157 : The Colorless
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Kerja bagus semuanya. Sekarang istirahatlah." Seorang pria bertopi fedora hitam berdiri memegang tongkat berkepala gagak dengan kedua tangannya di depan perisai. Ia menatap Tarsah dengan sorot mata yang tajam.
"Tuan Yama!" pekik para anggota Karma.
Yama. Pemilik kafe Karma sekaligus salah satu Komandan 13 Lelembut memasuki medan perang.
"DENGAR!" Yama berteriak hinga suaranya menggema memenuhi sudut-sudut kota Jakarta. "Atas perintah Tuan Suratma. Kami, para Komandan 13 Lelembut diizinkan untuk membunuh para pemberontak! Bagi siapa saja yang ingin memberontak, persiapkan diri kalian. Sebab sebentar lagi kalian akan tahu, mengapa kami disebut sebagai kematian."
***
"Kekeke dengar itu? Kau masih ingin berkhianat?"
Sejujurnya jika harus melawan Varsha, Uchul tak yakin bisa menang. Apa lagi, ia masih harus menghadapi Midnight dan Rangsa. Jika harus membelah sukma dengan Wira, itu akan berdampak pada kualitas serangannya.
'Sial, ini bukan waktu yang tepat. Makhluk ini akan terlalu banyak menyita waktu dan tenaga,' ucap Uchul dalam alam bawah sadarnya.
'Ada rencana?' tanya Wira.
'Aku tidak ingin ambil resiko. Aku tarik kembali sukma mu.'
Uchul menarik Wira kembali. Ia menghela napas sambil menatap ke arah Varsha. Ketimbang Midnight, berhadapan dengan dewa kematian pastinya lebih mengerikan.
"Bantu Rangsa. Kita harus cepat membinasakan mereka berdua. Setelah ini, lawan kita akan semakin berat. Suratma sudah menurunkan mandat untuk membunuh para pemberontak," ucap Varsha pada Midnight. "Biar aku urus Jiwasakti."
"Kekeke, Ngarai. Sepertinya kau akan bersenang-senang dengan dua orang ini."
Midnight berjalan ke arah Ngarai. Rangsa juga sontak berdiri. Mereka berdua berjalan memutari Ngarai yang masih santai duduk di tanah.
"Kalian serius ingin melawanku?" tanya Ngarai.
"Sepertinya begitu. Aku berpikir, kau tidak akan terus menerus duduk santai seperti ini melihat akhir dunia," balas Rangsa.
Ngarai beranjak dari posisinya. "Baiklah. Ini pilihan kalian."
Di sisi lain, Uchul terkekeh. Kini ia menatap Varsha. "Jadi satu lawan satu ini sebenarnya apa? Rencana mu, atau memang urusan pribadi denganku?"
Varsha menjentikkan jarinya. "Nilawarna."
Langit Jakarta tiba-tiba runtuh berganti dengan padang angkasa. Uchul menatap pemandangan di sekitarnya. Kini ia berada di padang rumput yang luas dan kosong. Ia hanya berdua dengan Varsha ditemani hujan dan petir yang menjadi hidangan utama di tempat ini. Nilawarna berada di dimensi yang berbeda dengan dunia nyata.
"Jadi ini asal muasal mu? Seperti namamu, Varsha yang bermakna hujan kekeke."
Nilawarna merupakan sebuah tempat yang diciptakan oleh Varsha. Tempat ini selalu diisi oleh hujan yang tak pernah berhenti. Nilawarna selalu menyuguhkan instrumen gemuruh.
"Aku adalah maut yang akan mencabut nyawamu, Jiwasakti." Varsha mengangkat satu tangannya. "Hujan kosmik."
Padang angkasa yang menjadi tontonan indah kini menjelma musibah. Benda-benda angkasa dan cahaya kosmik bergerak mendekati bumi untuk menghujani Nilawarna
Uchul menyeringai. "Mencabut nyawa Bumantara saja tidak ada satu pun Dewan yang mampu. Sekarang berasumsi untuk mencabut nyawaku? Kekeke bercanda mu lebih parah daripada Vincent dan Desta!"
Kulit Wira perlahan memerah pekat dengan sisik-sisik yang menyelubungi kulitnya. Dua buah tanduk mencuat dari kepala bersamaan dengan dua sayap hitamnya. Tangan dan kakinya memiliki bulu yang lebat dan cakar yang tajam seperti hewan buas. Matanya menghitam dengan bola mata merah yang tajam menatap Varsha.
"Jadi ini wujud aslimu, Jiwasakti?"
"Akan ku tunjukkan bagaimana caranya membunuh Bumantara," balas Uchul.
Varsha mencabut topi fedoranya. Perlahan wujudnya pun berubah menjadi sosok yang mengerikan dengan sayap terbentang berwarna biru tua. Moncongnya memanjang menjadi sebuah paruh, tetapi penuh dengan taring. Sabitnya membesar dan membentuk sebuah jangkar. Embusan napasnya mengeluarkan asap dingin. Tiap langkahnya membekukan alasnya berpijak.
"Rupanya masa lalumu adalah Garuda, Varsha."
"Kau terlalu banyak bicara, Jiwasakti. Lihatlah ke angkasa, lalu bersiaplah mati."
Kerikil-kerikil angkasa bersiap meluluhlantakkan Jiwasakti.
'Gimana nih?' tanya Wira. 'Ujan meteor, cuy.'
'Santai saja. Ambil pop corn mu dan nikmati pertunjukannya kekeke.'
Jiwasakti melebarkan sayap hitam di pundaknya sambil merendahkan posisi tubuh. Seringainya tak pernah padam. Begitu hujan kosmik dari Nilawarna hampir melumatnya, ia terbang dengan kecepatan tinggi menghindari setiap yang melesat ke arahnya.
'Kau merawat tubuhmu dengan sangat baik, Bung. Aku bisa mengeluarkan 100% kekuatanku kekeke. Pantas saja gadis mu itu mantap. Kau pria sempurna. Hanya saja kurang tinggi.'
'Semakin tinggi seseorang, ia justru hanya akan menjadi samsak. Semakin luas area untuk menuangkan pukulan,' balas Wira.
Di tengah percakapan itu sebuah jangkar menghantam Uchul hingga terlempar jauh. Belum juga mendarat, sebuah batu angkasa menimpanya.
Namun, batu itu tiba-tiba retak dan hancur. Uchul menggenggam sebilah pedang yang sangat panjang. Ukurannya tidak normal seperti pedang pada umumnya, yang satu ini sangat panjang dan terlihat tak terawat.
"Buatlah dunia ini bersimbah darah, Angkara Murka." Uchul mencakar pedang itu dan menggesekkan kukunya pada ukiran bertuliskan Sansekerta 'Angkara Murka' pada badan pedang. Perlahan pedang itu menghitam utuh hingga gagangnya.
"Geni cemani." Atma api menyelimuti pedangnya dengan kobaran api hitam. Kini pusaka terkuatnya ia kerahkan untuk membunuh maut.
Varsha menatap pedang dengan aura kelam yang mengerikan itu. "Kau memang lebih cocok menjadi iblis."
Uchul menyeringai. "Anggaplah kau itu malaikat maut, lalu aku iblis maut."
"Iblis maut? Omong kosong apa itu?!" Varsha melesat cepat dan mengayunkan jangkar di tangannya.
Uchul mengambil kuda-kuda bertahan dan menahan jangkar besar itu dengan pedang kurusnya yang terlihat berantakan. Gelombang angin menggetarkan padang rumput yang luas ini. Tempatnya berpijak hancur karena menahan serangan dahsyat Varsha. Dari mulutnya darah segar menetes melalui pinggiran bibirnya. Tubuh Wira tak kuat menahan benturan itu.
"Kuat juga pedang rongsok mu itu. Serangan berikutnya akan menjadi akhir darimu, Jiwasakti. Aku akan membunuh raga barumu dan menghancurkan jiwamu."
'Goblok lu, ya?!' pekik Wira. 'Pake pedang begini nahan senjata begitu.'
Seringai di wajah Uchul perlahan pudar. "Minta maaf ...."
Baik Varsha dan Wira mengerutkan kening.
Pria yang selalu menyeringai itu memasang wajah gusarnya. Entah sudah berapa lama ia tak pernah memasang wajah semarah itu.
"Minta maaflah pada Angkara Murka ... kalian terlalu meremehkan senjata terbaikku," ucap Uchul.
Varsha semakin menekan Uchul dengan kekuatannya. Pada satu titik, ia mengangkat kembali jangkarnya, lalu mengayunkannya ke bawah dengan keras ke arah Uchul.
'Matilah kita!' pekik Wira.
Sebuah dentuman terdengar keras hingga menggetarkan Nilawarna. Debu-debu menutupi pertarungan antara Jiwasakti dan Varsha.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Varsha. Ia menggenggam sabit. Jangkarnya berubah kembali ke wujud sabit.
Di sisi lain, pedang milik Jiwasakti tak mengalami perubahan apa pun. "Cepat, minta maaf pada Angkara Murka ...," gumamnya lirih.
"Dasar gila."
"Cih!" Uchul melesatkan sabetan pedang secara vertikal. Namun, dengan sabitnya Varsha menangkis serangan Uchul.
Semakin senjata mereka berbenturan, pedang itu semakin kuat dan senjata lawannya semakin melemah. Angkara Murka seolah menyerap energi senjata lawannya.
'Apa yang sebenarnya terjadi?' tanya Wira.
'Kau juga. Minta maaflah pada Angkara Murka.'
'O-oke. Maaf karena sudah mengejek pedangmu tadi,' ucap Wira.
'Angkara Murka dapat melahap seluruh energi apa pun yang disentuhnya,' jelas Uchul. 'Semakin sering pedang ini beradu dengan senjata lawan. Akan semakin kuat pedang ini, dan di sisi lain akan melemahkan senjata musuh.
Uchul tak memberikan jeda pada Varsha. Ia terus menyerang dengan kecepatan tinggi hingga membuat maut itu kewalahan.
Perlahan tapi pasti, Uchul berhasil melukai Varsha dengan goresan-goresan dari Angkara Murka.
Namun, di tengah dominasinya. Sebuah batu angkasa menghantam Uchul hingga membuatnya terhempas dorongan benda angkasa tersebut.
Uchul menebas batu angkasa itu dengan Angkara Murka. Batu itu terbelah dan terbakar oleh api hitam yang menyelimuti pedang hitam tersebut.
Matanya terbelalak ketika sebuah pukulan menghantam perutnya setelah menghancurkan batu itu. Varsha langsung melesat dan memberikan pukulan telak hingga membuat Uchul terpental jatuh ke tanah.
Varsha menginjak Uchul yang terkapar di tanah. "Jangan berharap menang di tempat ini. Untuk bisa keluar dari sini, kau harus mengalahkanku, atau mengeluarkan asal muasal mu. Tentunya harus lebih kuat dari Nilawarna," tutur Varsha terkekeh. "Butuh ribuan tahun untuk menciptakan asal muasal."
Dari mulutnya, darah mengalir keluar. Uchul tak mengira bahwa ada campur tangan maut seperti Varsha dalam perang ini. Melawan Rangsa saja sudah merepotkan, ditambah Rangsa bersekutu dengan makhluk-makhluk yang kuat.
"Tubuh yang kau rasuki sudah mencapai batasnya. Bertahan selama ini di dalam Nilawarna adalah sebuah keajaiban. Kau sudah bekerja keras, Jiwasakti," tutur Varsha.
"Ah, sial ... aku kehilangan pedangku kekeke ...," ucap Uchul lirih.
Pedang Angkara Murka sudah tak lagi berada di tangan Uchul. Varsha memicing sambil menoleh ke sekitar. Namun, matanya terbelalak ketika sebuah pedang menancap dadanya dari belakang. Wira memisahkan diri dari Uchul dan mencari momentum untuk mengembalikan dominasi.
"Telan kesombonganmu sendiri, manusia burung," ucap Wira. Kobaran api hitam melahap Varsha.
"Mundur, Wira!" tutur Uchul.
Varsha membekukan api hitam itu beserta pedang Angkara Murka. Ia memutar tubuh dan berusaha menghajar Wira, tetapi Uchul melakukan pertukaran posisi sehingga wujud fisiknya lah yang terkena serangan. Jika roh Wira terkena serangan, itu akan lebih berdampak buruk pada mereka berdua. Uchul segera menarik Wira kembali ke tubuhnya.
"Nyaris saja kekeke." Uchul berusaha berdiri dengan kaki gemetar. "Bagaimana rasanya tertusuk pedang Angkara Murka?"
Memang ada sesuatu yang janggal. Varsha tak bisa meregenerasi luka yang ia terima dari pedang terkutuk milik Jiwasakti. Ia bahkan membiarkan pedang itu tertancap di dadanya dengan kondisi membeku. Jika pedang itu ditarik, kemungkinan besar ia bisa mengalami pendarahan serius.
"Kondisi kita sama-sama kurang bagus, tapi aku masih lebih diuntungkan." Varsha berjalan ke arah Uchul membawa sabitnya.
Ketika ia ingin menghabisi Jiwasakti beserta Wira, sebuah bisikan lirih menggetarkan tubuhnya.
"Temporal ...."
Langit-langit angkasa retak dan pecah begitu saja berganti tampilan semesta. Kini Varsha berada di sebuah ruang hampa. Hanya ada dirinya yang melayang di angkasa raya dan suara detik jam yang terus berjalan maju. Ia meneguk ludah sambil menatap sekeliling.
"Kapan kau dibebaskan?" tanya Varsha menatap semesta yang sedang mengurungnya.
"Bebaskan?" Suara itu bertanya sekaligus tertawa. "Sejak awal aku tidak pernah dikurung. Aku yang cinta kesendirian inilah yang meminta Suratma mengurungku. Jika aku ingin bebas, maka aku akan mendapatkan kebebasan."
Varsha menatap ke atas. Tatapannya berhenti pada satu titik. Ia menatap sosok yang sangat besar sedang menatapnya.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini, Tana?"
Maut bernama Tana tersenyum. "Suratma memerintahkan para Dewan untuk membunuh para pemberontak, bukan? Apa kau belum mendengar kabar itu?"
Varsha membuang rasa takut dan ragunya. Ia memasang kuda-kuda untuk menyerang. Sabitnya berubah menjadi jangkar kembali. Dengan sangat cepat ia melesat ke arah Tana.
"Akan ku bunuh kau! Maut tanpa warna, Tana!"
Begitu jangkar milik Varsha mengenai sosok Tana. Rupanya sosok itu hanyalah sebuah rasi bintang yang membentuk wujud fana. Seorang anak kecil berpakaian seperti para maut berjongkok di kepalanya. Hanya saja ia tak memiliki topi fedora.
"Seharusnya aku yang berucap seperti itu. Selamat tidur veteran. Senang mengenalmu selama beberapa ribu tahun ini." Tana mencabut pedang Angkara Murka dari dada Varsha. Darah mengucur deras diiringi kutukan yang menyebar di tubuhnya.
"Bukan aku yang membunuhmu." Tana tersenyum dan berjalan pergi meninggalkan Varsha yang mengambang di angkasa dengan wujud manusianya.
Jasad maut itu bertabrakan dengan sosok lainnya. Di tempat ini banyak sekali jasad yang melayang dengan pakaian khas maut dengan topi fedora mereka.
***
Seorang anak kecil berambut panjang duduk di samping Uchul yang sekarat. Ia menyanggul rambutnya dan meletakkan pedang Angkara Murka di sebelah pria yang sudah tak berdaya itu.
"Aku pikir siapa, rupanya bocah ajaib kekeke," tutur Uchul. Pandangannya mulai memudar.
Tana tersenyum sambil menyentuh raga Wira. "Ayo, kita main catur lagi lain waktu." Ucuhl merasakan sesuatu yang sangat aneh dan baru pertama kali ia rasakan, begitu juga dengan Wira.
Waktu berjalan mundur untuknya. Semua darahnya yang tumpah masuk kembali, begitu juga dengan luka-lukanya. Semua kembali pada kondisi di mana Uchul belum melawan Varsha.
"Lakukan tugasmu dengan benar. Biar urusan maut serahkan pada para Dewan." Tana berjalan pergi meninggalkan Uchul.
Dalam sekejap, Uchul kembali ke dunia nyata. Ngarai, Rangsa, dan Midnight menatapnya penuh kejutan.
"Di mana Varsha?" tanya Midnight.
Uchul menyeringai. "Dengan melihatku di sini, apa kau masih butuh jawabannya?"
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top