183 : Apa Kita Akan Baik-Baik Saja?
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Malam kelabu telah berlalu, pagi ini Deva berdiri di depan sebuah rumah minimalis bernuansa putih. Rumah itu merupakan tempat keberadaan Cakra saat ini. Semalam Ajay membawanya ke sana. Katanya, rumah itu merupakan rumah dari seseorang yang mungkin bisa membantu Cakra pulih dari keadaannya sekarang. Deva berjalan ke halaman dan mengetuk pintu rumah.
Tok ... tok ... tok
Pintu terbuka, seorang gadis berkaos putih dan celana pendek hitam di atas lutut berdiri di balik pintu. Ia memiliki rambut sepanjang bahu berwarna campuran hitam dan kuning bambu. Gadis itu mengintip dari celah pintu yang tak seutuhnya terbuka. Ia menatap pria asing di depan pintu rumahnya. "Siapa, ya?"
Belum sempat Deva memberitahu namanya, tiba-tiba gadis itu memicing. "Kak Deva Martawangsa? Presma UGM?"
*Presma : Presiden Mahasiswa.
"I-iya," balas Deva.
Gadis itu melihat sekelilingnya, memastikan apakah ada orang lain selain Deva atau tidak. "Mau ngapain ke sini?" tanyanya heran.
Deva mengangkat kantong plastik putih berisi buah-buahan yang ia bawa. "Mau nengokin Cakra."
"Oh, temennya Cakra." Gadis itu membuka pintu rumahnya lebar-lebar. "Monggo, masuk."
Deva mengikuti gadis itu masuk ke dalam rumah. Rupanya ia tidak sendirian, ada seorang wanita tua yang berdiri di samping meja makan. Nampaknya wanita itu baru selesai memasak, sebab di samping meja makan tersebut ia sedang meletakan beberapa menu makanan yang terlihat masih hangat.
"Temen kamu, Dek?" tanya wanita itu.
"Bukan, ini Deva Martawangsa, temennya Cakra," jawab si gadis muda.
"Anaknya Dirga Martawangsa pasti?" tanya wanita itu sembari tersenyum.
Deva mengerutkan kening. "I-iya."
'Ini keluarga cenayang atau apa sih? Anaknya tau nama gua, ibunya tau bokap gua.' Pikir Deva.
"Ibu kenal sama Dirga karena Ayah kamu itu sahabatnya Fajar." Wanita itu duduk di salah satu kursi meja makan. "Dulu waktu Fajar kuliah, dia sempet bantu-bantu Ibu di kantor bareng Ibunya Cakra. Enggak jarang kita bertiga ngabisin waktu di Mantra Coffee juga. Makanya, saya kenal sama anak-anak Mantra termasuk Dirga."
"Wah, saya jadi mendadak terkenal gara-gara Mantra deh," balas Deva berguyon diiringi kekehan tipis.
"Udah sarapan belum? Anak kosan kan biasanya dirapel makan pagi sama makan siangnya, sini ikut sarapan bareng. Kebetulan makanannya baru mateng. Oh iya, perkenalkan, saya Ajeng."
Ajeng merupakan kenalan sekaligus mentor Ajay dulu sewaktu berkuliah. Ajay sempat menjadi asisten seorang Psikiater dan cukup lama bekerja di sana bersama dengan Senja.
"Enggak usah repot-repot, Bu," balas Deva. Matanya sesekali melirik ke arah gadis yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
Menyadari itu, Ajeng menatap sinis ke arah putri bungsunya yang sedang bermain ponsel di sofa. "Hana, pake celana sana, malu ada cowok."
"Apaan sih, ini udah pake tau," balas gadis yang tampak tak hirau itu. Saat ini ia sedang terfokus dengan layar ponselnya.
"Kependekan, sana-sana ganti. Kamu udah bukan anak kecil lagi, Hana."
Gadis itu menghela napas kesal sambil menatap sinis ke arah Ajeng. Ia bangkit dan berjalan ke tangga, lalu naik ke lantai dua.
"Ayo sini, Deva, sarapan dulu," ucap Ajeng.
Merasa tak enak menolak jamuan, Deva pun luluh dan duduk di sebelah Ajeng.
"Itu putri bungsu Ibu," lanjut Ajeng. "Namanya Johana. Dia juga anak UGM, satu jurusan dan satu angkatan sama Cakra."
Kini Deva paham, mengapa gadis itu mengenalnya beserta jabatannya di BEM. Siapa mahasiswa dan mahasiswi yang tak mengenal seorang Deva Martawangsa di UGM? Teritori itu miliknya dalam periode menjabat sebagai Presiden Mahasiswa.
Tak lama berselang, Johana turun dari tangga mengenakan celana training panjang dan kaos yang sama. Ia mengambil piring dan duduk di sisi lain Ajeng yang berlawanan dengan Deva.
"Oh iya, ngomong-ngomong Cakra mana, ya?" tanya Deva. "Dia enggak ikut sarapan?"
Ajeng dan Hana saling beradu tatap mendengar pertanyaan Deva.
"Untuk sementara waktu Cakra belum bisa ketemu orang lain dulu," jawab Ajeng. "Nanti Ibu sampaikan kalo kamu dateng ke sini."
Deva terlihat getir mengingat perjumpaan terakhirnya dengan Cakra sebelum malam kemarin tidak baik-baik saja. Pria gondrong itu sempat kesal dengan Cakra karena ia merasa tak dihargai sebagai seorang sahabat. Namun, semalaman Deva berpikir lagi, ia juga ada salahnya. Sebagai rasa bersalahnya, ia datang ke tempat ini sekarang. Namun, ternyata Cakra tidak boleh bertemu dengan orang lain dulu dalam jangka waktu yang entah sampai kapan.
Melihat raut wajah Deva, Ajeng jadi tak tega. "Kalo kamu mau lihat sih bisa, tapi belum bisa ketemu dulu."
Deva memicing. "Maksudnya?"
"Anterin Deva ke atas, Dek," ucap Ajeng.
Hana yang sedang mengambil lauk pun tertangkap sedang menghela napas lagi. Ia bangkit dari duduknya dan meletakan piring berisi nasi miliknya di atas meja makan. "Sini ikut." Gadis itu tampak ketus sekali.
Deva berjalan mengikuti gadis itu menyusuri tangga, lalu berjalan di lorong lantai dua hingga menemui ruangan terakhir di ujung lorong. Ada satu ruangan yang memiliki kaca besar. Deva terbelalak melihat Cakra yang sedang duduk lehesan bersandar di dinding. Cakra mengenakan pakaian serba putih dengan tangan terikat. Ia lebih terlihat seperti seorang pasien rumah sakit jiwa.
"Ruangan ini dulunya studio rekaman, tapi sekarang beralih fungsi jadi ruang isolasi buat pasien yang ekstrim kayak Cakra. Kita bisa lihat dia dari luar, tapi dia enggak bisa lihat kita dari dalem. Kalo dari dalem, kacanya gelap."
"Kenapa dia di isolasi?" tanya Deva.
"Selain nyakitin orang di sekitarnya, Cakra juga berpotensi nyakitin dirinya sendiri, jadi satu-satunya jalan dia harus di isolasi dan ditangani dengan intens dulu di sini," jawab Hana.
"Tapi apa enggak apa-apa digituin?" Deva terlihat khawatir. Matanya berkaca-kaca melihat sahabatnya yang harus menjalani ini semua.
Hana menghela napas dengan wajah malasnya, ia menekan sebuah tombol di dinding.
"Diem, ini semua gara-gara lu!" ucap Cakra membentak.
Setelah Hana menekan tombol itu, suara dari dalam akan terdengar keluar. Hal itu penting untuk memantau segala kegiatan di dalam ruangan isolasi.
"Gua enggak butuh bantuan!" lanjut Cakra bermonolog.
"Cakra lagi ngobrol sama siapa?" tanya Deva.
"Skizofrenia," tutur Hana. "Pernah denger?"
Deva menggeleng.
"Gangguan kejiwaan kronis. Pengidapnya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Pengidap skizofrenia mengalami gejala psikosis, yaitu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran pada diri sendiri," jelas Hana. "Saat ini dia lagi berhalusinasi liat dan berdebat sama alter dirinya yang lain. Mungkin ...."
"Apa mungkin seseorang bisa mengidap banyak penyakit mental?" tanya Deva.
Johana menunjuk ke arah Cakra. Ia tak menjawab dengan kata-kata, tetapi dengan bukti hidup di depan matanya.
"Udah selesai?" tanya Johana. "Yuk turun." Gadis itu melangkah pergi.
Deva menunduk lesu. "Oh iya, katanya di sini bekas studio rekaman, kan? Rekaman apa?"
Gadis itu menghentikan langkahnya dan kembali menoleh. "Musik," jawab Hana singkat.
"Kalo gitu, apa di sini ada gitar?"
Hana mengangguk. "Ada, tapi udah lama enggak dipake, mungkin udah berdebu. Kenapa?"
"Boleh pinjem?" tanya Deva.
"Buat?" tanya Hana cepat dan ketus.
"Kalo emang enggak bisa ketemu dan ngobrol, seenggaknya boleh enggak aku bawain satu lagu buat Cakra? Kalo suara dari dalem bisa dikeluarin, artinya suara dari luar juga bisa dimasukin, kan?"
Melihat Deva yang seperti itu membuat Hana tak bisa menolak permintaannya. Ia pun berjalan ke salah satu kamar di lantai dua dan mengambilkan gitar akustik untuk Deva. Tak seperti perkataannya yang berkata bahwa gitar di sini sudah usang dan berdebu, gitar yang dipinjam ke Deva masih terlihat bagus dan bersih.
"Yang satu ini punyaku, masih sering dimainin. Pake aja." Hana memberikan gitar itu, lalu menekan tombol untuk menangkap suara dari luar ke dalam, setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Deva. "Aku mau makan dulu, jangan lama-lama, oke?"
"Oke," balas Deva sambil menyetel senar gitar. Ia duduk bersandar di dinding, menghadap ke arah lorong, membelakangi Cakra. Deva tak sanggup melihat Cakra yang tersiksa.
Jari-jemari Deva menari di antara senar-senar yang tak lagi terdengar sumbang. "Kalo lu inget, ini salah satu lagu kesukaan si Harits dan kebetulan gua juga suka. Lu juga hapal lagu ini, dulu kita sering nyanyi bertiga waktu tinggal sama-sama di Mantra ... Cak, gua tau lu masih ada di sana ...," gumam Deva, suaranya semakin lirih. "Bukan alter lu atau siapa pun juga, tapi diri lu sendiri. Gua percaya lu ada di suatu tempat yang masih bisa denger suara gua." Air mata pria gondrong itu luruh.
Cakra mendadak terdiam, tak ada gelagat bicara atau bermonolog sendiri lagi. Ia menatap ke arah kaca gelap dengan mata berkaca-kaca. Pria yang tampak berantakan itu bangkit dan berjalan mendekat ke kaca. Ia berpindah posisi dan memilih duduk bersandar tepat di balik dinding, tepat di balik punggung Deva.
"And when the broken hearted people living in the world agree.
There will be an answer, let it be.For though they may be parted, there is still a chance that they will see.There will be an answer, let it be."
https://youtu.be/v7wErmth4k4
Let It Be - The Beatles (Matt Hylom acoustic Cover).
Cakra menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut. "Let it be ... let it be ... let it be ... let it be ... There will be an answer, let it be ...."
***
Selagi Deva bernyanyi, di sisi lain Harits sedang berteduh di bawah tenda Mantra kecil. Matanya menatap kosong ke arah jalanan yang basah. Tak ada satu pun pelanggan hari ini karena hujan yang mengguyur Jogja.
"Meow."
Harits menatap Kerdil yang tiba-tiba berputar-putar di kakinya dengan manja. Harits tersenyum getir dan berjongkok menatap Kerdil. "Dil, langitnya nangis nyahaha."
"Meow!"
Harits terdiam sejenak. Senyumnya pudar menjadi cemberut. "Enak ya jadi langit. Kalo nangis enggak perlu ngumpet-ngumpet, pede aja gitu. Setiap air mata yang jatuh ke Bumi ... semua orang tanpa sadar ikut ngerasain kesedihan itu ... terlalu kental nostalgia yang tiba-tiba muncul. Biasanya kalo ujan gini, kita bareng-bareng bolos kelas dan nyanyi-nyanyi di Mantra. Dulu kalo ujan, semua orang butuh kehangatan dari secangkir kopi, tapi sekarang malah si barista ini yang butuh kehangatan dari secangkir kenangan yang usang nyahaha." Diam-diam, pria bertopi biru itu pun menitihkan air mata selagi ia berjongkok. Harits sedang menangis tipis-tipis. "Awal aku dateng ke sini, aku ngerasa kalo enggak akan bisa akrab sama mereka semua dan berharap pindah dari tempat itu, tapi sekarang setelah apa yang aku impi-impikan terwujud ... ternyata itu bukan yang aku mau nyahaha. Aku mau mereka, Dil ...."
Kerdil merasakan kesedihan Harits. Ia menjilat tangan Harits sebagai upaya menghiburnya. "Moew."
"Permisi." Suara seorang wanita membuyarkan sad moment tersebut.
Harits menghapus air matanya, mengganti wajah sendu itu dengan wajah riang, ia kembali berdiri menatap seorang pelanggan yang beridiri di depan stand. "Selamat datang di Mantra Coffee. Mau pesen apa?"
***
"Mel, hey, Melodi!"
Melodi tersadar dari lamunannya. "Hah?" Ia menatap Zara, rekannya di Rekustik yang sedang duduk dengan bass di pangkuannya.
"Kok bengong? Sampe kapan mau muter-muter di bagian intro?" tanya Zara. "Enggak masuk-masuk vokalnya."
"Oh, sorry-sorry." Melodi menyampingkan poninya dengan gelagat tak enak pada Zara. "Ulang, ya."
Zara meletakkan bass miliknya. "Udah berapa hari lu kayak gini, kayaknya kita harus rehat dulu deh."
"Enggak perlu, Zar, serius ayo," balas Melodi. "Kita banyak jadwal ke depan."
"Justru itu, Mel ...," balas Zara. Mereka terdiam beberapa saat. Melodi menyadari betul di mana letak kesalahannya.
"Lu ada apa sih? Cerita kalo lu butuh temen cerita. Lu tuh enggak jago tau nutupin galau tau enggak?"
Melodi terdiam. Terlalu banyak masalah akhir-akhir ini yang menimpa gadis itu sehingga membuyarkan konsentrasinya. Namun, dari semua yang terjadi, sikap dingin Nada padanya akhir-akhir inilah yang membuat Melodi paling terluka. Tak masalah jika semua orang memusuhinya, tapi jangan Nada.
Zara duduk di samping Melodi, ia merangkul Melodi dan menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya. "Kalo enggak mau cerita enggak apa-apa, seenggaknya luapin aja. Kalo emang enggak bisa pake mulut, bisa pake mata kok."
Wajah Melodi bersembunyi di bahu sahabat bermusiknya, tubuh gadis itu bergetar seiring basahnya kemeja putih Zara. Zara mengusap rambut Melodi dan membiarkan gadis itu menangis dalam dekapnya.
***
Kedua mata gadis itu menunduk di hadapan seorang pria yang tubuhnya penuh dengan tato. Ya, Nada yang datang menjenguk Rama kini berhadapan dengan Arai. Pria Dayak itu yang menjaga Rama selagi Rama tak berdaya.
"Jelaskan apa yang terjadi?" tanya Arai dengan wajah gusar. Pria itu seolah siap menerkam siapa saja yang sudah menyakiti rekannya.
Nada terdiam, ia tak tahu harus menjawabnya dengan jujur atau berbohong. Ketika hendak membuka mulut, tiba-tiba dari belakangnya sesosok pria menyela.
"Saya yang buat dia begitu, tapi enggak sengaja," ucap Jaya. Jaya berada di sana atas permintaan Nada yang meminta tolong untuk mengantarnya ke tempat Rama di rawat, karena Jaya sedang senggang.
Nada memejamkan mata. Gadis itu paham, Jaya sedang melindungi Cakra. Jika Arai tahu siapa yang membuat Rama sampai begitu, sudah pasti ia akan mencari orang yang membuat Rama babak belur sampai separah itu. Tak menutup kemungkinan Arai membunuh Cakra.
"Gadis ini enggak ada hubungannya," lanjut Jaya. "Saya siap bertanggung jawab."
Arai berjalan keluar dari kamar, ia memberikan sinyal pada Jaya untuk ikut. Nada menarik lengan Jaya sembari menggeleng, ia takut jika terjadi hal buruk pada Jaya. Namun, Jaya menepuk pundak gadis itu dengan wajah ceria. "Tenang aja, saya enggak akan kenapa-napa. Kamu jenguk aja si Rama." Jaya pun pergi meninggalkan Nada untuk mengikuti langkah Arai.
Begitu Jaya berbalik arah membelakangi Nada, raut wajahnya berubah. Tatapannya kosong seolah sudah siap bertempur. Arai bukan orang yang mudah diajak berdamai, setidaknya mereka akan bertukar luka. Satu Darah itu cukup solid meskipun mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing. Wajar, Jaya pun akan melakukan hal yang sama apabila rekan-rekannya yang dibuat seperti itu.
Di sisi lain, Nada duduk di samping Rama yang sedang tertidur. Ia meletakan sarung tangan rajutan Rama tepat di atas tubuh Rama. Nada mengembalikan benda itu pada pemiliknya.
"Aku kembaliin itu ke kamu, kelak kamu bisa ngasih sarung tangan itu buat seseorang yang lebih pantas," gumam Nada. "Aku tahu, kamu itu Rajanya mimpi. Entah saat ini kamu lagi dengerin aku dari mimpi kamu atau enggak, tapi aku mau minta tolong ...." Nada menggenggam tangan Rama. Air matanya menetes bersamaan dengan tubuhnya yang bergetar. Keningnya menempel dengan punggung tangan Rama. "Maafin Cakra atas tindakannya ke kamu, tapi seandainya kamu enggak bisa maafin dia, aku mau minta tolong sama kamu buat bantuin aku. Kamu tahukan ... seberapa pentingnya Cakra dalam kehidupanku? Aku tau cuma kamu yang bisa bantuin Cakra, Rama ... aku mohon. Dia itu orang yang penting buat aku, tolong ...."
Suara langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di depan pintu ruang rawat inap membuat Nada menghapus air matanya. Ia bangkit dan segera pergi meninggalkan Rama seorang diri di dalam sana. Gadis itu tak bisa membiarkan Jaya mengurus Arai seorang diri. Ia merasa harus cepat menemukan mereka berdua sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Seperginya Nada, Rama membuka mata. Sebenarnya sejak awal ia sama sekali tak tertidur. Melihat kedua sarung tangan yang ia rajut setengah mati itu dikembalikan membuatnya semakin sakit.
"Bodoh," umpat Rama. "Seenggaknya kalo mau minta tolong itu jangan sakitin orang yang kamu mau mintain tolong dulu. Nanti kalo udah ditolongin baru enggak apa-apa. Kalo begini, gimana caranya aku nolongin kamu, Nad ... aku aja bahkan enggak bisa nolongin diri aku sendiri." Rama menutup kedua matanya dan meletakan tangan di atasnya. "Yaaa, enggak apa-apa juga sih ... seenggaknya sekarang kamu jujur sama diri kamu sendiri, Nad, Aku seneng kamu suka sama sarung tangan rajutanku, meskipun pada akhirnya benda ini balik lagi sebagai bentuk penolakan. Seenggaknya kamu jujur, makasih ...."
***
Di parkiran terdalam, Arai dan Jaya saling bertatapan. Tak ada kata yang terlontar di antara mereka. Cara mereka saling memandang seolah adalah cara mereka memberikan tekanan pada masing-masing orang di hadapannya. Hawa di tempat ini begitu panas.
"Ayo mulai," tutur Arai. Pria Dayak itu melangkah perlahan ke arah Jaya.
Jaya pun berjalan pelan ke arah Arai. "Saya tau kamu berusaha melindungi apa yang penting buat kamu, tapi perlu kamu tau juga, saya ada di hadapan kamu sekarang karena berusaha melindungi apa yang penting buat saya."
"Ya, semoga kau bisa melindungi apa yang penting bagimu," balas Arai. "Karena kalau kau gagal melindungi mereka, mereka akan sangat terancam."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top