156 : Sebuah Perintah Perang

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Langit mendadak gelap diiringi gemuruh. Begitu mereka bertiga hendak kalah, dari atas langit dua orang mendarat dan menghancurkan rantai-rantai dari penjara jiwa. Langit hari ini gelap tertutup tubuh naga besukih. Gemuruhnya merupakan raungan sang naga.

"Wajah-wajah lama berkumpul di dunia baru." Rangsa terkekeh melihat kedatangan dua orang tersebut. "Sekarang raga siapa lagi yang kau rengut?"

"Siapa, ya? Rahasia." Seorang pemuda berhoodie hitam menyeringai pada Rangsa. "Reuni yang menarik, bukan? Kekeke."

"Kau sudah mahir tertawa rupanya, Jentaka," ucap Rangsa.

Uchul berhenti tertawa. Ia menatap Emil, Frinza, dan Tara. "Kalian urus Tarsah dan pasukannya saja. Dua makhluk ini biar kami yang urus." Mereka bertiga sadar akan batasan mereka. Ketiga arwah itu memutuskan untuk menghindari pertempuran antara Jiwasakti dan Rangsa.

"Lama tak berjumpa, Ngarai," sapa Rangsa. "Apa yang dijanjikan oleh Jiwasakti padamu? Sampai-sampai kau terjun ke perang ini."

"Tidak ada. Aku hanya ingin mengubur semua warisan masa lalu bersamaku. Termasuk kau, Rangsa," ucap Ngarai. Wajahnya masih terlihat ramah dengan senyumnya yang hangat.

"Maaf, bisa kau urus temanku dulu?" tanya Uchul. "Aku masih punya urusan dengan yang satu ini." Ia menatap ke arah Midnight. "Ada utang yang harus dibayar." Uchul berjalan ke arah pria bersabit itu. "Wajahmu agak aneh tanpa kacamata kekeke."

Midnight tersenyum tipis menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. "Ke mana sahabatmu itu? Apa sekarang kau sudah berani selingkuh, heh? Seharusnya ia memilih mati di tanganku daripada di tangan Rahwana. Aku cemburu."

Uchul mengepalkan tangannya. "Semua yang pernah menjadi bagian dari hidupku tidak akan pernah mati. Selamanya mereka ada di dalam sini." Uchul memukul dadanya. "Takdir Tomo adalah mati dalam perang Rahwana. Jangan pernah mengejeknya. Sebab tidak akan ada makhluk yang mampu melawan takdir."

"Kita mampu! Buktinya kita berempat masih berdiri di sini. Lihat kota ini. Dipenuhi oleh kebangkitan. Jangan buat aku tertawa! Tidak ada makhluk yang mampu melawan takdir? Omong kosong itu keluar dari mulut orang yang berdiri di garis depan melawannya!" Midnight melesat dengan cepat ke arah Wira.

Satu sabetan ia layangkan untuk merebut nyawa Wira dari Jiwasakti, tetapi sabitnya tiba-tiba mencium tanah, manakala Wira menendang serangan Midnight dan menginjak sabitnya.

Satu tendangan di bahu Midnight membuat pria itu melepaskan sabit miliknya. Uchul langsung menendang sabit itu hingga berdiri tegak. Ia meraihnya, lalu mutar-mutar sabit itu dengan lihai.

"Kembalikan ...," gumam Midnight lirih.

Uchul menyeringai. "Rebut kalau bisa," ledeknya.

Midnight langsung melesat ke arah Uchul. Di sisi lain Uchul dengan tubuh barunya langsung memainkan sabit itu dengan lihai. Ia memutar-mutar sabit tersebut dan menusuk ke depan secara cepat sebanyak tiga tusukan bagaikan sebuah tombak.

Lawan di hadapannya menggerakkan kepalanya untuk menghindari serangan itu, tetapi tiba-tiba Uchul menarik sabitnya dan memutarnya memutari tubuhnya, lalu melayangkannya secara horizontal mengincar leher Midnight.

Midnight refleks menjatuhkan diri ke belakang untuk menghindari serangan itu. Namun, lagi-lagi ia dibuat terkejut dengan kecepatan Uchul. Pria yang mengambil sabitnya itu langsung memutar arah mata sabit ke bawah, lalu lompat memutar tubuh dan melancarkan serangan secara vertikal dari atas ke bawah.

Mata sabit menancap di aspal jalan. Uchul menatap serius lawannya dengan ekspresi datar. "Sampai kapan mau menghindar? Dari dulu selalu saja begitu. Kau hanya mampu menargetkan orang-orang di sekitarku, tapi sama sekali tidak berani menyentuhku, Pilgrims of Rain."

Midnight menatap Wira dengan ekspresi yang tak kalah datar. "Seharusnya kau bisa menghabisi ku. Kenapa malah menghantam aspal? Kau meremehkan ku, Pilgrims of Eye?"

"Jawab pertanyaanku ... mengapa kau bersekutu dengan Rangsa?"

"Karena itu menarik. Rangsa adalah orang yang tak terkalahkan. Aku ingin melihat dunia seperti apa yang hendak ia buat. Mengapa aku bersekutu dengannya? Karena tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bahkan kita Seven Pilgrims pun tahu akan hal itu, bukan?"

"Satu pertanyaan terakhir ... kenapa dahulu kau membunuhnya? Apa Rangsa yang memerintahmu?" tanya Uchul. Tangannya menggenggam erat gagang sabit hitam milik Midnight.

Tiba-tiba seringai itu terpampang di wajah Midnight. "Karena itu menarik!" jawabnya. "Aku ingin menarik keluar kekuatan terbesarmu. Rangsa selalu menganggap kau adalah manusia terkuat yang ia kenal. Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri. Seberapa kuat pria bernama Jiwasakti itu?!"

"Kau memang sudah tidak bisa ditolong." Uchul menyeret sabit itu sambil berlari ke arah Midnight. Gesekannya dengan aspal membuat sabit itu panas. Uchul memanfaatkan atma inti Sakageni dan memperpanas sabit itu hingga terbakar. Ia mengalirkan badama dengan agni.

'Wira, bersiaplah! Kita akan melakukan pisah raga.'

Sebuah payung hitam melesat dari belakang mengincar punggung Uchul, tetapi tiba-tiba sabit hitam di tangannya terbang dan menghantam payung hitam tersebut.

"Trik murahan Kusumadewa," tutur Uchul. "Aku juga bisa."

Wira kini menjadi roh dan berhadapan dengan qorin Midnight. Sementara raga aslinya dikendalikan Uchul untuk menghabisi Midnight.

Uchul kembali melesat dengan tangan kosong. Midnight tiba-tiba mengeluarkan dua buah pistol kuno berwarna hitam. Ia isi pistol itu dengan atma hitam, lalu menembakannya ke arah Uchul secara cepat dan brutal.

Uchul tak gentar. Ia masih berlari tanpa mengurangi kecepatan. Kulit tangannya tiba-tiba saja robek dan ditumbuhi bulu-bulu hitam yang lebat. Ia melibas seluruh peluru atma hitam Midnight dengan kemampuan tersebut.

"Rawasura!" gumam Wira yang terkejut ketika tubuhnya berubah menjadi mirip Ettan.

Kakinya pun berubah menjadi kaki binatang buas untuk menambah kecepatan. Uchul melompat dan melakukan serangan dengan cakarnya. Midnight mundur, tetapi Uchul berhasil meraih lengannya, lalu menariknya ke depan. Midnight yang tertarik ke depan langsung disuguhkan dengan kuku-kuku runcing di depan wajahnya. Ia membuang pistolnya dan menangkap tangan Uchul sebagai upaya bertahan.

Uchul menyeringai. Ia mendekatkan kepalanya dan menggigit bahu Midnight. Jiwasakti juga memiliki kemampuan keluarga Ganapatih yang kebal racun. Ia pun dapat mengubah partikel atma menjadi racun yang keluar bersama liurnya.

Midnight menjambak rambut Wira, lalu memukulnya hingga terpental. Ia bangkit sambil memegangi bahunya. Bekas luka gigitan itu berdenyut dan perlahan menghitam. Perlahan tubuhnya mulai mati rasa hingga ia terpaksa berlutut di hadapan Wira.

Kini Uchul melebarkan kuda-kudanya dan memusatkan atma pada tinjunya. Posisi bahu kirinya berada di depan, sementara tangan terkuatnya mengumpulkan atma di samping pinggang.

"Agni."

Hawa panas mulai memeriahkan area yang teduh berkat naga besukih. Perlahan suhu semakin naik dan terasa membakar tenggorokan.

"Inti lebur saketi!" Uchul melesatkan seluruh atma api yang ia kumpulkan pada satu titik ke arah Midnight.

Sebuah ledakan besar terjadi dan membakar area di sekitar mereka. Qorin milik Midnight pun hilang, meninggalkan payung hitam miliknya yang tergeletak di tanah.

Wira meneguk ludah menatap raganya sendiri yang berdiri dengan gagah di tengah api. "Keren ...."

Namun, hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi dan memadamkan kobaran api di jalanan. Kepulan asap mulai bermunculan agak lebat. Dari kepulan asap itu, Midnight berjalan bersama seorang pria bertopi.

"Varsha ... apa kau yakin dengan tindakan mu?" tanya Uchul pada pria bertopi fedora biru yang baru saja melindungi Midnight.

"Kini Alam Suratma dilanda hujan badai. Banyak maut yang kecewa dengan putusan Suratma dengan memberikanmu izin untuk memperbaiki masalah ini. Beberapa Dewan melakukan pemberontakan. Aku rasa ikut dengan Tarsah adalah salah satu hal yang bagus. Era Suratma sudah berakhir. Itu semua berkat kerja kerasmu selama ini, Jiwasakti."

"Sejak awal sebagian besar Dewan tidak suka padaku, tapi aku tidak pernah menduga sejauh ini bahwa para Dewan akan mengkhianati Tuan mereka hanya karena masalah sepele begini," balas Uchul. "Jadi mengakulah. Sudah berapa lama kau merencanakan ini semua?"

Varsha tersenyum. "Kau tidak perlu tahu."

"Yah, aku juga tidak mau tau sih kekeke. Hanya basa-basi orang Indonesia seperti 'kapan nikah?' Tidak butuh jawaban. Hanya sekadar basa-basi saja. Jangan terlalu diambil hati kalau memang itu rahasia. Aku tidak mau tau meskipun kau memaksa."

Ekspresi Vasha berubah. Ia terlihat gusar. "Aku sudah merencanakan hal ini sejak lama sekali. Bahkan sebelum Seven Pilgrims terbentuk."

"Pfttt ...." Wira menahan tawa.

Varsha memicing menatap arwah itu. Ia baru menyadari sesuatu. Kini dirinya tampak seperti orang bodoh yang termakan hasutan Uchul. Hanya dipancing seperti itu, ia langsung memberikan jawaban yang diharapkan oleh lawan bicaranya.

"Kekeke terimakasih infonya."

"Kau tidak pernah berubah!" Varsha mengarahkan tangannya ke arah sabit di tangan Wira. Sabit itu tiba-tiba lepas dari tangan Wira dan melesat ke tangan Varsha. Warna hitamnya luntur berganti biru tua. Ia menghentakkan pangkal sabitnya hingga membuat api yang membakar sabitnya rontok seperti ketombe. Makanya pake head and shoulder. Dijamin ketombe hilang dalam sekejap!

*Tolong ya, kalo admin head and shoulder baca. Bisa loh aku jadi GA shampoo kalian. DM aja.

"Mumpung kau ada di sini. Sebaiknya ku akhiri saja riwayatmu!" Varsha melesat cepat ke arah Uchul.

Uchul mengambil kuda-kuda bertahan. "Kekeke menarik. Majulah, tuan dewa kematian."

***

Di sisi lain Ngarai tidak bergerak sedikit pun. Ia malahan duduk santai tak jauh di depan Rangsa.

"Apa yang kau pikirkan, Ngarai?" tanya Rangsa.

"Biarkan dia yang menghabisimu setelah menghabisi orang dan maut di sana. Aku hanya menemaninya saja."

"Aku tidak ingin berurusan denganmu. Pergilah, aku tidak akan mengganggu Telaga Naga."

Ngarai menggeleng. "Temanmu yang di sana itu memang licik, tapi ia selalu menpati janjinya perihal negoisasi. Kau sebaliknya, kau pengkhianat. Mana bisa aku percaya begitu saja kalau kau tidak akan mengganggu Telaga Naga? Bahkan kau saja ingin meluluhlantakkan dunia dan Alam Suratma."

"Baiklah, tapi ku sarankan kau duduk saja di situ." Rangsa menatap ke arah Uchul dan berjalan ke arahnya secara perlahan.

Ngarai bangkit dari duduknya dan berdiri menutupi pandangan Rangsa. "Jika kau ingin menghajarnya sekarang, aku akan bermain-main denganmu sebentar. Bersabarlah, habis ini baru giliranmu."

Rangsa menghela napas. Ia duduk dan menatap pertempuran antara Jiwasakti dan Wira melawan Midnight dan Varsha.

"Baiklah, aku akan bersabar," tutur Rangsa.

"Nah, begitu dong." Ngarai tersenyum dan duduk berhadapan dengan Rangsa.

***

Di sisi lain para anggota Karma terpojok melawan Tarsah dan pasukannya. Meskipun bala bantuan dari Overkill datang, tetapi itu tak merubah keadaan. Emil sudah babak belur, sementara Frinza dan Tara tampak kelelahan. Mereka semua berkumpul pada satu titik dan saling menjaga punggung.

"Sudah selesai?" tanya Tarsah menatap Kidy dengan pandangan merendahkan.

Kidy tertawa. "Apa dibutuhkan pasukan sebanyak ini untuk menumbangkan tujuh arwah bebas?"

Sebenarnya melawan para pasukan Tarsah bukanlah hal yang sulit, tetapi selama Rajanya masih bergerak bebas. Para awah bebas ini agak kesulitan. Biar bagaimana pun, Tarsah merupakan mantan Komandan perang. Kekuatannya tidak diragukan lagi. Hanya setingkat Dewan maut yang mampu menghentikannya.

"Sepertinya sudah cukup main-mainnya. Rangsa butuh bantuan. Aku akan mengakhiri kalian di sini." Tarsah mengangkat sabitnya tinggi-tinggi. "Persembahkan nyawa kedua kalian pada sabitku!" Sabit perak itu menghisap atma di sekitarnya hingga membuatnya semakin membesar. "Pembunuh takdir." Tarsah melesatkan serangannya ke arah mereka semua.

"Oi, oi, oi! Kita malah dikirim ke sini untuk mati?!" ucap Emil.

"Cih! Sial!" Tara tak mampu melakukan apa-apa dengan serangan sekuat itu.

Frinza tak banyak berkomentar. Ia fokus memperkokoh perisai atmanya sekuat mungkin. 'Apa perisai ini mampu menahan serangan Tarsah?'

Smoky membuang rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya. "Senang bekerja bersama kalian selama beberapa ratus tahun ini."

"Kau terlalu berlebihan, Smoky," ucap Smiley. "Hey, Kidy. Lakukan sesuatu."

"Apa kau bodoh? Aku sudah hampir kehabisan tenaga," balas Kidy. Bocah itu duduk dan berpasrah diri.

Sky tertawa sambil menitihkan air mata. "Tukang karma yang kena karma. Duh, mau heran tapi ini Mantra."

Serangan Tarsah berbenturan dengan perisai atma milik Frinza. Mereka hanya bisa berharap pada perisai itu.

Tarsah terbelalak. Serangannya dapat digagalkan dan lenyap begitu saja. Perisai atma Frinza masih kokoh melindungi mereka semua. Martawangsa itu terkekeh melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya.

"Aku terlalu sesumbar jika perisai ini mampu melindungi kami semua," ucapnya sambil tertawa.

"Kerja bagus semuanya. Sekarang istirahatlah." Seorang pria bertopi fedora hitam berdiri memegang tongkat berkepala gagak dengan kedua tangannya di depan perisai. Ia menatap Tarsah dengan sorot mata yang tajam.

"Tuan Yama!" pekik para anggota Karma.

Yama. Pemilik kafe Karma sekaligus salah satu Komandan 13 Lelembut memasuki medan perang.

"DENGAR!" Yama berteriak hinga suaranya menggema memenuhi sudut-sudut kota Jakarta. "Atas perintah Tuan Suratma. Kami, para Komandan 13 Lelembut diizinkan untuk membunuh para pemberontak! Bagi siapa saja yang ingin memberontak, persiapkan diri kalian. Sebab sebentar lagi kalian akan tahu, mengapa kami disebut sebagai kematian."

.

.

.

TBC








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top