170 : Kalimat Yang Tertahan Di Bibir
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rinjani Maharani, meskipun Mantra Coffee sudah habis tak bersisa, gadis itu masih kerap bertemu dengan Kevin di tempat lain. Semakin lama mereka berbincang, arah pembicaraan perihal kopi dan skripsi mulai memudar berganti topik-topik yang lebih intim.
Malam ini mereka bertemu di sebuah kafe. Melihat suasana kafe tersebut, Kevin mendadak merindukan suasana Mantra Coffee. Ia bisa saja bekerja di kafe lain, tetapi pasti berbeda rasanya. Tak ada yang bisa menggantikan Mantra.
"Kamu kangen Mantra, ya?" tanya Rinjani menerka arti tatap Kevin.
Kevin mengangguk pelan.
"Kenapa enggak kerja di tempat lain aja, tapi yang serupa gitu?"
Kini Kevin menatap pakaian Rinjani yang berkaos putih dibalut cardigan ungu.
"Kenapa kamu pake setelan pakaian kamu sekarang?" tanya Kevin balik.
"Ya, aku suka aja," jawab Rinjani.
"Banyak model lain, tapi kamu pilih setelan yang satu ini. Kira-kira jawabanku juga begitu. Banyak kafe lain kayak di sini, tapi aku suka Mantra."
"Cewek-cewek di sana cantik, ada Melodi sama Nada. Atau mungkin kamu suka kali sama salah satu di antara mereka hayo? Jadinya seneng ada di sana." Rinjani mulai meledek Kevin.
"Banyak hal yang aku suka di tempat itu. Semua orang punya peran penting yang sama porsinya. Melodi, Nada, Deva, Cakra, Harits, Jaya, bahkan Radhi sekali pun."
Rinjani tersenyum. "Oh iya, kamu tau enggak sih? Awalnya tuh ngobrol sama kamu kayak ngobrol sama tembok, semisal ngomongin topik di luar obrolan kopi sama skripsi. Diem, dingin, hmm ... aneh aja, berasa ngomong satu arah. Tapi lama-lama kita jadi dua arah ya. Ngerasa enggak sih?"
Kevin mengangguk.
"Tuh, kan." Rinjani tertawa. "Mungkin karena kamu sering diem, jadi waktu kamu ngomong, suara kamu tuh kedengeran berharga tau. Aneh, ya?"
Kevin tak menjawab pertanyaan tersebut. Momen mendadak akward, Rinjani menyeruput americano di atas mejanya untuk mengalihkan rasa akwardnya.
"Udah dapet jadwal sidang?" tanya Kevin membelokkan arah pembicaraan.
Gadis di hadapannya terdiam menatap Kevin dengan wajah heran. "Kamu nanya aku?"
Kevin mengangguk.
Senyum itu hadir menghiasi wajah Rinjani. "Dalam waktu dekat kok,doain aja."
"Kalo kamu lulus, berarti kita enggak bisa ngobrol lagi?"
Rinjani terkekeh mendengar pertanyaan Kevin yang terdengar kekanak-kanakan.
"Tetep bisa kok, kita kan temen. Bener enggak?"
"Aku takut kita enggak bisa ngobrol lagi," jawab Kevin.
"Emangnya kamu suka ngobrol sama aku?" tanya Rinjani.
Kevin mengangguk. "Biarpun diem, aku menikmati tiap obrolan kita. Enggak banyak orang yang mau ngobrol sama aku."
"Banyak, Vin. Pasti banyak kok." Rinjani menempelkan sikunya di meja, lalu menopang dagunya dengan kepalan tangan menatap pria itu. "Mungkin karena kamu super duper pendiem, orang lain berpikir kamu enggak suka ngobrol dan memilih ikutan diem atau mengakhiri pembicaraan. Coba deh lebih terbuka, minimal kayak gini."
"Enggak semua orang bisa diajak ngobrol kayak gini," ucap Kevin.
Rinjani semakin tertarik dengan obrolan pada malam hari ini. Ia tersenyum menatap Kevin. "Yang bedain antara ngobrol sama aku dan orang lain apa sih emangnya?"
Kevin mengangkat bahu. Ia pun tak tahu apa bedanya, hanya saja tanpa ia sadari, Kevin merasa nyaman dan percaya pada gadis di hadapannya. Kevin pun tak sadar, kapan ia mulai banyak bicara.
"Apa hayo?" Rinjani pun merasa semakin penasaran dengan isi kepala Kevin.
"Entah, rasanya enggak sama aja," jawab Kevin.
"Seruan mana ngobrol sama aku atau anak-anak Mantra?" tanya Rinjani.
"Sama," jawab Kevin singkat.
"Kalo gitu makasih banyak karena udah percaya sama aku buat jadi temen ngobrol kamu ya, Vin."
"Kamu udah makan?" tanya Kevin. Pria tampan itu sering mengubah topik pembicaraan tanpa ia sadari. Namun, Rinjani tak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
"Belum, mau pesen makanan?" tanya Rinjani.
Kevin menggeleng. "Di sini tempat minum sama ngemil, kurang recommended buat makan."
"Terus mau makan di mana?"
Kevin berdiri. "Ayo pindah." Pria itu berjalan ke kasir dan membayar pesanan mereka berdua.
"Eh, harusnya aku yang bayar. Kamu itu narasumber ku tau," ucap Rinjani.
Kevin berjalan keluar kafe tanpa membalas ucapan Rinjani.
"Vin, hey." Gadis itu menggeleng, lalu berjalan cepat mengikuti Kevin.
"Kamu ke sini naik apa?" tanya Kevin.
"Naik ojek online, kenapa?"
"Bagus, kamu ikut aku aja, nanti aku anter pulang sekalian."
"Emangnya kamu bawa helm dua?" tanya Rinjani.
"Enggak," jawab Kevin singkat.
"Enggak bisa boncengan dong?"
Kevin membuka pintu mobilnya. "Bisa."
Rinjani tertawa renyah dengan ekspresi datar. "Hehe kirain bawa motor." Wajahnya memerah malu. Ia berjalan ke mobil Kevin dan duduk di depan menemani pria itu.
***
Merah semakin merona wajah Rinjani kali ini.
"Vin, serius nih?"
"Kenapa?"
Mereka berdua berdiri di sebuah kafe bernuansa merah jambu. Cerita Romansa namanya, sebuah restoran yang sangat coupleable dan memiliki vibes romantis.
Rinjani meneguk ludah. "Ini kan ...."
"Tempat makan," potong Kevin.
"Iya sih tempat makan, tapi gimana ya." Gadis itu menggaruk kepalanya sambil mengeluarkan kekehan tipis.
"Kamu enggak suka?" tanya Kevin yang polos.
"Bukan enggak suka sih, Vin."
"Ya udah, kita pindah." Kevin hendak pergi, tetapi Rinjani menariknya. Ia tak ingin merepotkan pria itu.
"Di sini aja," ucap Rinjani.
Kevin terdiam menatap mata gadis itu. Rinjani yang malu ditatap membuang pandangan. Kevin lanjut berjalan masuk ke resto Cerita Romansa diikuti Rinjani.
Benar saja, di dalam sana mayoritas pelanggan berisi para pasangan muda. Ada yang bukan pasangan, tetapi keluarga. Rinjani terlihat agak akward dengan tempat ini, tetapi Kevin tak begitu. Pria itu terlihat biasa saja.
Setelah memilih tempat duduk, Rinjani yang duduk di sebelah Kevin sontak mencoleknya. "Vin."
Kevin menoleh dan mengangkat alisnya seolah berkata, "apa?"
"Liat di sekitar kita deh." Rinjani berusaha menyadarkan pria di sebelahnya.
Kevin menatap ke sekitarnya. Namun, tampaknya ia tak mengerti kode dari Rinjani. Bukannya sadar, ia malah mengangkat tangan untuk memanggil pelayan.
Rinjani menepuk jidat melihat tingkah Kevin. "Ya udah deh," gumamnya lirih.
Kini Kevin menatap Rinjani dan memberikan kode bahwa pelayan sudah bersiap mencatat pesanan.
"Mau pesen apa, Kak?"
"Signature di sini apa?" tanya Kevin. Ia belajar dari Harits. Harits berkata, jika suatu hari Kevin pergi ke tempat kuliner dan merasa bingung dengan menu yang ditawarkan, ia sebaiknya bertanya apa menu signature di tempat tersebut.
"Nasi goreng sepiring berdua, Kak," ucap pelayan.
"Oke, satu."
Tentu saja Harits juga berkata. "Beli aja biar cepet, no ribet nyahaha."
Rinjani berekspresi seperti orang bodoh kali ini. Ia sedang sibuk berteduh dari badai pikirannya. Entah Kevin yang terlalu idiot atau memang ia masih polos? Atau jangan-jangan ini merupakan sebuah isyarat hati?
"Kamu pesen apa?" tanya Kevin pada Rinjani.
Rinjani menunjuk daftar menu. "Kamu pesen nasi goreng sepiring berdua?"
Kevin mengangguk.
"Itu buat kamu sendiri apa berdua sama aku?"
Mendengar pertanyaan Rinjani, pelayan ini mengerutkan kening. Pasalnya Kevin dan Rinjani tampak seperti pasangan yang sedang bertengkar.
Kevin menatap pelayan. "Buat sendiri apa berdua?"
Pelayan itu tertawa kecil. "Sepiring berdua, Kak."
"Oh, oke. Sepiring berdua." Kini pria itu membuka daftar minuman. "Kamu mau minum apa?"
Rinjani yang terlihat seperti orang bangun tidur kini ikut menatap daftar menu.
Mungkin karena Rinjani terlalu lama membaca menu, lagi-lagi Kevin bertanya. "Minuman best seller nya apa?"
"Degan kamu, Kak. Jadi itu tuh minuman olahan kelapa dan susu, terus minumnya masih di batok. Itu juga menu satu berdua."
"Bol ...."
"Es jeruk," ucap Rinjani memotong sebelum Kevin berkata 'boleh'. "Aku es jeruk aja."
"Oh oke. Es jeruk satu sama yang tadi satu," lanjut Kevin.
"Nasi goreng sepiring berdua, degan kamu, es jeruk. Ditunggu ya, Kak," ucap pelayan itu tersenyum, lalu pergi.
Rinjani memberanikan diri menatap Kevin.
"Vin, sebenernya ada yang mau kamu omongin sama aku ya?"
"Ada," jawab Kevin singkat.
"Ma-mau ngomong apa?" tanya Rinjani dengan wajah merahnya. Ia merasa belum siap dengan arah obrolan ini. Rasanya terlalu mendadak untuk mencerna semuanya.
Kevin menghela napas. Ada ucapannya yang tertahan di bibir. Rinjani sibuk memperhatikan bibir Kevin yang mulai terlihat sexy. Gadis itu meneguk ludah, menunggu Kevin mengeluarkan apa yang tertahan di bibirnya. Waktu seakan melambat untuk Rinjani.
"Kamu ada cash? Uang cash ku abis, lupa ambil. Nanti aku ganti."
Senyum dengan ekspresi datar Rinjani muncul. Ekspetasinya terlalu tinggi rupanya. Kevin memang pria yang tak bisa ditebak semudah itu. Ia lebih rumit dari matrix dan aljabar.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top