173 : Sang Penjaga
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Seorang pria tak terlalu tinggi berdiri di depan empat kelompok yang sedang menghadap ke arahnya. Niko namanya, ketua Mapala Kapakata Instiper.
"Setiap kelompok nantinya akan muncak bareng dua pembimbing," ucap Niko.
Setiap kelompok baru akan mendaki bersama dua orang senior. Masing-masing kelompok akan menanjak dengan selisih lima belas menit. Nada, si gadis bertopi jerami berada di kelompok Wijaya Kusuma ditemani oleh Rama dan Udil sebagai pembimbing mereka.
"Dil, kowe mau dadi leader opo sweeper?" tanya Rama.
"Aku sweeper ae," balas Udil. Pria itu tersenyum mendapati Rama yang sedang mencuri pandang ke arah Nada. "Ajak ngobrol, Ram."
"Cangkem," balas Rama yang berjalan ke barisan depan kelompok. Rama kini sudah berada di barisan depan kelompok Wijakum dan menghadap ke arah Niko. Berdasarkan urutan, mereka menjadi kelompok terakhir yang akan melakukan pendakian.
***
Setelah menunggu tiga kelompok yang maju terlebih dahulu, kini tiba giliran kelompok Nada. Rama menoleh ke belakang, menatap seluruh anggotanya. "Siap?"
"Siap, Kak!" balas Nada, Willy, dan Pita.
Rama memulai langkahnya sebagai leader. Nada tampak antusias mengikutinya dari belakang. Selain merupakan pendakian pertamanya, rupanya sudah lama sekali Nada memendam hasrat ingin mendaki gunung.
"Inget aturan dasar sebagai pendaki," ucap Rama. "Pertama, jangan remehkan pendakian. Kedua, jangan mengambil apa pun kecuali foto. Ketiga, jangan bunuh apa pun, bunuhlah waktumu. Keempat, jangan meninggalkan apa pun, selain kenangan. Kelima, jangan berbicara sembarangan, jaga lisanmu."
"Siap, Kak!" balas Nada, Willy, dan Pita.
Nada berjalan tanpa kenal lelah. Sebenarnya ada rasa lelah, tetapi semua terbayarkan dengan semua pemandangan di sampingnya. Gadis bertopi jerami itu berjalan hingga tak terasa sudah berada di pos satu. Di pos satu ada kelompok sebelumnya, mereka baru saja hendak melanjutkan perjalanan begitu kelompok Wijaya Kusuma tiba.
Willy dan Pita sudah kelelahan, tapi tidak dengan Nada. Ia masih tampak segar dengan senyumnya yang manis, terutama di mata Rama.
Udil menyenggol Rama. "Manis ya senyumnya, Ram?"
"Iya, manis," balas Rama yang terpana.
"Cieeee ahay!" ledek Udil.
Rama kembali dari lamunannya, ia menoleh ke arah Udil. "Sial lu, Dil."
Di tengah percakapan itu, rupanya yang sedang dibicrakan pun datang. "Kak, izin buang air kecil," ucap Nada. Ia tinggalkan tas semi keril miliknya di sebelah Pita.
Rama menatap jam tangannya. "Oke, jangan lama-lama."
"Siap, Kak!" balas Nada. Gadis lucu itu segera melipir dari jalur ke balik pepohonan.
Udil terus menerus meledek Rama yang wajahnya memerah. Di sisi lain, Pita dan Willy tampak sedang asik mengobrol dan mendekatkan diri. Namun, beberapa menit berlalu, Nada tak kunjung nampak batang hidungnya.
"Ram, udah berapa menit?" tanya Udil.
"Hampir lima belas menit, yuk prepare," balas Rama.
"Nada mana?" tanya Udil lagi.
Rama menoleh ke arah Pita dan Willy, mereka berdua pun tak tahu menahu. Sejak izin buang air kecil, Nada belum muncul kembali.
"Dil, lu tunggu sini, ya. Gua mau cari Nada," ucap Rama. "Kalo sepuluh menit lagi gua belum dateng, lu jalan duluan ke atas susul Niko."
Udil mengangguk tegas. "Oke, hati-hati lu, semoga enggak ada apa-apa."
Rama mengambil beberapa peralatan dari tasnya, lalu berlari ke arah Nada pergi.
Pita dan Willy mendekat pada Udil. "Nada ilang, Kak?" tanya Pita.
"Hus, jangan ngomong gitu. Sebentar lagi juga balik," balas Udil. "Kalo sepuluh menit lagi mereka belum muncul, kita jalan. Siapa tau Nada sama Rama duluan. Nanti aku bawa tas Rama, Willy tolong bantu bawain tas Nada sampe pos dua."
"Siap, Kak," balas Willy.
***
"Brujeria ...." Rama berlari sambil memperluas auranya. Namun, brujeria pun tidak mencangkup keberadaan Nada, yang artinya jarak antara Rama dan Nada lebih dari satu kilometer.
Di sisi lain Nada masih berjalan menatap sekelilingnya. Setelah membuang air, ia melihat anak kera dan mengejarnya karena ingin melihatnya dari dekat. Tanpa sadar Nada kehilangan arah.
Senyumnya pelahan luntur. Bukan karena takut, tapi karena merasa bersalah pada rekan-rekannya yang saat ini sedang menunggu dirinya seorang.
"Maaf, Nada emang ceroboh ...," gumamnya bermonolog.
Sudah lebih dari setengah jam Nada berjalan tak tentu arah. Saat ini Udil dan kelompoknya sudah melanjutkan perjalanan menuju pos dua.
Awalnya setengah jam, tetapi waktu terus bergulir hingga langkah gadis itu membawanya pada medan yang didominasi batuan terjal dan curam. Namun, karena jiwa petualang bersemayam di dadanya, Nada lanjut berjalan.
Pada satu titik, semak-semak di sekitarnya mengeluarkan suara. Entah, seperti ada yang mengikutinya dari balik belukar. Nada mulai takut dan mempercepat langkahnya, hingga kakinya tergelincir dan hendak jatuh.
"Tidak!" ucapnya.
Sebuah tangan menangkap tangannya dan ikut terperosok jatuh. Seorang pria mendekapnya untuk meminimalisir luka.
Untungnya mereka tergelincir tak terlalu jauh. Begitu Nada membuka mata, ada wajah Rama di depan wajahnya. Sontak Nada menjaga jarak, tetapi tubuhnya tiba-tiba terdiam saat melihat kepala Rama berdarah.
"Kak," panggilnya sembari menggoyangkan tubuh pria itu, tetapi Rama tak menunjukan pergerakan. Pria itu melindungi Nada dengan tubuhnya. Untung saja ia datang tepat waktu untuk melindungi gadis pujaannya meskipun harus mengorbankan diri sendiri.
Nada menatap kotak P3K yang berada tak jauh dari posisi mereka, Rama yang membawanya. Dengan berbekal pengetahuan sederhana, Nada mencoba untuk memberikan pertolongan pertama pada Rama.
***
Rama membuka mata dan berusaha bangun, kepalanya yang terbalut perban terasa sangat sakit. Ia melihat Nada yang terduduk di sebelahnya.
"Nada."
Nada yang setengah tertidur sontak langsung membuka mata dan menoleh ke arah Rama. "Udah sadar, Kak?"
Langit hari ini mulai redup. "Udah berapa lama aku enggak sadar?"
"Lama," jawab gadis itu singkat.
"Ayo, kita lanjut, semua udah nunggu di atas." Rama bangkit perlahan dan hendak melangkah, tapi Nada belum beranjak dari duduknya. "Nad, ayo."
"Kakak duluan aja," ucap Nada sambil tertawa kecil.
"Lah, gimana? Aku ke sini buat kamu, sekarang kamu nyuruh duluan, gimana konsepnya?"
"Aku enggak bisa jalan ... maaf," gumam Nada lirih.
Rama langsung berjongkok di depan Nada dan menaikkan bagian bawah celananya hingga di atas mata kaki. Rupanya pergelangan kaki gadis itu bengkak dan terkilir. Rama langsung membelakangi Nada. "Sini naik." Ia memberikan punggungnya. "Aku pembimbing kamu, aku bertanggung jawab atas kelengkapan anggotaku."
Pada akhirnya Nada naik ke punggung Rama. Pria itu bangkit dan berjalan dengan beban yang lebih ringan ketimbang tas keril yang ia titipkan pada Udil.
"Kondisi kamu enggak memungkinkan buat muncak, aku anter ke bawah lagi," ucap Rama.
Nada yang berusaha tegar kini menggembungkan pipinya sebagai upaya bertahan untuk tidak menangis. Namun, hujan tetaplah hujan, tak ada awan yang mampu membendungnya.
"Kenapa nangis?" tanya Rama yang menyadarinya.
"Berarti enggak lulus Mapala dong?" ucap Nada.
"Keselamatan lebih penting dari apa pun," jawab Rama.
"Mau gabung Mapala hiks."
Rama menghentikan langkahnya. "Jangan mikirin itu dulu, sekarang yang penting bisa nemu jalur dulu. Aku kehilangan jalur."
"Kita masih nyasar?" tanya Nada.
Rama tak menjawab, ia melanjutkan langkah berdasarkan insting. Tak ada petunjuk apa pun.
"Nad, senterin jalan." Rama memberikan senter pada Nada. Ia tak membawa headlamp karena tak memprediksi akan tersesat hingga malam hari.
Nada mengambil senter itu dan menerangi jalan mereka.
"Kamu takut?" tanya Rama.
Nada mengangguk pelan dengan wajah murung.
"Tenang, mungkin kamu enggak akan sadar, tapi sekarang ini kamu lagi tidur. Kesadaran kamu itu fana. Jangan takut, ya," ucap Rama.
"Lullaby?" tanya Nada.
Rama mengangguk. Ia berjalan dengan ilmu pengetahuannya sebagai veteran hingga menemukan jalur. Ia berbohong pada Nada, Rama tak menggunakan kemampuannya, itu hanya upaya untuk menenangkan Nada. Kini gadis itu malah tertidur di punggung Rama. Terbesit senyum tipis di wajah Rama. Mereka terus berjalan hingga ke pos dua.
Di pos dua ada sebuah tenda yang ia kenali. Udil sudah mengenal Rama dari awal masuk kampus, ia paham bahwa Rama pasti akan kembali. Jadi ia meninggalkan tas keril Rama di pos dua dan mendirikan tenda untuknya.
"Makasih, Dil," gumam Rama meskipun tak ada Udil di sana. Pria itu meletakkan Nada di dalam tenda, lalu menyelimuti gadis yang terlelap itu dengan lembut, kemudian ia pergi keluar tenda untuk membuat api unggun.
***
Sekitar jam dua pagi Rama membangunkan Nada. "Nad, bangun. Ayo kita summit attack."
Summit Attack adalah istilah yang sering digunakan sewaktu pendakian yaitu perjalanan saat para pendaki menapaki trek menuju puncak.
Nada terbangun dari tidurnya. "Emangnya sanggup? Kaki ku ...."
"Sanggup." Rama tersenyum dan meyakinkan Nada bahwa mereka bisa.
"Eh, ini di mana?" Nada baru menyadari bahwa ia berada di dalam tenda. "Ini efek ...."
"Enggak, kita emang ada di tenda. Udil yang nyiapin ini semua. Yuk, kalo mau summit sekarang," potong Rama. "Tinggal tas sama tendanya, kita jalan cepet."
"Aku enggak bisa jal ...." Nada terbelalak mendapati kakinya yang sembuh total tanpa luka. "Loh, kaki ku sembuh?"
Rama menempelkan jarinya ke bibir. "Rahasia kita, aku bisa nyembuhin orang. Jangan kasih tau siapa-siapa."
"Oke." Nada tersenyum. Mereka segera bergegas mengejar puncak sebelum matahari terbit.
Kini tas Rama sudah di tangannya. Ia mengambil headlamp dan peralatan lainnya untuk Nada.
"Kamu gimana?" tanya Nada.
Rama tersenyum. "Aku enggak butuh gitu-gituan."
"Percaya deh yang jago," balas gadis itu sambil terkekeh.
Begitu semua sudah siap, Nada dan Rama bergegas menuju puncak Merapi. Mereka berjalan dari pos dua hingga menemui batas vegetasi berupa trek kerikil dengan jalan agak landai. Rama dan Nada terus berjalan hingga tampak Watu Gajah.
Watu Gajah merupakan batu besar yang terletak di kanan jalur pendakian, pertanda bahwa Pasar Bubrah sudah dekat.
"Bentar lagi Pasar Bubrah," ucap Rama.
Nada senang sekali. Rasanya mereka menanjak dengan sangat cepat dan anehnya ia tidak merasa kelelahan.
Pasar Bubrah merupakan pos terakhir sebelum Puncak Merapi. Lokasinya luas berupa tanah padat berpasir tandus dengan bebatuan yang berserakan.
Sepasang manusia itu lanjut berjalan di bibir kawah Merapi menuju puncak. Tak terasa perjalanan mereka yang cukup memakan waktu itu hingga perlahan langit menampilkan warna terang.
"Sunrise!" ucap Nada menunjuk ke arah langit di sebelahnya.
Rama tersenyum, ia meraih tangan Nada yang terbalut sarung tangan hitam. "Ayo lari, Nada! Sebentar lagi kita sampe di puncak nyusul yang lain!"
"Ayo!" Nada tertawa. Ia bergandengan dengan Rama menyusuri jalan menuju puncak. Mereka seolah berpacu dengan terbitnya mentari.
Semua mata menatap kedatangan Rama dan Nada yang baru saja tiba, mereka semua memberikan tepuk tangan dan sontak menghampiri Nada. Pita langsung memeluk Nada karena khawatir. Melihat itu Rama hanya bisa tersenyum dengan getir sambil menitihkan air mata. "Maaf ... maaf, Nada ...."
Nada menutup matanya memeluk Pita. Ia pun sama terharunya dengan teman barunya di Mapala. "Maaf udah buat kamu khawatir, Pita," ucap Nada.
Begitu Nada membuka mata, keadaan sudah terang benderang. Hanya saja tak ada puncak. Ia masih berpelukan dengan Pita yang sedang menangis di posko pendakian. Nada memasang wajah heran mencari keberadaan Rama.
Semua perjalanan menuju puncak hanyalah mimpi indah belaka. Dengan kondisi kakinya, Nada tak mampu melanjutkan perjalanan menuju puncak. Tak ada tenda di pos dua, tak ada api unggun. Sejak menggendong Nada, Rama menggunakan kekuatannya dan langsung bergegas menuju posko untuk membantu Nada mendapatkan pertolongan pertama.
Nada menitihkan air mata. Semuanya terasa sakit ketika ia tahu bahwa semua kebahagiaan yang ia rasakan barusan hanyalah sebuah kepalsuan belaka.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top