16 : Percayalah, Aku Bukan Orang Jahat
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Harits kehilangan jejak, tetapi ia sudah berada bersama Lajaluka. Memang, mengikuti pengguna Tumenggung itu butuh ketelitian yang sangat tinggi.
"Kerja bagus, Luka. Terimakasih banyak," ucap Harits sambil tersenyum. "Jadi, kemana si gondrong itu pergi?"
Telinga Harits bergerak tipis, memang, selain indra pengelihatannya, penciuman dan pendengarannya pun di atas manusia normal. Samar-samar ia mendengar sebuah jeritan bersamaan dengan bau darah dan bau mesiu.
"Gondrong!" Harits segera bergegas menuju sumbernya.
***
Di sisi lain, Deva sedang berbaring di lantai. Ia memegangi kakinya yang mendapat luka lebih serius ketimbang kepalanya.
"Ke mana pria kurus yang lu temui belum lama ini?" tanya si gendut.
Deva tak menjawab. Ia diam dan berusaha menahan perih. Hal itu membuat si gendut geram, ia berjongkok lalu memukul wajah Deva. "Disuruh jawab kok malah diem?"
"Penculik bajingan!"
Si gendut hanya tersenyum. "Selain penculik, gua ini juga pembunuh loh." Ia menempelkan moncong pistolnya ke kepala Deva. "Gua kasih waktu sepuluh detik buat jawab, di mana temen gua? Satu, dua, tiga ...."
Seorang mafia yang memiliki jabatan dengan dua anteknya hanya diam sambil mengamati saja. Namun, mereka tetap waspada, bisa jadi pria gondrong yang sedang terluka ini membawa teman. Entah, hanya saja suara gonggongan belasan anjing mulai terdengar dan itu membuat mereka tak nyaman. Bos mafia itu menyuruh salah satu anteknya untuk melihat keadaan.
"Empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan ...." Gendut menghentikan hitungannya sambil menghisap batang rokoknya. "Waktu habis. Sepuluh."
"AAAAAAAAAAAAA!" Darah mengucur dari tangan si gendut. Pistolnya jatuh ke lantai. Ada luka gigitan di tangan kanannya.
Deva memicingkan matanya. Harits?
Sebuah teriakan terdengar dari arah depan, membuat dua orang berjas hitam yang berada tak jauh dari Deva mengeluarkan pistol untuk berjaga-jaga. Mereka berdua menatap si gendut sambil berjalan untuk melihat keadaan di depan.
"Kalian aman," ucap Hara pada empat anak gadis yang hampir seusia dengan wujudnya. Bocah itu melepaskan ikatan-ikatan keempat anak gadis itu. "Ayo ikut aku, kita pergi sebelum para penculik itu sadar."
Awalnya keempat gadis itu ragu, tetapi lebih baik percaya pada orang yang menyelamatkan mereka, ketimbang diam di tempat penculik. Hara membawa mereka semua ke mobil. Anak-anak seusia mereka memang masih tergolong peka terhadap kehadiran makhluk ghaib, dan beberapa tak menyadarinya.
"Ke mana anak-anak itu?!" ucap si gendut yang tak menyadari pergerakan Hara dan keempat anak gadis.
"Tenang, mereka tak akan bisa pergi jauh. Anak buahku sudah tersebar di daerah ini," balas pimpinan mafia sesaat setelah kembali mengecek salah satu anak buahnya yang berteriak di depan. Salah satu anteknya penuh dengan luka gigit, persis seperti lengan si gendut.
"Anak-anak buahku juga sudah menyebar di sekitar sini."
Semua menatap ke pojok ruangan yang terlihat gelap. Terlihat siluet pria sedang bersandar di dinding pojok. Salah satu anak buah mafia yang tersisa mengarhkan senjata ke arahnya.
"Jangan mengarahkan senjata ke arahku, nanti mereka marah, loh."
"AAAAAAAAAAAAA!" Mafia yang mengarahkan pistolnya pada pria itu tiba-tiba berteriak kesakitan.
Pria yang tampak seperti pimpinan itu langsung mencengkeram kepala anjing hitam tak kasat mata milik Harits dan memecahkannya dengan kekuatan tangan saja.
"Jadi anjing-anjing ini milikmu, ya?" Pria itu membersihkan tangannya. "Pasukan ghaib. Menarik."
Harits menunjukkan dirinya. "Ya, begitulah. Kalian akan aku biarkan pergi dengan utuh jika meninggalkan kami sekarang juga."
"Jika kami menolak?"
"Sejujurnya anjing-anjing ini lapar," jawab Harits sambil tersenyum.
"Apa yang kalian berdua bicarakan?" ucap si gendut yang tak mampu melihat anjing-anjing milik Harits.
"Transaksi batal. Kami menghargai nyawa kami." Pria mafia itu memutar tubuhnya, lalu merangkul bawahannya. "Aku akan lapor pada bos, jika kalian semua mati."
"Apa maksudmu?"
Pria mafia itu menyeringai dan mengarahkan pistolnya ke arah si gendut. "Aku bilang--kalian semua mati." Pelurunya menembus kepala si gendut hingga membuat darah bercucuran di lantai. Kini ia menatap Deva, lalu mengarahkan pistolnya ke arah Deva sambil menatap Harits.
"Aku benar-benar akan membunuhmu." Hawa di sekitar Harits berubah. Suara gongongan kembali riuh terdengar.
"Hahahaha." Pria itu memasukan pistolnya ke balik jasnya. "Bercanda." Ia pergi meninggalkan Harits dan Deva.
"Apa tak apa, kita mundur, Alex?"
"Ya, kita cari aman. Orang bertopi biru tadi berbahaya. Kita harus seolah-olah bergerak mundur. Cari keempat bocah itu, mereka pasti tak jauh dari tempat ini.
Di sisi lain, Harits berjongkok menatap Deva. "Mau sampai kapan ngerepotin gua?"
Deva hanya tersenyum sambil menahan perih.
"Semua anggota Tantra selain Surya itu enggak cocok berantem, atau ngambil misi keras begini. Kalian itu cuma sekumpulan pengecut yang bertingkah sok kuat." Harits menatap luka di paha Deva. "Wijayakusuma tanpa taring, Martawangsa yang enggak bisa gunain atma, satu Martawangsa lagi yang enggak berani mukul orang ... gua cuma penasaran, apa sih yang kalian lakukan selama ngebuang gua? Enggak berkembang."
Sejujurnya, Deva mengagumi Tama dari cerita-cerita yang Dirga pernah ceritakan padanya. Tak seperti Tama yang lembek, Harits mengagumi Dirga dari kisah-kisah Andis, makanya Harits mengikuti jejak Dirga yang pernah dijuluki sebagai pembantai khodam. Harits sering ikut tawuran untuk menghajar pentolan-pentolan yang menggunakan jimat-jimat khodam.
"Sekarang lu diem dulu, ya. Kita enggak punya banyak waktu buat bawa lu ke rumah sakit." Harits mengeluarkan pisau bedah dari kantong jaketnya.
"Mau ngapain lu?"
Harits menghela napas. "Operasi kecil. Ngeluarin peluru yang bersarang di paha lu."
"Enggak bisa! Ini perlu penanganan medis," balas Deva yang pucat.
Harits melepaskan jaket dan kaosnya. Ia menampilkan tubuhnya yang ternyata kekar bersembunyi di balik tubuh kecilnya. Yang jadi fokus Deva adalah goresan-goresan yang menghiasi tubuh Harits.
"Ini semua hadiah perang. Manusia, setan, semua pernah ngasih luka serius. Simfoni hitam belajar caranya bedah dan jahit luka. Pertolongan sementara, karena pekerjaan kita berbeda sama Tantra. Taruhannya nyawa dan jiwa." Harits mengenakan kembali kaosnya. "Tahan, ini bakalan sakit."
Harits paham rasa takut Deva, mengingat Harits bukanlah seorang ahli medis. "Jangan takut, yang perlu lu lakuin cuma percaya. Gua bukan orang jahat."
Deva mengingat kembali ketika ia dan Harits pertama kali bertemu di sekolah dasar. Dirga memberitahunya, bahwa anak dari sahabatnya, Andis, juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Deva di daerah Depok. Menurut Deva, Harits adalah anak yang aneh. Ia sering berbicara dan tertawa tanpa sebab. Harits selalu sendirian.
Sore itu Harits berada di sebuah taman, ia mendorong ayunan seolah-olah ada orang lain yang duduk di sana.
"Dasar aneh!" teriak gerombolan anak-anak lain yang sedang bermain juga di taman.
"Asik sendiri gara-gara enggak ditemenin."
Harits adalah anak yang penakut. Tak jarang ia dipukuli dan dikerjai oleh anak-anak lain. Sore itu anak-anak lain mengerubunginya dan mengatai Harits sambil berputar, mereka tak membiarkan Harits yang lebih pendek keluar dari putaran hingga membuat Harits menangis.
"Beraninya sama anak culun doang," ucap Deva. Deva merupakan anak yang pemalu, makanya hingga sebelum saat ini, ia tak pernah mengajak Harits berkenalan dan hanya berani menatapnya dari kejauhan saja. Deva merupakan anak yang tinggi, bahkan untuk anak seusianya.
Terjadi perkelahian di sana. Deva unggul karena memiliki basic bela diri. Ia sendirian membuat anak-anak yang mengganggu Harits kabur terbirit-birit.
"Kamu enggak apa-apa?" Deva menjulurkan tangannya. Meskipun ia menang, bukan berarti Deva tak terluka. Harits tampak ragu menyambut tangan Deva. "Jangan takut, yang perlu kamu lakuin cuma percaya. Aku bukan orang jahat." Harits akhirnya menyambut tangan Deva dan mereka berkenalan.
Deva menceritakan bagaimana ia mengenal Harits. Tentu saja hal itu membuat Harits penasaran dan bertanya pada Ayahnya, perihal Deva dan Dirga. Menurutnya Deva itu keren, karena jago berkelahi. Dan Andis menceritakan pada putranya, bagaimana Dirga dulu juga menjadi orang yang selalu bisa melindungi teman-temannya.
"Aku mau jadi kayak paman Dirga!" ucap Harits kecil dengan antusias. "Yang bisa ngelindungin teman-temannya."
"Kenapa mau jadi kayak paman Dirga?" tanya Andis. "Padahal, Ayah lebih keren."
"Paman Dirga dan Deva itu super hero! Keren! Tapi, jika suatu saat super hero butuh pertolongan, siapa yang akan menolong mereka?" tanya Harits. "Aku orangnya. Yang maha super hero nyahahaha."
Andis mengusap kepala putranya. "Kalo jagoan Ayah yang bilang begitu, Ayah percaya. Harits pasti bisa jagain temen-temen Harits."
Kenangan itu tiba-tiba saja menghilang saat Harits melakukan operasinya, Deva tak punya waktu untuk bernostalgia. Sekuat tenaga, ia menahan rasa sakit dari pisau bedah dan jarum jahit yang berpetualang di pahanya.
Entah sejak kapan, Harits lebih bisa diandalkan daripada Deva. Yang pasti, sejak Harits memutuskan untuk mencari uang, Deva dan teman-teman lainnya memutuskan untuk menjauhi Harits. Di waktu-waktu itu, Harits terus mengasah kemampuannya untuk membuktikan dirinya.
Seandainya Deva dan teman-temannya paham alasan Harits mencari uang, mungkin mereka tak akan menjauhi Harits, dan hal itu tak akan membuat Harits berkembang.
***
Sementara Harits sedang mengobati Deva, Hara terdiam menatap beberapa pria bersetelan jas hitam. Mereka mengepung para krucil-krucil yang hampir kabur tepat beberapa meter sebelum tiba di mobil.
"Yuk, kita pulang." ucap salah seorang anggota mafia pada sekumpulan anak-anak itu. "Kami semua ini polisi yang sedang mencari anak-anak yang hilang."
Keempat gadis ini merinding, mereka paham bahwa orang-orang ini adalah teman-teman si penculik. Mereka bukan polisi.
"Gadis-gadis, boleh minta tolong sebentar?" tanya Hara. "Boleh aku minta kalian tutup matanya? Tenang aja, kita pasti pulang sama-sama. Jangan takut."
Anak-anak perempuan ini ingin berlari untuk kabur, tetapi Hara dengan sorot matanya menenangkan mereka semua. "Kalo kalian masih buka mata, aku enggak jamin bisa bantu kalian. Nanti kalo udah aman, aku suruh kalian buka mata lagi." Keempat anak gadis ini menutup matanya sambil bergandengan tangan. Mereka mencoba percaya pada Hara.
"Nah begitu. Jangan buka matanya sebelum aku suruh, ya." Kini Hara menatap para mafia sambil tersenyum. "Permisi, boleh kami lewat? Kami sudah dijemput."
"Bocah ini siapa?" tanya salah satu mafia.
"Target kita cuma empat yang cewek, yang satu itu enggak tau."
Salah seorang mafia menghampiri Hara. "Kita siksa aja anak sok jagoan ini."
Hara menarik jari telunjuknya sambil menyeringai. "Maaf, Harits, aku--lapar." Mafia yang menghampirinya diam tak bergerak.
Hara, atau yang dijuluki Widyatama ini adalah salah satu anggota Peti Hitam di serial Martawangsa. Ia sudah tewas, tetapi jiwanya tersegel di dalam buku hitam yang sekarang Harits miliki. Memang, secara kemampuannya menurun derastis, tetapi seorang Wijayakusuma tetaplah Wijayakusuma. Mereka membunuh apa pun.
Hara dapat memanipulasi atma udara menjadi benang tipis setajam pisau. Kini ia tertawa sambil memutilasi mafia-mafia yang terperangkap dalam jerat jaring laba-labanya.
Dalam radius yang tak terlalu jauh, Harits tiba-tiba merinding. Ia menghentikan kegiatannya untuk sekadar menoleh ke sumber energi yang sangat gelap dan memberikannya tekanan.
"Ooops ...." Hara menutup mulutnya sambil menekan kembali hawa membunuhnya. Ia menoleh ke arah gadis-gadis yang masih menutup matanya sambil gemetar. "Sudah aman, ayo kita pulang." Hara menggandeng salah satu gadis. Mereka berjalan berurutan seperti kereta api. Keempat anak itu masih menutup matanya karena Hara belum memberikan instruksi.
***
"Selesai." Harits merangkul Deva, membantunya berjalan menuju mobil. "Yok, kita pulang."
"Kenapa lu tau kalo gua ada di sini?" tanya Deva.
Harits menjentikkan jarinya. Lajaluka menampakkan wujudnya. Ia sedang bertengger di bahu Deva.
"Buset!" Deva kaget melihat sosok burung hantu yang berada di bahunya. "Pantes bahu gua agak pegel, ada yang nempel."
"Pegel dikit masih mending daripada kehilangan nyawa. Makasih lu sama burung gua."
"Burung yang mana nih?" ledek Deva.
"Depan Melodi aja, sok cool. Kalo enggak ada Melodi baru deh."
Deva hanya tertawa. "Ya, intinya makasih banyak, dan maaf karena lagi-lagi ngerepotin lu."
"Selaw, alasan gua ada di Mantra Coffee karena kalian para beban butuh orang kayak gua buat benerin semua masalah kalian nyahahaha," balas Harits.
Kini mereka berdua tiba di depan mobil. Dari luar, Deva melihat anak-anak gadis yang duduk di dalam mobil. "Sejak kapan mereka ...." Sejujurnya Deva cukup terkejut.
"Enggak usah heran. Di mana gua berpijak, di situ pula hal-hal mistis terjadi." Harits mengambil kunci mobil dari dalam kantongnya. Sementara Deva masih berpikir keras bagaimana caranya anak-anak itu masuk ke dalam mobil tanpa kunci mobilnya? Dan lagi--bagaimana cara mereka melarikan diri? Deva tak menyadari ketika gadis-gadis kecil itu meloloskan diri dari gudang.
"Bentar, gua masih mencoba berpikir," ucap Deva.
"Enggak akan nemu jawabannya dengan akal logika nyahahaha udah ah, kita harus mulangin anak-anak ini ke keluarganya." Harits dan Deva duduk di kursi depan dan segera memulangkan anak-anak ini ke rumahnya. Setelah itu, baru Harits membawa Deva ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan serius.
***
"Alex," panggil seorang mafia bertubuh besar.
Pria yang dipanggil Alex itu sedang berjongkok menatap potongan-potongan tubuh rekannya. Ia mengambil sebuah bunga wijaya kusuma berwarna merah yang tergeletak basah di atas genangan darah.
"Keluarga Wijayakusuma masuk ke area kita," balas Alex. "Ini perang."
"Apakah kita harus melapor pada bos?"
"Tentu saja. Perang butuh pasukan." Alex berdiri dan mengambil ponselnya. Ia menelpon seseorang. "Aku butuh informasi tentang--mahasiswa, maybe. Dia pake topi biru berbentuk agak unik."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top