169 : Komandan Bertopi dan Prajurit Kucing

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Harits duduk di kursi tengah mobil, ia menatap keluar jendela. Andis dan Indri duduk di depan, mereka bertiga pergi mengunjungi makan Ghina.

Sesampainya di pemakaman, Harits bersama Ayah dan Ibunya duduk di makam almarhum Kakaknya. Samar-samar terdengar suara lirih di telinga Harits.

Harits mencari sumber suara, tetapi tak ada siapa pun di sekitarnya selain keluarganya. Hingga ia sadari, pusat suara itu berasal dari dalam tanah kuburan Ghina. Refleks, Harits mendekatkan telinganya pada tanah kubur hingga menempel.

Tiba-tiba sebuah tangan keluar dari dalam tanah dan menarik kepala Harits hingga masuk ke dalam tanah.

"SEMUA GARA-GARA KAMU!" teriak Ghina dengan wajah pucat penuh dengan darah.

Harits yang bercucuran keringat terbangun dari mimpi buruknya dengan napas terengah-engah. Ia terbangun bukan karena mimpi buruknya, tetapi karena Kerdil mengganggu tidurnya. Entah kucing itu lapar, atau memang menyadari gelagat tidur Harits yang gelisah.

Waktu menunjukkan pukul setengah lima subuh. Harits mengelus kepala Kerdil, lalu menggendongnya turun dari tubuhnya.

"Berat banget lu sekarang, Dil," ucap Harits. Ia berjalan mengambil makanan Kerdil dan menuangkannya ke tempat makan kucing berwarna biru.

Saat Kerdil makan, Harits terduduk menatap kucing abu-abu itu. Rasanya baru kemarin ia menyelamatkan Kerdil yang tertabrak di jalan. Sekarang kucing itu sudah beranjak dewasa. Rupanya waktu benar-benar berjalan maju. Siklus kehidupan hewan begitu cepat berputar. Padahal hampir tak ada perubahan secara fisik pada diri Harits, tapi kucing kecilnya sudah terlihat seperti kucing dewasa.

"Untung lu selamat Dil dari kebakaran itu. Cuma lu doang yang tersisa dari Mantra. Semuanya hilang, musnah, dan pergi."

Sejak kehilangan kemampuannya, Harits sama sekali tak pernah mencoba untuk membangkitkannya kembali. Baginya, mungkin memang beginilah jalannya. Perlahan ia meninggalkan dunia hitam dan kembali ke dunia putih. Tak ada lagi benda-benda sihir, yang tersisa hanyalah kain sarung untuk menutup aurat dan sajadah untuk alasnya bersujud.

Harits mengambil air wudhu dan melakukan shalat subuh. Saat Harits sedang shalat, Kerdil pasti tidur di sebelahnya, tak jarang kucing itu juga rebahan di atas sajadah dan menghalangi tempat sujud Harits.

Dari semua yang terluka di Mantra, mungkin Harits adalah orang yang paling terluka. Ia pria pertama yang hadir di istana kopi itu bersama para leluhur klasik. Kini tinggal ia sendiri yang masih menjaga api kecil itu agar tidak padam seutuhnya.

Kerdil berpindah ke pangkuan Harits ketika pria itu selesai dengan shalatnya. Harits selalu membelai tubuh Kerdil penuh kasih sayang dengan tangan kasarnya yang penuh dengan luka goresan benda tajam.

"Sabar, ya. Pagi ini kita grand opening," ucap Harits. "Nanti pulangnya kita beli makanan kucing yang murah buat lu nyahaha."

Harits mendaftarkan Mantra Coffee untuk membuka stand di Car Free Day yang terletak di UGM, atau kerap disebut Sunmor (Sunday morning).

Selesai shalat, Harits langsung bergegas menuju lokasi sunmor untuk melakukan prepare pada gerobak yang ia tinggal di lokasi sedari malam.

Saat melihat di toko online minggu lalu, Harits membeli sebuah gerobak kayu dan ia dimodifikasi sendiri gerobak tersebut agar bisa berfungsi sesuai dengan idealismenya.

Biji kopi, grinder manual, moka pot, french press, V60 drip, server v60 360ml, paper filter v60, termometer analog, beberapa kotak susu, juga botol-botol berisi syrup berbeda varian dan bahan lainnya sudah tersedia di dalam tasnya.

Begitu ia keluar kamar, Kerdil berlari mengikutinya keluar dan berputar-putar di kaki Harits. Hampir setiap kali Harits keluar, kucing itu selalu begitu. Entah, apa mungkin di dalam kamarnya singgah makhluk yang tak bisa ia lihat dan membuat Kerdil takut, atau memang ada alasan lain selain itu, Harits pun tak tahu.

"Dil, masuk, Dil." Harits menggendong Kerdil untuk memasukkan kucing itu ke dalam lagi, tetapi Kerdil menggigit Harits hingga terlepas. "Aw! Sakit, idiot bat lu."

Entah, kucing itu seperti tak sudi di tinggal sendirian di kamar kos kali ini. Ia ingin ikut dengan Harits. Buktinya adalah, ketika Harits berusaha tak acuh dan naik ke atas motor, Kerdil pun melompat ke jok belakang Harits.

"Dil, lu kagak punya helm, bego. Kagak boleh naek motor!"

"Meow!" ucap Kerdil yang terlihat marah.

"Awas lu ya, tar kalo ketilang gua tinggalin dah," balas Harits.

"Meow, meow."

"Ya udah, pegangan. Jangan sampe jatoh lu. Kalo kelindes lagi gua enggak tolongin dah."

Padahal pria bertopi biru ala Craig Tucker itu sama sekali tak mengerti bahasa kucing, tetapi ia berbincang dengan Kerdil seolah memang mengerti dan memahami itu. Tanpa berlama-lama, Harits segera melaju ke lokasi sunmor UGM bersama Kerdil yang duduk anteng di jok belakang.

***

Minggu pagi memang waktu yang tepat untuk berjualan di tempat ramai orang berolahraga.

"Selamat datang di Mantra Coffee," ucap Harits yang sudah siap berjualan kopi dengan apron hitamnya.

Tak seperti ekspetasinya. Mantra Coffee mini bar ini tak seramai tokonya dahulu. Sudah hampir satu jam Harits berdiri, tapi belum ada satu pun orang yang membeli kopi buatannya.

"Mama, mama, empusnya lucu," ucap seorang anak kecil pada ibunya saat melihat Kerdil.

Harits tersenyum pada anak itu. "Namanya Kerdil."

"Kerdil hahaha lucu banget namanya," balas anak itu tertawa girang.

"Kamu mau pegang? Pegang aja, Kerdil jinak."

"Boleh?" tanya anak itu penuh binar di matanya.

Harits mengangguk. "Boleh kok."

Anak itu berjongkok dan mengelus kepala Kerdil yang terlihat kalem. Ia tampak bahagia bermain dengan kucing punggawa Mantra tersebut.

Sang ibu melihat jualan milik Harits. "Jual kopi aja ya, Mas?" Ia tampak tak tertarik dengan kopi.

"Enggak kok, Bu. Ini ada menunya." Harits memberikan daftar menu pada ibu itu.

Selain menjual aneka kopi, rupanya ia juga menjual beberapa minuman non coffee dengan milk based.

"Untuk yang biasa, kita ada Blue Mountain, susu segar dengan campuran extract bubblegum. Terus ada Milky Way, susu segar dengan campuran teh dan jeli, bisa dilihat di sini." Harits menunjuk pada bagian menu milk based regular.

"Bedanya sama yang premium apa?" tanya ibu itu.

"Untuk milk based premium kita pake oatside buat base nya, Bu. Pengertian oatside sendiri adalah susu yang dibuat dari gandum asli. Nah, untuk premium ini sebenernya sama aja variannya sama regular, tapi dia punya tambahan Oat Lava Chocolate dengan perpaduan coklat dan syrup strawbeery, sama Oat Chocho Hazelnut."

"Boleh deh, mau coba yang premium," ucap si ibu.

"Pilih varian apa, Bu?" tanya Harits.

"Mau yang Oat Lava Chocolate satu."

"Siap, ibu. Ditunggu, ya." Harits segera membuatkan pesanan pertamanya.

Selagi Harits membuat pesanan tersebut, si ibu melihat anaknya yang tampak senang bermain dengan Kerdil. Sesekali anak itu tertawa karena sikap Kerdil yang lucu. Tak lama berselang, menu buatan Harits mampu menawan tatap beberapa orang yang lewat di depan stand miliknya. Dari segi tampilan saja, minuman buatan Harits sudah terlihat menggiurkan.

Ibu itu menyodorkan uang pas pada Harits, dan Harits langsung mengambilnya. "Terimakasih, Ibu."

Harits melepaskan sarung tangan plastiknya dan berjongkok di sebelah Kerdil setelah ibu itu dan anaknya pergi.

"Keren juga lu, Dil nyahaha." Harits menjulurlan tos tinjunya. Ajaibnya Kerdil membalas tosan tersebut.

Hal tersebut menyita banyak perhatian orang-orang. Satu per satu pengunjung sunmor mulai membeli minuman di stand Mantra. Kerdil cukup berandil besar dalam penjualan pertama Mantra di sunmor UGM.

***

Terik mentari membakar kulit. Harits dan Kerdil berada di sunmor hingga mentari berada di titik tertingginya. Orang-orang sudah mulai menghilang dari sunmor. Semakin siang, tempat ini semakin sepi. Sebelum semua pengunjung benar-benar musnah dari tempat ini, Harits membagikan kopi gratis untuk mereka.

"Kopi gratisnya, Kakak," ucap Harits dengan senyum ramah. Pelayanannya sangat baik pada semua orang.

Terlihat wajah-wajah senang dari para sisa pengunjung dan juga penjual di sekitar Harits. Memang inilah alasannya berada di tempat ini. Jika ditanya apakah Harits menjual kopi? Jawabannya, iya. Apa Harits berjualan minuman? Jawabannya, iya. Namun, jawaban-jawaban itu bukanlah jawaban yang tepat, meskipun benar. Jika ditanya sedang apa Harits di sini? Jawabannya adalah menjual kebahagiaan.

Harits berjalan ke sana ke mari memberikan kopi gratis diikuti Kerdil yang berjalan di sampingnya. Tingkah mereka membuat gemas orang-orang yang menyaksikannya. Chemistry antara manusia dan hewan terlihat sangat baik seolah mereka saling mengerti satu sama lain.

Tak sengaja fotografer jalanan yang sedang hunting di sunmor mengabadikan momen itu. Ia memberikan headline Komandan Bertopi dan prajurit kucing pada satu fotonya tersebut.

Selesai menghabiskan stok kopi di hari pertama berjualan, Harits langsung membereskan jualannya. Pria bertopi itu tersenyum menatap Kerdil.

"Sebelum pulang, ayo kita beli makanan buat lu, Dil. Kita beli yang paling mahal di pet shop nyahahaha."

"Meow," balas Kerdil.

Harits terkekeh. "Semua ini kan usaha lu, lu layak buat itu semua kok. Gua cukup makan nasi sarden aja."

"Meow."

"Lu juga mau sarden? Ya udah, kita sama-sama makan sarden aja dah biar hemat. Nanti gua masakin sarden spesial buat kita berdua nyahahaha."

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top