176 : Pasien Terberat
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Deva sudah siap berangkat ke kampus. Setelah rapi dengan pakaiannya, ia pun keluar kamar menuju kamar Kevin. Pintu kamar Kevin terbuka, tapi tak ada siapa pun di dalam. Masih bergeming menatap kamar Kevin, tiba-tiba suara pintu kamar mandi terbuka, sontak Deva menoleh ke arah kamar mandi. Ditatapnya Cakra yang keluar mengenakan celana pendek, kaos putih polos dan handuk di pundaknya.
"Cak, liat Kevin enggak?"
"Enggak liat, kenapa?"
"Semalem katanya mau nebeng dia, lah tau-tau orangnya ilang."
Cakra tersenyum. "Belum liat Kevin pagi ini."
"Oh, oke."
Cakra berjalan menuju kamar menenteng pakaian kotor. Deva menatap pakaian kotor yang berada di tangan Cakra. Baju itu adalah baju yang dikenakan Cakra semalam, tetapi ada bercak merah di sana.
"Eh, Cak ...."
Cakra menutup pintu kamarnya meninggalkan Deva yang masih menganga. Deva hanya bisa menghela napas, lalu mencari keberadaan Kevin. Sayangnya ia tak menemukan sosok itu hingga Deva memutuskan untuk berangkat seorang diri.
***
Harits duduk mengendarai motor. Sepasang tangan memegangi pinggangnya dengan malu-malu.
"Kamu istirahat aja," ucap Harits pada Sekar yang duduk di belakangnya dengan wajah agak pucat. "Kalo besok masih enggak enak badan, kita periksa ke puskeswan nyahahaha."
"Ih! Emangnya aku kucing dibawa ke puskeswan?!" balas Sekar.
Harits tersenyum. "Kamu lebih lucu dari kucing."
Pegangan Sekar semakin erat pada Jaket biru Harits. "Maaf ya ... aku selalu ngerepotin kamu."
"Halah, daripada maaf, aku lebih suka kalo kamu bilang makasih. Makasih ya udah selalu ada buat aku nyahahaha gitu!" ledek Harits. "Aku juga terimakasih ya, selama beberapa minggu ini kamu udah mau aku repotin bawa-bawa gerobak jualan dari kosan ke UGM. Enggak semua cewek mau begitu."
Sekar terkekeh, pegangannya semakin dalam hingga tubuhnya menempel dengan punggung Harits. "Mungkin mereka malu."
"Emangnya kamu enggak malu bawa-bawa gerobak angkringan naik motor?" tanya Harits.
"Selalu ada wanita hebat di balik suksesnya seorang pria. Aku enggak akan pernah malu liat usaha cowok yang aku suka! Aku lebih malu kalo kamu tipikal cowok manja yang sok-sokan traktir aku pake uang orang tua kamu! Aku bangga, dan aku berharap bisa jadi bagian sejarah kesuksesan kamu kelak. Biar kamu juga tau, aku selalu ada buat kamu dari nol."
Harits tersenyum. "Salah satu yang bikin aku bersyukur telah dilahirkan dan merantau ke Jogja adalah karena pertemuan kita!"
Sekar pun tersenyum tak kalah bahagia dari pria di depannya. "Aku juga! Aku besyukur karena bisa nemuin kamu di antara sepuluh juta miliyar ribu orang di dunia!"
"Jangan pernah ninggalin aku!" ucap Harits.
"Oke! Kamu juga jangan pernah tinggalin aku, Harits!"
"Oke!" balas Harits.
"BERISIK, GOBLOK!" teriak salah seorang pengendara yang sedari tadi melaju di sebelah motor Harits. "Seru-seru amat lu berdua!"
Harits dan Sekar mendadak bungkam. Sengaja ia pelankan laju motornya hingga membuat pengendara itu maju dan berlalu. Setelah pria itu hilang ditelan jarak, mereka berdua terbahak-bahak di atas motor.
Kedua roda itu terus berputar hingga pada satu titik mereka berhenti. Sekar turun dari motor menatap prianya dengan senyuman manis. "Makasih udah anterin aku lagi, ya, pangeran."
"Aku enggak akan pernah bosen nganter kamu dan denger ucapan terimakasih kamu."
"Soal yang tadi di motor ...." Sekar tampak malu-malu, wajahnya memerah.
"Apa?" tanya Harits.
"Tentang yang jangan pernah tinggalin aku ...." Sejujurnya masih ada rasa was-was di hati gadis itu. Ia paham, Harits belum sepenuhnya melupakan Nada.
Harits tersenyum. Ia menyodorkan kelingkingnya di depan wajah Sekar. "Janji."
Sekar ikut tersenyum. Ia melumat kelingking Harits dengan kelingkingnya. "Janji."
Kini tangan itu bermuara di kepala Sekar sambil sesekali mengusapnya manja. "Ya udah, istirahat. Minggu ini kalo masih enggak enak badan enggak apa-apa enggak bantuin aku. Nanti aku minta tolong Jaya aja."
"Semoga aku udah sembuh," balas Sekar.
"Aamiin, semoga cepet sembuh."
"Kalo gitu, aku masuk dulu, ya."
"Oke," balas Harits.
Sekar memutar tubuhnya dan berjalan masuk ke indekos. Setelah Sekar benar-benar menghilang dari pandangan Harits, barulah pria itu pergi menuju kosnya yang tak terlalu jauh dari lokasinya saat ini.
***
Tak sampai sepuluh menit, Harits tiba di depan kosannya. Rupanya kali ini ada yang menunggunya selain Kerdil.
"Ciao." Sapa Rizwana yang duduk di antara anak tangga depan pintu.
"Ada apaan lagi? Udah gua bilang gua enggak bisa liat setan lagi. Udah deh ...."
"Bukan soal Simfoni Hitam," balas Rizwana. "Ada yang perlu gua infoin, terkait salah satu temen Mantra lu."
Harits memicing. "Siapa?"
"Si pirang," jawab Rizwana.
"Cakra? Kenapa dia?"
Rizwana tersenyum, ia mengangkat plastik putihnya yang berkeringat. Pria itu membelikan minuman untuk mereka berdua. Sepertinya waktu masih panjang untuk dihabiskan sembari menikmati minuman dingin.
Harits menghela napas. "Oke, oke, ayo masuk." Ia paham gelagat Rizwana dan mengizinkannya untuk masuk ke dalam kos. Harits berjalan di lorong menuju kamarnya dan Rizwana mengikutinya dari belakang sambil menatap pintu-pintu kamar kos lain yang tertutup.
Sesampainya di kamar, Harits langsung duduk di lantai, tak ada kursi di dalam sana. Rizwana pun ikut duduk tepat di depannya.
"Nih, sambil diminum," ucap Rizwana mengeluarkan minuman kaleng yang berembun dari dalam plastik.
Harits mengambil satu kaleng, lalu membukanya. Suara khas kaleng minuman yang terbuka pun terdengar nyaring akibat kesunyian ini. Tak berlama-lama, mereka saling meneguk minuman mereka.
"Cheers." Rizwana menyodorkan kaleng minumannya untuk bersulang.
Harits menyambutnya, mereka pun bersulang seperti hari-hari lalu. Suasana seperti ini sudah lama menghilang entah berapa lama sejak Rizwana digunakan Septa sebagai kaki tangannya.
"Jadi kenapa si Cakra?" tanya Harits.
Rizwana tersenyum. "Sebagai keluarga lu, gua cuma mau kasih saran buat hati-hati sama dia. Banyak yang dia sembunyiin."
"Dan apa itu?" tanya Harits.
Rizwana mengangkat bahu tanda tak tahu. "Entah, yang jelas dia butuh seorang teman sejati."
"Kenapa lu peduli?" tanya Harits lagi.
Kali ini senyum Rizwana terlihat getir. "Gua ngeliat diri gua yang dulu waktu liat Cakra. Mungkin lu akan bilang gua aneh, tapi rasanya gua denger hatinya teriak minta tolong."
"Enggak aneh," balas Harits.
"Kenapa enggak aneh?" tanya Rizwana.
Harits menggaruk kepala. "Ya, gimana ya ... kalo lu yang bilang begitu, ya gua percaya."
"Makasih udah percaya sama gua," ucap Rizwana.
"Mulai sekarang gua coba lebih aware sama Cakra," balas Harits. "Tapi kenapa lu peduli-peduli amat ama si Cakra?" tanya Harits sembari mengupil. "Perasaan lu kagak kenal-kenal amat ama dia."
Rizwana menatap ke arah cermin di kamar Harits. "Banyak hal berganti, tapi waktu abadi. Mungkin gua yang paling tau lebih daripada siapa pun, Mantra itu berharga buat lu. Terlalu banyak kesalahan yang gua buat di waktu yang lalu. Seenggaknya, gua mau berusaha nebus itu dengan cara menjaga apa yang berharga buat lu. Gua terlalu banyak ngerepotin lu selama ini."
"Lebay lu kek mencret bayi," balas Harits. "Bukan salah lu juga kali. Gua juga tau, lu yang paling sakit dari semua yang lu sakitin. Banyak orang yang jadi korban keganasan lu dan lu enggak punya kuasa untuk menghentikan Nagara yang pada saat itu nguasain lu. Semua udah berlalu, jangan salahin diri lu."
"Gimana pun juga, gua orang yang jadi eksekutornya, meskipun dalangnya bukan gua. Sejak hari itu, gua enggak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri dan berusaha nebus dosa-dosa itu," balas Rizwana.
"Yah ... gua enggak tau rasanya jadi lu sih, tapi percuma juga nyalahin diri sendiri atas apa yang terjadi di hari lalu. Daripada fokus menyalahkan diri sendiri, mending sekarang lu pikirin caranya buat nebus itu semua dengan kebaikan. Berbuat baik sampe lu lupa caranya menyalahkan diri sendiri."
"Makanya gua ada di sini sekarang," ucap Rizwana. "Gua enggak mau ada penyesalan yang nantinya bersemayam di dada lu. Firasat gua enggak bagus soal si Cakra ini." Rizwana beranjak dari duduknya.
"Udeh mau pergi lu?" tanya Harits.
"Iya, masih banyak yang harus gua lakuin sekarang," jawab Rizwana. "Oh iya, kalo lu butuh apa-apa kabarin gua, ya."
"Oke," balas Harits.
Rizwana tersenyum, ia berjalan keluar dari kamar Harits. Kini Harits yang tinggal seorang diri langsung merebahkan diri di kasur menatap langit-langit kamar. "Lu ngapa si, Cak?" gumam Harits lirih.
***
Nada duduk termenung dengan tatapan kosong di taman kampus. Sebuah tangan menyentuh pundaknya.
"Aaaa!" Nada berteriak dan sontak bangkit, wajahnya pucat ketakutan menatap seorang gadis yang tak kalah terkejut dengannya. Kini mereka berdua menjadi sorotan para mahasiswa lain.
"Eh, sorry, Kak ...," ucap Pita.
"Aku yang minta maaf, aku kaget banget," balas Nada yang gemetar. Matanya berkeliaran menatap sekeliling.
Pita memicing melihat gelagat Nada. "Kenapa, Kak? Nyari siapa?"
"Eh, enggak kok," jawab Nada.
"Kak, ini ada hadiah kecil dari aku sama Willy." Pita memberikan kaos berwarna hitam yang dibalut dengan packaging kardus kecil seukuran kardus pizza.
"Makasih ya, Pita," ucap Nada. "Oh iya, selamat ya sekarang udah resmi jadi anggota Mapala Kapakata."
"Rasanya agak sepi enggak ada Kak Nada," balas Pita.
Nada terkekeh. "Aku kan cuma seorang gadis pendiem. Ada atau enggak ada aku enggak ada bedanya."
Pita terlihat murung. "Beda, Kak. Selain Kak Nada, Kak Rama juga keluar."
Nada mengerutkan kening. "Rama keluar?"
Pita mengangguk.
"Kenapa dia keluar?"
"Aku kurang tau, Kak," jawab Pita.
"Kamu hari ini liat Rama di kampus?" tanya Nada.
"Belum lama sih ketemu di Kantin."
"Oke, makasih. Aku ke kantin dulu ya Pita." Nada meninggalkan Pita dan pergi ke Kantin untuk menemui Rama. Sejak hari itu, ia belum pernah bertemu dengan Rama.
Singkat cerita Nada pun tiba di kantin. Ia melihat Rama yang baru saja berdiri dan hendak pergi. Sebelum Rama menghilang, gadis itu menghampirinya. Di sisi lain, Rama terdiam menatap Nada yang saat ini berdiri di depannya.
"Kenapa kamu keluar?" tanya Nada.
Rama menatap sekelilingnya, lalu menunjuk diri sendiri. "Aku?"
Nada mengangguk.
Rama tersenyum dengan kedua tangan yang bersembunyi di dalam kantong celana. Ia melangkah pelan pergi dari Kantin. "Banyak hal terjadi."
Nada mengikuti beberapa meter di belakangnya. "Apa aja?"
"Salah satunya karena merasa gagal jadi pembimbing. Anggota ku ada yang enggak lolos karena kelalaian ku sebagai pembimbing," jawab Rama.
"Itu bukan salah kamu ... seandainya aku enggak ngikutin monyet itu ...."
Rama memicing. "Monyet apa?"
Nada terdiam sekitar lima detik. "Intinya, kalo aku enggak ilang, semua enggak akan begini ...."
Rama duduk di kursi terakhir yang berada di ujung lorong. "Semua ini udah takdirnya. Rencana Tuhan lebih baik dan enggak terduga. Seandainya kamu enggak ilang dan jadi anggota saat ini, belum tentu hal itu lebih baik daripada yang udah terjadi."
"Ada hal yang mau aku tanyain, kenapa kamu ngasih harapan dengan mimpi itu?" tanya Nada.
"Kalo enggak begitu, emangnya kamu mau turun?" tanya Rama.
Nada menggeleng.
"Nah, itu. Bawa kamu naik itu lebih riskan. Bukannya aku merasa terbebani, cuma aku takut kamu kenapa-kenapa. Kita di Gunung, bukan di taman bermain. Nyawa kamu lebih penting dari apa pun," lanjut Rama.
"Tapi ...."
"Kamu enggak lolos aja aku merasa gagal dan keluar sebagai bentuk tanggung jawab. Bayangin kalo sampe kamu kenapa-napa, Nad ... terserah kalo kamu mau benci aku gara-gara kejadian itu, itu hak kamu. Aku cuma ngelakuin apa yang terbaik saat itu."
Nada menunduk, ia pun tak bisa egois. Memang benar apa yang dikatakan Rama, mereka sedang berada di Gunung. Kasus kematian dan orang hilang di Gunung merupakan skenario terburuk yang mengintai.
"Kaki kamu masih sakit?" tanya Rama.
Nada menggeleng.
"Kamu udah enggak ada kelas?" tanya Rama lagi.
Nada mengangguk.
"Mau aku anter pulang?"
Nada menggeleng.
"Oh, oke. Kalo gitu aku duluan ya." Rama beranjak dari duduknya. Namun, begitu ia bangkit, Nada menarik ujung kemejanya.
"Kamu udah makan?" tanya Nada.
Sebenarnya Rama baru saja makan di kantin, tapi .... "Belum, kenapa?"
Nada menoleh ke sekitar seolah was-was. "Temenin aku makan mau?"
Wajah Rama memerah. "Ma-mau sih, emang enggak apa-apa? Nanti pacar kamu marah lagi?"
Nada terdiam beberapa saat. "Enggak apa-apa kok."
"Mau makan apa?" tanya Rama.
"Terserah, apa aja."
Ter-se-rah. Bagi Rama kalimat binatang itu lebih rumit daripada mekanisme mandau terbang milik Arai, atau lebih rumit dari cara Gerhana melihat maybe.
"Yah, Nad. Jangan terserah dong. Mau apa? Sebut aja?"
"Terserah kamu aja," jawab Nada.
"Yaaaa ... apa contohnya?"
"Terserah, Rama. Aku cuma mau ditemenin aja."
Mendengar itu rasanya Rama senang, tapi di sisi lain juga sakit. Gadis itu sudah punya pacar, Rama paham saat ini ia hanyalah pelarian belaka, tapi tak masalah. Setidaknya Rama ada untuk Nada saat gadis itu butuh. Mungkin ada waktunya Nada akan melupakannya, tapi setidaknya jika saat itu tiba, artinya Nada sudah bahagia kembali.
"Oke deh, kita ke Burjo aja, ya," ajak Rama.
Nada berjalan di belakang Rama. "Jangan Burjo Rama."
"Ayam krispi aja kalo gitu."
"Jangan."
Rama memasang wajah datar. Ia pikir ini akan mudah, rupanya memang keinginan Nada jauh lebih rumit daripada keinginan Adistri. Mereka berdua pun akhirnya berkeliling Jogja tanpa arah dan tujuan.
***
Senja kembali menyapa. Deva tiba di rumah dan langsung duduk di sofa ruang tengah untuk beristirahat. Ia menoleh ke arah dapur ketika mendengar suara pisau beradu dengan talenan. Pria gondrong itu pun memutuskan untuk melihat siapa yang sedang berada di dapur.
Begitu Deva tiba di dapur, ia melihat Cakra yang sedang memotong daging dengan pisau daging berukuran besar.
"Motong daging apaan lu, Cak?" tanya Deva.
Cakra tak menghentikan kegiatannya. Ia hanya tersenyum sebagai respon, lalu berucap, "daging orang."
Deva terkekeh mendengar jawaban Cakra yang terdengar bercanda. "Rusak juga humor lu. Oh iya, Kevin udah pulang belum? Gua belum liat dia hari ini."
Cakra mendadak menghentikan kegiatan motong-memotongnya. "Kebetulan, gua juga belum liat dia hari ini."
"Aneh, padahal semalem bilang mau berangkat bareng, tapi dari pagi sampe sore belum keliatan itu orang." Deva hendak pergi dari dapur.
"Lu ada acara malem ini?" tanya Cakra. "Atau mau keluar ngapain gitu?"
Deva sontak berhenti dan kembali menoleh ke arah Cakra. Pria itu tampak sedang berpikir. "Paling keluar cari makan sih, kenapa?"
Cakra tersenyum padanya. "Enggak usah ke mana-mana malem ini, gua udah masak buat kita bertiga."
"Ada acara apa nih?" tanya Deva bingung.
Cakra menggeleng. "Lagi kepengen aja, udah lama enggak masak-masak."
"Oke deh kalo gitu, gua mau mandi dulu sekarang."
"Oke," balas Cakra.
Deva berjalan mengambil handuk, lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Setelah Deva masuk ke kamar mandi, Cakra menyeringai, ia berjalan membawa pisau itu ke arah depan dan mengunci pintu.
"Sabar ya, Dev," gumam Cakra lirih. "Sebentar lagi ada kejutan buat lu." Ia kembali ke dapur dan melanjutkan kegiatan memotong daging dengan senyum berseri-seri sambil bersenandung.
***
Jakarta.
Fajar, Senja, dan Dini baru saja tiba di Jakarta. Kini keluarga mereka resmi menetap di Indonesia.
"Akhirnya kembali ke Tanah Air!" ucap Senja yang terlihat bahagia.
Ajay merangkul Senja. "Setelah perjalanan panjang."
Di tengah itu semua seorang pria muda menghampiri mereka. Ajay tersenyum menatapnya.
"Kenalin, ini mahasiswa ku dulu di Inggris, Wisnu," ucap Ajay memperkenalkan pria itu pada Senja.
"Oh, ini Wisnu yang kamu ceritain dulu itu ya." Senja menatap Wisnu. "Suami saya bilang, kamu mahasiswa terbaik selama dia ngajar Psikologi."
Wisnu terkekeh sambil menggaruk kepala. "Enggak kok, saya belum ada apa-apanya kalo dibandingin sama Pak Fajar."
Wisnu merupakan mahasiswa sekaligus asisten Fajar dulu ketika masih menjadi dosen di Inggris. Ia merupakan lulusan terbaik dan menjadi mahasiswa yang dipercaya oleh Ajay sebagai muridnya. Kemampuan analisa Wisnu adalah yang terbaik selama ia mengajar dan mengenal orang-orang di dunia profesional.
"Oh iya, saya udah ketemu sama pasien terberat yang pernah Pak Fajar pegang," bisiknya.
Ajay terkekeh. "Pasien terberat yang pernah saya tangani selama saya berkecimpung di dunia psikiater ya ... terus gimana pendapat kamu?"
Wisnu tampak tak enak hati. Ia terlihat segan. "Gimana ya, Pak ... menurut saya kasusnya masih tergolong biasa. Maaf jikalau peryataan saya agak terkesan ...."
"Enggak apa-apa, saya paham," potong Ajay. Raut wajahnya mendadak sendu. Wisnu menyadari hal itu, ia berusaha menghibur Ajay.
"Cakra anak yang baik," lanjut Wisnu. "Dengan kapasitasnya dan penanganan yang intens, dia pasti bisa cepat membaik."
"Ya, terimakasih doanya," balas Ajay.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top