179 : Prespektif
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Belom tidur lu?" tanya Harits yang sedang berbaring menatap langit-langit gelap kamar Cakra. Ia berbaring beralaskan karpet dan selimut.
"Belum," jawab Cakra yang berada di atas ranjang. "Lu juga enggak bisa tidur? Kenapa? Mau di tempat tidur aja? Biar gua yang di bawah."
"Males, enak di bawah, dingin nyahaha."
Keadaan hening sejenak. Harits memejamkan mata dan berusaha untuk terlelap.
"Lu punya penyesalan dalam hidup lu enggak sih?" tanya Cakra tiba-tiba.
Harits kembali membuka mata, ia tampak sedang berpikir. "Ada."
"Gimana cara lu mengatasi semua penyesalan yang menari-nari di dalem kepala lu?"
"Perbaiki kalo masih bisa," jawab Harits.
"Kalo udah enggak bisa diperbaiki?"
"Ya terima. Jadiin penyesalan itu sebagai pembelajaran biar kedepannya enggak dateng lagi. Kenapa? Apa yang lu sesalin emang?" tanya Harits menerka-nerka.
"Apa dateng ke Jogja adalah langkah yang bener buat gua?" tanya Cakra.
"Entah, bener atau salah itu tergantung lu ngeliat dari prespektif mana. Cuma lu yang bisa nentuin itu bener atau salah. Ya, meskipun dalam setiap masalah selalu ada tiga prespektif sih. Aku, kamu, dan kebenaran. Hakikatnya semua orang punya ego yang selalu membenarkan segala tindakannya," jawab Harits. "Intinya sih, semua yang terjadi dalam hidup kita itu adalah yang terbaik dari semua skenario yang tersedia. Apa yang baik menurut lu, belum tentu baik buat lu. Apa yang menurut lu buruk, belum tentu seburuk itu. Jangan ngeliat sesuatu cuma dari kulit luarnya aja. Kita belajar karena kita salah, kita belajar supaya bener. Yang salah itu yaaa ... orang yang udah tau salah, tapi enggak belajar dan terus begitu. Bodoh itu pilihan, bukan bawaan."
"Dulu tiap ngeliat lu, gua agak enggak nyaman. Lu yang paling deket sama Nada, dan kalian sama-sama nyimpen rasa yang sama. Bener kata lu, apa yang menurut gua buruk, ternyata malah yang terbaik. Mungkin enggak saat itu juga terbukti, waktu punya peran penting di balik semua yang terjadi," balas Cakra.
"Cak, gua mau minta tolong ... agak gimana sih, tapi ...." Harits ragu untuk meminta bantuan Cakra, ia pun menghentikan gerak bibirnya dan mulai berpikir ulang.
"Apa? Bilang aja. Kalo gua bisa bantu, gua bantu kok," balas Cakra.
"Ayo, kita jualan kopi lagi," ucap Harits. "Berat juga bangun sendirian nyahaha, tapi kalo ganggu waktu kuliah lu yaaa ... gua paham kok kalo lu enggak bisa."
Cakra terdiam tanpa jawaban. Mendengar ajakan Harits, ia tersenyum senang hingga air matanya jatuh dan bermuara di bantal. "Ayo, dengan senang hati gua luangin waktu gua buat Mantra."
Bukan hanya berada di pihak Cakra, Harits pun menjadi secerah harapan untuk Cakra. Pria yang identik dengan topi biru ala Craig Tucker itu seakan membangkitkan harapan yang telah mati.
"Kita bangun Mantra kita dari awal!" ucap Cakra bersemangat. "Ayo ajak yang lain."
Kini Harits yang memasang wajah sendu. "Sayangnya agak mustahil. Seandainya mereka komitmen lanjut, kita enggak akan tercerai-berai. Semua udah berubah."
Cakra tersenyum. "Ada hal yang enggak akan pernah berubah, kan?" Ia mengembalikan ucapan itu pada pemiliknya.
"Nyahahaha sial, mulai ngelunjak lu yak!" Dua orang ini agaknya saling melengkapi satu sama lain. "Biarin aja begini dulu, bukan peran kita buat ngembaliin semua seperti sedia kala."
"Terus peran siapa kalo bukan kita?" tanya Cakra heran.
Harits memejamkan matanya. "Waktu."
"Sial, lu juga mulai ngelunjak," balas Cakra terkekeh ketika Harits mengembalikan ucapannya.
***
Di sisi lain Nada sedang berbaring sambil menangis memeluk Melodi.
"Huaaaa."
"Cup, cup, cup." Melodi mengelus kepala Nada. "Kamu sama Cakra ada masalah apa sih?"
"Enggak tau, huaaaa."
Melo menghela napas. "Kalo bisa diperbaiki, perbaiki deh, Nad. Jangan sampe nanti nyesel."
"Kamu liat, kan? Cakra mukulin orang sampe begitu? Aku enggak tau, Mel ... ada sisi kecil ku yang takut sama sikap Cakra akhir-akhir ini. Ini lihat." Nada menunjukan bekas merah di pergelangan tangannya.
Melo memicing, ia menyentuh tangan Nada dan dengan teliti melihat pergelangan tangannya yang masih memerah. "Ini kenapa?"
Nada menggembungkan pipinya. "Dicengkeram somo Cokro, keras sekali, Melo, sakid."
"Cakra bercanda kali," balas Melo.
"Dia ngerokok dan buang asep rokoknya ke muka aku. Apa itu juga bercanda? Aku itu pacarnya dia atau asbak sih? Terus tuh ya, aku mau kalo ada apa-apa, aku jadi orang pertama yang dia cari, Melo, tapi apa? Dia berubah bukan berubah biasa, Cakra mendadak jadi begitu. Entah, aku kecewa ...."
"Terus itu jadi alesan kamu deket sama Rama gitu?" tanya Melodi memancing.
Nada terlihat murung. "Apa yang buat kamu sama Deva putus, Melo?"
Pertanyaan Nada memaksa Melo mau tidak mau mengingat sosok Ippo. Tak bisa dipungkiri, memang alasan utamanya karena sikap Deva, tetapi faktor pemicunya adalah kehadiran Ippo.
"Aku tau lebih dari siapa pun, kamu adalah wanita yang setia. Bahkan kamu pernah ngusir Ippo dari kehidupan kamu buat ngelindungin perasaan Deva. Setelah itu apa semua berjalan baik-baik aja? Kamu nyakitin Ippo dan pada akhirnya menyesal. Aku cuma enggak mau nyakitin siapa pun Melo, tapi tanpa sadar aku malah nyakitin semua orang ... apa aku harus ngusir semua yang berusaha deketin aku? Sementara enggak banyak orang yang care sama aku. Kamu yang paling tahu history kehidupan aku. Banyak orang yang mau jahatin aku di kampus, tapi Rama berusaha jagain aku, apa aku harus ngusir dia? Aku pernah ngelakuin itu, dan aku nyesel karena udah bikin orang sebaik dia terpuruk. Aku cuma suka sama Cakra, udah."
"Iya, aku ngerti, tapi, Nad ...."
"Apa Deva salah kalo dia cemburu sama Ippo? Enggak. Cakra juga enggak salah cemburu sama Rama atau pun cowok yang deket sama aku, tapi semua bisa diobrolin baik-baik. Aku sama Rama enggak ada apa-apa selayaknya kamu sama Ippo waktu masih pacaran sama Deva," balas Nada.
"Kalo bisa diobrolin baik-baik kenapa kamu mutusin dia, Nada?" tanya Melodi.
"Biar dia mikir, sama kayak kamu mutusin Deva. Toh, aku juga enggak mau suka sama siapa-siapa lagi setelah ini ... aku rasa udah cukup buat aku. Ini pertama dan terakhir kali aku pacaran. Selama ini aku berusaha jadi pacar yang baik, tapi aku gagal. Gagal jagain perasaannya Cakra, gagal juga jagain perasaanku sendiri. Mungkin bener apa kata orang-orang di sekitar aku. Aku itu aneh."
"Kamu enggak seperti itu, Nada. Kamu lebih baik dari apa yang kamu pikirkan."
Tatapan iri yang sudah lama pudar itu kembali hadir di mata Nada. "Kamu enggak tahu rasanya jadi aku, Melo. Gadis yang selalu ada dalam bayang-bayang kamu. Kamu itu populer dan disukai banyak orang, kamu juga pinter, tapi aku beda. Sekeras apa pun aku berusaha, hasilnya selalu sama." Nada melepaskan pelukannya dari Melodi dan menutupi dirinya dengan selimut.
Melodi mengelus lengan Nada. "Nad ...."
"Aku ngantuk, Melo. Selamat tidur," potong Nada.
Melodi terlihat sedih melihat kembarannya. Menghilangnya Cakra dalam hidup Nada ternyata berdampak besar pada gadis itu, membuat sosok Nada kembali ke asal muasalnya yang tidak percaya diri dan selalu pesimis.
Di balik selimut, Nada menyembunyikan tangisnya. Banyak hal terjadi. Saat Cakra menghilang tanpa kabar karena depresinya, di sisi lain Nada membutuhkan pundak untuk bersandar. Melihat IPK Melodi yang bagus dan mendapatkan pujian banyak orang, sementara IPK nya yang hancur membuat kepercayaan diri Nada menurun. Di saat gadis rapuh itu butuh seseorang untuk berbagi kisah, butuh bahu untuk bersandar, tak ada siapa pun. Tak ada yang bangga padanya seperti orang lain yang penuh kebanggaan terhadap Melodi.
***
Deva dan Kevin sedang berada di mobil dalam perjalanan pulang.
"Lu marah sama Cakra?" tanya Kevin di tengah keheningan.
Deva tak menjawab pertanyaan tersebut dan fokus mengemudi.
"Hari ini lu kebanyakan ngomong, kayak bukan lu aja," balas Deva dengan logat malas.
Hanya Kevin yang tahu tentang rencana bunuh diri Cakra. Hanya pria tampan itu yang paham bahwa Cakra sedang dilanda sesuatu yang tak dapat ia tangani seorang diri. Dengan konflik yang bertambah, Kevin khawatir Cakra berbuat lebih nekat saat ada kesempatan. Setidaknya, ia tak ingin hubungan antara Deva dan Cakra memburuk. Untuk saat ini Kevin berusaha mencegah agar keadaan yang kacau ini tidak bertambah buruk lagi.
"Gua paham ini hari ulang tahun lu, tapi Cakra ...."
"Bukan itu masalahnya, gua enggak peduli sama ulang tahun-ulang tahunan. Gua aja lupa kalo hari ini gua ulang tahun," potong Deva.
Kevin menatapnya seolah menunggu Deva melanjutkan kalimatnya.
Deva menghela napas. "Tapi gua enggak nyangka dia ngebanting gua. Enggak sakit sih, tapi kok bisa? Kok bisa banting orang yang udah berusaha care sama dia? Waktu ke Baron, gua dijegat Klitih demi nyari dia, Vin. Waktu kita lagi pada ngumpul mau bahas dan nyari solusi buat dia, lagi-lagi gua dapet gambaran buruk tentang dia dan jadi orang pertama yang sampe ke kamarnya gara-gara khawatir. Bisa-bisanya gua dibanting ke tanah segampang itu? Enggak mikir dia?"
Kini giliran Kevin yang menghela napas. "Gua enggak membenarkan tindakan Cakra, tapi saat ini dia butuh kita semua. Gua berterimakasih sama Harits karena malem ini dia bilang mau nginep di kontrakan, kalo enggak ada dia ...." Kevin menghentikan ucapannya, ia sudah berjanji pada Cakra untuk tidak memberitahu siapa pun tentang rencana bunuh dirinya yang selama ini gagal.
"Kalo enggak ada si Harits kenapa emangnya?"
Kevin mendadak diam, ia memilih bungkam dan menelan semuanya sendiri. Deva pun tak mempertanyakan diamnya Kevin, pria gondrong itu juga memilih diam. Ia tidak marah, hanya merasa kecewa.
***
Jakarta.
Malam ini gerimis bersenandung dengan lirik-lirik gundah. Ajay yang baru separuh membenahi barang-barang di rumah barunya, kini sedang duduk melamun meresapi angin malam dari balik jendela.
"Sana ke Jogja, temuin Petang," ucap Senja yang datang membawa secangkir kopi hitam untuk suaminya.
"Enggak bisa, rumah ini masih setengah beres, paling lusa baru selesai bebenah," balas Ajay.
Senja duduk di samping Ajay, lalu menatapnya dalam-dalam. "Kamu kerja setengah hati, raga kamu di sini, tapi pikiran kamu ke mana-mana. Aku pun sama, makanya sekarang kita bagi tugas biar bisa tenang. Aku yang beresin rumah, kamu temuin Petang."
"Tapi ...."
Senja mengganggam tangan Ajay. "Aku enggak apa-apa, jangan ngeremehin ibu rumah tangga."
Ajay tersenyum. "Kalo kamu capek dan keteteran bilang aku ya, nanti aku kirim Andis buat bantu-bantu."
"Iya, nanti aku bilang kalo capek. Sana tidur gih, besok pagi berangkat."
Ajay memicingkan matanya. "Besok pagi? Berangkat ke mana?"
Senja menunjukan layar ponselnya pada Ajay. Ia sudah membelikan tiket kereta api sebelum berbicara dengan suaminya. "Aku udah beliin hehe, sana istirahat. Biar aku yang nyiapin semuanya."
Ajay menggaruk kepala. "Gimana ya ngomongnya ...."
"Kenapa?" tanya Senja. "Enggak mau naik kereta? Mau pesawat aja?"
"Bukan itu sih ...." Ajay melirik cangkir di atas meja sambil sesekali membuang tatap ke arah jendela. Pada satu titik, ia kembali menatap Senja. "Kamu nyuruh aku tidur, tapi ...." Pria itu mengangkat gelas kopi buatan istrinya yang sudah ia seruput beberapa kali. "Tapi ngasih ginian."
"Ya ampun! Ih, bodohnya aku ini. Ini semua gara-gara ujan, kamu kan biasanya kalo ujan itu pasti ngopi. Nah, karena kamu keliatan galau jadi aku buatin aja sekalian daripada ada yang kurang gitu, kan."
Ajay terkekeh. "Aku enggak mau terus ngerepotin kamu. Sana kamu yang istirahat, nanti aku packing sendiri. Malem ini masih panjang buat aku."
Senja melingkarkan tangannya pada leher Ajay sambil menatap nakal. "Ya udah, sebagai bentuk maaf, gimana kalo aku buat kamu capek? Biar kamu bisa tidur."
Ajay meneguk ludah. "Se-sekarang ba-ba-ba-banget nih?"
.
.
.
TBC
.
.
.
"Ahh ...." Ajay menyeka keringatnya. Pria itu tampak sekali kelelahan.
"Terusin, tanggung, sayang ...," ucap Senja yang tersenyum menatap Ajay. "Bentar lagi sampe."
"Ahh elah, capek! Udah malem ini," pekik Ajay yang sedang menggeser lemari ke kamar mereka seorang diri dari ruang tengah. Ia benar-benar tampak kelelahan karena Senja tak membantunya.
"Terus, tanggung tau. Ayo semangat, sayang! Sebentar lagi sampe." Senja duduk sembari membereskan pakaian-pakaian Ajay untuk dibawa ke Jogja. "Abis ini selesai baru istirahat. Udah capek, kan?"
Percuma mengeluh, Ajay kembali mendorong lemari itu hingga ke posisi yang sudah di brief oleh Senja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top