184 : Bukan Lomba
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Nada terengah-engah mencari keberadaan Jaya, tapi hingga sepuluh menit berlalu ia masih belum menemukan pria itu di mana pun.
"Duh, kemana perginya dua orang itu sih?" ucap Nada bermonolog sembari bersandar di dinding.
Ketika sedang beristirahat sejenak, dari kejauhan terlihat Arai yang sedang berjalan ke arahnya. Tatapan pria itu tajam menatap ke arah Nada, membuat Nada gemetar.
Nada hendak bertanya perihal keberadaan Jaya yang belum terlihat, tetapi ia mendadak gagu karena dilumat rasa takut. Keberadaan Arai membuatnya gelisah. Tubuhnya gemetar ketika Arai berhenti sesaat di hadapannya, sebelum akhirnya pria itu melewati Nada begitu saja.
"Temanmu ada di parkiran," ucap Arai menunjuk ke belakang, arah ia datang.
Nada mengangguk dan segera berjalan cepat meninggalkan Arai. Arai menatap punggung gadis itu dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar Rama.
Sesampainya di depan pintu ruangan, Arai samar-samar mendengar suara tangisan lirih dari arah dalam. Tak ada pasien lain di ruangan itu selain Rama. Ia berasumsi bahwa pertemuan Rama dan Nada tidak berjalan baik. Arai menghela napas, lalu memutar arah. Ia urung masuk dan lebih memilih memberikan ruang pada Rama untuk menyendiri. Tidak seperti perempuan yang butuh pundak ketika bersedih, bagi Arai, ketika seorang pria menangis, maka yang ia butuhkan hanyalah kesendirian. Air mata seorang pria bukanlah sebuah tontonan, sebaik-baiknya teman untuk menghapus kesedihan adalah waktu.
Arai memang keras dan terkesan brutal, tapi ia adalah pria yang paling banyak menampung luka. Entah sudah berapa orang yang datang dan pergi dalam hidupnya. Bahkan pria itu menjadi saksi hidup gugurnya para Dayak yang berperang mempertahankan tanah mereka. Tak ada yang mampu membasuh lukanya selain waktu.
Di sisi lain Nada tiba di parkiran. Ia menatap Jaya yang sedang duduk termenung di atas motornya.
"Jaya!" panggil Nada. Gadis itu berlari ke arah Jaya.
Jaya menoleh ke arah Nada. "Udah jenguknya?"
Nada yang kini berdiri di hadapan Jaya pun mengangguk menimpali pertanyaan barusan. Ia tampak menatap Jaya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. "Kamu enggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa kok, kenapa?" tanya Jaya balik.
"Enggak luka, kan?" tanya Nada.
"Enggak kok," jawab Jaya.
"Tadi ngapain sama Arai?"
Jaya tampak sedang berpikir. "Ngobrol doang."
"Yakin ngobrol doang?"
"Iya."
Nada menghela napas. "Syukur deh kalo enggak apa-apa, aku khawatir."
Jaya terkekeh. "Santai. Ya udah, kalo udah selesai, yuk kita pulang."
"Tapi boleh mampir dulu enggak, Jay? Mau jajan," ucap Nada.
"Ke mana?"
"Sunmor! Nanti aku jajanin," jawab Nada.
"Oke, berangkat."
***
Sunmor UGM.
Sepulang menengok Cakra, Deva menyempatkan diri ke Sunmor untuk membeli sandal. Suasana di sana agak becek, tapi mau bagaimana lagi, sendal Deva putus karena dipinjam Harits saat main ke kontrakan. Ia tak mungkin terus menerus menggunakan sepatu.
Saat menyusuri stand demi stand, Deva tiba-tiba berhenti ketika dari kejauhan menemukan sesosok Harits dengan Mantra Coffee-nya.
Melihat pria bertopi biru dengan apron hitam itu, Deva tertunduk. Entah, rasanya tak enak saja. Padahal seharusnya Deva bisa bersikap biasa saja, tapi di hati kecilnya ada rasa bersalah melihat Harits berjuang sendirian. Ya, mau bagaimana lagi? Semua ini sudah menjadi keputusan bersama. Baik Harits yang ingin bertahan maupun Deva yang ingin melepaskan, keduanya tak ada yang salah, mereka memiliki alasan tersendiri. Namun, sejujurnya Deva pun rindu rasa kopi hitam racikan barista kecil itu. Pada akhirnya, Deva memutuskan untuk menemui Harits.
"Yo," sapa Deva.
"Selamat datang di Mantra Coffee, mau pesan apa?" ucap Harits.
"Lu kayak bot aja, jawab pake template begitu," balas Deva.
"Nyahaha kan mau gimana juga, sekarang lu pelanggan."
Deva terkekeh. "Ya udah, gua mau long black satu."
"Panas atau dingin, Kak?" tanya Harits bercanda.
Deva menggeleng tersenyum. "Kayak biasanya aja."
"Oke, ditunggu." Barista bertopi biru itu segera membuatkan kopi pesanan Deva sambil terkekeh.
"Lah, Mas Harits, Mas Deva." Jaya tiba-tiba muncul bersama si gadis peremuk hati.
Deva dan Harits menatap mereka berdua seperti halnya Jaya dan Nada yang menatap mereka berdua.
"Selamat datang di Mantra Coffee, mau pesen apa, Kak?" tanya Harits.
Deva menatap Jaya, menebak pesanan pria itu. "Espresso?"
Jaya terkekeh. "Hahaha tau aja. Boleh deh espresso."
Nada hendak menyebut pesanannya, tapi mulutnya berhenti ketika mendengar sebait bisikan.
Jaya menghadap belakang. "Aduh, jadi beli gara-gara Mas Deva ..., gumamnya lirih. Niatnya, Jaya hanya mengantar Nada saja dan tidak ada niat untuk mengeluarkan uang untuk jajan-jajan.
Mendengar celotehan Jaya, Nada jadi tertawa. "Aku mau signature. Jadi dua ya." Gadis itu mengeluarkan uang dari dompetnya dan membayar dengan uang besar.
"Wah, Kak ...." Harits menatap uang seratus ribu milik Nada. "Belum ada kembalian."
"Ya udah, ini buat aku, Jaya, sama Deva."
"Tetep masih belum ada kembalian, Kak. Enggak ada uang kecil aja?"
"Americano double shot." Suara berat itu membuat mereka berempat menoleh.
"Kebin!" pekik Nada.
Kevin dengan kaos putih polos dibalut jaket parasut merah marun dan celana pendek olahraga hitam tiba-tiba muncul. Nampaknya ia baru selesai joging di tengah hujan yang belum lama mengguyur Jogja.
"Takdir macam apa ini?! Tinggal si comel doang yang belum muncul," ucap Harits.
"Kosan dia jauh, Harits. Enggak mungkin Melodi ada di sini," balas Nada.
"Nyahahaha benar juga anda. Dia kan keteknya bau, mana mungkin berani berbaur dengan manusia sebanyak ini. Apa lagi abis ujan, makin aur-auran ke mane-mane baunya."
Seorang pengamen dengan topi dan kacamata hitam tiba-tiba menghampiri stand Mantra. Ia berjalan hingga berada di sebelah Harits. Semua terdiam menatap orang itu.
"Selamat datang di Man ...." Harits hendak menyapa, tetapi ia mendadak diam dengan kedua mata terbelalak. "AAAAAARGH!" pekiknya ketika orang itu tiba-tiba saja menghentakkan kaki secara cepat dan kuat tepat di atas kaki Harits.
Semua menatap heran pada pengamen yang tiba-tiba datang dan langsung menginjak kaki Harits dengan beringas. Mereka ingin membantu Harits, tetapi rasanya ini menyangkut urusan personal, jadi semua memilih untuk diam menyimak terlebih dahulu.
Seorang pengamen lain berlari dari arah kiri dan langsung memegangi temannya yang sedang mengamuk.
"Maaf! Maafin temen saya!" ucapnya penuh rasa bersalah pada Harits yang masih tampak kesakitan.
"Enggak usah minta maaf, Zar! Dia pantes dapetin itu!" balas temannya.
Semua memicing ketika mendengar suara lembut perempuan dari mulut pengamen yang baru saja bertindak ganas pada Harits. Suara tersebut terdengar sangat familiar.
"Melodi?" ucap Deva. Pria gondrong itu sangat kenal suara tersebut.
Orang itu membuka kacamatanya, rupanya memang benar, ia adalah Melodi yang sedang menyamar. Maklum, tak sedikit orang yang mengenalnya dan kerap mengajak berfoto karena popularitas Melodi sebagai selebgram sekaligus anak dari Aqilla Maharani. Melo bukannya sombong, hanya saja terkadang ia merasa terganggu karena reputasinya sendiri. Ia seperti tak punya waktu untuk menikmati kebebasan.
"Ngomong apa lu barusan?!" tanya Melodi pada Harits dengan nada nyolot. Rupanya gadis cantik itu mendengar apa yang Harits ucapkan.
Harits berjongkok mengusap kakinya yang merah. "Gila lu, ya?"
"Lu gila!" balas Melodi.
"Lu!" balas Harits lagi. "Dateng dateng maen injek."
"Mulut lu sih dekil, belom disapu!" Setelah marah, Melodi menghela napas, ia melihat sekelilingnya. Semua rekan-rekan Mantra berkumpul pada satu titik, seolah takdir lah yang menggiring mereka semua ke sini.
Tatapan Deva mendadak layu. "Sekarang kurang Cakra, ya ...."
Ucapan Deva membuat mereka semua menunduk dan tak berani saling berpandangan.
"Barusan gua abis nengokin Cakra," lanjut Deva.
"Gimana keadaan Cakra sekarang?" tanya Nada.
Melihat wajah Deva, mereka semua dapat menerka garis besarnya. Cakra sedang tidak baik-baik saja. Deva menggeleng sebagai jawaban.
"Gua harap kalian enggak nengokin Cakra untuk sementara waktu, dia belum boleh ketemu orang lain. Kita kirim aja doa terbaik kita buat Cakra semoga dia lekas sembuh," lanjut Deva. Pria gondrong itu tak ingin teman-temannya melihat Cakra yang sekarang. Entah, Deva berpikir bahwa lebih baik mereka tak mengetahui kondisi Cakra sementara ini. Melihat Cakra yang seorang diri di ruangan dengan kondisi seperti itu membuatnya ikut merasa sakit. Deva hanya tak ingin teman-temannya merasakan hal yang sama.
"Cakra ... sendirian, ya?" tanya Nada. Gadis itu tampak khawatir, ia memang masih takut, tapi tak bisa dipungkiri bahwa Nada adalah orang yang paling merasa bersalah perihal kondisi Cakra.
Deva mengangguk menanggapi pertanyaan Nada. Nada hendak bicara, tetapi baru saja membuka mulut, tiba-tiba sekujur tubuhnya merinding bukan main. Gadis itu sontak menoleh. Rupanya itu adalah Harits yang menempelkan segelas es kopi gula aren ke tengkuk Nada.
"Serius-serius amat," ucap Harits dengan nada bercandanya. "Nih minum dulu."
"Apaan sih?! Dingin tau!" balas Nada. Gadis itu tampak marah karena tingkah Harits. Menurutnya Harits membuyarkan momen yang deep ini dengan guyonannya. Entah, rasanya pada momen ini Nada ingin banyak bercerita perihal kegundahannya. "Enggak bisa lihat situasi apa?"
"Bagus, biar adem. Jangan bikin suasana panas, tapi jangan juga dibikin mendung lagi. Hujan yang berlebihan itu enggak bagus, kan? Sama, kemarau panjang juga enggak bagus."
"Tapi ...." Nada hendak membalas, tapi lagi-lagi Harits memotong.
"Hidup itu simpel, jangan dibikin lepmis. Tar kebalik nyahaha."
Jaya terkekeh melihat kelakuan Harits yang menurutnya keren. Harits bagaikan equalizer yang mampu mengatur tempo dan mengontrol suasana. "Satu quotes buat Cakra, Mas!" sambung Jaya, ia menyambar bagai petir. Pria itu merasa bahwa momen harus berpihak pada Harits yang sedang berusaha mewarnai mereka semua agar tidak kelabu.
"Semua masalah pasti akan berlalu!" balas Harits.
"Mantep!" lanjut Jaya.
"Dan melahirkan masalah baru nyahaha," lanjut Harits.
"Cocok buat Cakra tuh!" Jaya bertepuk tangan sambil tertawa. "Saya juga punya."
"Sikat!" balas Harits.
"Setiap orang punya hak untuk munafik, maka munafiklah! Itu hak."
"Nyahaha gokil, Bung Jaya."
"Aku! Aku! Aku!" Melodi mengangkat tangan. "Apabila terlanjur bermuka dua, maka berjuanglah lebih keras. Inget! Kebutuhan skincare kamu nambah!"
"Nyahaha bisa-bisa, meskipun Cakra mukanya empat."
Deva menggeleng. "Enggak jelas."
"Coba, Dev," bujuk Melo dengan tampang penuh harap.
Wajah Deva memerah, ia tak bisa menolak permintaan gadis itu. "Be-berhentilah menyalahkan keadaan," ucap Deva. "Sudah saatnya menyalahkan teman kamu yang beban itu."
Semua tertawa dengan kegiatan random ini. Kini semua menatap Kevin, berharap pria tampan itu ikut memberikan quotes-quotes tidak berguna seperti yang sudah-sudah.
"Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka capeklah dia!" celetuk Nada.
"Nyahaha bisa-bisa. Makin jago aja lu pada, ye," balas Harits. Tatapannya beralih dari Nada ke Kevin. "Tinggal lu doang nih, Pin. Hajar!"
"Pas," balas Kevin yang menyerah sebelum berusaha. Semua sontak menyorakinya sambil memberikan jempol ke bawah. "Wuuuuuu!" Namun, setelah menyoraki Kevin, mereka semua tertawa kembali.
Kevin menghela napas, ia tahu ini hal bodoh, tapi sesekali kebodohan itu diperlukan dalam sebuah persahabatan. Rasanya ia tak ingin momen seperti ini berakhir. Ketika keadaan mendadak hening karena tawa mereka semua habis, Kevin memberikan penutup.
"Jangan mengulangi kesalahan yang sama ...." Kevin berhenti sejenak. Semua mata tertuju pada pria tampan itu, menunggu kalimat lanjutannya. "Karena kesalahan yang lain adalah another mistake."
"Pffftt ...." Melodi menahan tawa hingga ludahnya tersebur mengenai wajah Harits. Siapa yang menduga pria sejenis Kevin bisa-bisanya ikut-ikutan seperti Harits.
"Jorok banget najis Melodoy, jigong komodo disembur-sembur. Ketawa mah ketawa aja blog!" ucap Harits.
"Enggak sengaja, namanya juga terkejut," balas Melodi. "Jadi cowok kasar banget!"
"Daripada lu, kasir! Nyahaha," ledek Harits.
"Yeee biarin, kasir paling cantik di dunia!"
"Jadi lu itu kasir apa musisi?" tanya Harits. Dua manusia itu mendominasi situasi dengan ceng-cengan mereka.
Zara tersenyum melihat Melodi yang ceria kembali. Ia agak menjauh tak ingin merusak momen berharga ini. Entah, di sisi lain rasanya Melodi dan Harits agak cocok dan serasi.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top