162 : Penjara Waktu
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Gerhana bertatapan dengan Vanila. Ia membuka penutup matanya sambil terus berjalan maju. Setiap kakinya melangkah dan menapaki Bumi, Rangsa merasakan tekanan yang berbeda dari lawan-lawannya selama ini.
'Yang satu ini berbahaya, ketika malam tiba ia tak terbantahkan.' Pikir Rangsa.
"Ratu memiliki anugrah malam milikku, tapi tidak dengan kedua mata bulan ini," ucap Gerhana. "Hanya karena memiliki kemampuan kami semua, bukan berarti kau lebih dari kami semua."
Rangsa memanggil pedang darah miliknya dan mengarahkannya pada Gerhana. "Coba saja kalahkan aku sebelum pagi menjemput. Saat matahari bertahta di atas langit, kau bahkan lebih rendah dari kotoran."
Gerhana terkekeh. "Aku terima tantangan itu!"
Rangsa dan Gerhana berubah menjadi kepulan asap hitam dan tiba-tiba saling menyerang dengan semua yang mereka miliki.
Dengan matanya, Gerhana mampu melihat masa depan dan memperlambat waktu di sekitarnya. Setiap serangan Rangsa ia hindari dengan cermat dan dengan cepat ia menemukan jalur serangan balasan. Tak bisa dipungkiri, satu-satunya kelemahan terbesar Gerhana adalah matahari. Namun, ketika gelap menguasai bumi, ia sudah setingkat dengan para bencana. Bahkan mungkin lebih kuat.
Ketika Rangsa berusaha menjaga jarak, Gerhana menghentakan kaki kirinya ke depan dan membuat tanah pijakannya hancur. "Sing duwe bengi ... ngelebur srengenge." Angin malam berhenti berhembus seiring dengan hilangnya cahaya di mata Rangsa. Gerhana membutakannya sejenak dan melancarkan serangan ketika Rangsa berada pada titik buta.
Gerhana mendominasi jalannya pertempuran. Ia menyudutkan Rangsa seorang diri hingga tak mampu berbuat apa-apa. Tak ada yang membantunya, seluruh anggota Satu Darah hanya menyaksikan saja seperti biasanya. Mereka percaya bahwa Gerhana sangat bisa diandalkan ketika gelap menguasai hari.
Vanila, pria itu tidak memiliki daya serang yang besar, tetapi daya tahannya adalah yang membuat Vanila menduduki posisi atas di Satu Darah. Sisi misteriusnya merupakan yang membuat Adistri menjulukinya bencana. Potensinya tak terhingga.
Dihajar habis-habisan oleh Gerhana tak membuatnya terlihat seperti terpojok. Justru sebaliknya, Gerhana yang perlahan mulai frustasi.
"Jika hanya begini, bisa-bisa sampai pagi aku belum kalah, hey," ucap Rangsa dengan nada merendahkan.
Gerhana masih memiliki kartu as. Ia menjadi kepulan asap hitam dan memanjat gedung terdekat, lalu muncul sejajar tepat di atas Rangsa. Perlahan tubuhnya mengeluarkan cahaya kebiruan akibat menyerap cahaya bulan. Gerhana menempelkan seluruh jari-jarinya membentuk segitiga yang mengarah lurus ke arah Rangsa. Suasana mendadak hening. Gerhana menarik atma ke mulutnya dalam-dalam dan menahan napas sejenak.
"Oi, oi, dia sudah gila!" ucap Arai.
"Mundur! Pergi dari tempat ini sekarang juga!" teriak Rakha.
"Gerhana! Sial!" umpat Rama. "Tiba-tiba saja melakukan itu sekarang."
Noris menarik Rama. "Ayo, pergi dari sini, Rama."
Para Satu Darah membubarkan diri dan berusaha pergi secepat yang mereka bisa untuk menghindari serangan terkuat Gerhana. Bukan hanya Satu Darah. Ngarai dan Uchul juga merasakan tekanan yang luar biasa dari Gerhana. Hanya Rangsa yang masih diam di tempat sambil menatap pria yang melayang di atas kepalanya.
"Kidung Chandra."
Nyanyian bulan.
Sebuah lesatan cahaya keluar dari tangannya dan langsung melumat habis Rangsa beserta sebagian besar area pertempuran.
Rangsa menyeringai. Ia menggumamkan sesuatu sesaat sebelum kidung chandra menghantamnya.
"Arai!" teriak Rakha. "Pindahkan posisi ku di antara Vanila dan Gerhana."
"Jangan memerintahku, sial!" Arai menerbangkan mandaunya ke arah Gerhana, lalu merapalkan sebuah mantra. Mandau itu tiba-tiba saja bertukar tempat dengan Rakha. Kini Rakha berada di bawah Gerhana, ia berada di antara Rangsa dan Gerhana.
"Pangilon," ucap Rakha.
Rupanya Rangsa menggunakan kemampuan pangilon milik Rakha untuk memantulkan luka. Ia sengaja terkena kidung chandra untuk menghancurkan Gerhana dengan kartu as nya sendiri. Namun, Rakha menyadari itu semua dan langsung berteleportasi menggunakan sihir milik Arai. Sesaat sebelum Gerhana terdampak oleh efek pangilon, Rakha muncul di tengah mereka dan mengembalikan kerusakan itu pada Rangsa dengan pangilon miliknya.
Dua cermin saling beradu dan memantulkan serangan. Memang, pangilon milik Rangsa tak sekuat Rakha, tetapi posisi mereka sangat berbeda. Rakha mungkin bisa menangkal pangilon, tetapi tidak dari posisinya saat ini. Ia bisa mati karena terjatuh dari ketinggian.
Dari arah belakang, Raksaka muncul dan langsung memutar kepala Rangsa dengan tangannya. Hal itu membuat Rangsa kehilangan konsentrasi.
"Tidak akan ku biarkan kau berbuat seenak jidat," ucap Saka. "Meskipun tangan ini tidak bisa membunuh mu, setidaknya kedua tangan ini ikut andil dalam menumbangkan mu."
"Menumbangkan? Bicara apa kau ini, Saka? Hari ini kau terlalu banyak bicara," balas Vanila.
Dari arah depan, dua belati menembus tenggorokannya. Rio muncul untuk membantu Raksaka. Vanila melirik ke arah Rio. "Kalian berdua benar-benar mau mati duluan, ya?"
Dengan cepat Gerhana menyelamatkan Rakha dengan kemampuan blink nya. Begitu Rakha dan Gerhana aman, Rio dan Saka langsung mundur. Saat itu juga, Rangsa mengeluarkan darah hitam dari tubuhnya yang mendadak remuk akibat efek pangilon milik Rakha.
Para anggota Satu Darah tampak letih. Bahkan sebelum pertempuran melawan Vanila, mereka sudah bertarung habis-habisan terlebih dahulu membebaskan tanah mereka dari cengkeraman Dogma. Ini adalah situasi yang cukup buruk melihat Rangsa masih sanggup bangkit dan menatap tajam ke arah mereka.
"Kau masih sanggup bertarung?" tanya Rakha pada Arai.
Arai terkekeh. "Sampai titik darah penghabisan."
"Bagus, akan ku temani kau sampai ke neraka." Rakha tersenyum, ia mengepalkan tinjunya ke arah Arai. Arai menyambut tos tinju tersebut sambil terkekeh. "Kau saja yang masuk neraka sana, aku tidak akan mati di sini."
Aura Rangsa sungguh berbeda kali ini. Ia berjalan ke arah mereka semua. Pria itu seolah tak memiliki rasa lelah sama sekali. Terlebih, semua serangan yang masuk padanya seakan termentahkan.
"Kalian semua akan menjadi mayat hidup terkuat ku. Bersiaplah menjadi pilar dunia baru."
Rangsa melesat dengan sangat cepat ke arah Rama. Rama tak bisa menghindar dari kecepatan itu. Anggota lain juga tak bisa membantunya karena telat merespons pergerakan Rangsa.
"Rama!" Noris mengambil beberapa paku dari kantung tersembunyi di gaunnya, lalu melemparkan itu pada Rangsa.
"Pangilon," ucap Rangsa.
Noris berlutut memegangi dadanya yang sesak. Rangsa memantulkan serangan itu pada pemiliknya, lalu mengayunkan pedang darah pada Rama. Namun, kali ini Rama menahannya dengan kotak Lullaby.
"Dasar bodoh," tutur Rangsa ketika melihat kotak yang ia incar itu hancur. "Kau memang bodoh dan pantas mati. Bisa-bisanya menjadikan Lullaby sebagai tameng."
Semua terbelalak ketika kepala Rama terpisah dari tubuhnya akibat tebasan pedang darah.
"Bajingan!" teriak Rio.
"Tidak ada waktu untuk berkata kasar," balas Rangsa yang sudah berada di belakangnya, pria abadi itu berpindah dengan kemampuan Gerhana. Dengan sekali serang, pedang merahnya menembus bagian kepala belakang Rio hingga keluar dari mulut.
Satu per satu anggota Satu Darah kehilangan nyawa mereka. Kini Noris pun tergeletak akibat paku santetnya sendiri.
Melihat itu semua Khataka kehilangan nyali, ia hendak kabur, tetapi Rangsa memainkan satu mandaunya dan memenggal kepala Khataka bagaikan seorang Arai.
Melihat pembantaian itu, Raksaka hendak menyerang, tetapi belum sempat bereaksi, pedang merah Rangsa tiba-tiba bersarang di dada kiri Saka
"Inilah yang mereka rasakan setelah kau sentuh," tutur Rangsa pada Raksaka. "Mati."
"Hentikan!" Gerhana menghilang, lalu muncul di belakang Rangsa. Ia hendak menyerang, tetapi Rangsa memutar tubuhnya dan menangkap lengan Gerhana.
"Aku dengar kau bisa melihat masa depan. Apa sekarang kau mulai frustasi karena tak bisa melihat bayangan masa depan, Gerhana?"
Rangsa mendekap kepala Gerhana, lalu memutarnya hingga pria buta itu tewas di tempat.
"Sisa lima." Ia menatap Arai, Rakha, Ngarai, Rizwana dan Wira. "Sebaiknya dari kau dulu!"
Rangsa ingin mematahkan mental mereka dengan membunuh Arai Purok. Sebab, di antara mereka semua, Arai merupakan manusia yang masih terlihat segar. Namun, Rakha muncul di hadapannya dan menghadang serangan tersebut.
"Pangilon!"
"Kau pikir kau lebih hebat?" tanya Rangsa. "Bahkan setelah terkena kidung chandra yang dipantulkan, aku masih bisa berdiri dan membunuh kalian semua!"
Cermin itu retak dan pecah. Rakha memegangi lehernya yang mengalami pendarahan akibat melindungi Arai. Ia hilang keseimbangan dan terjatuh. Sebelum Rakha terjatuh, Arai menariknya, lalu mundur untuk menjaga jarak dari Rangsa. "Hey, jangan mati!"
Pria berambut merah itu hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tak ada kata yang terlontar dari mulutnya. Tenggorokannya sudah hancur.
"Rakha!" teriak Arai. "Bangun!"
Rakha dan Arai masuk ke Satu Darah di waktu yang hampir bersamaan. Mereka sudah menjadi duo dari waktu yang cukup lama. Arai sebagai penyerang, sementara Rakha sebagai pelindung. Kekuatan yang dibalut kecerdasan, hal itu yang membuat Satu Darah bertahan secara finansial dan eksistensi hingga saat ini. Mereka adalah dua pilar yang membangun era keemasan Satu Darah.
Rangsa menghela napas, ia memejamkan matanya sejenak. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing.
"Jangan sedih, sebentar lagi giliran mu," ucapnya pada Arai.
"Ratu memiliki anugrah malam milikku, tapi tidak dengan kedua mata bulan ini," ucap Gerhana. "Hanya karena memiliki kemampuan kami semua, bukan berarti kau lebih dari kami semua."
Kalimat yang terasa sangat familiar. Rangsa sontak membuka matanya dan menangkap kehadiran Gerhana di depannya.
"Apa yang kau lakukan? Bagaimana caramu bangkit dari kematian?" tanya Rangsa.
"Apa yang kau bicarakan? Bagaimana caranya bangkit dari kematian sementara aku belum pernah mati," balas Gerhana.
Rangsa sangat terkejut ketika melihat semua anggota Satu Darah masih hidup dan berdiri di belakang Gerhana.
"Apa yang sedang terjadi?" Ia menoleh ke arah Rama. 'Apa ini efek dari brujeria? Apa aku sudah terperangkap dalam efek Lullaby? Tidak mungkin. Aku tidak pernah tidur.'
Rangsa dan Gerhana berubah menjadi kepulan asap hitam dan tiba-tiba saling menyerang dengan semua yang mereka miliki.
Kejadian ini seperti De Javu untuk Rangsa. Ia terus bertempur hingga membunuh seluruh anggota Satu Darah.
Namun, tiba-tiba ia merasa pusing dan memejamkan mata lagi. Begitu ia membuka matanya, waktu kembali terulang.
"APA-APAAN INI?!" teriak Rangsa. Ia merasa frustasi dengan penjara waktu yang seolah membawanya terus kembali.
Kejadian ini terus terulang, tetapi semua tak ada yang menyadari itu kecuali Rangsa.
Perasaan yang sempat Wira rasakan, kini samar-samar mulai terasa kembali. Beberapa dari mereka merasa sedang mengalami De Javu.
Rangsa tiba-tiba saja merinding, ia merasa takut dan sontak menatap pada satu titik.
Berdiri seorang gadis tak jauh dari posisinya. Gadis itu sedang mengusap hidungnya yang berdarah. Ia tampak letih, terbukti dari pakaiannya yang lepek akibat keringat bercucuran.
"Selama aku masih hidup dan bernapas, kau tidak akan pernah menang," tutur Melodi.
"Retrokognisi ...," gumam Rangsa lirih. "Ini semua ulahmu?"
Mendengar ucapan Rangsa, para Anggota Satu Darah terbelalak. Bukan tanpa sebab mereka semua terkejut. Sebelumnya, Melodi dengan berani mendatangi para Satu Darah dan memperkenalkan dirinya. Melodi jujur tentang kemampuannya dan meminta Satu Darah untuk membantunya mengalahkan Rangsa. Entah sudah berapa kali pengulangan yang ia lalui hingga pada satu titik Melodi mempertaruhkan masa depannya di tangan para villain. Ia terlalu frustasi karena tak bisa merubah apa pun selama kembali dan terus kembali.
"Oi, oi, apa dia bilang barusan?" tanya Arai.
"Retrokognisi," balas Rakha. "Gadis itu tidak berbohong. Jika Vanila yang berucap begitu, artinya memang telah terjadi sesuatu di luar sepengetahuan kita. Lindungi gadis itu walaupun harus mati. Saat ini, dia adalah yang terkuat di dalam peperangan ini."
"Dengarkan perintah Rakha!" teriak Arai. "Lindungi gadis itu walau harus mati!"
"Jangan memerintahku!" Balas Rama. "Tanpa diperintah aku pasti akan melindungi gadis itu, dia itu calon iparku."
Wira bangkit. "Pantas saja aku merasa De Javu ketika Rizwana datang. Apa gadis itu mengulang-ngulang adegan hingga alam bawah sadarku tak sengaja merekam kejadian yang sempat terjadi sebelumnya?"
"Jika memang begitu, kita harus melindunginya," balas Ngarai. "Ini kali pertama aku mengetahui bahwa kemampuan untuk mengulang waktu benar adanya."
Rizwana pun diam bergeming. Ia tersenyum menatap Melodi dari kejauhan. Kini ia paham, kenapa Nada dan anak-anak Mantra tahu tentang belenggu Septa, padahal tak ada satu pun yang mengetahui hal tersebut. Hanya ada satu jawaban sekarang, ia pernah berperang melawan seseorang yang bisa mengulang waktu.
"Mungkin di masa lalu aku sudah mati, jadi tidak ada alasan untuk tidak melindunginya. Jika Melodi mati, aku akan membunuh diriku sendiri atas ketidakberdayaan ku," ucap Rizwana. "Demi kesempatan hidup yang kau berikan."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top