181 : Manipulator
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Prev chap 175 : Traumatic.
"Aku hanyalah khayalan yang kau buat, apa bermain dengan teman-temanmu tidak terlalu menyenangkan sehingga kau selalu pergi ke sini?" ucap seorang anak dengan sosok yang persis seperti Cakra.
Cakra menatap kosong lurus ke depan. "Aku tidak punya teman selain kalian di sini. Lebih menyenangkan berbicara dengan diriku sendiri," ucap Cakra.
"Apa kau mau tinggal di sini?" tanya sosok itu.
Cakra mengangguk menimpali pertanyaan tersebut.
"Kalau begitu aku akan mengajarkan mu cara bersenang-senang," sambungnya lagi.
"Bersenang-senang?" tanya Cakra.
"Ayo kita main bertukar tempat. Kau akan punya banyak waktu di sini, sementara aku menggantikan kehidupan mu." Mendengar ucapannya raut wajah Cakra berubah, ia tertawa gembira.
"Ayo kita main!" ucap Cakra antusias.
Sosok itu tak kalah bahagianya dari Cakra. "Ayo!"
***
"Hey, Douchebag!" sapa seorang bocil bule pada Cakra yang baru saja memasuki pintu utama sekolah. Cakra berjalan dengan tatapan lurus ke depan, dan itu membuat bocil bule merasa kesal. Selama ini Cakra selalu menunduk, ia benci ditatap, sebab tatapannya dianggap menantang oleh para perundung.
Cakra tersenyum membalas sapaannya. Namun, rupanya senyum itu menimbulkan petaka. Tak ada yang sudi mendapatkan senyum dari bocah Asia tersebut, bocil bule itu menghampiri Cakra dan merangkulnya. "Come with me."
(Ikutlah denganku.)
Cakra tak menjawab dengan kata-kata, ia masih saja tersenyum sambil mengikuti anak itu di sampingnya. Mereka berdua berjalan bak seorang sahabat, tapi nyatanya saat ini Cakra sedang dibawa ke kamar mandi untuk diberi pelajaran.
Sesampainya di kamar mandi, anak Inggris itu berjalan masuk dan melihat situasi di dalam. Begitu ia sedang mengecek satu per satu bilik kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara pintu tertutup, ketika ia menoleh, rupanya yang menutup pintu adalah Cakra. Cakra tersenyum sambil mengunci pintu.
"What are you doing, Douchebag?" tanya anak itu pada Cakra.
(Apa yang kamu lakukan, Douchebag?)
"You expect it to be quiet, right? Don't worry, no one will come in now," balas Cakra.
(Kau mengharapkan sepi, benar? Tenang, tidak ada yang akan masuk sekarang.)
"You've gotten brave?" tanya anak itu. "I will kill you."
(Kau sudah mulai berani?) (Aku akan membunuhmu.)
"You want to kill me? Okay, do your best not to get yourself killed," balas Cakra, ia berjalan maju ke arah anak itu.
(Kau ingin membunuhku? Oke, lakukan yang terbaik untuk tidak membuat dirimu terbunuh.)
"What are you talking about?"
(Apa maksudmu?)
"You want to kill me, right? Do you think I can't kill you?" balas Cakra.
(Kau ingin membunuh ku, kan? Apa kau pikir aku tidak bisa membunuh mu?)
Seringai Cakra membuatnya merinding. "He-hey ... wait a minute." Ia berjalan mundur seiring langkah maju Cakra. Sebelumnya Cakra tak pernah melawan, ia hanya pasrah dihajar dan dirundung. Kali ini ada yang berbeda. Anak itu merasa akan benar-benar dibunuh kali ini. Ia pun berjalan ke pinggir dan memberanikan diri untuk maju. Begitu jarak mereka dekat, anak itu dengan cepat berlari melewati Cakra dan membuka kunci, lalu keluar.
Cakra hanya menoleh ke belakang masih dengan senyumnya. Ia tak mengejar atau melakukan apa pun selain gertakan. Begitu masalah di rasa selesai, Cakra pun kembali ke kelas.
Waktu bergulir hingga tiba jam istirahat. Masalah tak selesai hanya dengan membuat satu anak takut. Pada kesempatan kali ini ia kembali dengan membawa teman-temannya.
Cakra adalah anak yang hampir tidak pernah ke kantin, karena Ibunya selalu membuatkan bekal makan siang untuknya. Namun, tak jarang bekal makan siangnya pun diambil oleh anak-anak lain.
Kini Cakra duduk di kursinya sambil dikerubungi oleh para perundung. Anak yang tadi kabur setengah mati, sekarang sok berani karena banyak teman-temannya. Namun, Cakra tak peduli, ia masih bisa bersantai dengan makan siangnya. Sampai tiba-tiba kotak makan itu terlempar hingga makanan Cakra berserakan di lantai.
"Now, you're really going to die, Douchebag," tutur anak itu sambil terkekeh.
(Sekarang, kau benar-benar akan mati, Douchebag)
Cakra beranjak dari duduknya. Ia menatap santai tanpa ada rasa takut seperti biasanya.
"Okay, get ready. You don't know who you're messing with, I'm not someone you know," balas Cakra.
(Oke, bersiaplah. Kau tidak tahu dengan siapa kau bermain-main, aku bukanlah orang yang kau kenal.)
Tangan lembut itu terjulur cepat meraih kepala bocah bule yang membuat masalah dengannya. Cakra menjambak rambut anak itu, lalu dengan cepat dan kuat membenturkannya ke meja. Semua mata terbelalak menatap kejadian itu. Darah segar mengalir dari kepala si perundung yang banyak bicara.
Melihat temannya dihajar, anak-anak lain pun tak tinggal diam. Salah seorang dari mereka langsung mencengkeram kerah baju Cakra dan hendak menghajarnya. Namun, Cakra mendorongnya hingga mundur. Tanpa pikir panjang, Cakra menarik kursi dan mengangkatnya. Dengan sangat enteng ia menghajar anak yang barusan maju itu dengan kursi hingga tergeletak di lantai.
Dua orang yang sudah tumbang dengan brutal itu membuat perundung yang tersisa bernyali ciut. Salah seorang dari mereka ingin memastikan apa yang ia lihat. Ketika Cakra sedang lengah, ia mendaratkan satu pukulan ke wajah Cakra hingga pelipisnya berdarah.
Cakra menyeka pelipisnya dengan tangan, ia menatap darah yang keluar dari bagian tubuhnya, lalu menatap perundung yang baru saja menghajar wajahnya. Hanya dengan senyuman, Cakra membuat anak itu gemetar dan menyesali perbuatannya barusan.
"It's my turn again," balas Cakra. Ia mengambil rautan besi jadul yang ada di mejanya, kemudian menghantamkannya ke wajah anak barusan hingga hidungnya berdarah.
(Giliranku lagi.)
Semua aksi brutal Cakra membuat siapa pun yang melihatnya merasa takut. Cakra menatap teman-teman di kelas sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir.
"Don't tell anyone, or you'll die. Understand? I believe in you guys, you're all my friends, right?" ucap Cakra.
(Jangan beritahu siapa pun, atau kalian akan mati. Mengerti? Aku percaya pada kalian, kalian semua temanku, benar?)
Semua kepala di kelas mengangguk. Bukannya mereka ingin berteman dengan Cakra, hanya saja mereka terpaksa berteman karena rasa takut yang membuat mereka trauma. Perihal apa yang terjadi di kelas, semua anak di kelas menunjuk salah seorang perundung untuk di kambing hitamkan atas perbuatan Cakra, dan karena rasa takutnya, anak itu mengakui bahwa ia yang telah berulah dan menghabisi teman-temannya.
Masalah ini awalnya berjalan sesuai apa yang Cakra mau, tetapi lambat laun para guru mulai menyadari apa yang sebenarnya terjadi dan membicarakannya dengan Fajar. Mulai dari ketegangan di kelas saat Cakra ada di sana, para perundung yang tiba-tiba berhenti dan malah menjadi pesuruh Cakra, hingga hewan-hewan kecil di sekitar sekolah seperti kucing yang mati secara misterius. Beberapa anak ada yang melaporkan bahwa Cakra adalah dalang yang menjadi kematian itu, ia kerap bermain-main dengan hewan hingga pada akhirnya hewan tersebut mati, tetapi mereka dengan tegas ingin para guru menyembunyikan identitas mereka karena takut Cakra akan berbuat jahat pada mereka.
Satu per satu tayangan mengerikan itu membuat Nada semakin dilanda kengerian. Hingga pada satu titik, Ajay melakukan pendekatan dan menyimpulkan bahwa yang saat ini melanda Cakra adalah dissociative identity disorder (DID), atau kepribadian ganda.
Ajay berkesimpulan bahwa mengajarkan Cakra cara menguasai lucid dream adalah sebuah kesalahan besar. Tak ada yang pernah tahu sedalam apa dunia mimpi, bahkan Ajay sekali pun. Ini merupakan kasus pertama yang tragisnya menimpa putranya sendiri. Dengan sangat keras Ajay mencari keberadaan Cakra yang terlarut tenggelam di dalam alam bawah sadarnya dan mengurung sisi alter anak itu demi kebaikan Cakra.
***
Nada membuka matanya kembali setelah Cakra melepaskan wajahnya dari tangan gadis itu. Mereka berdua menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Dari arah luar, terdengar suara langkah kaki seseorang. Cakra menutup kembali mulut Nada agar gadis itu tidak berteriak.
Tak lama berselang pintu terbuka, terlihat Harits yang muncul dan terkejut melihat Nada yang terikat di kursi dan juga Cakra yang terkapar di lantai dengan kacaunya.
Harits melangkah maju, tetapi Nada menggeleng dan berusaha untuk bicara. Harits tak mengerti apa yang Nada lakukan, karena memang gadis itu tak bersuara akibat lakban di mulutnya. Harits terus berjalan maju dengan waspada. Sebelum melepaskan Nada, ia memeriksa keadaan Cakra terlebih dahulu.
"Cak ... Cak ...." Harits menggoyangkan tubuh Cakra sambil tetap waspada dengan sekitarnya. Takut-takut penjahat yang melakukan itu pada teman-temannya masih di sini dan sedang bersembunyi.
Tak ada reaksi dari Cakra, ia sepertinya hilang kesadaran. Harits pun bergerak perlahan ke arah Nada untuk melepaskan gadis itu. Melihat Nada yang memberontak membuat Harits terlihat agak panik. Harits berusaha tenang dan menempelkan jari telunjuk ke bibir, mengisyaratkan Nada untuk diam.
Nada semakin memberontak, ia sangat ingin memperingati Harits, tetapi ia tak mampu membuat Harits mengerti hanya dengan gerakan seperti itu.
"Sabar ...," gumam Harits lirih.
Cakra yang berpura-pura pingsan pun membuka matanya, ia bangkit perlahan dan berjalan secara hati-hati di belakang Harits tanpa suara. Di sisi lain Harits melepaskan lakban di mulut Nada.
"HARITS, AWAS!" teriak Nada.
Harits sontak ingin menoleh ke belakang. Namun, terlambat, Cakra menghajarnya dari belakang dengan sebuah kayu hingga membuat Harits terkapar di lantai.
Cakra mengusap keningnya yang berkeringat. "Hampir aja." Ia kembali menatap Nada sambil menggeleng seolah meledeknya.
Begitu pertahanan Cakra mengendur, Harits tiba-tiba bangkit dan menendang kakinya hingga membuat Cakra terjatuh. Ia hendak menghajar Cakra, tetapi tiba-tiba gerakannya terhenti. Harits terkejut karena ia baru menyadari siapa yang barusan menghajarnya dari belakang.
"PUKUL!" teriak Nada. "DIA BERBAHAYA, HARITS!"
Cakra tersenyum, ia menghajar Harits hingga lagi-lagi Harits terlempar dan Cakra lepas. Begitu Harits kembali berdiri, mereka saling berhadapan.
"Apa yang lu pikirin?" tanya Harits.
Mungkin, jika Cakra tidak memukulnya, Harits akan mengira ini adalah acara prank, tetapi pukulan Cakra barusan menegaskan pada Harits bahwa itu bukanlah pukulan seorang prankster.
"Kau pernah bilang, jika aku ingin bercerita dengan tinjuku, kau akan selalu bersedia mendengarkan, bukan? Sekarang aku ingin bercerita habis-habisan," jawab Cakra.
"Aku dan kau ... lu siapa, anying? Cara Cakra ngomong kagak begitu," balas Harits. "Oh iya, soal yang barusan ... terkadang, ada saatnya seseorang enggak mau dengerin apa kata orang lain. Nah, sekarang bukan waktunya lu cerita, tapi waktunya lu dengerin nasehat gua. Kalo kuping lu emang enggak mau denger omongan orang, seenggaknya kulit lu bisa. Semoga tampolan gua bikin lu sadar."
Cakra tersenyum. "Oke, coba aja."
Harits maju dan melancarkan satu pukulan lurus, tetapi Cakra dengan mudahnya menghindari itu dan melayangkan pukulan balasan. Harits bukan amatir, ia menangkis pukulan Cakra dengan satu tangannya.
'Caranya menghindarnya kayak Deva, refleks geraknya sebanding sama Kevin, pukulannya juga berat hampir setara Jaya. Apa mungkin kepribadian ganda bisa begitu? Setahu gua paling cuma sifatnya aja yang berubah, tapi dari segi fisik enggak ada bedanya. Ah, apa selama ini ....'
"Selama ini apa lu nahan diri buat enggak nyakitin orang lain?" tanya Harits. "Sebenernya lu paling aktif olahraga, badan lu juga bagus dan otot lu keras. Secara fisik lu kuat, tapi lu enggak pernah nunjukin kemampuan lu. Apa karena lu sengaja ngalah dan enggak mau nyakitin orang lain? Apa mungkin begitu?"
Cakra terbelalak mendengar ucapan Harits. "Jangan sembarang bicara, kita tidak saling mengenal."
"Iye, iye, iye ... kita enggak saling kenal, tapi gua paling kenal sama diri lu yang lain. Sekarang jawab, di mana Cakra yang asli?" Asumsinya tak mungkin meleset. Harits yakin Bahwa Cakra mengidap kepribadian ganda.
Nada masih kurang paham apa yang terjadi. Dari masa lalu Cakra ia punya kesimpulan sendiri, hanya saja rasanya masih berat untuk menerima itu semua.
Tampaknya pertanyaan Harits membuat pria itu agak marah. Cakra mengambil kayu yang ia gunakan untuk membuat Harits pingsan di awal kedatangannya. Pria pirang itu berlari dan membabi buta menghajar Harits dengan benda itu hingga Harits terpojok dan jatuh.
Harits terus bertahan hingga tangannya memar akibat serangan brutal tersebut. Ketika Harits memikirkan solusi untuk membalikan keadaan, Cakra mematahkan kayu itu hingga melahirkan sisi runcing. Ia mendekat dan berhenti tepat beberapa senti di hadapan Harits.
Cakra mengangkat tangannya tinggi dengan sisi kayu runcing yang siap menusuk ke bawah. Harits menatap wajah Cakra yang sudah tak karuan.
"Apa abis ini lu bakal puas?" tanya Harits. "Apa kalo gua mati lu puas?"
Tubuh Cakra tak bisa berhenti gemetar, wajahnya gusar, tetapi tubuhnya seakan menolak untuk menghujam kayu itu pada Harits.
"Cakra! Tolong jangan ...," gumam Nada lirih. "Aku mohon berhenti ...."
Harits terdiam ketika dari atasnya ada air yang menetes. Atap bangunan ini tidaklah bocor, air tersebut merupakan air yang berasal dari mata Cakra.
"Harits ... maaf ...." Hanya itu yang terucap dari suara gemetar Cakra.
Tiba-tiba saja senyum beringas itu kembali, Cakra menggenggam kuat kayu itu dan sekuat tenaga menghujamnya ke bawah dengan niat membunuh Harits.
DOR!
Dari arah pintu Ajay muncul dengan pose menodongkan pistol pada Cakra. Pistol itu baru saja mengeluarkan asap dan suara keras. Ajay menutup mata, ada air menetes dari matanya yang pada akhirnya membaur dengan rinai.
Di sisi lain Harits terbelalak tanpa kata ketika Cakra tiba-tiba tumbang menimpa tubuhnya. Pria yang hampir membunuhnya itu kini terkapar di dekapnya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top