158 : Darker Than Black

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Jakarta

Yama berdiri di hadapan Tarsah. Tak ada kata yang terlontar di antara mereka. Seluruh pasukan Tarsah berkumpul mengelilingi Yama dari sudut-sudut bangunan yang berdiri di sekitarnya.

"Jumlah mereka terlalu banyak, Tuan," ucap Smiley yang siaga di belakang Yama.

"Jumlah bukan masalah. Hanya saja, Tarsah terlalu kuat untuk kami hadapi," celetuk Kidy.

"Biarkan Tarsah dan setengah pasukannya menjadi bagianku," balas Yama. Maut berpakaian hitam itu menghentakkan tongkatnya ke tanah. "Gokarna."

Tanah bergetar akibat hentakkan tersebut. Dari pusat hentakkan itu muncul kegelapan yang menjalar hingga menyelimuti sebagian area yang mencangkup Tarsah dan sebagian pasukannya. Mereka semua tertelan oleh Asal Muasal milik Yama.

Para bawahan Yama dan anggota Overkill meneguk ludah menatap kotak hitam yang berdiri kokoh di depan mereka.

"Benda apa itu?" tanya Frinza.

"Asal Muasal. Sebuah tempat yang hanya bisa diciptakan oleh Maut berusia jutaan tahun," balas Smoky. 

***

Gokarna

Tarsah dan pasukannya berdiri di sebuah padang tandus. Ada sebuah pohon mati yang berdiri di tengah padang tersebut. Gagak-gagak menari di langit hitam, ada ribuan gagak di tempat ini. Mereka berputar mengelilingi pohon mati sambil bernyanyi dengan suaranya yang gusar membawakan lagu kematian.

"Apa kau lupa pertemuan terakhir kita, Tarsah?"

"Kala itu aku berhasil ditangkap oleh Siriz, tentunya melawanmu bukanlah keinginanku, Yama. Namun, kali ini berbeda. Kali ini aku berada di bawah Rangsa."

"Kenapa kau membantu manusia itu?" tanya Yama.

"Yama, apa kau pernah berpikir bahwa kita, Maut dikalahkan oleh manusia?" Tarsah bertanya balik.

"Kita adalah pencabut nyawa, makhluk yang bertugas mencabut nyawa setiap makhluk hidup. Apa kau berpikir bahwa ada manusia yang lebih kuat dari Maut, Tarsah?"

"Tidak," jawab Tarsah. "Sebelum mengenal Rangsa aku tidak percaya hal seperti itu, tetapi sekarang berbeda. Dengan adanya aku di sisi yang bersebrangan denganmu, ku rasa kau sudah dapat menerka apa yang akan terjadi. Kau pikir kenapa aku lebih memilih mengkhianati kalian? Jawabannya hanya ada satu. Rangsa terlalu kuat dan pandai. Ia tak pernah menunjukkan kekuatan aslinya di depan sembarangan orang."

"Aku pikir pembicaraan ini sudah cukup. Kau terbukti bersalah, Tarsah. Terimalah hukuman mu." Yama berjalan pelan ke arah Tarsah. Gagak-gagak di langit menukik dan menenggerogoti pasukan Tarsah yang tak mampu melawan, atau pun bertahan.

Kejadiannya begitu cepat. Kini hanya ada Tarsah dan Yama berdua di hamparan padang tandus ini. Seluruh gagak yang membawa daging-daging segar itu serempak terbang ke pohon mati dan bertengger di sana.

"Sepertinya gagak-gagak kecilmu tak bisa melukai ku," ucap Tarsah.

Mantan Komandan Maut itu berjongkok dan menempelkan telapak tangannya ke tanah Gokarna. "Kunjara Jiva."

Sebuah pilar raksasa muncul dan berdiri kokoh di sebrang pohon mati. Tarsah mengeluarkan Asal Muasalnya di dalam Gokarna. Ia menyeringai ke arah Yama. "Bunuh ...," gumam Tarsah lirih.

Dari dalam pilar muncul makhluk-makhluk mengerikan dan langsung menerjang ke arah Yama. Pilar itu merupakan penjara jiwa. Tarasah merupakan mantan Komandan Sipir yang menjaga bentuk asli penjara jiwa.

Di sisi lain, gagak-gagak Yama melesat ke arah Tarsah. Bentrok antar Asal Muasal pun terjadi. Yama menempelkan pangkal tongkat miliknya ke pohon mati. Arwah pohon mati merasuki tongkat Yama dan merubahnya menjadi sebuah pedang putih dengan pelindung yang terbuat dari kumpulan bulu gagak.

Tarsah terkekeh. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat Blorok."

Pedang Blorok, itulah nama senjata pemusnah masal milik Yama. Maut yang identik dengan hitam itu tanpa basa-basi langsung melesat ke arah Tarsah.

Beberapa makhluk dari penjara jiwa mendekati Yama. Namun, baru mendekat saja mereka langsung kering dan hancur menjadi abu.

Yama melesat dengan kecepatan tingga dan mengayunkan Blorok ke leher Tarsah. Namun, dengan cepat Tarsah menghindarinya, lalu mundur untuk menjaga jarak. Sayangnya Yama tak memberikan waktu untuk bersantai. Ia segera menyabet Tarsah kembali dengan pedang mengerikannya.

Tarsah melebarkan posisi kakinya dan menahan pedang Blorok menggunakan sebuah grimoire berwarna perak. Pilar di belakangnya tiba-tiba menghilang. Yama menatap sinis pada buku itu. Di sisi lain Tarsah menyeringai, ia tiba-tiba saja menggumamkan sebuah Mantra.

Yama tiba-tiba mundur dan menjaga jarak. Berbeda dengan buku penjara jiwa milik keluarga Sagara. Grimoire milik Tarsah mampu memenjarakan apa pun, termasuk Maut.

"Aku tak pernah menduga seorang Yama akan mundur dari ku," ucap Tarsah terkekeh.

"Kau tau, Tarsah ... dari semua Komandan yang pernah ku kenal, ku akui senjata mu itu merupakan salah satu yang paling berbahaya setelah pena suratma."

"Terimakasih pujiannya. Sejujurnya aku pun hanya mewaspadai dua Komandan di luar Suratma. Kau dan Tana," balas Tarsah. "Kalian merupakan tangan kanan dan tangan kiri Suratma merupakan Komandan terkuat yang cukup merepotkan. Tak ku sangka, dalam kurun waktu yang singkat, kita sering bertemu sebagai lawan, Yama."

Tarsah mulai berani melangkah maju. "Sayangnya, Penjara Jiwa yang sesungguhnya dibuat untuk menangkap siapa pun itu. Bahkan Komandan perang sekali pun," lanjut Tarsah. "Kali ini kau benar-benar tak memiliki kesempatan."

"Aku ragu dengan argumen tersebut," balas Yama. "Apa kau tahu apa fungsi asli Gokarna? Gagak-gagak? Pedang Blorok yang tersembunyi di pohon mati?"

Tarsah mengerutkan kening. "Memangnya apa lagi yang kau miliki?"

"Aku membuat Gokarna hanya untuk menyembunyikan wujud asliku." gumam Yama. "Dharmaraja ...."

Wujud pria berpakaian serba hitam itu tiba-tiba berubah. Perlahan tubuh Yama membesar. Ia memiliki bibir tipis membara, mata sedalam ruang hampa, dan rambut yang terbakar api. Sayap hitam membentang luas di punggungnya. Dua ekor anjing keluar dari tubuh Yama, masing-masing anjing itu memiliki empat mata.

Sekujur tubuh Tarsah merinding menatap wujud asli Yama. Ini bukan kali pertama Tarsah melihat wujud itu.

"Ini berbeda dengan waktu itu. Kali ini perintahnya bukan membawa mu hidup-hidup. Sudah tidak ada jaminan nyawa sekarang," ucap Yama menyeringai.

Tarsah terlihat gusar. "Omong kosong!" Ia membuka grimoire miliknya dan hendak menyegel Yama di dalam Kunjara Jiva. Namun, ia terbelalak ketika waktu di sekitarnya bergerak lambat. Perlahan ia merasakan perih dari bagian lehernya.

"Makhluk lemah berbau seperti makhluk lemah. Kau tidak memiliki aroma apa pun, Tarsah. Bahkan untuk disebut lemah saja kau tidak pantas. Kau tidak lain dan tidak bukan hanyalah makanan anjing-anjingku," bisik Yama yang tiba-tiba berada di sebelah Tarsah. Pedang Blorok bersimbah darah.

Ketika waktu berjalan normal kembali, kepala Tarsah jatuh ke tanah. Anjing-anjing Yama menyambar dan mencabik-cabik jasad Tarsah, menjadikannya makanan.

Wujudnya kembali normal. Yama mengenakan topi fedora dan juga jubah hitamnya kembali. Perlahan Gokarna luntur dan berubah menjadi Jakarta.

Yama menatap Kidy yang duduk di tumpukan jasad pasukan Tarsah. Melihat tuannya, Kidy bangkit dan membungkukkan tubuh, begitu juga dengan Smiley, Smoky, Sky, Tara, Frinza, dan juga Emil.

"Selamat datang kembali, Tuan Yama," ucap Kidy.

Yama menatap langit Jakarta. "Sisanya ku serahkan padamu, Jiwasakti."

***

Uchul dan Ngarai agak kewalahan menghadapi pergerakan Vanila dan Midnight.

"Apa kau sudah mulai menua, Ngarai?" tanya Uchul.

"Kau sendiri bagaimana? Sebaiknya ubah namamu menjadi Jiwa. Sakti mu sudah karatan," balas Ngarai.

"Sejujurnya, Rangsa berbeda dari yang ku kenal dahulu," lanjut Uchul. "Entah apa yang sudah ia lalui selama ini."

 "Aku pernah bilang, kelak sahabat mu itu akan menjadi bencana," tutur Ngarai.

"Tidak ada jalan lain kala itu. Jika bukan karena Rangsa, dunia sudah hancur ribuan tahun silam oleh Sebelas Rudra."

"Sudah selesai ngobrolnya?" ucap Rangsa yang tiba-tiba berada di belakang Uchul dan Ngarai. Ia melesatkan sebuah tinju ke arah Ngarai, tetapi Ngarai menahan serangan tersebut, lalu melempar Rangsa.

Di sisi lain Midnight melancarkan sabetan demi sabetan pada Uchul. Sabitnya cukup berbahaya, mengingat Uchul tinggal di dalam raga Wira. Dari empat manusia yang sedang bertempur ini, hanya Uchul yang masih bisa mati secara normal.

Kecepatan Midnight membuat Uchul kewalahan. Melawan Varsha sudah banyak membuang tenaganya. Tubuh Wira memiliki batasan.

Pada satu titik, Midnight menyeringai. Di sisi lain Uchul terbelalak. Ngarai tak mampu menolong Uchul yang tiba-tiba tersandung dan kehilangan pusat gravitasi.

"Sial!" pekik Uchul.

Midnight memutar sabitnya tepat di depan Uchul yang hilang kesimbangan. Ia mengayunkan sabit itu secara vertikal ke bawah mengincar kepala Wira. "Matilah!"

JREEENG!

Suara gitar dengan efek full distorsi memecah suasana. Kaca-kaca jendela di gedung yang berada tepat di sebelah mereka pecah akibat kerasnya suara tersebut. Sepersekian detik, perhatian Midnight teralihkan, ia melirik ke arah gedung yang menjadi pusat suara. Seorang gadis berhoodie putih berdiri di pinggir atap menarik perhatiannya. Gadis itu berdiri penuh keberanian membawa gitar listrik berwarna kuning.

Midnight sudah terlanjur bergerak hingga membuat kepala itu melayang, membuat alur pertempuran berubah. Sesosok pria berhoodie biru dengan celana hitam pendek menjambak rambut Midnight yang sudah terpisah dari kepalanya. Di tangan yang satunya, pria itu menggenggam sebuah pedang.

Midnight melirik ke arah pria itu. "Apa-apaan ini? Siapa orang ini?"

Gelembung permen karet keluar dari mulutnya, pria itu melempar kepala Midnight ke udara.

Sebuah anak panah melesat melubangi kepala Midnight. Anak panah itu melesat dari gedung yang sama dengan asal suara gitar.

"Matilah ... seharusnya itu kalimat kami." Gelebung di mulutnya pecah ketika ia milai berbicara.

Semua mata terbelalak menatap tubuh Midnight yang perlahan membusuk dan hancur menjadi abu.

Tepat di ujung anak panah itu, ada sebuah pena yang sangat ditakuti. Pena pembunuh keabadian.

Pria dengan pedang itu mengambil anak panah yang baru saja membunuh Midnight, lalu menghilang dari pandangan semua orang.

"Petir kuning ...," gumam Rangsa. Ia mampu menangkap pergerakan pria barusan. Hanya saja, suara gitar yang sempat menjadi pusat perhatian itu mampu menyita beberapa detiknya sehingga terlambat menyadari bahaya setelahnya.

Tiga orang berdiri di atap bangunan menatap ke arah Rangsa. Pria itu memberikan anak panah barusan kepada seorang gadis berhoodie hitam dengan busur di tangannya.

"Para pemburu keabadian telah tiba," ucap Nada menarik kembali anak panah di busurnya. Ia membidik tajam ke arah Rangsa. "Tidak ada kematian yang bisa lolos dari alur takdir. Waktunya pulang, para Belatung."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top