165 : Pesan Dari Angin
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Deva duduk bersandar di tangga gedung fakultas, ia menggenggam selembar kertas di tangannya. Bukan tanpa sebab pria yang kini berambut gondrong kembali itu berada di sana. Ia belum tidur dua hari ini karena sibuk mengurus acara OSPEK untuk Mahasiswa baru. Deva sedang mencuri-curi waktu untuk beristirahat.
"Istirahat aja, enggak usah maksain diri."
Deva kembali membuka matanya dan mendapati Kevin yang sedang duduk di belakangnya.
"Enggak apa-apa, Vin, slow," balas Deva. "Gimana, kelompok yang lu pegang?"
"Bagus," jawab Kevin selaku kakak pembimbing.
"Bagus apaan?" tanya Deva. Terkadang Kevin memang selalu mengeluarkan jawaban yang terkesan aneh jika diberi pertanyaan basa-basi.
"Ya, enggak ribet."
Deva tak melanjutkan percakapan itu, ia lebih memilih bersandar pada dinding di sampingnya. Namun, tiba-tiba sebuah bungkusan bersarang di pangkuannya.
"Makan dulu lu," ucap Kevin. Pria cool itu memberikan Deva sebungkus nasi rames, kemudian berlalu pergi.
"Makasih, Vin."
Deva menatap nasi rames di pangkuannya. Dulu, setidaknya jika ia tak sempat makan, ada Melodi yang secara sarkas menyuruhkan makan, atau Harits yang menyediakan sarapan secara cuma-cuma di atas meja dapur. Kini hampir tak ada yang peduli padanya. Beruntungnya Deva memiliki sahabat seperti Kevin yang masih memperhatikan kondisinya.
Ia tersenyum tipis sambil membuka bungkusan nasi rames pemberian Kevin, lalu memakannya pelan-pelan.
"Hey." Beberapa menit Deva sibuk dengan makanannya, suara lembut itu tiba-tiba datang menyapa.
Deva menoleh ke depan. Jashinta berdiri di depannya. "Halo."
"Lagi sibuk banget keliatannya?" tanya Jashinta.
Deva tersenyum. "Ya, gitu deh. Ini aja baru sempet makan."
"Aku tebak, pasti makanannya dibeliin?"
Deva tak menjawab, ia hanya memberikan anggukan sebagai respons.
"Aku boleh duduk di situ?" Jashinta menunjuk space kosong di samping Deva.
"Oh, boleh kok."
Setelah Jashinta duduk di sebelah Deva, tak ada kata yang terlontar di antara mereka. Deva sibuk makan, sementara Jashinta sibuk melamun. Hingga beberapa menit berlalu, akhirnya gadis itu memecah keheningan.
"Turut berduka atas apa yang menimpa Mantra Coffee."
Deva tersenyum getir mendengar ucapan tersebut. Sejujurnya, ia pun merasa kehilangan atas musibah yang terjadi. Meskipun terkesan cuek dan menjadi salah satu orang yang ingin enyah dari kafe itu, tapi entah mengapa, hatinya terasa dingin dan sepi ketika mendengar nama 'Mantra Coffee'. Ia pun tak mengerti apa yang ia inginkan saat ini. Jauh di lubuk hatinya ia tak ingin kehilangan semua kebersamaan itu, tetapi di sisi lain Deva memiliki banyak kegiatan yang nantinya akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Ia merasa tak adil dengan anak-anak yang lain. Deva merasa tak enak hati ketika shift kerjanya terus-terusan di back up oleh sahabat-sahabatnya di Mantra.
Pria itu meremas bungkus nasi ramesnya yang sudah habis. Entah marah, entah sedih, entah kecewa, Deva tak tahu perasaannya saat ini. Ia merasa asing dengan dirinya sendiri. Namun, tiba-tiba tangan lembut itu mengusap punggung tangan Deva.
"Jangan nanggung semua beban itu sendiri, kalo butuh temen cerita, aku bisa jadi pendengar yang baik kok," lanjut Jashinta. "Aku bukan orang bijak yang bisa ngasih solusi buat cerita-cerita orang lain, tapi aku tahu, enggak semua cerita butuh solusi. Terkadang cerita-cerita itu hanya butuh telinga untuk bermuara."
Senyum getir itu agak terlihat membaik. "Nanti malem masuk kerja?" tanya Deva.
Jashinta mengangguk.
"Pulang jam berapa?"
"Kisaran jam sebelas malem, kenapa?"
"Wah, malem ya. Kapan ada waktu dengerin aku ngoceh? Kalo kamu senggang, boleh deh sekali-kali," tanya Deva balik.
Jashinta tersenyum. "Nanti aku kabarin."
Deva beranjak dari duduknya. "Oke, berkabar ya. Aku mau lanjut acara dulu, kayaknya udah banyak yang nyariin."
Jashinta ikut berdiri dan melakukan gerakan hormat. "Siap, Pak Presiden Mahasiswa!"
Melihat gadis mungil itu bertingkah, Deva terkekeh. "Lebay."
Jashinta membalasnya dengan memeletkan lidah. "Biarin, yang penting kamu ketawa."
Deva menggeleng dengan senyum yang masih membekas. Ia pun berputar arah, lalu pergi meninggalkan Jashinta.
***
Gelap malam membiaskan luka, membisikan kalimat-kalimat pilu pada jiwa yang terperangkap dalam jeruji kenangan.
Pria tampan berkaos putih oblong dengan celana pendek hitam itu sedang duduk di teras rumah sambil sesekali menyeruput air hitamnya. Angin malam begitu syahdu merangkulnya. Wajahnya memang dingin seolah tak peduli dengan apa pun, tapi jangan menilai buku dari sampulnya. Kevin merupakan orang yang paling kehilangan. Ia memang anggota paling baru, tapi hanya dengan sedikit waktu bersama, Kevin merasakan kekeluargaan di antara anak-anak Mantra. Hanya di bawah atap Mantra, pria dingin itu sesekali tersenyum hangat.
Kopi hitam pun terasa hambar. Tak ada rasa pahit, sebab takdir yang satir ini lebih pahit dari apa pun.
Tak lama berselang, Deva keluar dari pintu. Ia mengenakan celana panjang berwarna krem dan jaket jeans biru dengan kaos putih sebagai inner nya.
"Gua keluar dulu," ucap Deva.
Kevin tak menanggapi dengan pertanyaan seperti, "mau ke mana?" Pertanyaan basa-basi itu tak ada dalam kamusnya. Pria dingin itu tak terlalu ingin tahu urusan orang lain.
Selepas kepergian Deva, Cakra pun keluar. Pria yang satu ini tidak pergi seperti Deva. Ia duduk di kursi sebelah Kevin sambil meletakkan secangkir kopi tubruk yang ia buat di atas meja bundar, meja yang berada di antara mereka
"Ternyata bener, yang membuat rasa kopi itu menyenangkan adalah kebersamaan," ucap Cakra.
Kevin menyeruput kembali kopi miliknya. "Setuju," balasnya singkat. Jarang-jarang Kevin merespons ucapan orang lain, terutama orang yang tak dekat dengannya. Dengan balasan secuil itu, setidaknya Cakra tahu, Kevin menganggapnya sebagai teman.
"Gua pikir waktu itu lu bakalan pilih lanjut, daripada bubar," lanjut Cakra.
"Lanjut pun percuma kalo dijalani setengah hati," balas Kevin. "Ada yang sepakat bubar, ada yang sepakat lanjut. Dijalani pun rasanya kosong. Apa gua salah?"
Cakra tak menjawab. Ia pun tak tahu jawabannya. Memang benar, seandainya kala itu semua sepakat untuk melanjutkan Mantra Coffee, mungkin semua akan terasa mudah dan baik-baik saja. Namun, faktanya tidak begitu, separuh mereka memilih tidak melanjutkan, yang artinya jika Mantra Coffee lanjut maka ada sesuatu yang berubah. Akan ada sesuatu yang hilang dan mungkin tak lagi sama. Waktu membuat Cakra perlahan mulai mengerti isi kepala Kevin, pria dingin itu tidak salah. Dialog malam ini meredam sedikit rasa kecewanya atas keputusan yang terjadi, perihal pembubaran Mantra Coffee.
"Kalo ada kesempatan buat kembali, lu mau balik?" tanya Cakra.
Kevin menggeleng. "Semua yang terjadi di dunia ini pasti punya sebuah makna. Mungkin bubar adalah jalan terbaik yang ada di antara milyaran pilihan. Kita cuma bisa bergerak maju ngikutin arus waktu. Misteri hidup enggak ada yang tau."
"Deva tau," celetuk Cakra sembari menahan tawa.
Kevin menggeleng, kurva senyum itu tercetak di bibirnya. Perlahan ia tertawa mendengar jokes dari seorang sahabat.
Melihat Kevin tertawa, Cakra pun melepas tawanya. Mereka terbahak-bahak dengan guyonan receh tersebut.
***
"Hatchi!"
Di sisi lain Deva yang baru saja memarkirkan motor di depan Indomarried pun mengusap hidungnya.
"Pasti Harits sama Jaya ngobrolin sesuatu yang jahat tentang gua nih," ucapnya bermonolog. "Harits, Harits ... udah pendek, tengil lu!"
***
"Hatchi!" Harits mengambil tisu, lalu membersihkan ingus yang baru saja memberontak keluar dari hidungnya.
"Jaya nih bangke, lagi ngomong gua pasti," ucapnya bermonolog. "Dasar orang idia! Makan nasi dikobok-kobok nyahaha."
***
"Ha-ha-ha-hanjing!"
"Ditutup dong kalo bersin!" umpat Iris.
Jaya memicing. Ia berusaha menerka siapa yang membicarakannya.
"Pasti Kevin," ucap Jaya sinis. "Dia kan suka sama kamu. Udah pasti sekarang dia lagi jelek-jelekin aku nih."
"Kevin siapa?" tanya Iris.
Senyum jahat Jaya muncul. "Eh, enggak kok. Kevin siapa ya?"
"Enggak tau, kamu sendiri yang nyebut nama Kevin," balas Iris, gadis itu terlihat bingung.
***
"Wah, pasti diomongin sama Melodi," ucap Cakra ketika melihat Kevin bersin.
"Kenapa Melodi?" tanya Kevin.
"Jadi pengganti Ippo, maybe?"
"Siapa tau diomongin Nada?" ucap Kevin.
Cakra terkekeh tak ikhlas. "Enggak lah. Masa diomongin Nada." Nada bicaranya terdengar cemburu.
***
"Hatchi!"
"Hatchi!"
Nada dan Melodi saling bertatapan. "Kita kalo bersin barengan biasanya ada yang ngomongin," ucap Nada.
"Itu kan mitos, masa iya bisa gitu." Melodi terkekeh dengan statement Nada.
"Eh, biasanya beneran tau," celetuk Sherlin.
"Kalo iya palingan juga orang-orang enggak penting," ucap Melodi.
Seluruh orang di dunia bersin dalam satu waktu. Kalo kamu enggak lagi bersin sekarang, artinya kamu penting loh. Yuk semangat! Kita hadapi badai kehidupan dengan mantra terbaik kita. Sebaik-baiknya mantra adalah do'a. Saling mendoakan di kolom komen ya!
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top