164 : Ada yang Hilang
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Hidup sejatinya selalu menyediakan dua sisi yang saling bertautan. Seperti mereka yang berani memiliki, harus bersiap-siap untuk kehilangan pada akhirnya.
***
Hujan pertama di bulan Agustus tidak lebih sendu dari sepasang tatap itu. Terhitung sudah tiga hari sejak Harits kembali ke Jogja dan tinggal di kos barunya.
Suara helaan napas membaur dengan deru hujan. Pandangannya lurus ke luar jendela menatap sang hujan dengan pandangan kosong tiada arti.
Setelah pertempuran terakhirnya, Harits kehilangan buku penjara jiwa serta kemampuannya dalam menangkap kehadiran makhluk astral.
Padahal dulu ia ingin sekali sembuh dari 'indigo' karena tak nyaman dengan rasa takutnya. Namun, kini daripada takut dengan mereka yang tak terlihat, Harits lebih takut merasa sendirian. Suara-suara riuh tanpa wujud itu lebih terdengar merdu ketimbang nada-nada kesunyian. Ada yang hilang dari kesehariannya.
Hidup terus mengalir tanpa tahu di mana kelak akan bermuara.
Deva memutuskan untuk fokus kuliah dan juga aktif dalam BEM, begitu juga dengan Kevin. Sementara itu Nada ingin memperbaiki IPK nya yang tergolong anjlok, lalu Melodi ingin fokus mengejar mimpinya sebagai musisi. Jika harus sambil bekerja di kafe, mereka tak janji bisa berkomitmen semester ini.
Harits, Cakra, dan Jaya kalah suara. Dengan ini tak ada lagi Mantra. Tak ada lagi kebersamaan, tak ada lagi aroma roti gosong dan kopi, tak ada lagi sebait mantra dalam secangkir kopi. Kini yang tersisa hanyalah kenangan yang menari di tepi cangkir. Kenangan yang tumpah meninggalkan bercak noda membekas.
"Enggak bisa gini nih." Harits mengambil ponselnya dan membuka salah satu platfrom toko online. Ia mencari sebuah wadah untuk menampung semua hobinya. Rasanya ia rindu menyajikan racikan kopi untuk para pelanggan. Senyum dan tawa mereka menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Harits. Mengenang semua kehangatan itu membuatnya merasa dingin.
Jempolnya berhenti bergerak ketika senyum tipis itu terukir di bibirnya. Tanpa keraguan ia membeli benda tersebut untuk melanjutkan kesehariannya yang sempat terputus.
***
Di sisi lain Nada dan Melodi baru tiba di Stasiun Lempuyangan. Semester ini mereka berdua berpisah dulu, mengingat kampus mereka berjauhan. Melodi tinggal di daerah Bantul, sementara Nada masih di sekitaran Maguwo.
"Sebelum pisah, kita ke tempat Kak Sherlin yuk," ajak Melodi.
Nada mengangguk menanggapi ajakan Melodi. Dengan menunggangi taxi online, mereka berdua melaju ke tempat tinggal Sherlin.
Di perjalanan, Nada hanya menatap hujan di luar mobil tanpa kata. Sorot matanya tak kalah sendu dengan langit Jogja hari ini.
"Aneh, ya ...," gumam Melodi lirih. "Biasanya kita bareng-bareng, sekarang kita semua pisah. Enggak ada lagi ketawa nyebelin Harits, enggak ada lagi lirikan-lirikan Deva, enggak ada lagi Nada yang senyum-senyum sendiri liat atau denger candaan Jaya dan Harits, enggak ada lagi senyum Cakra yang ramah, enggak ada lagi gelagat malu-malunya Radhi, enggak ada lagi cewek-cewek yang dateng demi fotoin Kevin diem-diem."
Nada tersenyum mendengar celotehan Melodi, tetapi senyum itu tak berlangsung lama. Perlahan ia kembali terlihat getir.
"Bakal susah kumpul deh," balas Nada. "Semua enggak lagi sama, rasanya ada yang hilang, tapi enggak tau apa itu."
"Si cebol udah sampe Jogja belum ya? Dia kan yang paling cepet balik ke sini kalo liburan," ucap Melodi.
"Telpon aja," jawab Nada singkat.
Entah apa yang merasukinya, Melodi mengambil ponselnya dan melakukan video call ke kontak Harits. Tak lama berselang, Harits mengangkatnya.
"Gabut lu, ya?" tanya Melodi.
Harits terlihat datar di dalam video. "Lu yang gabut. Orang lu yang video call. Gila lu, ya?"
"Mau liat Kerdil dong, kagen sama Kerdil nih."
Senyum menyebalkan Harits keluar. "Nyahahaha."
"Kenapa ketawa lu, Cel?"
"Kangen Kerdil apa gua nih?"
Melodi tiba-tiba melirik Nada yang sedang meliriknya. Nada menahan tawa, lalu membuang muka.
"Jelas Kerdil dong! Kalo yang kangen lu mah ini orangnya nih!" Melodi memindahkan kameranya menjadi kamera belakang. "Nad, sini say helo sama si cebol bin kutet bin boncel."
Nada menoleh ke arah kamera, ia melambaikan tangan dengan wajah datarnya. Melodi langsung mengganti mode ke kamera depan lagi.
"Gimana, cantik kan kembaran gue? Cie seneng," ledek Melodi.
"Goblok lu, ya?" balas Harits salah tingkah.
"Eh iya, Cel ... sibuk apa lu sekarang?" tanya Melodi.
"Lagi prepare mau buka toko," balas Harits.
Melodi terkekeh.
"Serius, gua mau jualan kopi lagi," lanjut Harits.
"Semangat deh kalo gitu, udah dulu ya, Cel." Melodi memutuskan sambungan secara tiba-tiba.
"Kenapa udahan? Kayaknya belum dititik mau udahan deh tadi dari bahasan obrolannya?" tanya Nada.
"Entah, bercandanya begitu sih. Buka toko apa coba? Mantra Coffee?"
"Kita semua punya jalan masing-masing, kalo emang dia mau usaha dari nol buat itu semua, harusnya enggak masalah dong?" ucap Nada.
"Iya sih, tapi gimana ya, Nad. Di satu sisi aku ngerasa udah mengkhianati dia kalo sampe dia jualan kopi. Ya, sebetulnya hak dia, tapi di satu sisi aku cuma merasa jahat aja. Seolah kita semua ninggalin dia, padahal kita semua punya komitmen yang berbeda," balas Melodi. "Aku bahagia pernah jadi bagian dari Mantra Coffee dan ikut andil melanjutkan sejarah orang tua kita, tapi kita adalah kita. Kita bukan Ayah, bukan Om Andis, bukan Om Dirga, atau pun Om Fajar."
"I know ...," balas Nada lirih.
"Aku enggak mau stuck di situ-situ aja sebagai penerus sejarah. Aku mau jadi musisi yang menulis sejarah. Aku perlu jam terbang dan latihan untuk itu semua. Menyenangkan ada di tengah kekeluargaan Mantra Coffee, tapi aku punya hak menjadi penulis sejarah, kan? Kita, Deva, Kevin, dan siapa pun yang mau keluar dari lingkaran itu enggak masalah, kan? Toh, kita masih temenan dan bisa ketemu. Enggak ada yang hilang."
"Iya, Melo, aku ngerti. Tapi aku kurang sepakat sama kata-kata 'enggak ada yang hilang' itu. Menurutku, keseharian yang biasa kita lalui sekarang ditutup sama sebuah titik."
"Sudah sampai, Mbak e," ucap pak supir memutus pembicaraan mereka.
"Oh iya," balas Melodi.
Melodi dan Nada turun dari mobil, mereka membayar tarif menggunakan uang cash. Setelah membayar, Mereka berdua berjalan ke tempat tinggal Kak Sherlin.
***
Tak seperti Harits, Nada, dan Melodi yang terpisah. Deva, Kevin, dan Cakra menyewa sebuah rumah kontrakan di daerah Jalan Kaliurang bawah untuk mereka bertiga, mengingat mereka masih satu kampus dan jarak menuju fakultas mereka tidak terlalu jauh.
Namun, rumah besar itu terasa sepi dan dingin. Sebab hanya Cakra yang sering berada di sana, sementara Deva dan Kevin jarang berada di rumah karena kesibukan mereka di BEM.
Salah satu alasan Cakra ingin pergi ke Jogja adalah Mantra Coffee. Kehilangan itu semua membuatnya ikut kehilangan dirinya sendiri. Awalnya memang bukan tujuan utama, tetapi setelah kehilangan, Cakra baru menyadari bahwa kebersamaan itu lebih ia inginkan daripada apa pun.
Akhir-akhir ini Cakra lebih sering melamun dan sukar untuk dihubungi. Bahkan pesan dan panggilan dari Nada pun ia biarkan begitu saja tanpa jawaban. Perlahan Cakra berubah menjadi pribadi yang penyendiri.
Nada memang gadis yang istimewa untuk Cakra, tapi tidak lebih istimewa dari keinginannya untuk melanjutkan cerita Ayahnya yang pernah mengarungi lautan kehidupan dengan sampan tangguh bernama Mantra Coffee. Siapa yang menduga, sampan itu karam begitu saja menenggelamkan harapan dan impiannya dalam dasar angan.
Cakra menghela napas dan beranjak dari duduknya. Sengaja tak ia habiskan secangkir kopi yang sudah menggigil dan terasa pahit itu. Kopi buatan Harits juga pahit, tapi entah kenapa terasa nikmat. Berbeda dengan kopi buatannya sendiri.
Pria berkemeja putih dengan celana pendek hitam itu keluar rumah membawa skateboard berwarna hitam. Ia mengenakan sepatu Vans old skool classic berwarna hitam putih. Dua anting magnet hitam menghiasi telinganya. Setelah mengunci pintu, Cakra kemudian berjalan pergi menenteng mainannya menuju skatepark yang tak jauh dari lokasinya berada.
Namun, sesampainya ia di skatepark, Cakra kehilangan minatnya untuk bermain skateboard. Ia memutuskan untuk duduk dan menonton beberapa orang yang sedang memainkan trik skate mereka saja.
Seorang pria berkaos putih tiba-tiba terjatuh dari papan skatenya, tetapi tidak parah. Setelah jatuh, ia tertawa, mungkin karena malu pada yang lain. Setelah itu ia bangkit dan kembali bermain. Pria itu terlihat bahagia ketika berada di atas papan skate miliknya, walaupun ia baru saja terjatuh karena skate itu sendiri.
Cakra terkekeh, ia menertawakan dirinya sendiri. Segera ia bangkit dan melempar skateboardnya ke depan, lalu melompat ke atasnya. Cakra melesat bebas, melepaskan semua beban yang menumpuk di dada.
Dari kejadian barusan, Cakra mendapatkan sebuah pelajaran hidup yang sangat bermakna. Setiap manusia pasti pernah merasa senang dan tiba-tiba terjatuh begitu saja. Mungkin terasa sakit, mungkin terlihat memalukan, tapi tak apa. Tertawalah, sebab manusia bukan hanya memiliki pilihan terjatuh, menangis, dan terpuruk. Setiap kita juga memiliki pilihan untuk bangkit dan tertawa. Bahagia itu pilihan. Jika tidak tersedia pilihannya, maka ciptakanlah bahagia itu sendiri.
Kehilangan bukan alasan untuk terpuruk selama kita masih bisa mencari dan menemukan. Selalu ada hal baru yang memaknai kehidupan, membuat hidup ini berwarna dan tidak terkesan monoton.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top