155 : Reuni Masa Lalu
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Emil menghela napas. "Berarti aku sisanya? Jangan sisakan aku macam begini, seperti aku adalah yang paling lemah di antara kalian. Aku juga punya hak untuk memilih tau."
Rangsa berjalan menyeret pedang merahnya. "Atau kau bisa langsung bertarung melawan Rajanya?"
"Itu artinya kau memilihku, kan? Itu sama saja aku tidak punya kesempatan memilih." Emil menyeringai sambil menunjuk Rangsa. "Baiklah. Aku terima tantangan mu, bajingan."
Rangsa menyeringai. "Pastikan bertahan agak lama ya, jangan terlalu cepat mati. Ingat, ini adalah kematian keduamu. Setelah ini kau akan menjadi partikel atma."
Emil agak mundur ketika Rangsa berlari ke arahnya. Kali ini agak berbeda, Rangsa terasa sangat mengerikan. Setiap langkahnya memberikan tekanan tersendiri.
"Brujeria ...," gumam Rangsa lirih. Atma miliknya meluas hingga membuat zona yang menyelimuti medan tempur.
'Zona atma apa ini? Luas sekali cangkupannya.' Batin Emil.
Rangsa melesatkan tebasan dari arah Kiri. Emil bergeser ke kanan untuk menghindar, tetapi dari sebelah kanan sebuah tebasan melukai pundaknya.
Tara dan Frinza yang diam-diam memantau pertarungan itu mendadak heran. Jelas-jelas Emil berhasil menghindarinya. Ada yang tidak beres di sini.
"Kemampuan ini adalah kemampuan milik Rama Sanjaya. Ia bisa memperluas atma dan megobrak-abrik alam bawah sadar orang yang masuk ke dalam lingkup tersebut. Sayangnya aku tidak memiliki Lullaby. Seandainya aku memilikinya, kalian pasti tidak akan sadar jika sudah mati saat ini," ucap Rangsa. "Kalian akan tidur selamanya."
Memang, Rangsa tak sebegitu mengerikan Rama. Namun, dengan adanya brujeria sudah cukup untuk mengecoh indera lawannya. Emil yang memiliki indera paling tajam pun tak bisa berkutik. Rangsa mampu memanipulasi realita dan ilusi.
"Tidak bisa mati, membalikkan serangan, mengecoh alam bawah sadar ... setelah ini apa lagi?" tanya Emil yang tampak menahan sakit. Entah sejauh mana kekuatan Rangsa, tidak ada yang tahu.
Frinza menganalisa keadaan saat ini. Baskara tak banyak bergerak, satu komandan mayat milik Rangsa pun belum melakukan pergerakan yang berarti. Tara disibukkan dengan Midnight. Emil sudah dibuat babak belur oleh Rangsa. Mereka dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
"Aku berubah pikiran," ucap Frinza. "Mau bertukar lawan denganku?"
Emil tak menjawab. Wajahnya tertunduk menatap tanah. "Kalian semua terlalu meremehkan ku ... apa aku terlihat butuh bantuan?" ucap Emil lirih. Ia mengepal tangannya dan kembali menatap tajam ke arah Rangsa sambil berjalan penuh amarah. "Aku yakin, Bayu menonton dari atas sana. Jangan buat aku terlihat seperti orang lemah!" Ia berlari ke arah Rangsa.
Rangsa terkekeh melihat keras kepala dan semangat Emil. Ia melesat ke arah Emil menyeret pedang merahnya. Dengan sekuat tenaga ia ayunkan pedang di tangannya penuh niat membunuh, tetapi Emil malah menghampiri pedang itu. Dengan cepat ia memutar arah dan menerjang ke arah sebaliknya. Rangsa terbelalak ketika kuku-kuku tajam Emil melubangi perutnya.
"Alam bawah sadar?" tutur Emil. "Benda apa itu? Aku tidak pernah ingat memiliki hal remeh seperti itu!" Dengan ganas ia mencabit-cabik Rangsa.
***
Melihat Emil yang sedang mendominasi, Frinza tersenyum tipis. Ia kembali menatap Baskara dan berjalan santai ke arahnya. Frinza menyentuh perisai atma milik Baskara. Perisai itu begitu kuat dan kokoh.
"Memadatkan atma hingga keras seperti ini. Keluarga Gardamewa memang beda." Frinza menarik tangannya, lalu melesatkan pukulan lurus ke depan menghantam perisai itu. "Seandainya kau masih hidup, entah akan bereaksi seperti apa. Serangan mu tidak akan bisa menembus perisai kokohku ini hohoho." Frinza membuat suaranya menjadi agak berat saat menirukan suara Baskara.
Seringainya perlahan menjadi kekehan ketika melihat wajah datar dan dingin Baskara. "Yah, kita lihat aja." Frinza kembali memukul. Perisai itu bergetar ketika menahan serangan Frinza untuk yang kedua kalinya. "Masih belum!" Frinza memukul pada titik yang sama secara berulang-ulang. Semakin lama, semakin keras pukulannya.
Sebuah retakan muncul di perisai atma Baskara. Frinza melangkah mundur dengan cepat dan langsung mengambil ancang-ancang memukul lebih keras.
"Brajamusti!" Ia melesatkan pukulan terkual milik keluarga Lohia.
Perisai itu hancur berkeping-keping. Frinza menarik kembali tangannya dan meregangkan jari-jarinya. Ia melakukan gerakan mencabik-cabik dengan kedua tangannya.
Tangan, kaki, badan, dan kepala Baskara kini terpisah dan bergeletakan di tanah. Frinza meniru teknik atma milik Widyatama di eranya. Sebuah teknik benang atma dari perang Rahwana.
Namun, tiba-tiba dari dua arah, sebuah mobil melayang cepat ke arahnya. Satu mayat yang mampu melakukan telekinetik yang menjadi penyebabnya. Begitu Baskara tumbang, yang selanjutnya mengisi kekosongan itu.
Hanya saja, perisai kokoh tak kasat mata melindungi Frinza. Ia menyeringai sambil menatap ke arah mayat itu. "Teknik berhasil dicuri," tutur Frinza. Ia baru saja menggunakan perisai atma milik Baskara.
Sebenarnya bukan mencuri. Frinza mampu meniru teknik atma lawan-lawannya. Ia berpendapat bahwa Yudistira adalah manusia. Jika Yudistira mampu mengusai beberapa teknik keluarga, maka bukan sebuah kemustahilan jika ia pun mampu melakukan hal yang sama.
"Gimana sih caranya?" Frinza sedang mencoba sesuatu. Ia melakukan pose memukul ke arah lawannya.
Sekumpulan atma membentuk tangan dan meninju lawannya hingga tersungkur di tanah. Frinza terkekeh karena sukses melancarkan serangan jarak jauh milik keluarga Gardamewa. Almarhum Martawangsa itu sangat mahir mengendalikan atma.
"Who's next?" ucap Frinza.
***
Tara dan Midnight memainkan pertarungan bertempo tinggi. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Berlari dan saling menerkam.
Mantan Ashura itu menguatkan jari-jarinya hingga kuku-kukunya meruncing. Seringainya mewarnai kengeriannya. Ia melesat dan berusaha menancapkan luka pada lawannya. Midnight pun tak mau kalah. Ia berusaha menghindar dan mencari celah untuk menyerang.
Jarak serang antara Tara dan Midnight cukup jauh, mengingat Midnight memiliki sebuah sabit. Namun, kecepatan mereka juga lumayan jauh. Tara unggul dikecepatan, sementara Midnight unggul dalam jarak serang.
Pemuda Wijayakusuma itu tak memberikan celah dan kebebasan dalam pergerakan Midnight. Ia melancarkan serangan bertubi-tubi untuk menyempitkan ruang gerak lawannya.
"Sepertinya mereka berguna," ucap Midnight. Ia tampak kewalahan mengikuti pergerakan Tara.
Tara memicingkan matanya. "Berguna?"
Tatapan Midnight tertuju pada sosok Rangsa yang sedang dicabik-cabik oleh Emil tanpa ampun. Begitu mendengar ucapan Midnight, Rangsa langsung menangkap tangan Emil dan menghempaskan manusia harimau itu dengan gelombang kejut dari telapak tangannya.
Rangsa mengeluarkan sebuah buku hitam. Buku itu memiliki aura negatif yang sangat pekat. Ia menyentuh luka yang dibuat oleh Emil, lalu menumpahkan darahnya sendiri pada lembaran kosong di buku itu.
Emil, Frinza, dan Tara sontak terkejut. Mereka hendak pergi, tetapi buku itu mengeluarkan rantai dan mengikat mereka bertiga.
"Sial! Orang ini punya penjara jiwa!" pekik Frinza.
"Oi, oi, oi, bagaimana ini?!" Emil berusaha melepaskan rantai itu dari tangannya.
Tara belum tertangkap, hanya saja Midnight membuat pergerakannya terganggu dan pada akhirnya rantai itu berhasil mengejar dan mengikat kakinya. "Cih!"
Perlahan rantai itu menarik mereka bertiga. Rangsa ingin mengambil tiga arwah itu untuk memperkuat pasukannya.
Emil, Frinza, dan Tara berusaha sekuat tenaga untuk melawan, tetapi daya tarik buku itu lebih kuat. Perlahan mereka terseret semakin dekat.
Emil merubah dirinya menjadi harimau utuh dan berusaha melawan, tetapi rasanya percuma. Rantai-rantai itu menyerap energi roh sehingga sudah pasti akan memperlemah arwah yang hendak ditangkap.
"Habislah kita!" ucap Frinza.
Langit mendadak gelap diiringi gemuruh. Begitu mereka bertiga hendak kalah, dari atas langit dua orang mendarat dan menghancurkan rantai-rantai dari penjara jiwa. Langit hari ini gelap tertutup tubuh naga besukih. Gemuruhnya merupakan raungan sang naga.
"Wajah-wajah lama berkumpul di dunia baru." Rangsa terkekeh melihat kedatangan dua orang tersebut. "Sekarang raga siapa lagi yang kau rengut?"
"Siapa, ya? Rahasia." Seorang pemuda berhoodie hitam menyeringai pada Rangsa. "Reuni yang menarik, bukan? Kekeke."
"Kau sudah mahir tertawa rupanya, Jentaka," ucap Rangsa.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top