154 : Pertempuran di Ibu Kota

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Malaikat maut merupakan makhluk yang bertugas untuk mencabut nyawa dan mengantar arwah ke Alam Suratma. Di antara para maut ini ada sebuah sistem yang bernama 13 Lelembut, atau 13 kematian. Mereka adalah maut terkuat dan mewakili para maut sebagai Dewan di bawah komando Tuan Suratma yang mengatur undang-undang kematian.

Tarsah merupakan mantan Dewan di 13 Lelembut. Ia menjadi komandan perang dan memiliki banyak pasukan. Kini, maut bernama Tarsah itu merupakan buronan Alam Suratma. Ia berkomplot dengan manusia dan menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. Tarsah dan pasukannya membantu rencana Rangsa untuk membawa Sanghara ke bumi dan lanjut melululantakkan Alam Suratma setelahnya. Kemudian mengobrak-abrik surga dan membuka gerbang neraka.

Lanjut ke dalam cerita. Rangsa berjalan berkeliling kota Jakarta yang mati. Ia menarik napas, lalu menahannya. "Nah, begini. Tidak ada polusi udara. Memang manusia itu harus diberantas sedari dulu."

"Kau tidak lupa dengan janjimu, kan?" tanya Tarsah yang berjalan di belakang Rangsa. Makhluk itu muncul begitu saja.

"Pertama Jakarta, lalu Pulau Jawa, kemudian Indonesia, terakhir dunia. Setelah itu baru kita melakukan ekspansi besar-besaran ke Alam Suratma. Selama kita di sini, para Dewan tidak akan bisa bergerak, bukan? Kita gunakan kesempatan ini untuk mencari pasukan dan kekuatan tempur," balas Rangsa.

"Menghancurkan Alam Suratma?"

Suara anak kecil membuat Rangsa dan Tarsah menoleh ke arah salah satu bangunan kosong di kiri mereka. Seorang anak kecil tersenyum menatap mereka berdua dari salah satu jendela lantai tiga, lalu ia melompat turun ke jalan sambil menenteng empat kepala, menciptakan seni dari tinta darah di aspal Jakarta.

"Siapa bocah tengik ini?" tanya Rangsa.

"Kidy," jawab Tarsah. "Salah satu anjing peliharan Yama."

"Kasar sekali ucapanmu itu anjing liar yang dibuang dari rumahnya," balas Kidy. Ia melepaskan aura membunuh yang sangat pekat dan terkesan haus darah.

"Karena Dewan tidak punya kuasa untuk mengurus belatung, mereka mengirimkan arwah bebas?" ucap Rangsa terkekeh. "Apa mereka kehabisan akal?"

Sosok Kidy menghilang dari pandangan Rangsa dan Tarsah. Bocah itu memiliki kecepatan yang mengerikan.

"Kau yang kehabisan akal, bodoh."

Tarsah dan Rangsa terbelalak, sosok anak kecil itu sudah berada di tengah-tengah mereka dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Kidy memutar tubuhnya serta melebarkan kedua kakinya, menendang kepala Rangsa dan Tarsah. Kidy membuat jarak di antara dua makhluk itu.

Dari arah depan, seekor harimau berlari dan menggigit leher Rangsa. Ia membawa Rangsa dengan menyeretnya.

Tarsah bangkit dan tiba-tiba saja memegang sabit berwarna perak. Ia hendak mengejar Rangsa, tetapi pandangannya tertutup asap kabut yang begitu tebal hingga kehilangan Rangsa. Dari atas gedung, Smoky sedang duduk dan membuang asap rokok dari mulutnya. Kepulan kabut ini merupakan asap rokoknya.

"Hmm ... kali ini aroma bunga kantil, ya?" Smoky menarik hisapan rokoknya, kemudian membuangnya kembali. Kabut semakin tebal menyelimuti area Jakarta Pusat beriringan dengan pekatnya roma kantil.

Tarsah tak bisa melihat apa pun. Kabut ini benar-benar mengganggu. Ia terdiam dan mengamati situasi sekelilingnya. "Kalian sengaja memisahkan kami?"

"Sebenarnya aku ingin menghajar kalian berdua, tapi di sini kami tidak sendiri. Jadi kami berbagi buruan," balas Kidy, entah dari arah mana.

Sebuah benda melesat ke arah Tarsah. Mantan Komandan maut itu dengan cepat menangkis sebilah pisau yang melesat ke arahnya, tetapi dari belakang lehernya di tendang oleh Kidy.

Kepulan asap memudar, terlihat wajah licik penuh senyuman dari arah pisau yang terlempar.

"Dasar rubah licik!" umpat Tarsah.

Kidy dan Smiley bergerak kembali seiring kabut yang kembali menebal. Smoky mengatur tempo tebal-tipisnya kabut ini. Sementara Kidy dan Smiley membaur dengan kabut milik Smoky dan memberikan serangan-serangan kejutan.

"Arwah-arwah rendahan." Tarsah memutar-mutar sabitnya. "Kalian bermain dengan lawan yang salah." Begitu ia hentakkan sabitnya di tanah, kabut-kabut itu menghilang. "Kalian pikir bisa membodohiku dengan kabut begitu?"

Senyum Smiley langsung menyambutnya. "Tidak, ini hanya pengalihan isu."

Tarsah memicing, ia tak menemukan keberadaan Kidy. 'Ke mana bocah itu?'

Samar-samar Tarsah mencium aroma anyir, tetapi tidak ada satu pun mayat di sini. Begitu ia menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba sebuah rantai membelenggunya. Seorang wanita sedang berjongkok menggenggam rantai-tantai yang membelenggu Tarsah. "KURANG AJAR!"

Para anggota Karma sengaja memperlambat Tarsah. Smoky menutup pandangan Tarsah dengan kabut, Smiley membuat Tarsah berpikir bahwa si rubah licik dan Kidy akan menyerangnya dari balik kabut, tetapi semua itu hanyalah umpan. Begitu kabut kembali menebal, Kidy berlari dengan wujud brajanya membentuk seal sigil of angel of death dengan darah empat kepala yang ia bawa. Begitu Tarsah menyadari motifnya, Sky muncul dan membelenggunya dengan rantai-rantai dari Alam Suratma.

Tarsah berusaha melepaskan diri, tetapi dari arah depan Kidy sudah bersiap untuk melesat ke arahnya.

"It's show time," gumam Kidy menyeringai. Perlahan seringainya luntur dan menyisakan ekspresi datar. Kidy berlari ke arah Tarsah, tetapi begitu hampir mengenainya, bocah itu berbelok dan berlari mengitari Tarsah. Hingga pada satu titik ia muncul tepat di hadapan Tarsah dan langsung memutar tubuhnya, lalu memusatkan atma pada kaki terkuatnya. "Brajagiri."

Tarsah terbelalak dan memuntahkan darah dari mulutnya. Serangan Kidy berdampak besar dan menyambar ke seluruh bagian tubuhnya.

"Sekarang bagaimana?" tanya Smoky. Pria berewok itu berjalan ke arah Kidy yang sedang duduk di atas tubuh Tarsah. "Kita tunggu Jiwasakti?"

"Tidak, itu terlalu lama. Kita bawa dia sekarang. Segel ini tak bisa menahannya terlalu lama."

"Sepertinya ini tidak akan mudah," balas Smiley. Ia tersenyum menatap belasan bala tentara Tarsah yang berkumpul mengelilingi mereka. "Kita punya banyak tamu."

***

Di sisi lain Rangsa menendang harimau yang membawanya, mereka berdua terpental karena kecepatan tinggi.

Harimau itu berdiri seperti manusia sambil menatap tajam ke arah Rangsa. Dari belakang manusia harimau itu muncul dua sosok arwah.

"Cindaku ...," gumam Rangsa. "Apa kalian juga kacung-kacung Yama?"

"Kacung?" ucap seorang pria berambut agak gondrong, ia mengenakan anting berwarna hitam di telinga kirinya.

"Oi, oi, orang ini punya mulut yang cukup kotor rupanya," timpal si manusia harimau.

"Ayolah, aku merasa lelah. Cepat kita selesaikan, lalu pergi dari sini. Aku tidak suka aroma di kota ini," tutur seorang pria yang tampak kelelahan. Ekspresinya menyiratkan kemalasan.

Rangsa mengeluarkan sebuah gagang pedang dari kantong celananya. Ketika ia memegang gagang itu, tiba-tiba gagang itu mengeluarkan darah dan membentuk sebilah pedang berwarna merah.

"Aku tidak tau kalian ini bawahan siapa, tapi aku juga sepakat. Kita selesaikan ini secepatnya. Aku juga lelah," ucap Rangsa.

"Bawahan?" Manusia harimau itu langsung menerjang ke arah Rangsa.

"Emil! Jangan gegabah!" teriak Tara.

Sementara Frinza terkekeh. "Biarin aja, seenggaknya bukan kita tumbal pertamanya!" Ia berlari di belakang tubuh Emil memanfaatkan titik buta Rangsa. Begitu Emil menyerang, Frinza berbelok dan menyerang dari arah lain.

Rangsa berhasil menahan serangan Emil, tetapi tidak dengan Frinza. Wajahnya terpukul kepalan tinju dari Martawangsa itu. Namun, Rangsa tangguh. Sebelum jatuh, ia memutar tubuhnya, lalu melayangkan sabetan pedang ke arah Emil dan Frinza. Sebelum pedang itu memenggal kepala mereka berdua, tiba-tiba Tara datang. Ia menghentikan gerakan lengan Rangsa dengan kakinya. Emil langsung menyambar dan menggigit leher Rangsa, ia juga mencakar tubuh lawannya secara brutal.

Pada satu titik, Emil terbelalak ketika dadanya berdarah akibat menyerang Rangsa. Rangsa terlihat santai, dan tiba-tiba tertawa.

"Berhenti menyerang!" ucap Tara. Ia menyadari sesuatu. "Mulai dari sini, kita harus lebih berhati-hati."

"Apa yang kau lakukan?" tanya Emil sambil menggeram. Sebuah bekas cakaran membekas di dadanya.

"Pangilon," jawab Rangsa. "Itu adalah kemampuan salah satu anggota Satu Darah. Pangilon bermakna cermin. Kemampuan ini bisa memantulkan serangan apa pun pada penyerangnya."

"Ini jadi merepotkan," ucap Emil.

Baru saja merasa kerepotan dan belum menemukan solusi, tiba-tiba sebuah sabit hitam melayang ke arah Tara. Beruntung Tara memiliki refleks yang cepat dan dengan mudah menghindarinya, tetapi sesosok manusia bermantel hitam muncul dan menghajar Tara hingga terpental ke dinding pinggir trotoar. Sorot matanya yang lemas bertatapan dengan sorot mata Tara.

"Kau datang tepat waktu, Midnight," ucap Rangsa.

Midnight mengambil sabitnya dan menunjuk ke arah Tara. "Aku ambil yang ini." Ia melesat cepat ke arah targetnya.

Di satu sisi Tara menyeringai, tampang malasnya kini menjelma liar. Aura membunuhnya begitu besar dan membuat Midnight memperlambat langkahnya. Tidak. Bukan Midnight yang memperlambat langkahnya, hanya saja waktu seolah melambat untuk Midnight.

"Benar apa katanya, kau datang di waktu yang tepat ...," bisik Tara lirih di telinga Midnight. Sontak membuat belatung itu merinding.

Midnight terbelalak dan memutar sabitnya ke arah Tara berada, tetapi Tara melompat dan berjongkok di sabit hitam itu sambil terkekeh. "Jangan ada yang ganggu ...," gumam Tara pada Emil dan Frinza.

Dua orang rekannya meneguk ludah. Mereka enggan mengganggu psikopat yang sedang bersenang-senang.

"Tenang saja, kalian juga akan dapat jatah," ucap Rangsa. Dari belakang, dua mayat hidup terkuatnya datang.

"Baskara Gardamewa," tutur Frinza. "Aku sempat bergesekan dengan kelompok mafianya dulu. Sepertinya takdir memang menuntutku untuk bertanggung jawab. Akan ku bawa ia kembali ke Alam Suratma."

Emil menghela napas. "Berarti aku sisanya? Jangan sisakan aku macam begini, seperti aku adalah yang paling lemah di antara kalian. Aku juga punya hak untuk memilih tau."

Rangsa berjalan menyeret pedang merahnya. "Atau kau bisa langsung bertarung melawan Rajanya?"

"Itu artinya kau memilihku, kan? Itu sama saja aku tidak punya kesempatan memilih." Emil menyeringai sambil menunjuk Rangsa. "Baiklah. Aku terima tantangan mu, bajingan."

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top