167 : Rahasia Cakra

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Cakra mengendara dengan tatapan kosong. Sorot lampu jauh membuat matanya memicing. Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya. Cakra tak heran jika sosok Rama sudah berada di hadapannya. Sontak ia menoleh ke belakang, rupanya benar, Rama mengacaukan pikirannya dengan brujeria dan membuat Cakra tanpa sadar memutar arah melaju menuju kosan Nada kembali.

Ia menghela napas dan tak mau ambil pusing. Dengan santai Cakra hendak memutar kembali arah lajunya, tetapi Rama melesat dengan vespanya dan menghadang motor Cakra untuk berputar arah.

"Minggir," ucap Cakra.

Rama menunjuk ke arah belakang dengan jempolnya. "Sono lu pergi, udah ditunggu."

"Bukan urusan lu." Cakra tampak tak berminat berurusan dengan Rama.

"Cowok macem apa yang tega buat ceweknya nunggu?" balas Rama.

"Emang bener sih. Ngerebut cewek orang itu lebih gampang daripada dapetin hati cewek tak bertuan. Tau aja celah-celah kapan masuknya."

Rama mengerutkan kening. "Gua udah lama enggak ketemu Nada dan ngobrol bareng dia. Gua punya masalah sendiri. Baru tadi sore ketemu lagi gara-gara dia ikut Mapala, terus gua ajak bareng karena dia pulang jalan kaki sendirian."

"Ya udah minggir, gua mau lewat," tegur Cakra.

Rama menunjuk arah kosan Nada. "Cuma ada satu arah."

"Oke," balas Cakra ketus.

Tiba-tiba saja Cakra menarik gas dan menghantam vespa Rama. Rama yang terkejut, kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh, tetapi dengan cepat ia menarik Cakra dengan keras hingga terlempar dari motor.

"Bangsat, motor gua penyok," gerutu Rama.

Cakra bangkit, lalu berjalan hingga posisinya dan Rama saling berhadapan. "Makanya kalo gua bilang minggir ya minggir." Nadanya agak meninggi karena tersulut emosi.

"Gua ngomong dari baik-baik demi hubungan kalian. Jangan malah nyari masalah." Rama membusungkan dada dan berusaha memberikan tekanan pada Cakra.

"Enggak ada hal baik dari seorang buronan yang bebas berkeliaran dan kuliah dengan santainya," balas Cakra.

Rama mengepalkan tangannya. Ia juga terbakar amarah rupanya.

"Cakra! Rama!" Nada tiba-tiba muncul dengan napas terengah-engah.

Emosi Rama pudar setelah melihat Nada. Ia berjalan ke arah vespanya dan membenarkan posisinya, lalu menungganginya. Tanpa kata, Rama segera pergi meninggalkan mereka berdua.

Cakra dan Nada saling bertatapan. "Cakra, kamu kenapa sih?"

Cakra tersenyum. "Aku kenapa? Kamu yang kenapa?"

"Kamu tuh enggak bisa dihubungin sama sekali. Telepon enggak diangkat, chat enggak dibales. Bikin khawatir tau enggak?"

Perlahan Cakra terkekeh. "Cara kamu khawatir itu dengan boncengan sama cowok lain?"

Nada mengerutkan kening. "Cakra, kamu kenapa sih? Ada masalah apa sih kamu? Aku ngerasa asing sama kamu yang sekarang," ucap Nada. "Biasanya kamu tenang, humble, adorable, dewasa, baik ...."

"Berarti sekarang aku jahat gitu? Ketimbang cowok yang tadi itu?" celetuk Cakra.

"Cak, tenangin diri kamu dulu deh. Kayaknya kamu lagi enggak bisa diajak ngomong sekarang."

Langit malam ini menjelma kelam ditambah udara sendu dan gemuruh lirih. Perlahan rinai turun membasahi bumi. Bukan hanya bumi, hujan juga meredam gejolak api di dalam dada Cakra yang sedari tadi berkobar. Pada akhirnya pria itu memilih diam dan berjalan menuju motornya.

Nada menatap Cakra yang saat ini duduk di atas motor dan pergi meninggalkannya seorang diri di tengah gerimis.

Pundak gadis itu gemetar. Entah, rasanya pas saja jika ingin menangis saat ini. Seolah langit tak membiarkannya menangis sendirian. Udara malam ini tak sedingin tatapan dan sikap Cakra barusan. Rasa dingin itu yang membuat Nada berdiri sambil menangis terisak.

Tak ada basa-basi dari Cakra, bahkan sekadar untuk menemaninya pulang. Pria yang ia khawatirkan dan sangat ia harapkan hadirnya itu malah menancapkan secuil luka. Tega-teganya Cakra meninggalkan Nada dikeroyok hujan seorang diri.

Dari kejauhan, Rama memantau drama yang terjadi. Namun, ia tak mampu berbuat banyak, termasuk menghibur Nada saat ini. Entah, hanya feeling saja. Saat ini yang Nada butuhkan adalah sendiri. Dengan berat hati Rama meninggalkan Nada dari posisinya memantau.

Rama sadar, jika ia muncul saat ini. Mungkin ia bisa saja menemukan celah untuk menghancurkan dinding besar yang menghalanginya selama ini, tetapi tidak begitu cara mainnya. Ia lebih memilih untuk mundur.

Nada yang benar-benar sendirian saat ini segera berjalan pelan menuju tempat tinggalnya. Mungkin tak akan ada yang sadar dengan isaknya karena disamarkan gemuruh, juga air matanya yang disarukan hujan. Ya, meskipun mendramatisir keadaan, tetapi Nada berterimakasih pada langit malam ini.

***

Deva dan Kevin sedang bermain catur sembari menikmati aroma hujan. Pada satu titik pandangan mereka teralihkan oleh kedatangan Cakra yang basah kuyup.

"Lu enggak punya jas ujan, Cak?" tanya Deva.

Cakra tersenyum. "Ada sih, tapi kangen ujan-ujanan aja." Ia berjalan masuk meninggalkan Deva dan Kevin. Setelah masuk, Cakra segera mengambil handuk dan berjalan masuk ke kamar mandi. Di dalam sana, Cakra hanya berdiri di bawah guyuran shower.

Penyesalan itu hadir menghantuinya. Bisa-bisanya ia bersikap kekanak-kanakan di depan gadis yang ia sukai sedari kecil. Cakra marah pada dirinya sendiri. Pria itu berjalan menuju bak mandi dan menenggelamkan dirinya, lalu berteriak sekeras-kerasnya. Tak ada yang mampu mendengar jeritan itu termasuk dirinya sendiri.

Sekitar dua puluh menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Cakra keluar dengan kaos putih oblong dan celana pendek hitam. Sebuah handuk kecil bertengger di kepalanya. Cakra berjalan tanpa basa-basi melewati Deva dan Kevin yang saat ini sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Kenapa tuh anak?" tanya Deva yang perlahan menyadari perubahan sikap Cakra.

Kevin hanya mengangkat bahunya sebagai simbolis tak tahu menahu.

Di sisi lain, dering ponsel yang ia tinggalkan di kamar berbunyi. Cakra mendekat ke arah ponselnya. Hatinya agak kecewa ketika tahu bukan Nada yang menghubungi. Cakra menghela napas, lalu memasang mimik senyum dan mengangkatnya.

"Halo."

"Apa kabar kamu?" tanya suara berat di dalam panggilan.

"Baik. Ayah, Bunda, sama Dini apa kabar?"

Rupanya panggilan itu berasal dari Ayahnya, Fajar Utomo.

"Enggak kalah baik kok sama kamu, " balas Ajay. "Kamu udah minum obat?"

Cakra menatap plastik biru yang berisi beberapa butir kapsul di atas mejanya. "Udah," ucapnya berbohong.

"Serius udah?"

"Udah, Ayah. Tadi minum obat abis makan."

"Kamu lagi enggak ada masalah, kan?"

"Enggak kok."

"Kalo ada masalah cerita sama Ayah, ya. Kalo kamu merasa Ayah bukan orang yang layak dengerin masalah kamu, kamu cerita aja ke siapa pun yang kamu lebih percaya, ya, Nak."

Cakra terkekeh. "Kayak apa aja. Ayah selalu jadi orang pertama yang aku cari kok kalo ada masalah. Always and always."

"Mantra Coffee cuma sekadar bangunan. Kamu masih punya temen-temen yang enggak akan pernah hancur. Inget, Nak ... rumah itu bukanlah bangunan tempat kamu tinggal, tapi rumah adalah orang-orang yang mengisi keseharian kamu, orang-orang yang membentuk kamu dan selalu ada buat kamu. Rumah adalah tempat di mana kamu selalu dan selalu ingin pulang ketika kamu merasa lelah. Enggak peduli di mana. Terkadang, pertemuan dengan seseorang pun juga bisa membuat kita merasa pulang."

"Aku tahu Ayah khawatir karena insiden belakangan ini, tapi percaya deh sama Cakra. I'm fine."

"Ya udah kalo gitu, tapi kalo ada apa-apa langsung cerita ke Ayah, ya. Oh iya, kamu masih dateng konsul ke tempat yang Ayah rekomendasiin, kan?"

"Masih kok, masih. Ya udah, ya. Aku mau istirahat dulu, tadi abis keujanan."

"Oke, selamat beristirahat. Good night."

Cakra memutuskan sambungan. Senyumnya mendadak pudar. Ia menatap bungkusan plastik biru di atas meja. Tertulis Borderline Personality Disorder di bagian kotak putihnya.

Yup. Dibalik sifatnya yang selalu ramah dan terlihat baik-baik saja. Rupanya Cakra mengidap sebuah gangguan mental yang mana tak pernah ia ceritakan pada siapa pun termasuk Nada.

Pria itu mengambil dua butir obat tablet, lalu meneguknya bersama segelas air.

Cakra mematikan lampu kamarnya dan beranjak dari kursi menuju ranjang. Ia berusaha tidur, meskipun ia tahu malam ini ia takkan bisa tidur seperti malam-malam terakhirnya.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top