171 : Borderline Personality Disorder

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Kehilangan adalah hal yang paling menyakitkan, apa lagi kehilangan diri sendiri.

Pagi ini Cakra duduk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Kantung mata hitam menjadi hiasan wajahnya.

Sejak pertengkarannya dengan Nada, mereka sama sekali belum bertukar kabar. Mungkin merasa rindu, Cakra memberanikan diri untuk menghubungi Nada saat ini.

Seperti yang diharapkan Cakra, Nada mengangkat panggilan telepon.

"Halo," sapa Cakra.

"Halo," balas Nada seadanya.

"Apa kabar?" tanya Cakra.

"Baik."

Keadaan mendadak hening beberapa detik.

"Kamu?" tanya Nada.

"Baik juga," jawab Cakra. "Bisa ketemu hari ini?"

"Maaf Cakra, aku ada acara dua hari ini."

"Acara apa?"

"Pelantikan Mapala Kapakata, acaranya sambil daki gunung," jawab Nada.

"Enggak bisa enggak ikut dulu? Aku butuh kamu," ucap Cakra.

Nada terdiam. Keadaan mendadak senyap. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Mereka berdua terjebak dalam momen canggung.

Cakra memasang senyum tipis. "Bercanda. Ya udah, have fun and take care."

Ponsel itu tak lagi menempel di telinganya. Benda pintar itu sudah berbaring di atas meja dengan layar terkunci. Cakra menghela napas sambil menatap dua buah plastik biru berisi obat. Satu berbentuk kapsul yang merupakan obat penenang, dan yang satunya obat tidur. Dua-duanya berbeda secara kuantitas, obat tidur Cakra hampir habis, sementara yang satunya hampir tak tersentuh.

Setiap kemampuan memiliki efek samping. Bahkan Ajay yang mengenal hampir segala gejala penyakit psikis sekali pun memiliki beberapa penyakit mental. Begitu juga dengan Cakra. Di balik orang yang terlihat tangguh, ada sesuatu yang rapuh dalam dirinya.

Borderline Personality Disorder merupakan gangguan mental yang memengaruhi perasaan dan cara berpikir penderitanya. Kondisi ini ditandai dengan suasana hati dan citra diri yang senantiasa berubah-ubah dan sulit dikontrol. Penderita juga cenderung berperilaku impulsif.

Perbedaan mencolok antara BPD dan Bipolar adalah BPD mempengaruhi pola pikir, perasaan, dan hubungan sosial penderitanya dengan orang lain. Sementara Bipolar Disorder lebih mengarah pada gangguan suasana hati yang ekstrim pada penderitanya.

Cakra beranjak dari duduknya dan berjalan keluar kamar membawa jaket berwarna abu-abu di tangan. Seperti biasa, tak ada Kevin dan Deva di rumah. Hanya ada Cakra dan kesendirian.

Ketika ia merasa lemah, tak ada siapa pun yang berada di sisinya untuk menguatkan. Seseorang yang ia harapkan hadirnya pun tak mampu merangkulnya.

***

Liverpol, Inggris.

Ajay sedang duduk menatap keluar jendela kamar apartemen. Langit Inggris tampak getir hari ini. Sebuah tangan lembut berlabuh di bahunya.

"Besok kita pulang ke Indonesia," ucap Senja dengan raut wajah berseri. Wanita itu duduk di sebelah Ajay merangkulnya penuh kemesraan. Namun, melihat ekspresi suaminya yang tak kalah getir dari langit Inggris, Senja mengerutkan kening. "Kamu kenapa?"

"Seandainya kamu enggak nyusul aku ke sini dulu, mungkin kepalaku udah tergantung di simpul tali," ucap Ajay.

"Kamu khawatir sama Petang?" tanya Senja.

Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa faktor genetik bisa menjadi salah satu penyebab seseorang mengalami gangguan psikilogi. Sebab itu Ajay merasa khawatir pada Cakra. Untuk berjaga-jaga, ia selalu mendampingi putranya dan memberikannya obat ketika Cakra merantau ke Indonesia, karena putranya itu memiliki beberapa gejala Borderline Personality Disorder.

"Salah satu tujuan dia pergi ke Jogja adalah untuk merasakan petualangan yang aku rasain dulu. Anak itu tertarik sama cerita-ceritaku di Mantra. Waktu denger Mantra kebakaran, aku khawatir. Petang itu anak yang rapuh. Kamu tahu, kan? Di sini enggak semua orang suka sama kehadiran orang Asia. Dari kecil Petang enggak punya banyak teman. Aku tahu, alasan terbesar dia mau pergi dari sini adalah karena dia mau berteman. Sekarang mereka semua berpencar. Setelah sekian lama Petang menanti, sekarang dia harus merasa kehilangan secepat ini."

"Sabar, ya. Besok kita udah balik ke Indonesia." Senja berusaha menghibur Ajay. "Petang itu anak yang kuat. Aku yakin, teman-teman dia di sana juga sayang sama Petang. Dia enggak akan macem-macem kok."

Ajay mulai tersenyum. "Ya, kamu bener. Kita cuma bisa berdoa semoga dia baik-baik aja di sana."

***

Yogyakarta, Indonesia.

Cakra menyendiri di sudut sepi Pantai Baron. Ia memilih untuk pergi ke suatu tempat yang berlawanan dengan Nada. Jika Nada pergi ke gunung, maka Cakra memilih laut.

Pantai Baron

"Sebenernya buat apa sih aku hidup?" tanya Cakra bermonolog.

Pria itu duduk termenung menatap ombak laut yang datang dan pergi. Ia terus menatap ombak sambil memikirkan makna kehidupan.

Jika ditelaah, ombak itu seperti sebuah siklus pertemuan. Ada kalanya seseorang datang ke dalam hidup kita, hingga tiba waktunya mereka pergi meninggalkan serpihan yang terkadang tak bernilai, namun terkadang juga tak ternilai.

Tak bernilai karena memang tak memiliki value, tak ternilai sebab memang tak tergantikan.

Laut begitu riuh dengan deru angin dan desir ombak, terkadang juga gumam-gumam camar. Namun, biarpun riuh, Cakra merasa tenang. Berbeda dengan suasana di tempat barunya. Terlalu tenang hingga bergema bisik-bisik kesunyian.

Tak ada Nada, tak ada Mantra, tak ada siapa pun. Pantai Baron hari ini sangat sepi akan aroma manusia. Terdengar aneh memang. Hampir tak ada bedanya dengan suasana rumah. Hanya saja di sini Cakra merasa sedang dirangkul oleh alam.

***

Tak terasa waktu bergulir. Malam semakin malam, tetapi Deva belum menemukan sosok Cakra di rumah ini.

"Lu hari ini enggak ketemu Cakra, Vin?" tanya Deva ketika melihat Kevin yang baru saja tiba di rumah. Seperti biasa, Kevin membalasnya dengan gelengan kepala sambil melepas jaket merahnya.

"Kemana itu anak?" ucap Deva. "Nomornya juga enggak aktif."

"Sama Nada kali," balas Kevin.

"Oh iya Nada." Deva kini menghubungi Nada. Namun, seperti halnya Cakra, Nada pun tak bisa dihubungi. "Enggak bisa dihubungin. Coba lu telepon Melodi deh, firasat gua enggak enak."

Kevin meraih ponsel di dalam kantongnya, lalu menelpon Melodi. Setelah terhubung, ia meletakkan ponselnya di meja yang terletak di depan Deva.

"Ya lu ngomong aja," ucap Deva dongkol.

Bukannya mengambil ponsel, Kevin malah pergi meninggalkan Deva ke kamar. Ia meninggalkan ponselnya bersama dengan Deva di ruang tengah.

"Yeh, bocah." Deva menggeleng dengan kelakuan sahabatnya tersebut. Ia menghela napas, lalu memberanikan diri untuk mengangkat telepon.

"Halo, Vin. Kenapa? Haloooo, ada orang enggak sih? Apa sebenernya lagi ngomong, tapi pake bahasa isyarat?" ucap Melodi heboh.

"Halo."

Sejenak keadaan senyap. "Deva?" Melodi sangat kenal suara di balik panggilan tersebut.

"Kamu lagi sama Nada enggak?" tanya Deva tanpa berbasa-basi.

"Nada hari ini ada acara naik gunung sama UKM barunya, Mapala. Kenapa, Dev?"

"Enggak kok," jawab Deva tak ingin menjelaskan panjang lebar.

"Kenapa?" Melodi mendesak. Ia paham, Deva sedang menutupi sesuatu darinya.

Deva juga paham bahwa keras kepala gadis itu berada di level yang berbeda. Ia menghela napas sambil memijat kening.

"Cakra belum pulang-pulang, tadi dia pergi enggak ngunci pintu rumah. Aku pikir dia lagi sama Nada sekarang."

"Coba tanya Harits atau Jaya mungkin? Aku coba hubungin Nada, siapa tau Cakra diem-diem ikut acara Mapala."

"Aku udah hubungin Nada, tapi nomornya enggak aktif kayak Cakra. Kalo Nada naik gunung ya wajar, tapi Cakra enggak tau nih. Semoga aja beneran ikut sih."

"Ya udah kalem, nanti juga pulang," balas Melodi.

Deva tiba-tiba diam membisu. Ponsel di tangannya terjatuh ke lantai. Ia tak mengambilnya kembali. Sebab kini Deva sedang berlari ke arah kamar Kevin.

"VIN, CEK SEMUA PANTAI DI JOGJA!" teriak Deva. Ia menyuruh Kevin untuk melihat situasi di pantai-pantai Jogja dengan kemampuan Klervoyans.

Melodi memicingkan mata. "Dev, halo? Ada apa sih?" Ia samar-samar masih bisa mendengar teriakan Deva. Entah, hanya firasatnya saja bahwa Deva tak sengaja mendapatkan visualisasi masa depan terkait Cakra.

Kevin menatap Deva yang mendobrak pintu kamarnya hingga terbuka dengan keras membentur dinding.

"Ombak," ucap Deva. "Ada yang mati keseret ombak."

"Siapa?" tanya Kevin.

Deva berusaha mengingat kembali tampilan masa depan yang ia lihat barusan. Semuanya begitu cepat dan samar. Tak jelas siapa dan apa maksudnya, hanya saja perasaannya sungguh tak bagus.

"Cowok, jaket abu-abu, tenda kuning di pinggir pantai," jawab Deva.

Kevin segera beranjak dan berjalan cepat ke arah kamar Cakra. Ia membuka pintu kamar yang tak terkunci, lalu mengobrak-abrik lemari pakaian milik Cakra.

"Ngapain lu?" tanya Deva yang ikut berjalan masuk.

"Enggak ada." Kevin berhenti mencari dan menatap Deva dengan ekspresi yang agak panik.

Deva menatap ke atas meja dan menangkap plastik biru berisi obat-obatan dengan matanya. "Enggak ada apa?" Karena penasaran, Deva mendekat dan mengambil salah satu plastik bertuliskan Borderline Personality Disorder. Deva terbelalak dan sontak menoleh ke arah Kevin.

"Jaket abu-abu punya Cakra enggak ada," ucap Kevin.

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top