182 : The Alter
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Setelah melepaskan Nada dan memberikan pertolongan pada Harits, Ajay mengikat Cakra yang ia tembak menggunakan peluru bius. Ia juga menjelaskan secara singkat apa yang sebenarnya Cakra alami pada mereka berdua.
"Udah saya duga, Cakra ngidap kepribadian ganda," ucap Harits setelah mendengar langsung penjelasan dari Ajay, selaku Ayah dari Cakra sekaligus pakar Psikologi dunia.
Nada pun sudah memiliki dugaan dari apa yang ia lihat lewat psikometri, tetapi ia masih ragu dengan asumsi di kepalanya. Meskipun sudah tahu apa yang terjadi, tetapi rasanya masih berat menerimanya. Gadis itu masih takut berada di dekat Cakra.
"Saya minta maaf atas segala sikap Cakra, terutama yang membahayakan seperti ini," ucap Ajay.
"Terus sekarang gimana, Om?" tanya Harits.
"Entah, mungkin sekarang inti Cakra ada di suatu tempat di alam bawah sadarnya. Pertama-tama, kita cari dia dulu." Ajay duduk bersila dan bersiap untuk memasuki alam bawah sadar Cakra menggunakan wujud roh dari proyeksi astral. "Setelah itu biar saya yang tangani. Cakra butuh penanganan yang intens."
Begitu arwahnya keluar dari raga, Ajay segera berjalan ke tubuh Cakra dan merasukinya.
***
Ajay membuka matanya perlahan, kini ia sudah berada di alam bawah sadar Cakra yang gelap dan dingin.
Suara tepuk tangan menyambutnya. Ajay sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat siluet pria mendekat ke arahnya. Semakin dekat jaraknya, semakin memicing mata Ajay dibuatnya.
"Buan ...," gumamnya lirih ketika mendapati sosok Cakra yang sedang menyeringai sambil bertepuk tangan. Namun, penampilan Cakra agak berbeda. Rambutnya hitam, ia mengenakan jaket kulit berwarna hitam dilengkapi celana jeans biru gelap robek di lutut. Penampilannya seperti preman. Hanya ada anting hitam yang terlihat familiar seperti yang digunakan Cakra di dunia nyata.
"Lama tak berjumpa, Pak tua sialan," ucapnya pada Ajay.
Ajay tak membalas ucapannya. Matanya tajam menyorot pada sebuah rantai yang berantakan di tanah.
"Di mana Cakra, Buan?" tanya Ajay.
Pria yang dipanggil Buan itu terkekeh. "Setidaknya balas lah sapaan ku pak tua. Jangan dingin begitu. Ini perjumpaan pertama kita selama sembilan tahun terakhir semenjak kau mengurungku."
"Di saat Cakra rapuh, kau membebaskan diri. Begitu caramu keluar?" Ajay berjalan ke arah Buan. "Setelah kau bebas, kau ingin membalas dendam dengan cara bunuh diri?"
Buan memicing. "Aku? Bunuh diri? Seharusnya kau berterimakasih padaku, Pak tua. Jika aku tidak pernah ada, mungkin dia sudah berhasil bunuh diri." Buan menunjuk ke arah belakang Ajay. Ajay sontak menoleh mengikuti arah telunjuk Buan.
Terdengar suara isak tipis dari arah sana. Ajay berjalan pelan ke arah sumber suara.
Ajay menatap sosok putranya yang sedang duduk bersandar dengan kedua lutut yang menyembunyikan wajah. Rambutnya berwarna abu-abu seperti warna rambut Cakra. Sontak Ajay menunduk dan mengusap kepala putranya.
"Ayah udah di sini, jangan sedih lagi, Petang," hibur Ajay.
"Apa itu kehidupan?" tanya Petang pada Ajay. Ia meremas kedua lututnya erat. "Mengapa terasa sangat menyakitkan, Ayah?"
"Hanya karena sakit dan terasa sulit, bukan artinya harus menyerah. Bunuh diri bukanlah jawaban dari pertanyaan yang kamu cari. Terus hidup dan hadapi kehidupan itu sendiri, enggak perlu dicari jawabannya, cukup nikmati aja kehidupan kamu. Kelak waktu yang akan menjawabnya," balas Ajay.
"Maaf ...," gumam Petang. Air matanya mengalir perlahan. "Maafin Petang yang gagal ini."
Berbeda dengan Buan yang memiliki watak keras, Petang merupakan sosok yang rapuh. Ia selalu menyalahkan diri sendiri atas ketidaktahuannya terhadap sebuah problema kehidupan yang terjadi.
"Gagal bukan akhir, tapi gagal adalah sebuah proses pendewasaan. Kekuatan terbesar manusia adalah ketika ia bangkit dari keterpurukan. Manusia menjadi kuat karena proses jatuh bangun tersebut," ucap Ajay.
Mungkin Buan terlihat jahat dengan sikapnya, tetapi sebenarnya ia hanyalah sisi egois Cakra yang selalu ingin terlihat menonjol. Ia memang sombong dan tidak menerima kritik, tetapi Buan sangatlah ambisius dengan keegoisannya. Berkat itulah sampai sejauh ini Cakra selalu gagal membunuh dirinya sendiri. Buan merupakan sosok yang melawan sikap rapuh Petang.
"Percuma bicara dengannya, dia sudah tidak bisa ditolong," celetuk Buan.
"Jangan dengerin Buan, dia emang begitu. Jadi, Petang ... di mana Cakra?"
Petang menunjuk ke arah rantai yang berantakan di tanah dengan tangan gemetar.
"Cakra dibelenggu?" tanya Ajay.
Petang mengangguk.
"Sekarang ayo bantu Ayah nolongin Cakra."
Kali ini Petang menggeleng. Ia terlihat ketakutan. Melihat ekspresinya, Ajay menjadi geram. Ia bangkit dan berjalan ke arah Buan.
"Bebaskan Cakra sekarang atau ku hapus keberadaanmu, Buana!"
Buan memasang wajah datar. "Hanya karena aku berantakan dan bersifat seperti antagonis, kau pikir aku yang mengurung 'Inti'?"
Dalam kepribadian ganda, ada istilah inti dan alter. Inti merupakan sosok asli, sementara alter adalah kepribadian fana.
"Jadi kamu berkata bahwa Petang adalah orang yang membelenggunya?" tanya Ajay.
Buan menghela napas. "Kau benar-benar sudah melupakannya? Nama terakhir kami semua? Aku pikir kau hanya menghapusnya saja. Aku tidak berpikir kau akan melupakannya, pak tua."
Ajat terdiam beberapa saat, lalu terbelalak mengingat sesuatu.
"Ini semua adalah perbuatannya." Buan menunjuk ke arah rantai itu berakhir.
Terlihat sosok Cakra yang sedang tidur dengan tubuh terbelenggu rantai. Dari arah belakang Cakra, terdengar suara langkah kaki dan korek gas yang dinyalakan. Perlahan muncul siluet pria yang berjalan dikelilingi asap.
"Utomo ...," gumam Ajay lirih.
Seorang Cakra dengan rambut belah tengah muncul. Ia menghisap sebuah cerutu dengan wajah datar dan terkesan dingin. Pakaiannya pun terkesan biasa. Kemeja putih lengan pendek dengan celana pendek berwarna hitam.
"Cakra Petang Buana tanpa Utomo," ucapnya dingin. "Lama tak berjumpa, Ayah. Kau bisa memanggilku Nameless."
"Bagaimana caramu keluar dari tempat itu?" tanya Cakra.
Nameless tak menjawab, ia hanya memasang senyum tipis yang penuh kengerian hingga membuat Ajay merinding.
Sepanjang Ajay hidup, ada seorang pasien yang bahkan dirinya sendiri tak mampu tangani karena kesulitan dan keunikan psikologi sang pasien tersebut, dan orang itu adalah Cakra Petang Buana Utomo, putranya sendiri.
Cakra mengidap Dissociative Identity Disorder atau lebih dikenal sebagai kepribadian ganda. Ia memiliki tiga alter dengan tiga mental issue yang berbeda. Petang dengan Borderline Personality Disorder, Buana dengan Narcissistic Personality Disorder, dan Nameless dengan Psychopathy.
"Kabar ku baik," balas Nameless yang menjawab pertanyaan Ajay dengan sembarang. "Ayah sendiri apa kabar?"
"Aku tidak menanyakan kabarmu," balas Ajay. "Bebaskan Cakra sekarang juga."
Nameless menghisap cerutunya, kemudian membuang asapnya dengan santai. "Tidak seperti dua orang bodoh itu, kau membuangku ke dalam Jurang Hasrat sehingga memori ingatan antara aku dan mereka bertiga terpisah. Setiap aku yang memegang kendali, rasanya aku tidak tahu apa-apa. Apa kau pikir, aku yang terbebas ini mau menyerahkan Cakra? Mulai sekarang, aku adalah Inti."
"Omong kosong," celetuk Buan.
"Kau menentang ku, Buana?" tanya Nameless.
Buan tak menjawab, ia membuang tatap dari Nameless. Sosok bertampang preman itu mendadak bungkam. Di antara mereka bertiga, si psikopat itu adalah yang paling dominan, maka dari itu Ajay mengurungnya dan menghapus ingatan Cakra tentang sosok yang satu itu dengan metode hipnoterapi. Namun, siapa yang menduga bahwa sisi kelam itu mampu merangkak dari dasar kegelapan dan membelenggu inti Cakra di saat ia lemah.
"Tutup mulutmu, aku akan mengirim mu ke tempat itu lagi," tutur Ajay.
Tak ada rasa takut, Nameless justru tersenyum. Ia mengarahkan tangannya ke arah Ajay. "Aku perintahkan kau untuk pergi, di sini bukan tempatmu." Keadaan mendadak riuh dengan angin, Ajay terhempas begitu saja dengan mudahnya. Ia pun terbelalak, alam bawah sadar Cakra merespons keinginan Nameless dan menghempaskannya keluar dari tubuh Cakra. Dampak yang spontan itu membuat bagian tubuh dalam Ajay terluka, ada sedikit darah yang keluar dari mulutnya.
Di sisi lain Cakra ikut membuka mata. Efek dari bius itu tak mampu menahannya terlalu lama. "Apa-apaan ini?" ucapnya menatap tajam ke arah Harits.
Yaaaa ... beruntungnya Harits sempat mengikat Cakra saat ia tak sadarkan diri, sehingga kini Cakra tak mampu bergerak. Setidaknya, meskipun Ajay belum bisa berbuat banyak, Cakra juga tak mampu bertindak lebih jauh.
Tak lama berselang Deva dan yang lainnya tiba di sana. Harits menceritakan apa yang terjadi secara singkat, lalu menyerahkan Cakra pada mereka.
"Dev, Om nanti yang bawa mobil ya," ucap Ajay. "Kamu bawa motor yang Om pakai dulu. Om mau bawa Cakra ketemu seseorang."
"Oh, oke." Deva memberikan kunci mobil pada Ajay.
Jaya menatap Harits yang penuh lebam. "Enggak apa-apa, Mas? Bisa pulang sendiri enggak?"
"Gua enggak apa-apa, mending lu bantuin Om Fajar sama Cakra aja," tutur Harits pada Jaya. "Biar gua yang anter Nada, kebetulan ada yang mau gua obrolin bentaran." Ia beranjak dan menatap Nada. "Mau pulang enggak? Ayo ikut."
Nada mengangguk, lalu mendekat ke arah pria bertopi biru itu. Begitu Harits melangkah pergi, Nada mengikutinya dari belakang.
"Kamu serius enggak apa-apa?" tanya Nada.
"Santai," jawab Harits singkat.
"Kamu mau ngobrolin apa, Harits?"
"Nanti aja di jalan," jawab Harits.
"Ngomong-ngomong, gimana caranya kamu tau aku ada di sini?" tanya Nada.
"Entah, aku pun enggak tau pasti gimana caranya aku bisa sampe sini, tapi yang jelas ada benang. Aku cuma ngikutin benang itu."
Nada memicing. "Benang?"
Harits mengangguk. Ia naik di atas motornya dan Nada duduk di jok belakang. "Kita mampir sebentar."
"Ke mana?" tanya Nada.
"Sebentar aja." Harits tak memberitahu ke mana mereka akan pergi sebelum pulang. Harits menyalakan motor, lalu segera tancap gas pergi meninggalkan Cakra dan yang lainnya.
Kurang lebih delapan menit berlalu, putaran rodanya berhenti di depan Indomarte tempat Jashinta bekerja.
Nada pun turun dan diam di sebelah motor Harits, gadis itu tak ikut masuk ke dalam. Terlalu banyak kenangan di tempat ini, dan setiap kenangannya mulai terasa menyakitkan.
Tak lama berselang, Harits datang. "Nih." Ia menyodorkan es krim pada Nada.
Nada tersenyum getir. Ia ingat betul, Cakra sering mengajaknya ke tempat ini dan membelikannya es krim. "Aku enggak mau, Harits ...."
Harits menatap Nada sembari menghela napas. "Ah, bacot." Pria bertopi biru itu memasukan bungkus es krim milik Nada ke mulutnya.
"Apdsna sijh!" ucap Nada yang mulutnya tersumpal es krim.
"Oke, sama-sama." Harits berjalan meninggalkan motornya.
Nada melepaskan es krim di mulutnya. "Apaan sih?!"
Harits separuh menoleh, ia tak berkata-kata dan terus menyusuri jalan menuju Mantra yang tinggal kenangan.
"Mau ke mana?! Motornya ditinggal?"
Mungkin karena tak ada respons dari Harits, gadis itu terpaksa mengikutinya. Nada berjalan di belakang Harits sambil bernostalgia menyusuri jalan pulang menuju Mantra. Pada satu titik, Harits berhenti melangkah. Nada yang tak sadar pun menabrak pria itu.
"Awo!" Nada menatap sinis pada pria di depannya. "Kenapa berhenti mendadak sih?"
Harits menatap langit malam. "Jalanan yang sama, langit yang sama, cuaca yang sama," gumamnya.
Nada memicingkan mata. "Maksudnya?"
Harits menghadap ke arah Nada. "Di sini—persis di tempat ini, aku pernah bertukar pukulan sama Cakra."
"Hah? Gara-gara?"
"Kamu," jawab Harita singkat.
"Kok—kok gara-gara aku?"
Wajah Harits memerah, sebenarnya ini adalah hal yang memalukan, tetapi tak ada jalan lain. Ia merasa menanggung beban yang berat di pundaknya untuk menjaga hubungan teman-temannya.
"Yaaaa—gara-gara Cakra suka sama kamu."
"Hah?"
"Hah hoh hah hoh mulu kayak Haji Bolot lu," balas Harits. "Intinya dulu aku suka sama kamu, aku merasa Cakra enggak bisa jaga kamu, jadi aku tes dia di sini, tapi aku salah. Ternyata dia orang yang paling bisa diandalkan kalo soal kamu."
Nada terdiam, raut wajahnya mendadak mendung. "Sekarang udah enggak lagi, Harits ...."
"Gimana ya—aku paham kalo apa yang terjadi malam ini, atau belakangan ini mengukir trauma buat kamu. Cakra ternyata menyembunyikan hal yang gila dan sangat berbahaya, tapi, Nad ... sebetulnya saat ini dia adalah orang yang paling membutuhkan uluran tangan di antara kita semua."
"Aku enggak bisa, Harits ... aku takut." Mata gadis itu berkaca-kaca.
Melihat mata itu, Harits paham bahwa Nada pun terluka. Gadis itu juga tak mengharapkan kandasnya hubungan mereka. Namun, berada di sisi Cakra hanya membuat Nada merasa terintimidasi.
Harits menyentuh rambut Nada. "Kamu boleh marah dan kecewa, Nad, tapi percaya deh ... seandainya kamu enggak pernah ketemu sama Cakra, kamu enggak akan jadi Nada yang ceria. Aku paham tatapan iri kamu ke Melodi. Aku akuin, cuma Cakra yang bisa ngapus itu. Manusia cenderung melupakan sejuta kebaikan dan mengingat satu kesalahan. Kalo kamu merasa kecewa sama Cakra, tolong kamu inget baiknya dia. Sekarang dia butuh kita, terutama kamu. Apa kamu sudi biarin Cakra jadi kayak gini?" Harits melepaskan tangannya dari rambut Nada. Ia melangkah ke arah tempat motornya terparkir. "Aku beliin es krim biar kamu inget, manisnya masa-masa itu. Aku paham, semua akan berubah pada waktunya, tapi inget, Nad, selalu ada hal yang sama dan enggak akan pernah berubah."
Nada terdiam menatap kakinya sendiri. Ia tak mampu membantah Harits. Pria bertopi biru itu memang kerap meresahkan orang dengan quotes demotivasinya, tetapi di satu sisi, tak ada yang mampu membantah perkataannya ketika Harits serius. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terlalu tulus untuk diabaikan.
"Ayok, pulang," ucap Harits.
Nada memutar arah, ia berjalan mengikuti Harits. Pria kecil itu terlihat gagah sekarang. Nada terus berjalan hingga pada satu titik ia berada sejajar dengan Harits.
'Eh—apa emang aku segininya Harits? '
Telinga Nada sejajar dengan bahu Harits. Ia baru sadar jika sedari tadi ia berbicara dengan pria itu dengan kepala mendongak.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top