178 : Selalu Ada
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rama sadar situasinya, ia menghela napas dan berjalan keluar.
"Rama, mau ke mana?" tanya Nada.
"Kenapa?" tanya Rama balik.
"Nanti aku pulang sama siapa kalo kamu pulang?"
"Kan ada Cakra, Nad," celetuk Melodi. "Nanti dianterin sama Cakra."
Nada menoleh ke arah Cakra. Raut wajahnya mendadak berubah ketika melihat sosok Cakra, sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding.
"Nanti aku anterin aja, ada yang mau aku obrolin sama kamu, Nad," ucap Cakra.
Nada menggeleng sambil tubuhnya bergerak mundur dari arah Cakra. Ia lakukan itu secara tak sadar. Rama agak bingung melihat hal itu. Rasanya, ketakutan yang beberapa waktu ini yang dirasakan oleh Nada, berpusat pada Cakra.
"Aku ke warung depan, kalo emang mau bareng nanti aku tunggu di warung," ucap Rama. Ia pun berjalan pergi meninggalkan Nada.
Nada menunduk, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia tak tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini.
'Aku kenapa sih?' Batin Nada yang sebenarnya pun bingung. 'Aku takut sama Cakra?'
Cakra adalah pria yang baik, ia bagaikan matahari yang menyinari Nada dan melindungi gadis itu dari kegelapan hatinya. Namun, sikap Cakra yang tertutup akhir-akhir ini, dari pertikaian yang terjadi saat hujan, juga perjumpaan terakhir mereka saat Cakra bersikap manipulatif dan kasar, Nada merasa Cakra bukanlah Cakra yang ia kenal. Ia merasa asing dengan pacarnya saat ini. Sikap Cakra yang sekarang membuatnya takut.
Melihat Nada yang begitu, Cakra pun beranjak dari posisinya dan berjalan mendekat pada Nada. Ia duduk di samping Nada dan menggenggam tangannya. "Kamu kenap ...."
Cakra tak dapat berkata-kata ketika Nada menarik tangannya.
"Kamu kenapa sih?" tanya Cakra. Ia berusaha menenangkan Nada.
Nada gemetar. Kini gadis itu takut dengan tatapan teman-temannya.
"Kalo ada masalah, cerita aja," ucap Cakra.
"Cerita?" balas Nada, ia mencoba memberanikan diri menatap sepasang bola mata Cakra. "Bahkan kamu lupa sama masalah kita beberapa hari lalu, seolah semua enggak pernah terjadi. Apa yang mau aku ceritain?"
"Kamu ngomong apa sih?"
Semua hanya menyimak, mencoba memberikan ruang pada dua orang itu saja untuk saling berbicara. Namun, mendengar ucapan Nada barusan, Harits jadi teringat sesuatu. Belum lama ini Cakra berkunjung ke Mantra mini dan bersikap seolah ia tak kenal dengan Harits. Dari kata-kata 'bahkan kamu lupa sama masalah kita beberapa hari lalu, seolah semua enggak pernah terjadi'. Terbesit beberapa spekulasi dan konspirasi di dalam pikiran Harits.
Di saat otak Harits yang berkarat digunakan untuk berpikir setelah sekian lama tidak pernah digunakan, tiba-tiba Nada berdiri dari duduknya.
"Deva, selamat ulang tahun, ya. Maaf aku enggak bisa lama-lama, aku pulang duluan." Nada berjalan keluar.
Cakra pun ikut berdiri dan mengejar gadis itu. "Nad, hey." Ia meraih tangan Nada. "Tunggu, Nad. Aku yang anterin kamu, ya."
Nada lagi-lagi menarik tangannya. "Lepas, Cak!"
Cakra terdiam ketika Nada tak sengaja membentaknya. Melihat ekspresi Cakra, ada rasa sesal dalam dada Nada. Gadis itu hanya tak tahu harus berbuat apa saat ini. Bukannya ia tak ingin bersama dengan Cakra, hanya saja ia masih takut dan kecewa.
"Aku salah apa sih, Nad?" tanya Cakra.
"Kamu tuh enggak tau rasanya ditinggal bareng sama khawatir, Cakra. Ilang gitu aja tanpa kabar, sama sekali enggak bisa dikontak, ditelepon enggak diangkat, dichat enggak dibales," tutur Nada. "Sekalinya ketemu langsung begitu. Aku tau aku salah, tapi kamu juga ada salahnya." Matanya mulai berkaca-kaca. "Kalo ada masalah, paling enggak cari aku. Enggak apa-apa enggak cerita kalo kamu belum siap, seenggaknya aku mau ada di samping kamu, jadi obat penenang buat kamu. Bukannya malah ditinggalin gitu aja ditengah ujan. Terus kemarin juga, aku ngerasa asing sama kamu. Aku takut sama kamu yang sekarang, Cakra."
"Terus itu jadi alasan kamu buat deket sama cowok lain?" Cakra menatap ke arah warung makan yang tak jauh dari kontrakannya.
"Aku sama Rama enggak sedeket yang kamu kira," elak Nada.
"Dua kali aku liat kamu bareng dia."
"Dua kali? Udah inget masalah kita malam itu berarti?" balas Nada.
"Iya, gara-gara dia juga," sahut Cakra. "Aku tanya, apa karena kamu merasa aku berubah, kamu jadi punya alasan deket sama Rama?"
"Aku jawab kalo kamu juga jawab pertanyaanku. Apa alasan kamu menghilang sampe-sampe enggak ngasih aku kabar berhari-hari? Ada masalah apa sampe kamu jadi kayak Cakra yang sekarang? Apa kamu enggak mikirin aku?"
"Ya udah, gini aja. Aku yang anter kamu pulang, nanti aku ceritain di jalan."
Nada menggeleng. "Enggak, Cak. Aku enggak bisa bareng kamu berduaan untuk sementara waktu, aku takut."
"Takut kenapa sih?" tanya Cakra.
Nada mengangkat tangannya, ada sebuah bekas merah yang hampir memudar di pergelangan tangannya.
Cakra memicing. "Tangan kamu luka, Nad?" Ia maju selangkah, tetapi tiba-tiba berhenti ketika melihat Nada mundur satu langkah setiap satu langkah majunya.
Nada memejamkan matanya yang penuh dengan kristal, kristal itu pecah dan perlahan mengalir hingga membasahi pipinya.
"Kamu inget ini?" tanya Nada dengan suara lirih, yang ia maksud adalah tanda merah di pergelangan tangannya.
Cakra menunduk, wajahnya terlihat murung. Ia memejamkan mata, lalu menggeleng pelan.
"Enggak apa-apa kalo enggak inget kok," ucap Nada. "Mulai sekarang enggak perlu inget-inget lagi."
"Inget-inget apa?" tanya Cakra.
"Semuanya," jawab Nada.
"Maksud kamu apa?"
Nada melangkah mundur selangkah demi selangkah. "Kita putus aja, Cakra."
"Nad, hey, kita bisa selesain pelan-pelan dulu, kan?" Cakra berjalan cepat mengejar Nada. Ketika pria itu meraih tangan Nada tepat pada bekas merah yang ia tinggalkan, gadis itu tiba-tiba berteriak histeris.
Sebuah tangan mencengkeram lengan Cakra. "Lepas, dia takut."
Cakra melepaskan pegangannya dari Nada, ia menatap tajam ke arah Rama yang sedang mencengkeram tangannya. "Jangan ikut campur."
"Liat sekitar lu," balas Rama.
Cakra menoleh. Rupanya malam ini semua permasalahannya dengan Nada menjadi tontonan publik. Dari tetangga, anak Mantra, hingga pelanggan di warung depan menyimak setiap adegan mereka berdua sedari tadi.
"Semua masih bisa diomongin, tapi enggak sekarang. Kasih Nada waktu," lanjut Rama.
Cakra menunduk tanpa kata. Melihat Cakra yang sudah pasrah, Rama pun memutar arah dan hendak pergi. Namun, sebuah tarikan keras memaksanya menoleh kembali.
"Mau ke mana lu?"
Dengan cepat dan kuat, Cakra menghantam wajah Rama dengan tinjunya. Rama terhempas dan terkapar di tanah berlumuran darah dari hidungnya yang patah.
Tak ada yang menduga bahwa Cakra bisa sebrutal itu bertindak.
Masih belum puas, Cakra menerjang Rama yang sudah tumbang dan menghajar pria itu dengan ganas tanpa ampun.
"Udah gua bilang, jangan ikut campur, bajingan."
Rama tak mampu berkutik, ia sudah kalah pada pukulan pertama Cakra. Rama memang berbahaya, tetapi tak dapat di pungkiri bahwa ia merupakan urutan bawah di Satu Darah. Meskipun Rama dianugerahi kemampuan yang kuat, di sisi lain ia memiliki kelemahan yang cukup fatal. Jika bertarung secara langsung, Rama tak memiliki fisik yang kuat dan kemampuan bertarung yang mumpuni. Dihadapan Cakra pada kesempatan kali ini, ia bagaikan predator yang terjerat dalam jaring laba-laba beracun.
"TOLONG!" teriak Nada yang terduduk akibat lemas dan gemetar. Ia semakin takut pada Cakra.
Harits dan yang lainnya berlari ke arah Cakra untuk menghentikannya. Jika terus dilanjutkan, Rama bisa saja mati.
"Cak cukup, Cak." Deva menarik bahu Cakra, tetapi dengan cepat Cakra bangkit dari posisinya. Ia mengangkat tangan Deva ke bahunya, lalu mengangkat tubuh pria gondrong itu dan membantingnya ke tanah.
Cakra menatap Deva yang berbaring menatap langit. "Lu juga enggak usah ikut campur."
Melihat Cakra yang begitu, Kevin pun berusaha melerai. Namun, lagi-lagi Cakra menyerang Kevin. Ia menyerang siapa pun yang berusaha mendekat. Anehnya, Cakra terlalu kuat dan memiliki pergerakan yang tak bisa ditebak.
'Aneh, Cakra itu kan cenderung lebih kuat secara non fisik. Dia bukan tipikal orang yang suka berhadapan face to face.' Pikir Harits.
"Mas, tenang dulu. Semua bisa diselesaikan secara kekeluargaan," timpal Jaya. Pria dengan perban di kepalanya itu mendekat pada Cakra. Ketika memasuki jangkauan serangnya, Cakra menerjang Jaya dengan sebuah tendangan.
Jaya menahan tendangan itu dengan tangannya. "Tolong berhenti selagi saya masih bicara baik-baik, Mas." Jaya paham, tendangan itu bukan main-main. Jika orang biasa, mungkin tangan yang menahan tendangan Cakra bisa saja patah. Saat ini hanya Jaya yang bisa mengimbangi Cakra, baik secara fisik, maupun pengalaman bertarung.
Cakra yang sepenuhnya dilumat amarah pun kembali menyerang. Jaya hanya bertahan tanpa membalas serangan Cakra, hingga pada satu titik, seorang Emil Jayasentika cukup terpojok dan terpaksa menyerang balik sebagai bentuk pertahanan.
"Maaf, Mas." Jaya melayangkan pukulan untuk melemahkan Cakra.
Namun, pukulan itu dapat ditahan oleh seorang Harits Sagara dengan satu tangannya.
"Mas Harits ...," gumam Cakra lirih.
"Cukup, Jay," ucap Harits yang berdiri melindungi Cakra.
"Mas, awas!" lanjut Jaya.
Cakra menghantam bagian samping kepala Harits dengan sebuah tinjuan hingga topi birunya terpental dari kepala. Cakra seperti orang kesetanan, ia tak tahu mana kawan dan mana lawan. Jaya hendak membantu Harits, tapi Harits menghentikan Jaya. "Jay, cukup ... biar gua urus sisanya."
Jaya adalah orang yang paling percaya pada Harits, apa lagi ketika pria mungil itu sudah memasang wajah seriusnya. Jaya memutuskan untuk mundur dan menyerahkan Cakra yang mengamuk pada Harits.
"Kenapa lu semua seneng banget ikut campur urusan orang sih? Biarin gua selesain ini sendiri," ucap Cakra.
Harits menoleh dan menghadap ke arah Cakra. Sejenak ia melirik pada Rama yang tak sadarkan diri.
"Justru itu, gua enggak bisa biarin lu selesain sendirian. Orang yang hampir lu buat mampus itu orang lain, kalo lu butuh orang buat ditampol, harusnya lu nampol temen lu dulu," balas Harits. Ia memasang kuda-kuda untuk bertarung. "Ya udah, sekarang maju lu sini. Biar gua yang ladenin."
"Jangan nyesel sama ucapan lu." Cakra berlari ke arah Harits dan melayangkan pukulan.
Semua terbelalak ketika melihat Harits yang bergeming menerima pukulan Cakra tanpa pertahanan dan serangan balik. Pria itu seperti memberikan pukulan tersebut secara gratis.
"Kenapa diem?" tanya Cakra.
"Lu sendiri kenapa berhenti?" balas Harits. "Cuma segini?"
Cakra mengerutkan kening mendengar ucapan Harits. Merasa diremehkan, ia kembali melayangkan pukulannya ke arah ulu hati. Lagi-lagi Harits hanya diam menerima pukulan Cakra. Hal tersebut membuat Cakra semakin kesal dan menghajar Harits bertubi-tubi selayaknya ia menghajar Rama.
"Mas!" Jaya hendak turun tangan kembali.
"Jangan ikut-ikutan!" balas Harits membentak. "Lu liatin aja dari jauh!"
Cakra mundur beberapa langkah dan menatap Harits penuh amarah. "Kenapa lu diem aja?! Apa pukulan gua enggak sakit buat lu?!"
"Sakit," jawab Harits. "Tapi sesakit apa pun pukulan yang gua terima, gua paham ... lu yang paling kesakitan di sini."
Cakra terdiam mendengar ucapan Harits.
"Gua bisa denger jeritan hati lu lewat setiap pukulan yang lu layangkan. Kalo emang sebegitu susahnya cerita lewat mulut, enggak apa-apa pake cara begini. Enggak apa-apa cerita lewat pukulan. Ceritain semuanya ke gua, gua bisa denger jelas semuanya."
Cakra semakin erat mengepal tinjunya, tetapi tubuhnya gemetar. Matanya pun berkaca-kaca. Dari sekian banyak manusia, pria kecil itulah yang sanggup mengerti dirinya. Harits tersenyum melihat Cakra yang berkaca-kaca.
"Kalo emang enggak bisa ngeluarin kalimat lewat mulut lu, enggak apa-apa ngeluarin semua yang lu pendem lewat mata lu. Nangis bukan hal yang memalukan, kadang ada sesuatu yang cuma bisa ikut keluar lewat tangisan."
"Diem lu!" Cakra kembali berlari ke arah Harits. Ia melayangkan pukulan lurus mengarah ke wajah Harits.
Harits terkekeh. "Nyahaha bagus. Kalo lu butuh samsak, cari gua. Daripada lu nampolin orang lain yang belum tentu ngertiin lu, mending keluarin semuanya ke gua. Gua enggak marah. Rasa sakit lu tersalurkan dengan baik."
"Jangan ngomong lagi lu!" Cakra kembali menggila. Ia menghajar Harits kembali secara bertubi-tubi.
Namun, kali ini Harits tak tinggal diam. Ia pun menerjang ke arah Cakra dan menepis salah satu pukulan Cakra dengan lembut, kemudian memeluk erat tubuh Cakra. Cakra memberontak ingin melepaskan diri, tetapi Harits cukup kuat mendekapnya.
"Cak, seandainya Om Fajar yang bertingkah kayak gini, gua yakin seorang Andis Sagara akan melakukan hal yang sama," tutur Harits. "Biarpun semua orang jauhin lu, gua akan selalu ada di pihak lu, berdiri paling depan belain lu ketika lu benar, dan menasehati lu ketika lu salah. Enggak apa-apa lu berubah, satu yang harus lu inget ... ada hal yang enggak akan pernah berubah. Gua temen lu, Cak. Gua sahabat lu, gua keluarga lu, gua bukan orang asing yang enggak peduli sama lu. Kalo lu butuh tempat cerita, dateng aja kapan pun. Gua ladenin lu gimana pun cara lu bercerita. Kalo lu sakit, kita sakit sama-sama, jangan tanggung semuanya sendiri. Kalo lu seneng, bagi gua juga biar kita seneng sama-sama. Itu artinya jadi keluarga, kan? Saling berbagi suka dan duka."
Perlahan pergerakan Cakra melemah, tubuhnya bergetar sambil menutupi wajahnya yang menangis.
Harits melirik ke arah Deva. "Drong, sampe kapan mau tiduran? Itu bawa si Satu Darah ke rumah sakit. Jangan sampe dia mati, nanti kita dibunuh Arai," tutur Harits.
Deva meneguk ludah dan segera bangkit. "Vin, panasin mobil. Rad, bantuin gua ngangkat Rama ke mobil," ucap Deva.
Jaya yang tak mendapatkan perintah apa pun menghela napas, ia berjalan ke orang-orang yang masih menyimak drama Mantra. "Maaf kalo mengganggu, tapi bisa bubar enggak? Ini bukan tontonan. Sekali lagi maaf." Pria itu membungkukkan badan sebagai permintaan maaf.
Sementara itu Melodi sibuk menenangkan Nada yang masih shock dengan tragedi malam ini.
"Nanti tidur di tempat ku dulu ya, Nad," ucap Melo.
Nada mengangguk.
Harits menghela napas, setidaknya tragedi malam ini tidak berlanjut dan berakhir lebih buruk dari ini.
"Rits, makasih udah bikin gua berhenti, ya," tutur Cakra. "Ini kali kedua kita berantem, dan lagi-lagi lu nolongin gua."
"Nyahaha santai. Eh, Cak ...."
"Kenapa?" tanya Cakra.
"Malem ini gua tidur di tempat lu, ya. Kosan gua ada jam malem, gua udah telat nih."
"Oh, oke, eggak masalah."
Sorot mata Cakra terlihat menyesal. Dengan wajah murung, ia menatap ke arah Jaya, Melodi, Harits, dan Nada. "Maaf atas sifat buruk dan kekanak-kanakan gua barusan." Setelah itu, Cakra menatap ke arah Deva, Kevin, Radhi, dan Rama yang berada di mobil dan hendak berangkat ke rumah sakit. "Maaf juga karena udah ngerepotin kalian, terutama Deva ... maaf gara-gara gua ...."
Deva tak menggubrisnya, ia segera bergegas ke rumah sakit sebelum Arai membunuh mereka semua karena sudah membunuh Rama.
Bukan hanya Deva. Tatapan Melodi dan Nada pun mendadak berubah pada Cakra. Entah takut, atau segan, yang jelas mereka seperti mengabaikan permintaan maaf Cakra.
Harits menatap Jaya dan menggeleng, ia mengisyaratkan untuk tidak terbawa suasana. Untungnya Jaya adalah pria yang peka, ia juga tak terlalu mempermasalahkan sikap Cakra barusan.
"Enggak apa-apa, Mas. Saya harap ini jadi pembelajaran untuk kita kedepannya supaya enggak terjadi lagi."
"Makasih, Jay ...," balas Cakra yang terlihat getir.
Melodi dan Nada segera pulang, begitu juga dengan Jaya. Kini hanya tersisa Cakra dan Harits.
"Ya udah, ayo masuk terus beberes. Gua ngantuk, abis beberes, kita istirahat," ucap Harits melangkah ke dalam rumah.
Sebenarnya Cakra merasa sedih dan menyesal, tapi setidaknya ada hal baik yang ia tahu. Harits berada di pihaknya.
"Ayo," balas Cakra tersenyum.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top