160 : Aku Adalah Kehancuran
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Tak seperti yang ada di dalam benak Radhi. Setelah memenggal kepala Erik, harimau itu malah makin menjadi-jadi. Meski tanpa satu lengan dan kepala, Erik masih cukup beringas mengincar Radhi dengan satu tangan yang tersisa.
Pergerakan Erik semakin liar dan tak mudah ditebak. Radhi agak kewalahan dibuatnya. Terlebih, Radhi hanyalah manusia biasa, ia memiliki stamina yang terbatas. Sementara Erik tak memiliki hal semacam itu.
"Daya tahan mayat hidup yang satu ini benar-benar gila. Dia malah semakin buas setelah kehilangan dua senjatanya!" gumam Radhi bermonolog.
Kinan sudah tak berada di sana. Ia membawa rekannya yang hampir mati kehabisan darah untuk mendapatkan pertolongan pertama. Kini hanya ada Radhi dan mayat hidup Erik di tempat ini.
'Mengapa hanya ada satu makhluk ini saja di sini? Kenapa dua orang anggota Katarsis juga berada di sini? Apa yang mereka cari di tempat ini? Dan apa yang Erik jaga di makam ini? Tidak mungkin makhluk sekuat ini berada di sini tanpa alasan. Aku harus mengalahkannya dan segera mencari informasi, lalu kembali. Aku mengendus firasat buruk jika terlalu lama membuang waktu di sini. Paling tidak aku harus memotong kakinya agar ia tak bisa bergerak.'
Erik bagaikan lawan yang berbeda. Semakin lama ia bertarung, ia semakin tangguh dan cermat dalam mengambil keputusan. Sesekali Erik menggoreskan luka dengan cakarnya di tubuh Radhi. Keadaan justru berbalik. Tubuh Radhi perlahan mulai gemetar. Pertarungan yang ia harap segera berakhir, kini menjadi bom waktu untuk dirinya sendiri.
Braja merupakan teknik untuk memanipulasi impuls saraf tubuh. Meskipun terkesan hebat, tentunya ada efek samping tersendiri. Bahkan Dirga pernah hampir mati karena efek samping Braja ketika pertama kali berhadapan dengan Bayu Martawangsa.
Radhi pun merasakan hal yang sama saat ini. Sarafnya seolah mati dan membuat tubuhnya tak bisa bergerak. Kini ia tak bisa berhenti gemetar di hadapan Erik.
"Sial! Kenapa harus sekarang?!" pekik Radhi.
Erik melesat ke arah Radhi dan melayangkan serangan untuk menghabisi pria itu. Namun, sebuah petir hitam menghantam Erik hingga terpental menjauh dari sosok Radhi.
Radhi menatap punggung seorang pria kekar yang tak mengenakan baju. Pria itu hanya mengenakan celana pendek dan juga topi terbalik bertuliskan Lohia.
"Radhi Tribuana Utomo, Lohia yang tidak menggunakan marganya. Pria yang sempat direkrut oleh Sang Yudistira untuk menjadi anggota Katarsis, tetapi menolak hanya karena tak memiliki marga dalam namanya. Hey, biar ku beritahu sesuatu. Lohia bukanlah nama marga, tetapi darah yang mengalir dalam dirimu, Bung," tutur Dewa.
Anggota Katarsis yang merupakan kepala keluarga Lohia itu muncul karena informasi Kinan. Untungnya Kinan bertemu Dewa, jadi pria itu bisa dengan cepat sampai di tempat ini. Seandainya yang ditemui adalah Riki, bisa jadi sekarang Radhi sudah menjadi bagian dari pasukan mayat hidup.
"Sebelum mempelajari teknik braja, pertama-tama kau harus melatih fisikmu agar bisa melawan efek samping dari teknik itu sendiri," tutur Dewa. "Kau memang penerus si petir emas, tapi kalian adalah orang yang berbeda. Lihat dan perhatikan, bagaimana cara Lohia menyelesaikan pekerjaannya. Braja ...." Listrik hitam menyelimuti tubuh Dewa. Ia merendahkan posisi tubuhnya untuk sebuah ancang-ancang berlari. Seringainya terpampang sembari menatap makhluk tanpa kepala di depannya. "Are you ready, guys?" gumam Dewa. Ia terkekeh sendiri. "Here we go."
Radhi terbelalak. Bahkan ia tak mampu melihat kecepatan Dewa ketika melakukan langkah petir.
"Akselerasi macam apa itu?" gumam Radhi lirih.
Dewa berlari mengitari Erik. Perlahan lingkaran itu mengecil hingga mengurung makhluk buas tersebut. Erik berusaha menangkap Dewa dengan satu tangannya yang tersisa, tetapi tangan itu tiba-tiba terlempar ketika tak senagaja menyentuh pusaran petir yang dibuat oleh Dewa.
Radhi baru pertama kali melihat ada orang yang jauh melampauinya. Bahkan ia tak menganggap ayahnya lebih hebat dari sosok yang sekarang ada di hadapannya. Dewa tidak tampak sedang bertarung, tetapi ia terlihat seperti sedang bermain-main.
Pada satu titik, Dewa menghilang. Kepergiannya menyisakan tanah yang menghitam dengan kepulan asap yang mengudara. Radhi berusaha mencari keberadaan pria itu, tetapi ia tak bisa temukan. 'Ke mana dia?'
Baik Radhi dan Erik, mereka tiba-tiba menoleh ke atas. Dewa berada tepat di atas Erik. Dengan cepat Dewa melesat ke bawah sambil memutar tubuhnya menghantamkan tumitnya pada tubuh Erik. Serangan itu tak mampu ditahan oleh Erik hingga membuat tubuh makhluk itu hancur lebur seperti bubur.
Dewa menoleh ke arah Radhi, ia terkekeh. "Sama-sama."
Radhi memasang wajah datar. Ia jadi enggan untuk berterimakasih pada Dewa.
"Jadi, apa yang kau lakukan di tempat ini? Area ini cukup terlarang," ucap Dewa.
"Firasatku yang menuntunku ke sini," jawab Radhi.
"Ya, kau tidak salah sih. Rekan-rekan penyelidik dari Katarsis juga menemukan beberapa kejanggalan di tempat ini."
Pada satu waktu, Dewa dan Radhi menatap ke arah satu-satunya rumah tua yang berdiri di tempat ini. Rumah itu memancarkan aura yang sangat tidak bersahabat.
"Bantu aku ke sana," ucap Radhi.
"Sama-sama," celetuk Dewa. "Aku bilang sama-sama."
Radhi menghela napas. "Terimakasih banyak atas bantuannya. Sekarang aku ingin meminta tolong. Tolong bantu aku ke rumah itu."
Dewa menghampiri Radhi, kini ia menopang Radhi untuk berjalan. Mereka berjalan ke markas Vanila. Ketika sampai di depan rumah, Dewa dan Radhi menghentikan langkah dan saling melempar tatap. Keduanya merasa ragu, tetapi jelas sekali, di mana ada keraguan, di situlah ada kebenaran yang bersembunyi. Keduanya membuka pintu itu dengan pelan.
Seorang nenek-nenek tak berdaya terbaring di atas sebuah sigil. Tubuhnya penuh dengan luka dan darah. Ada pasak-pasak yang membuatnya harus menempel dengan tanah.
Radhi hendak menolong, tetapi Dewa menghadangnya. "Nenek itu berbahaya, jangan mendekat."
"Tapi dia membutuhkan pertolongan," ucap Radhi.
"Lalu? Setelah menolongnya apa ada jaminan bahwa ia tidak berbahaya?" balas Dewa.
"Entah apa pun itu, berbahaya atau tidak, kemanusiaan adalah yang utama."
Dewa menyudahi bantuannya menopang tubuh Radhi, ia membiarkan Radhi berpegangan pada tembok, lalu menyingkir dari hadapannya. "Oke, silakan, tapi jangan berharap aku akan menolong mu lagi."
Radhi berjalan ke arah nenek itu dengan tertatih. Ia melepaskan pasak-pasak yang membelenggunya. Setelah melepaskannya, tak ada apa pun yang terjadi. Hanya saja, nenek itu mengangkat tangannya dengan gemetar. Ia menunjuk pada satu titik.
Radhi dan Dewa menatap ke arah mimbar yang tak jauh dari posisi mereka. Dewa pun berjalan ke arah mimbar itu. Ia tak menemukan apa pun di sana.
"Enggak ada apa-apa," tutur Dewa.
Radhi menghampiri Dewa. Ia mencabut pedangnya dan menebas mimbar tersebut. Tepat di bawah mimbar itu berdiri, ada sesuatu yang aneh. Tidak seperti bagian lain yang di balut oleh semen untuk alasnya. Tepat di bawah mimbar itu adalah area tanah. Seolah memang sengaja tidak ditutupi semen.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Dewa.
Radhi mengorek tanah itu dengan pedangnya, hingga mata pedangnya membentur sesuatu. Dari suaranya, Dewa pun mendengar ada sesuatu yang keras di dalam sana. Tanpa pikir panjang, mereka segera menggali tanah di area tersebut.
Mereka berdua terbelalak ketika melihat kepala kerbau yang ditanam di sana. "Kepala kerbau biasanya menyimbolkan sebuah ritual tertentu. Pandemi mayat hidup ini merupakan sebuah mantra, dan jika benar begitu ... artinya seseorang telah bersekutu dengan iblis untuk kebangkitan ini. Jadi di sinilah awal mula bencana ini," gumam Radhi. "Aku butuh bantuanmu, kepala keluarga Lohia. Mari kita akhiri parade mayat hidup ini."
"Hah?" Dewa mengerutkan keningnya. "Bagaimana caranya?"
"Area ini ibarat sebuah grimoire raksasa. Bakar area ini sampai habis," lanjut Radhi.
"Apa kau sudah gila?! Ini kuburan!"
"Terus? Lebih baik seluruh makam ini hangus terbakar atau satu Jakarta jadi kuburan? Mantra ini harus dihentikan. Jika koneksi penyihir dan iblis terputus, maka mantra akan berakhir. Tidak akan ada lagi mayat hidup."
Radhi menusuk kepala kerbau itu dengan pedangnya. Begitu ia menancapkan pedangnya, dari kepala kerbau itu keluar darah, seolah kepala itu merupakan kepala dari seekor kerbau yang masih hidup. Begitu darah menetes ke tanah, aura yang begitu mencekam membuat Radhi dan Dewa merinding.
"Apa itu?!" gumam Dewa.
"Cepat! Kita harus bergerak sebelum terlambat!" balas Radhi yang terlihat panik.
Dewa dan Radhi pada akhirnya berpencar untuk membakar pemakaman ini. Mereka sepakat bahwa jika mantra ini tidak diakhiri secepatnya maka bencana yang lebih besar akan terjadi.
***
Di sisi lain, Rangsa telah terbebas dari dimensi milik Ngarai. Pria buta itu tampak kewalahan menghadapi Rangsa, tetapi tak begitu dengan Rangsa. Rangsa lebih terlihat gusar dan menatap ke arah pemakaman. Ia sadar, ada yang telah lancang menyentuh mantranya.
"BERANI-BERANINYA MENYENTUH MANTRAKU!" Rangsa hendak pergi, tetapi lagi-lagi Ngarai menghalanginya dengan napas terengah-engah.
"Kau pikir bisa pergi begitu saja?" ucap Ngarai.
"Minggir kau, Ngarai!"
"Tidak akan."
"Kekuatan mu yang sekarang tidak akan bisa menghentikanku. Kau sudah mati bersama era mu dahulu. Kau pikir siapa yang kau hadapi sekarang? Aku lebih kuat daripada Sebelas Rudra yang pernah kau kalahkan."
Ngarai pun sadar, bahwa Rangsa merupakan lawan yang sangat kuat. Ia tak bisa mengalahkan Rangsa, jadi selama mungkin Ngarai berusaha menahannya untuk Jiwasakti.
'Cepatlah, Jiwasakti. Aku sudah tidak bisa menahan orang ini.'
"Zaman terus berkembang, Ngarai. Perlahan kekuatan Yudistira dan juga para pengguna atma semakin memudar. Sihir dan ilmu hitam juga bersembunyi dari teknologi. Era kita sudah lama berakhir, tapi ada sesuatu yang keliru. Alasan mengapa ilmu hitam dan atma terlupakan bukanlah karena perkembangan zaman. Melainkan karena dianggap berbahaya, pengguna atma dan ilmu hitam pun diburu oleh negara. Pemimpin era baru takut tidak memiliki kuasa karena ia lemah dan tak berdaya. Segala cara ia halalkan untuk membuat era dan peradabannya sendiri, mengubur kita yang hidup di era lalu, menghapus fakta dalam sejarah. Hampir seluruh mantra dan apa pun tentang atma dihapuskan, tetapi mereka tidak benar-benar menghilang dari dunia. Warisan masa lalu akan terus hidup dan kembali pada waktunya. Apa kau tidak merindukan masa-masa itu, Ngarai? Di mana kita, para pengguna atma dan sihir dapat hidup berdampingan tanpa disebut aneh dan dikucilkan? Ke mana kau selama ini? Kau pun sudah tidak kuat menghirup udara lagi, kan? Udara segar yang dulu mengisi paru-paru kita sudah tergantikan dengan asap dan polusi. Para hewan yang punah, itu ... kau pikir siapa yang membuat mereka punah? Manusia hanyalah kehancuran, dan jika memang begitu. Aku juga merupakan kehancuran itu sendiri. Maka akan ku gunakan semua yang ku miliki untuk mengubur era ini dan juga seluruh kehidupan!"
"Kau salah. Aku menghilang bukan karena kecewa pada dunia. Melainkan mengunci diriku sendiri agar tidak merusaknya seperti yang kau lakukan. Setiap manusia memiliki era. Era kita telah lama mati, berhentilah menjadi bagian dari masa lalu, Rangsa. Bukan zaman yang harusnya mengikutimu, tetapi kau lah yang harus mengikuti zaman. Dahagamu perihal ilmu itulah yang menggerogoti mu dari dalam dan membuatmu kehilangan kewarasan."
"Sepertinya kita memang tidak cocok. Penyesalan terbesarku adalah menghalangi Sebelas Rudra untuk menghancurkan dunia kala itu. Jika memang seperti ini rupa dunia, aku berpikir bahwa apa yang dilakukan Sebelas Rudra adalah benar."
"Setelah dunia, kau akan melakukan ekspansi ke Alam Suratma juga. Apa itu adalah bentuk dari luapan emosi mu? Semua ini hanyalah kedok. Kau hanya ingin menjadi Tuhan. Apa aku salah, Rangsa?"
Rangsa terkekeh. "Jika Tuhan itu ada, seharusnya ia menolong kalian dari bencana yang ku bawa!" Rangsa melesat ke arah Ngarai.
"Karena Tuhan itu memang ada, maka dengan segala kuasanya ia mempersatukan ku dan Jiwasakti untuk menguburmu! Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, melaikan kaum itu yang akan merubah nasib mereka sendiri!" Ngarai tak mau kalah, ia pun menerjang Rangsa. "Bahkan jika kami berdua tumbang, akan muncul orang-orang baru yang akan menggenggam era ini di tangan mereka. Entah siapa pun itu, mereka akan melepaskan belenggu yang kau buat."
Benturan pun terjadi. Gelombang angin menggetarkan bangunan yang berada di sekitar mereka. Pertarungan tangan kosong menjadi menu utama. Ngarai dan Rangsa memiliki teknik beladiri yang sangat baik.
***
Di tengah pertarungan itu, Nada tak pernah berhenti gemetar hingga membuat Melodi merasa tidak nyaman.
"Radhi mana?" tanya Melodi yang baru saja bangun.
Nada hanya menggeleng. Tekanan yang dipancarkan oleh Ngarai dan juga Rangsa membuatnya diam bergeming.
Wira tiba-tiba terbangun dan berdiri, ia berjalan melewati Nada dan juga Melodi. "Sial, istirahatku kurang, tapi mau bagaimana lagi? Ngarai melepaskan aura yang besar seolah meminta tolong. Aku pikir pria buta itu bisa menghentikan Rangsa, tetapi rupanya memang tidak bisa, ya ...."
Uchul menatap ke arah dua gadis itu. "Kalian pergi dari tempat ini sekarang juga. Sebentar lagi tempat ini akan menjadi medan perang yang sangat brutal." Sambil menguap, Uchul berjalan dengan tangan menutup mulut. "Aku tidak akan bertanggung jawab atas hilangnya nyawa kalian nanti. Sebab aku tidak bisa menjamin keselamatan ku sendiri."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top