180 : Perkenalan Ulang dan Sebuah Kebenaran

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Harits memasang wajah datar, pagi ini Melodi menghubunginya mengingat hari ini tak ada kelas untuk pria bertopi biru itu. Melodi meminta tolong untuk mengantar Nada pulang ke kosannya di Maguwo.

"Sial, lagian kenapa sok pahlawan sih si Melodi itu?" tanya Harits yang sedang berkendara. "Bisa-bisanya nawarin kamu tidur di kosan dia."

"Aku juga baru kepikiran, Harits," balas Nada. "Kosan dia kan jauh ya, di Bantul."

"Kamu nya juga ampas, mana mau aja lagi," sahut Harits.

"Hehe maafin, Harits."

Harits menghentikan laju motornya di depan sebuah bangunan kos-kosan. "Ini?"

"Iya, yang ini bener," jawab Nada. Gadis itu turun dan memberikan helm yang ia pakai pada Harits. Harits meminjam helm milik Kevin. "Makasih ya, dan maaf ngerepotin."

"Oke, sama-sama." Harits langsung pergi dari hadapan Nada menuju kontrakan trio UGM untuk mengembalikan helm. Tak berlama-lama, setelah Harits pergi Nada pun masuk ke dalam.

***

Selesai mandi dan berpakaian, Nada berjalan keluar kamar menuju kampus. Baru juga membuka pintu, para penghuni lain yang sedang asik mengobrol di depan tiba-tiba mendadak berhenti. Mereka semua menatap ke arah Nada dengan tatapan yang kurang sedap.

"Dia baru pulang pagi di anter sama cowok ...," bisik salah seorang di antara mereka.

"Padahal kelihatannya anak baik-baik loh ...," balas yang lainnya.

Nada menunduk sembari menghela napas. Ia memberanikan diri untuk melangkah melewati mereka semua. Begitu langkahnya maju dan hampir melewati mereka, ia memasang senyum untuk menyapa.

"Mau ke kampus, Mbak?" tanya salah seorang yang sok bersikap ramah dengan senyum yang terkesan memaksa.

"Iya nih, duluan ya," balas Nada tanpa menghentikan langkahnya.

Keadaan tampak normal sesaat, sampai Nada melewati mereka semua.

"Cowoknya ganti-ganti mulu, playgirl banget ...."

Nada memasukan kedua tangannya ke dalam kantong jaket, gadis itu mengepal keras tangannya mendengar ocehan-ocehan mereka. Sejak pindah ke tempat ini, kata-kata seperti itu selalu menjadi sarapan untuknya. Wanita-wanita ini iri pada Nada yang lebih cantik dari mereka, dan karena Nada jarang bergaul dengan mereka, tak ada rasa bersalah ketika membicarakannya seperti barusan.

Nada terus berjalan sambil menelan semuanya. Entah sampai kapan suasana seperti ini akan berlangsung. Paling tidak sampai kontraknya selesai beberapa bulan lagi, sebab ia membayar langsung untuk setahun.

Begitu kakinya keluar dari pagar, rasa takut kembali menyelimutinya. Perasaan diikuti oleh seseorang itu hadir kembali. Saat ini Nada menjadi pribadi yang paranoid. Ia mempercepat langkahnya sambil sesekali melirik sekitar.

Sesampainya di kampus tak ada apa pun yang terjadi, sepertinya juga tak ada siapa pun yang mengikutinya. Namun, rasa was-was itu tak kunjung hilang.

'Sebenernya apa yang aku takutin sih?' Pikir Nada.

Gadis itu menghabiskan waktu seperti ia menghabisi hari-hari lalu. Selesai kelas Nada bergegas pulang.

***

Stasiun Yogyakarta.

Setelah menempuh jarak kurang lebih tiga jam, akhirnya kereta cepat Jakarta - Yogyakarta tiba di Stasiun Tugu. Ajay turun dari kereta dan berjalan menuju parkiran mobil, di sana ada yang sudah menunggunya.

"Jay, Ajay!" teriak seorang pria berkemeja putih panjang.

Ajay tersenyum menatapnya. "Yo, Bet." Ia berjalan ke arah Abet. "Sorry, ya. Cakra enggak ada kabar ...."

"Santai aja," potong Abet. "Yuk, langsung ke kontrakannya Cakra." Abet tak ingin membuat Ajay semakin khawatir. Dari raut wajahnya saat ini, Ajay mudah ditebak. Pria yang biasa membaca emosi orang lain itu kini sedang mudah dibaca.

Dari Stasiun Yogyakarta menuju Jalan Kaliurang tak begitu jauh, hanya berkisar lima belas sampai dua puluh menit akhirnya mobil Abet berhenti di depan kontrakan Cakra.

Ajay turun dari mobil, tetapi Abet masih bergeming di depan kemudi. "Gua duluan, ya. Masih ada urusan," ucap Abet.

"Oke, Bet. Makasih banyak ya, sorry ngerepotin lu," balas Ajay.

"Woles, kalo ada apa-apa bilang aja."

"Siap."

Abet menutup kaca jendela mobilnya dan pergi dari hadapan Ajay. Seperginya Abet, Ajay melangkah ke halaman rumah, lalu mengetuk pintu rumah. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Deva membuka pintu dan terkejut melihat tamu yang datang. "Ma-masuk, Om, tapi masih berantakan nih."

"Halah, biasa itu mah," balas Ajay terkekeh sambil melangkah masuk. "Justru kalo rapi jadi mencurigakan."

"Bisa aja nih, Om Fajar. Kalo bilang-bilang mau ke sini tadi beberes dulu," sambung Deva sembari mengangkat gelas-gelas kotor di meja dan membawanya ke dapur. "Berasa disidak."

"Emangnya Cakra enggak bilang? Semalem Om udah kabarin dia."

Deva tak langsung menjawab. Ia mengambil segelas air putih untuk Ajay.

Di sisi lain, Ajay tersenyum ketika melihat Deva yang datang membawa segelas air. Wajah Deva agak aneh ketika Ajay menyebut nama Cakra.

"Maaf cuma ada air putih, Om. Kalo tau mau ke sini, tadi nyiapin teh dulu," ucap Deva berusaha mengalihkan topik.

Pria dewasa itu meletakan tangannya di atas bahu Deva. "Kalian berantem, ya?" tanya Ajay.

Pertanyaan yang tak diharapkan oleh Deva. Pria gondrong itu terkekeh menanggapinya. "Enggak kok."

"Cakra enggak nurunin kemampuan Ayahnya kayak kalian, jadi kalian enggak bisa mengelak dari Om. Ini kali pertama kalian ketemu sama orang yang bener-bener bisa baca gerak-gerik, mimik, gelagat manusia loh. Enggak apa-apa berantem, kadang itu diperluin dalam sebuah hubungan, tapi perlu dicari solusinya biar baikan lagi."

"Emang tingkat akuratnya 100% tuh, Om?" Deva duduk di kursi depan Fajar. "Lagi juga, Cakra kayaknya bisa baca orang juga deh om. Dia beberapa kali pernah sih."

"Ya, itu anak analisanya bagus, tapi enggak yang gimana-gimana. Lebih tepatnya dia enggak bisa mancing buat tahu kadar emosi apa yang lagi dirasain seseorang. Emang sih, baca manusia itu bukan kemampuan supranatural, itu semua dari riset mendalam, tapi beda halnya sama liat warna aura. Setiap emosi memancarkan aura yang berbeda, dan Cakra enggak bisa liat itu. Oh iya, Cakra nya ada?"

Deva menggeleng. "Dia dari tadi pagi pergi bawa skateboard, Om. Kayaknya belum pulang."

"Ngomong-ngomong kalian ada masalah apa sih?" tanya Ajay.

Deva tampak sedang memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan Ajay. Bagaimana pun, Ajay merupakan Ayah dari Cakra.

"Deva juga enggak tahu ada apa sih, Om, tapi belakangan ini Cakra berubah drastis. Dia juga baru putus sama Nada."

"Putus?!" Ajay terkejut mendengar kalimat Deva. Anaknya tak pernah cerita perihal hubungannya dengan Nada.

"I-iya, ada apa ya, Om?" Melihat Ajay yang panik, Deva seperti terkena efek domino.

"Di mana kosan Nada sekarang?" tanya Ajay.

"Masih di daerah Maguwo sih, tapi Deva kurang tau tepatnya di mana karena belum pernah ke sana. Kayaknya sih deket sama Instiper."

Ajay terlihat aneh, ia sangat gelisah dan tampak sedang berpikir. Melihat itu Deva pun ikut bingung, ia teringat sesuatu yang mungkin bisa berguna untuk Ajay.

"Oh iya, Om. Belakangan ini Deva enggak sengaja liat kilasan masa depan seputar Cakra ...."

"Liat apa kamu?" tanya Ajay.

Deva menggeleng. "Enggak paham artinya apa, tapi yang pasti berkaitan sama sesuatu yang buruk."

Ajay menatap jam tangannya, lalu kembali menatap Deva, tapi kini dengan tatapan yang tajam. "Dev, Om Fajar mau minta tolong ke kamu. Tolong kumpulin anak-anak Mantra di sini sekarang. Paling enggak kalo jam kuliah mereka sampe sore, jam tiga atau empat enggak apa-apa, tapi tolong cancel kegiatan di luar itu. Ini penting, Om mau kalian semua tau sesuatu."

Deva memicing. "Sesuatu apa itu, Om?"

"Rahasia besar tentang Cakra," jawab Ajay.

Deva meneguk ludah. "Ke-kenapa mau dibeberin ke kita?"

"Kalian juga keluarganya, kan? Jadi kalian harus tau kebenarannya."

"Oke, Deva kontak dulu satu-satu." Deva segera menghubungi teman-temannya untuk kembali berkumpul di kontrakannya.

***

Siang ini hening. Harits menatap kandang kosong tempat Lajaluka tinggal.

"Hey, masih ada di dalam sana, kawan?" tanya Harits dengan senyum sendunya. Ia membuka pintu kandang itu. "Sebenernya kamu itu bisa keluar masuk dengan bebas, tapi karena kontrak kita, kamu terikat di sini sebagai khodam. Sekarang enggak ada artinya lagi, kita enggak bisa berinteraksi. Jadi kalo kamu masih ada di sini ... tolong pergi. Jangan membusuk di sini sendirian. Sejak aku kehilangan kemampuan, kontrak kita selesai."

Setelah berbicara sendiri, Harits beranjak dari jongkoknya, lalu menggeledah kamar hingga menemukan kain berwarna putih di dalam salah satu kardus tempatnya menyimpan barang. Harits membuka kain itu, lalu menghela napas ketika melihat isinya. Kain itu berisi alat-alat untuk berinteraksi dengan roh. Ia mengambil papan ouija dan membukanya.

Bukan tanpa sebab Harits membuka benda itu. Barusan ia dari tempat Sekar untuk sekadar makan bersama. Sekar berkata bahwa ada sosok anak kecil yang sebenarnya mengikuti Harits beberapa hari ini. Karena merasa kasihan dan cukup risih, Sekar akhirnya memberitahu Harits tentang keberadaan sosok tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa sesosok roh mengikuti manusia. Salah satunya adalah untuk memberitahukan sesuatu. Ia mengganggu manusia tersebut untuk sekadar berinteraksi. Jika ada alasan lain, mungkin karena suka, atau dendam karena manusia tersebut sudah berbuat buruk padanya dengan sadar atau tanpa sadar.

"Udah lama enggak begini, masih bisa apa enggak ya?" ucap Harits bermonolog.

Ia mematikan lampu dan menyalakan empat buah lilin mengitari papan, lalu meletakan sebuah koin di atasnya disusul dengan jari telunjuknya di atas koin.

"Yo, bocil. Katakan, apa kau ada di sini atau tidak?" tanya Harits. Ia menatap tajam ke arah koin, sebab koin tersebut melakukan sebuah pergerakan. "Jika ada yang mengganggu selain bocah ini, ku bunuh," lanjut Harits dengan tatapan tajam. Mendadak koin itu berhenti bergerak.

Harits menghela napas, tak ada reaksi apa pun setelahnya, ketika ia hendak menarik tangannya, tiba-tiba koin itu bergerak kembali. Harits mengurungkan niatnya dan menatap koin tersebut, mengikuti arah geraknya menuju pojok kiri papan.

"Yes."

"Katakan, apa mau mu?" tanya Harits lagi.

Koin itu kembali bergerak dan berhenti tepat di atas huruf L.

"L."

Setelah itu koin tersebut kembali bergerak hingga merangkai sebuah kata.

"L-i-n-d-u-n-g-i," ucap Harits yang mengeja setiap kali koin itu berhenti sejenak di atas sebuah huruf. "Lindungi siapa?"

Koin kembali bergerak, tetapi bukan membentuk nama seseorang.

"K-e-l-u-a-r-g-a. Hah? Keluarga?" Ketika ia memikirkan arti dari itu semua, Harits tiba-tiba terbelalak. "Ghina?! Ini Ghina, kah?!" tanya Harits antusias.

Koin kembali bergerak, setiap pergerakannya merangsang mata Harits untuk berkaca-kaca. Koin itu kembali berhenti di pojok atas kiri papan.

"Yes."

Kini air matanya luruh. "Kenapa baru sekarang muncul?" tanya Harits lirih.

Di tengah haru itu, koin tiba-tiba bergerak tanpa ditanya. Melihat itu Harits heran, ini baru pertama kali terjadi selama ia berinteraksi menggunakan papan ouija.

"C-a-k-r-a." Harits kembali memicing. "Cakra? Kenapa sama Cakra?"

Koin bergerak merespons pertanyaan Harits, tetapi ke arah yang sangat tidak ia harapkan.

"Good bye."

"Lah? Lah?" Arwah anak kecil yang mengaku Ghina itu pergi meninggalkan papan. Tak ada lagi petunjuk selain lindungi, keluarga, dan Cakra. "Teka-teki opo meneh iki, puyeng aku." (Teka-teki apa lagi ini, pusing aku).

***

Kembali pada Nada yang baru saja selesai kelas. Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Dari semua anak Mantra, hanya Nada yang tak dapat dihubungi.

Tak langsung pulang, Nada duduk di depan kelas menunggu hujan reda.

Kampus sudah agak sepi, mungkin karena hujan yang mewarnai rupa senja, tak ada kegiatan di fakultas Nada.

Dilumat sunyi, perlahan rasa takut itu menjalar kembali. Padahal barusan biasa saja, tak ada rasa takut dan was-was. Namun, rasa-rasanya saat ini seperti ada yang mengawasi Nada dalam hening.

Tanpa memikirkan dampak yang terjadi akibat diserang hujan, Nada pun beranjak dari posisinya dan mulai melangkah pulang.

Seiring dengan langkahnya yang agak cepat, Nada melihat siluet seseorang dari sudut matanya. Seperti tersambar geledek, gadis itu memberanikan diri dan dengan cepat menoleh ke arah sudut matanya, tetapi tak ada siapa pun ketika tatapnya menodong ke arah sana.

Cahaya kilat memotret senja. Nada terbelalak ketika melihat sosok pria di dalam salah satu kelas yang gelap selama sepersekian detik. Pria itu sedang berdiri menghadap ke arahnya dari balik jendela. Kelas itu tepat berada di sudut matanya ketika Nada berjalan lurus ke arah gerbang utama kampus.

'Perasaan ku enggak salah!'

Nada berlari tanpa aba-aba. Suara pintu yang terbuka terdengar di telinganya. Pria itu mengejar Nada dari balik bayang-bayang. Ia sangat lihai dalam bersembunyi dan menghilangkan hawa keberadaan.

Sayangnya karena lantai basah dan licin, Nada terpeleset. Meski hanya sesaat, ia mencoba bangkit, tetapi dari belakang sebuah tangan yang basah menariknya Dengan keras. Nada memberontak dengan menancapkan kukunya ke tangan tersebut, tetapi sebuah handuk kecil menutup mulut dan hidungnya. Dalam sekejap semuanya menggelap. Nada hilang kesadaran.

***

Deva, Kevin, Melodi, Jaya dan Radhi berkumpul kembali, tetapi tanpa Cakra, Nada, dan Harits. Mereka semua duduk di ruang tengah beralaskan karpet bulu.

"Harits sih bales tadi, bilangnya oke," tutur Deva menatap ke arah Ajay. "Nah, Nada sama Cakra nomornya enggak aktif."

"Ya udah, enggak apa-apa," balas Ajay. "Om mau minta tolong sama kalian setelah ini, tapi sebelum itu ada yang harus Om sampaikan ke kalian terkait Cakra."

Semua diam menyimak tanpa kata.

"Apa Cakra pernah nyoba buat bunuh diri?" tanya Ajay.

Hening semakin hening. Namun, di tengah keheningan itu Kevin berdiri. "Dua kali," ucap pria tampan itu.

Mendengar jawaban Kevin semua terbelalak dan merasa tak percaya.

"Hah?" Deva ikut berdiri. "Kapan?"

"Pantai Baron, kamar ... semua prekognisi lu enggak salah. Cakra berusaha bunuh diri, tapi gagal," lanjut Kevin. "Dengan kemampuan gua, gua enggak sengaja liat kejadian terakhir, tapi Cakra enggak mau kalo kalian semua tau. Jadi gua simpen sendiri dan coba bantu sebisa mungkin."

"Kenapa lu enggak bilang gua?!" bentak Deva. "Lu bilang aman-aman aja selama ini, kan?!"

Melo berdiri dan melerai mereka berdua. "Udah, Dev. Mungkin Kevin berusaha buat jaga perasaan Cakra. Belum tentu kalo kita semua tau bisa jadi lebih baik. Dan lu, Vin. Seenggaknya lu bilang ke kita juga, kita bisa jaga rahasia kok seakan enggak tau apa-apa."

Suara helaan napas Ajay yang terdengar berat membuat dirinya kini menjadi pusat perhatian. "Borderline personality disorder ...," gumam Ajay.

"Ah—itu dia, sebenernya itu penyakit apa, Om? Deva liat ada obat di kamar Cakra," celetuk pria gondrong itu.

"Narcissistic personality disorder ...." Tatapan Ajay terlihat kosong menunduk ke bawah.

Semua mengerutkan kening tak mengerti maksud dari ucapan Ajay. Ekspresi pria itu juga terlihat penuh keresahan.

"Dissociative Identity Disorder ...." Ajay mendongak menatap mereka semua.

"Dissociative Identity Disorder itu berarti ...." Radhi menatap Ajay. "Kepribadian ganda?"

Ajay mengangguk. "Cakra mengidap kepribadian ganda," jawab Ajay.

"Om psikiater ternama, kan?" tanya Melodi. "Harusnya semua baik-baik aja, kan?"

Ajay mengangguk, tetapi raut wajahnya kecewa, seperti orang yang mengalami kegagalan. "Setiap kepribadiannya memiliki gangguan mental yang berbeda. Ini kasus pertama di dunia."

"Berarti ...." Kevin menoleh ke arah Deva, mereka saling bertatapan. Mereka berdua sempat dibuat merinding oleh Cakra dan merasa asing dengannya. Mungkin saat itu terjadi, salah satu kepribadiannya bangkit. "Mimisan itu terjadi ketika Cakra yang lain bangkit?"

"Bercak merah pagi itu bekas darahnya?" lanjut Deva.

"Jangan-jangan yang Nada takutin itu ...." Melodi mendadak khawatir dengan Nada. "Duh, mana hape Nada ilang lagi, dia enggak bisa dihubungi."

Jaya bangkit dari duduknya. "Nada hapenya ilang? Oke, itu sebabnya dia enggak ada di sini, tapi Mas Harits? Dia udah bilang oke, kan?"

Radhi ikut bangkit. "Kak Harits mungkin sadar apa yang terjadi, itu juga yang bikin dia ngelindungin Cakra semalem. Sekarang dia enggak dateng bukan karena alasan."

Deva berjalan melewati Ajay yang terdiam tak mampu berkata-kata. Pria gondrong itu sudah menggenggam Tumenggung di tangannya.

"Om enggak perlu minta tolong, ini bukan permintaan," ucap Deva. "Ini kewajiban kami."

Kevin berjalan menyalakan laptop dan melemparkan earphone pada Deva, Radhi, dan Jaya.

"Semua bergerak, ini bukan waktunya santai," tutur Deva.

Jaya dan Radhi berjalan di belakang Deva. Kevin menutup mata dan berfokus dengan kekuatannya untuk mencari informasi. Sementara Melodi harus berfokus untuk 'kembali' jika keadaan memburuk.

Ajay pun bangkit. "Terimakasih semuanya." Ia berjalan dan ikut dengan regu pencari. Melihat punggung tiga orang pemuda itu, Ajay mengingat sosok Dirga, Tama, dan Andis.

***

Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras hingga membentur dinding. Perlahan Nada membuka mata karena suara keras tersebut memaksanya untuk tersadar. Gadis itu dalam keadaan duduk terikat di kursi. Ada lakban yang menutup mulutnya. Keadaan begitu gelap, ia tak tahu di mana ia berada. Hanya ada satu sumber cahaya, yaitu pintu yang terbuka.

Sesosok pria muncul dengan napas terengah-engah. Ia terlihat letih dan terluka.

"Nada!"

Nada menangis ketika mendengar suara itu. Suara itu milik Cakra.

Dengan sekuat tenaga, Cakra berusaha bangkit dan berjalan tertatih ke arah Nada.

"Tunggu sebentar, kita pergi dari sini," ucap Cakra. Ia melepaskan lakban yang menutupi mulut Nada.

"Cakra, aku takut ...," ucap Nada menangis.

"Tenang, jangan takut ya. Aku udah di sini," balas Cakra. Kini ia berusaha melepaskan ikatan di kursi. "Jangan nangis, nanti dia keluar."

'Dia' yang dimaksud Cakra adalah si penculik. Sayangnya, bekas cakaran yang kini menjadi luka di tangan Cakra tak bisa berbohong. Bagi Nada, Cakra lah orang yang selama ini mengikuti dan menculiknya.

"Cakra ... tangan kamu kenapa?" tanya Nada gemetar.

Cakra terdiam, ia menghentikan kegiatannya. Dari sudut mata Nada, terlihat jelas senyum Cakra. Senyum yang selalu terngiang-ngiang di dalam benaknya dan menjadi mimpi buruk Nada selama beberapa hari ini.

"Kamu siapa?" tanya Nada.

"Aku siapa?" Cakra terkekeh. "Haruskah aku jawab?"

Cakra melepaskan sarung tangan hitam yang dikenakan gadis itu dan dengan cepat ia menunduk, mengantarkan wajahnya sendiri pada telapak tangan Nada. Tubuh Nada mengejang, darah segar keluar dari hidungnya seraya matanya yang memutih.

"Perkenalkan kembali, aku adalah ...."

Kesadaran Nada memudar, ia tak mampu mendengar apa yang Cakra ucapkan. Perlahan sebuah tayangan masa lalu terpampang di depan matanya. Sebuah kilas balik yang sempat bersembunyi.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top