159 : Jangan Bermain-main Denganku
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rangsa tak menunjukkan ekspresi atau gelagat yang berlebihan. Ia seakan tak peduli dengan kekalahan rekannya.
"Oh."
Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Bahkan Rangsa memberikan tepuk tangan untuk tiga orang yang baru saja datang bak pahlawan. Sedikit ekspresi terkejut, tetapi bukan untuk Midnight. Hanya mengapresiasi serangan kejutan yang sukses membantai Midnight.
"Seandainya kalian mengincarku, kalian mungkin sudah menjadi penyelamat dunia," tutur Rangsa.
Melodi mengusap darah yang keluar dari hidungnya. "Seandainya bisa, semuanya udah pasti selesai sekarang. Sayangnya enggak semudah itu ...," gumamnya lirih. "Udah belasan kali kita kembali, tapi dari semua percobaan, ini hasil yang paling baik sejauh ini."
"Kak, enggak usah dipaksain," ucap Radhi. "Kakak istirahat aja dulu. Biar aku sama Kak Nada yang urus sisanya. Jangan tumbang di sini, kita masih butuh fitur undo."
Ngarai mengerutkan keningnya. Begitu juga dengan Uchul. Seketika itu juga, Ngarai merendahkan posisinya, lalu melesat ke arah atap. Melo, Nada, dan Radhi terkejut melihat pergerakan Ngarai.
"Awas!" teriak Ngarai.
Mereka bertiga sontak merinding ketika seorang pria beraroma busuk merangkul Melodi dan Nada dari belakang.
"Terimakasih sudah membawa pena itu ke hadapanku, ya," ucap Rangsa sambil tersenyum.
"Sejak kapan orang ini ada di sini?!" pekik Radhi ia berusaha menebas Rangsa dengan pedangnya, tetapi Rangsa dengan cepat melakukan pergerakan dan menjadikan Nada sebagai tamengnya.
"Sial!" Radhi membelokkan pedangnya sehingga tak mengenai Nada.
"Jangan murung, kau sudah cukup baik mengulur waktu selama beberapa detik. Sekarang pergilah," tutur Ngarai. Ia memukul dua tangan Rangsa hingga melepaskan dua gadis itu. Dengan cepat Ngarai merebut Melo dan Nada, lalu membawanya pergi ke posisi awalnya di sebelah Uchul.
Kini Melo dan Nada selamat, begitu juga dengan Radhi yang langsung pergi dengan kemampuan brajanya.
"Ngarai, ulur waktu selama mungkin. Aku butuh waktu untuk beristirahat," tutur Uchul.
"Itu artinya kau menyuruhku untuk menyelesaikan masalah ini, kan?"
"Kekeke kira-kira begitu. Itu pun kalau kau bisa menyelesaikannya," balas Uchul.
Ngarai tersenyum. "Sebelum itu, bawa mereka ketempat yang aman. Aku akan mulai serius."
"Kalian dengar? Kita pergi dari sini," ucap Uchul. "Aku juga butuh kalian untuk melindungiku selama aku beristirahat."
Sebenarnya ada beberapa pertanyaan di benak mereka bertiga, mengingat ada sesuatu yang berbeda dari seorang Wira Sakageni. Kini pria kecil bertato naga itu seperti orang lain saja. Namun, tak ada penolakan. Mereka berempat pergi meninggalkan Ngarai dan Rangsa.
"Tidak ingin mengejar?" tanya Ngarai pada Rangsa.
Rangsa menatap tajam ke arah Uchul yang sedang lari menjauh.
"Tidak perlu, nanti juga dia datang lagi dengan sendirinya. Tidak ada waktu memikirkan naga api. Saat ini aku sedang berburu naga air," balas Rangsa.
Ngarai terkekeh. "Boleh, boleh ... tapi asal tahu saja. Naga air itu ganas. Jangan sampai beralih dari pemburu menjadi buruan, ya." Ia melesat lurus dan menghantam bangunan pencakar langit di hadapannya.
Wira, Nada, Melodi, dan Radhi menoleh ke belakang ketika suara dentuman keras terdengar. Gedung tinggi yang berdiri tegak itu kini runtuh seperti uno stacko.
"Yang bener aja dong, itu kan ... gedung," gumam Radhi.
"Keep walking, people," ucap Uchul. "Kita enggak punya banyak waktu. Mulai sekarang, setiap detik berharga."
Kembali pada pertarungan antara Rangsa dan Ngarai. Rangsa lebih dominan bertahan, Ngarai tak memberikannya waktu untuk berpikir dalam mengambil tindakan. Serangan yang diberikan oleh Ngarai bukanlah serangan yang fatal. Hanya serangan-serangan kecil yang intens dan konsisten. Memang bukan serangan fatal, tetapi meskipun terkesan biasa, lama-lama bisa menjadi fatal.
"Aku berpikir, kau yang menjadi lemah, atau memang sengaja menahan diri agar kota ini tidak hancur, Ngarai?"
Ngarai tak menjawab, konsentrasinya sangat tinggi hingga membuat Rangsa merinding. Sekarang dari serangan intens berubah menjadi tipuan-tipuan kecil. Ngarai hendak menendang, tetapi ketika Rangsa ingin bertahan, ia mengubah posisinya dengan memutar tubuh dan menghantam Rangsa dengan tinjunya dari arah samping.
Pada satu titik, Ngarai menghentakkan kaki kanan. Tanahnya berpijak tiba-tiba bergelombang bagaikan genangan air.
Rangsa terbelalak dan dengan segala yang ia bisa, ia melompat untuk menghindari sesuatu yang Ngarai lakukan. Rangsa tak tahu apa itu, tetapi firasatnya buruk tentang yang satu ini.
"Tajam juga intuisimu, Rangsa," ucap Ngarai. "Hanya ada satu cara bagiku untuk mengalahkan mu. Sudah terlambat untuk menghindar." Sebilah keris ia keluarkan dari balik kain jariknya. Keris itu tercipta dari air. "Keris Bengawan."
Aspal Jakarta berubah menjadi air. Air itu seperti memiliki nyawa dan langsung menyergap Rangsa yang berusaha kabur. Ngarai menari. Semakin ia menari, air yang menggenangi area sekitarnya semakin dalam hingga membuat Rangsa kesulitan untuk bergerak. Namun, berbeda halnya dengan Rangsa, pria buta itu mampu berdiri di atas air seperti sehelai daun dan tetap melakukan tarian dengan keris di tangannya.
Kulit Ngarai perlahan mulai bersisik kebiruan. Daripada manusia, ia lebih mirip seperti siluman naga. Tarian Ngarai semakin cepat temponya, air di sekitarnya membuat sebuah pusaran yang berpusat pada Rangsa.
Rangsa berusaha keluar dari pusaran air, tetapi rasanya begitu berat dan sulit. Air-air ini seakan hidup dan menariknya ikut terseret masuk ke dalam pusaran.
"Gerbang naga, Tirtayasa," gumam Ngarai.
Ngarai dan Rangsa tiba-tiba terseret masuk pusaran tersebut dan menghilang dari radar dunia. Keadaan mendadak hening dan sepi. Tak ada bekas air barang setetes pun. Mereka berdua masuk ke dunia yang entah di mana.
***
Keadaan yang hening ini membuat tiga serangkai bertanya-tanya dalam pikiran mereka. Belum lama ini ada suara riuh akibat runtuhnya salah satu gedung pencakar langit. Namun, kini suasana berganti menjadi sunyi dan sepi.
"Apa yang terjadi?" tanya Nada.
"Tidak perlu mencari tahu, cukup diam saja di sini dan jangan ke mana-mana," balas Uchul. Pria itu merebahkan dirinya sambil menutup mata menggunakan lengan kanan.
"Mas Wira kok ada di sini?" tanya Melo.
Sosok Wira tak menjawab. Dalam hitungan detik, suara dengkuran terdengar nyaring membuat tiga orang ini saling memandang datar.
"Terus kita harus jagain orang tidur nih sekarang?" tanya Melo.
"Kayaknya untuk saat ini itu pilihan yang paling bijak deh," jawab Radhi. "Kita enggak tau apa yang terjadi sekarang. Enggak ada gunanya bergerak. Kita atur ulang rencana."
Melo tiba-tiba terjatuh, tetapi Radhi langsung menopangnya. "Kak, enggak apa-apa?" Pria itu menatap wajah Melodi yang pucat, tetapi cantik. Seketika itu wajah Radhi memerah. Melodi pun menatap Radhi dan berusaha menopang dirinya sendiri. "Enggak apa-apa kok."
"Istirahat dulu, Kak," balas Radhi. Pria itu membawa Melodi hingga ke dekat dinding. Melo langsung duduk dan bersandar sambil menutup matanya.
"Kamu istirahat dulu aja, Melo. Sini aku pangku." Nada langsung duduk di sebelah Melodi. Melodi pun merebahkan dirinya dengan menjadikan paha Nada sebagai bantalan.
Ada sedikit rasa kecewa yang menyempil di dada Radhi. Ia berharap bahwa yang menjadi bantalan untuk Melodi adalah dirinya, tetapi pria itu sadar bahwa ia bukan siapa-siapa. Radhi memutuskan untuk berjalan keluar bangunan tempat mereka bersembunyi untuk memantau keadaan di sekitar.
Satu hal yang Radhi baru sadari, di tempat ini hampir tak ada mayat hidup yang berkeliaran. Padahal untuk menuju tempat ini begitu banyak rintangan dari mayat hidup milik Rangsa.
"Aneh," gumam Radhi. Ia memutuskan untuk berjalan agak jauh untuk mencari informasi. Sejenak ia menoleh ke belakang, tempat persembunyian mereka, lalu kembali menoleh ke depan dan dalam sekejap Radhi menghilang menggunakan wujud braja.
***
Radhi berlari dengan cepat bagaikan petir. Sepanjang jalan ia sama sekali tak bisa menemukan keberadaan mayat hidup yang sebelumnya menyebar di Jakarta.
"Ini sangat aneh!" ucapnya bermonolog.
Langkah petir membawanya ke sebuah pemakaman tempat Vanila dan Midnight merencanakan semua bencana ini. Radhi merasakan suatu aura kuat yang memancar dari tempat ini.
Dari kejauhan Radhi melihat seorang pria yang sedang menggendong seorang pria di pundaknya. Mereka berdua terluka, tetapi pria yang berada di atas pundak rekannya itu terlihat lebih parah karena berlumuran darah.
Dari belakang mereka, terdengar suara rauman harimau. Pria yang berlari membawa rekannya tak menoleh, ia fokus menatap ke depan dengan langkahnya yang tidak cepat.
Radhi terbelalak ketika melihat manusia harimau mengejar mereka berdua. Makhluk itu lebih mengerikan dengan luka yang membusuk di seluruh tubuhnya. Dengan cepat ia segera melesat ke arah sana untuk menolong mereka.
Kehadiran Radhi membuat pria berhoodie yang sedang menggendong rekannya sejenak menoleh. Mereka berdua merupakan Kinan dan Seyan, anggota Katarsis yang sedang mencari informasi perihal bencana mayat hidup.
"Lari, bawa teman mu pergi dari sini," ucap Radhi.
"Sebaiknya kau juga lari. Mayat hidup yang satu ini berbeda. Makhluk itu adalah Erik Winata, Cindaku yang merupakan anggota Satu Darah," tutur Kinan.
"Tidak perlu megkhawatirkan ku. Sudah tugasku untuk mengembalikan mereka ke alam yang seharusnya," balas Radhi. Aura di sekitar Radhi berubah. "Pergi, kalian mengganggu."
Radhi melesat ke arah Erik dan langsung melayangkan tebasan ke leher makhluk itu, tetapi Erik memiliki refleks yang cepat dan dengan mudah menghindarinya, lalu menyerang Radhi dengan cakarnya. Namun, seperti petir. Radhi pun menghindari serangan Erik dan memutuskan lengan Erik dengan sabetan pedangnya.
"Untung kau sudah mati. Yang barusan itu cukup menyakitkan loh," gumam Radhi.
Erik mundur secara naluriah. Ia mempersiapkan kembali ancang-ancang untuk menyerang. Cindaku itu tampak geram dengan manusia di hadapannya. Ia mengaum sangat keras hingga membuat telinga Radhi bergetar.
"Kau pikir kau bisa menekanku hanya dengan suara? Jangan bermain-main dengan ku." Radhi menghentakkan kaki kirinya ke depan. "Harimau tidak akan pernah mengalahkan petir." Dalam sekejap, Radhi menghilang dari pandangan Erik dan juga Kinan. Kini pedang pria itu berlumuran darah. Satu tangannya menggenggam kepala harimau. "Braja Nagari." Secepat kilat, ia memenggal kepala Cindaku di hadapannya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top