168 : Tolong Aku

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Halo, Nad, aku lagi di Mirota Kampus. Kamu mau ketemu di sini atau langsung aja ke Jogja City Mall?" ucap Melodi dari sambungan telepon.

"Aku ada acara, Melo. Maaf enggak bisa nemenin kamu hari ini."

Matanya memicing dengan ekspresi heran ketika kembarannya itu memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

"Hah? Ini orang kenapa sih?" umpat Melodi menatap layar ponselnya.

Hari ini film yang ditunggu-tunggu Melodi akhirnya tayang di bioskop. Ia dan Nada sudah berjanji akan menonton bersama, Melo sudah mendapatkan dua tiket dengan susah payah. Namun, sayang kembarannya itu sedang kehilangan mood karena masalahnya dengan Cakra. Daripada merusak suasana di tengah film, Nada memilih untuk mengkhianati Melodi di awal.

"Ih, males banget." Melodi memasang wajah terjuteknya.

***

Sebaliknya, siang ini Deva agak senggang. Pria itu mengajak Jashinta bertemu untuk menuangkan sebagian resahnya. Sebenarnya berbincang perihal resah lebih nyaman di malam hari, tetapi hari ini gadis itu mendapatkan shift malam, ia ada waktu senggang di siang menuju sore.

Hari masih agak pagi. Sebelum bertemu, Deva ingin pergi ke Mirota Kampus untuk membeli satu kotak permen lollipop. Dengan kaos putih long sleeve dan celana panjang krem, Deva memacu motornya pergi.

Jarak antara kontrakan Deva dan Mirota tak begitu jauh. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk tiba di tempat perbelanjaan murah tersebut.

Begitu sampai, Deva segera masuk ke dalam dan membeli kebutuhannya. Hari ini Mirota agak sepi, jadi tak butuh waktu lama untuk memboyong barangnya keluar.

Seperti biasa, setelah belanja Deva selalu menyempatkan diri untuk duduk sejenak di dekat parkiran untuk menikmati es krim.

Hari itu matanya menangkap kehadiran gadis yang sangat ia kenali. Gadis itu sedang menunduk dengan wajah yang menempel di lipatan tangannya.

Deva mengurungkan niatnya untuk membeli satu scoop es krim. Melihat Melodi di sana, ia malah membeli dua scoop.

Melodi terkejut ketika sesuatu menyentuh tangannya. Ia mendongak, ditatapnya Deva yang duduk semeja dengannya.

"Nunggu siapa? Nih, es krim buat kamu," ucap Deva.

Mantan tetaplah mantan, seperti halnya es krim tetaplah es krim. Melodi tak bisa menolak es krim, meskipun itu dari seorang mantan. Ia mengambil es krim yang disodorkan Deva.

"Makasih."

Deva tersenyum. "Sama-sama. Ya udah, aku pergi dulu, ya. Jangan jutek-jutek, nanti orang-orang takut."

"Deva tunggu."

Deva menghentikan gerak tubuhnya yang hendak memutar. Ia tak bertanya kenapa Melodi memanggilnya. Pria itu hanya diam dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Kamu lagi sibuk?" tanya Melodi.

Deva menoleh ke kanan dan kiri. "E-enggak sih, kenapa?"

Melodi memasang wajah gusarnya. "Aku dikhianati Nada. Tadinya kita mau nonton bareng, tapi dia tiba-tiba cancel. Aku udah beli tiketnya padahal."

"Kamu nyuruh aku beli tiketnya gitu?" tanya Deva bingung. "Kebetulan ...."

"Ih!" Melodi semakin terlihat jutek. "Enggak dijual, Deva. Aku mau nonton filmnya!"

"Terus?" tanya Deva polos.

"Aku enggak suka sendiri," jawab Melodi.

"Kalo gitu jangan sendiri."

"Ya, makanya aku ngajak kamu, ih!" gerutu Melodi.

Deva terdiam. "Mel, sebenernya aku ada ...."

"Mau temenin enggak?"

"Mau."

"Ya udah, kita berangkat sekarang. Nunggu di bioskop aja," ucap Melodi.

"Kalo gitu kita ke kontrakan dulu ambil helm buat kamu," balas Deva.

"Oke."

Deva dan Melodi menghabiskan es krim yang sudah agak mencair itu, lalu beranjak pergi menuju lokasi motor Deva terparkir.

***

Melintasi Selokan Mataram, Melodi dan Deva akhirnya hampir tiba di Jalan Magelang. Setelah lampu merah Kutu Asem, Deva mengambil arah kanan hingga ke Jogja City Mall. 

Setibanya di parkiran motor JCM, Melodi mengambil kacamata hitamnya dari dalam tas untuk menyamar. Reputasinya sebagai anak dari seorang artis harus membuatnya berkamuflase ketika berada di luar. Kehadiran orang yang tiba-tiba meminta foto dengannya membuat Melodi terkadang merasa tak memiliki kesempatan untuk menikmati waktu.

"Famous seperti biasanya," ledek Deva sambil terkekeh.

Melodi menatap Deva dengan wajah tengilnya. "Bawel." Ia lanjut berjalan di depan Deva. "Cepet jalan, fans."

Deva menggeleng dengan senyum tipis. "Ada aja kelakuan."

Pria gondrong itu menatap punggung Melodi. Rasanya sudah lama sekali mereka tak jalan berdua seperti saat ini. Bedanya, dulu mereka sering bergandengan tangan, sekarang jangankan bergandengan seperti dulu, berpandangan pun rasanya canggung. Gadis yang pernah menghiasi harinya kini menjelma menjadi seorang gadis asing. Namun, biarpun begitu, Deva senang berada di sekitar Melodi. Selalu ada ruang kosong untuk gadis yang berjalan di depannya.

Mereka pun mengarungi JCM dengan Melodi yang menjadi Nahkodanya. Pelayaran berjalan mulus, kini Deva dan Melodi sudah memasuki pintu cinema.

"Oh iya, kita mau nonton apa?" tanya Deva. Ia sama sekali tak peduli dengan apa yang akan ditontonnya. Baginya, menemani Melodi sudah lebih dari cukup.

Langkahnya terhenti. "Film itu." Melodi menunjuk ke arah gambar di dinding. "Film romance gitu. Enggak apa-apa, kan?"

"Enggak apa-apa kok."

"Bagus, jangan protes," lanjut Melodi dengan gelagat tengilnya.

Bagi Deva, gelagat tengil Melodi terlihat lucu, dan Deva suka. Sikap itulah yang cukup ia rindukan dari seorang Melodi Regita Mahatama.

Mereka berdua duduk di kursi sambil sedikit membicarakan kehidupan baru mereka setelah Mantra bubar. Hingga tak terasa pintu studio mereka menonton telah dibuka.

"Yuk, Dev." Melodi beranjak dari duduknya.

"Yuk." Deva mengikuti Melo dari belakang.

Studio mereka menonton sangat penuh tak menyisakan sepeser pun kursi kosong.

"Penuh banget," ucap Deva.

"Jelas, film ini lagi hype banget. Masa kamu enggak tau?"

Deva menggeleng.

Melo menghela napas. "Kamu masih sering telat makan?"

"Enggak kok," jawab Deva.

"Kamu enggak jago bohong, Dev," balas Melo. "Pantes enggak tau film ini, orang sama kesehatan diri sendiri aja sering lupa dan enggak peduli."

"Serius, aku enggak sering telat makan kok. Lebih seringnya enggak makan aja." Deva terkekeh.

"Enggak lucu sama sekali, Dev."

Kekehan itu berubah menjadi senyum. "Abisnya enggak ada yang ngingetin lagi," ucap Deva bercanda.

Melodi menatap ke layar lebar yang masih menampilkan beberapa trailer film. Berbeda dengan Deva, raut wajah gadis itu sangat serius kali ini. "Dev, kamu itu udah dewasa. Kamu bukan anak kecil yang harus disuruh makan baru makan. Kalo kamu aja enggak bisa manajemen waktu buat diri sendiri, gimana caranya kamu memanajemen organisasi? Kamu ketua BEM, kan? Setahu ku, ketua BEM itu orangnya dewasa."

Sebuah tamparan untuk seorang Deva Martawangsa. Niat untuk sedikit menggoda Melodi malah berujung nasihat pedas. Tatapan pria itu menunduk. "Maaf ...," gumamnya lirih.

"Minta maaf sama diri kamu sendiri, jangan sama aku. Yang kamu sakitin itu bukan aku, tapi diri kamu sendiri. Kamu sok sibuk dan memacu fisik kamu untuk terus bekerja, sementara mereka enggak dapet hak untuk makan, bahkan cuma menerima sedikit upah istirahat. Korupsi sama diri sendiri itu namanya. Kamu bukan anak kecil lagi, Deva."

Perlahan Deva mulai memahami isi kepala Melodi, perihal mengapa gadis itu memutuskan pergi dan tak memberikan kunci untuk kembali. Saat ini ia malu pada dirinya sendiri. Benar apa yang baru saja dilontarkan Melodi. Deva tersenyum tipis menatap ke layar yang sama dengan gadis di sampingnya.

"Kadang aku merasa hidup itu enggak adil," balas Deva. "Perempuan selalu lebih cepat dewasa ketimbang laki-laki. Dilihat dari usia puber pun begitu. Itulah kenapa perempuan dan laki-laki saling membutuhkan. Sampai tua nanti, seorang anak laki-laki akan tetap menjadi anak laki-laki. Mungkin kamu enggak akan ngerti apa yang aku omongin sekarang, tapi aku berharap suatu saat nanti kamu mengerti. Harits, Jaya, Cakra, aku, dan laki-laki mana pun akan selalu menyimpan sisi kekanak-kanakan mereka. Sayangnya hanya sebagian kecil yang ditunjukkan di depan perempuan."

"Kamu nunjukin sisi kekanak-kanakan kamu di depan aku terus tuh?"

Deva tersenyum. "Sometimes, seorang laki-laki bersikap kekanak-kanakan hanya di depan Ibunya dan perempuan yang dia suka."

Kini giliran Melo yang bergemimg mendengar ucapan Deva.

"Mel, sampai kapan pun aku enggak akan pernah bosen bilang ke kamu, kalo aku masih suka sama kamu."

"Dan sampai kapan pun aku akan menjawab, bahwa aku enggak bisa membalas perasaan kamu," balas Melodi. "Hati itu lebih rapuh daripada setangkai lidi. Sekalin pun kita balikan, semuanya udah enggak lagi sama. Kita, anak Mantra adalah keluarga. Kita semua bersahabat, enggak lebih. Udah waktunya kamu ngelupain perasaan ke aku. Nanti kamu sakit sendiri."

Deva tak berkomentar. Tak ada kata yang mampu ia ucapkan pada Melodi. Mengemis pun percuma, harga diri Deva tinggi untuk mengemis rasa. Terlebih, hal seperti itu hanya akan membuat Melodi semakin menjauhinya.

Sepanjang film berlangsung, Melodi dan Deva seperti orang yang tak saling kenal. Terutama Deva, ia tak pernah menunjukkan ekspresi apa pun terhadap scene di film tersebut. Bukan karena filmnya tidak bagus, hanya saja hatinya sedang remuk. Seandainya bisa dilupakan, mungkin Deva sudah melukapan Melodi. Sayangnya, senyum gadis itu sudah menempel di dalam benaknya. Setiap kali Deva berusaha terpejam, hanya Melodi yang ia lihat.

Tak terasa film pun berakhir. Deva dan Melodi sama sekali tak beranjak hingga tersisa mereka berdua di studio.

"Makan yuk," tutur Melodi.

"Yuk."

Entah memang itu sebuah usaha untuk membuat Deva makan, atau memang Melodi lapar. Biarkan ajakan itu menjadi sebuah misteri.

Mungkin mereka berdua cukup beruang, tetapi Melo dan Deva memutuskan untuk makan di belakang mall. Ada warung makan minimalis yang menjual soto ayam dan soto sapi di sana. Harga seporsinya kurang dari lima belas ribu rupiah.

Makan pun terasa canggung. Hampir tak ada percakapan di antara mereka hingga Deva memecah keheningan.

"Abis makan aku anter pulang, ya."

"Kosanku jauh," balas Melodi.

"Karena itu, aku anter aja. Transport umum jarang, kendaraan online mahal."

"Enggak usah, Dev."

"Kalo cowok menawarkan sesuatu, percayalah dia senang melakukan hal tersebut. Kalo kamu berpikir jadi ngerepotin aku, buang pikiran itu jauh-jauh, Mel."

"Oke kalo gitu." Melodi tak punya pilihan menolak. Ia paham, Deva cukup keras kepala.

Selesai makan, Deva mengantar Melodi ke Bantul. Dengan jarak tempuh hampir dua puluh kilometer dan dikonversikan ke waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di lokasi kos Melodi.

"Ya udah, aku langsung pulang, ya," ucap Deva setelah Melodi turun dan memberikan helm yang ia pinjam pada Deva.

"Hati-hati, ya, Dev. Makasih buat hari ini, dan maaf kalo aku nyebelin."

Deva tersenyum. Ia mencubit pipi Melodi. "Sampai ketemu lagi."

Melodi meraih wajah Deva dan menghapus air matanya. Gadis itu ikut berkca-kaca. "Deva jangan nangis ih, kebiasaan."

Deva mengelus tangan Melodi, kemudian melepaskan tangan lembut itu dari wajahnya seraya satu tangannya menutup kaca helm. "Nanti juga berhenti sendiri."

"Kabarin kalo udah sampe kos, ya," ucap Melodi memelas.

Deva mengangguk. "Oke." Ia segera memacu laju motornya dan pergi dari hadapan Melodi.

***

Wisdom Park UGM

Warna hari meredup. Deva kini berjalan di taman kearifan UGM. Langkahnya terhenti ketika menangkap kehadiran gadis di kursi kayu yang sedang menatap ke arah danau.

"Jeje ...."

Jashinta menoleh, ia menyematkan senyum hangat pada Deva. "Halo."

Deva berjalan mendekat dan duduk di sebelah Jashinta. "Kamu enggak kerja? Hari ini ada shift malem, kan? Makanya bisa ketemunya siang tadi."

"Kamu sendiri ngapain di sini sekarang? Kan janjiannya dari siang tadi," balas Jashinta.

"Jangan bilang kamu nunggu dari siang?" tanya Deva.

Jashinta tak menjawab, tetapi senyum dan wajahnya yang agak kusam itu sudah menjelaskan semuanya.

Deva menunduk menatap sepatu putihnya. "Aku iseng aja ke sini, aku pikir kamu enggak akan ada di sini."

"Tapi aku di sini," balas Jashinta. "Kalo aku pergi dan kamu dateng gimana? Sekarang aku enggak nyesel. Kamu beneran dateng. Kamu dari mana aja, Dev? Pasti sibuk, ya? Jadi baru sempet dateng."

"Ya, gitu deh." Deva menyematkan senyum getir.

"Aku pikir kamu lupa. Aku nelponin kamu sampe hape ku mati loh," ucap Jashinta.

"Oh, ya?!" Deva mengecek ponselnya. Rupanya benar, ada sembilan belas kali panggilan tak terjawab dan dua puluh dua chat masuk dari Jashinta. "Maaf, Je, aku ...."

Jashinta menatap Deva dengan wajah bahagianya. "Enggak apa-apa. Aku paham kamu sibuk kok. Kamu udah makan, Dev?"

Mengingat gadis itu tak beranjak dari tempatnya, ia pasti belum makan. Sayangnya Deva sudah sangat kenyang hari ini. Pria gondrong itu menatap ke arah danau.

"Maaf aku bohong. Aku enggak sibuk dan aku enggak lupa tentang janji kita ketemu. Aku sengaja enggak lihat hape meskipun aku tahu kamu nyoba hubungin. Hari ini aku jalan nemenin Melodi."

"Cie, jalan sama Melodi. Gimana? Menyenangkan? Cerita dong."

Dari Nadanya Jashinta terdengar baik-baik saja, tapi kali ini gadis mungil itu berbicara tanpa menatap ke arah Deva. 

"Eh, Dev. Aku lupa, aku harus kerja sekarang." Jashinta beranjak dari duduknya.

"Je, aku ke sini karena aku mau cerita sekaligus minta tolong sama kamu. Aku tahu, kamu rela bolos kerja karena nunggu aku, dan aku minta maaf karena ngecewain kamu. Kalo kamu mau pergi, aku enggak akan ngelarang, tapi kalo kamu mau dengerin semuanya tentang hidup aku, aku minta kamu duduk lagi. Aku tahu, pergi sekarang pun kamu enggak akan ke tempat kerja. Kamu mau pulang buat numpahin air mata, kan? Kalo emang iya ... mending tumpahin di sini aja. Biar kamu ada temennya." Semakin lama, nada bicara Deva melemah dan terdengar gemetar.

Jashinta menoleh. Ia menatap pria itu sedang menutupi wajahnya dengan satu tangan. Tubuhnya gemetar dengan isak yang membuat gadis itu tak bisa pergi. Kini ia berjalan kembali dan duduk di sebelah Deva.

"Aku enggak pergi kok, aku masih di sini. Kalo kamu mau cerita, telingaku terbuka lebar buat nampung semua kalimat yang keluar dari mulut kamu, Dev. Tentang permintaan tolong kamu, aku enggak jamin bisa bantu, tapi aku akan berusaha. Kamu mau minta tolong apa?" Jashinta mengelus rambut pria itu dengan lembut seperti seorang Kakak pada adiknya.

"Tolong--buat aku--lupain--Melodi," balas Deva sambil terisak-isak.

https://youtu.be/KOkGBrP4Jsw

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top