang dengan kemampuan khusus.
Mungkin Harits sudah kehilangan kemampuannya untuk melihat hal yang tak terlihat, tetapi darah Sagara masih mengalir dalam tubuhnya.
Mungkin buku penjara jiwa sudah hancur tanpa sisa, tapi tak butuh buku untuk menjadi seorang Raja.
Makhluk-makhluk yang mengikuti Harits sudah mengakui bahwa Harits adalah orang yang pantas mereka ikuti. Di saat pria itu sedih, para makhluk ini berusaha menghibur Harits dengan Caranya sendiri. Salah satunya memberi informasi terkait insiden Nada dan Cakra di Maguwo beberapa hari lalu. Seutas benang menuntun pria bertopi biru itu menemukan keberadaan kedua temannya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top