151 : Kandidat
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Berita di Jakarta menyita banyak perhatian dunia. Sayangnya, tak ada bantuan yang bisa tiba di sana. Semua yang menuju Jakarta akan dilahap oleh kematian.
Jakarta
Seorang wanita sedang berlari hampir kehabisan napas. Kakinya sudah gemetar karena letih. Entah sudah berapa lama ia berlari. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika tenaganya habis, ia menoleh ke belakang. Di tatapnya gerombolan mayat hidup yang berlari ke arahnya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah sambil memejamkan mata dan berdoa untuk keselamatannya.
Lesatan petir hitam menghantam gerombolan mayat hidup itu bak bola bowling. Dalam sekali hantam, mereka berceceran di jalan.
Wanita itu menatap punggung seorang pria kekar yang berdiri membelakanginya. Bajunya terikat di pinggang menutupi bagian atas celana pendeknya. Ia bertelanjang dada dengan tubuh penuh keringat. Bukannya tampak menjijikan, pria itu terlihat sexy di mata wanita tersebut.
Pria itu menoleh. Ia menggunakan topi terbalik dengan tulisan 'Lohia' di bagian belakang topinya.
"Duduk aja dulu, istirahat. Tenang aja, doa kamu diijabah kok." Dewa tersenyum padanya.
"AWAS!" teriak wanita itu sambil menunjuk ke arah Dewa.
Dewa sontak menoleh, ditatapnya mayat hidup yang melesat dan hendak menghabisinya dengan taring. Namun, seorang pria jabrik yang tak terlalu tinggi terjun dari atas dan menimpa mayat hidup itu hingga ambruk. Bobotnya menyalahi aturan. Pria secekil itu mampu membuat mejret kepala jasad manusia itu hanya dengan menimpanya.
"Fokus, bodoh!" ucapnya pada Dewa.
Dewa terkekeh sambil menepuk pundak pria itu. "Jangan ambil panggung gua di depan cewek cantik dong. Toh, kalo lu enggak dateng juga gua bisa ngurus yang satu tadi kok, Rik."
Riki Kuncoro. Pria itu menghela napas. Dewa memang begitu, daripada berterimakasih, ia lebih memilih membela harga dirinya. Ia merasa bantuan dari orang lain hanya melukai harga dirinya.
Riki menghela napas. "Udah bertahun-tahun kita jadi tandem, tapi rasanya sifat lu yang satu itu emang enggak bisa ditoleransi. Kita ini taring-taring Katarsis. Inget kata Seyan, bekerja sama itu lebih efektif. Musuh kita kali ini lemah, tapi secara kuantitas mereka unggul jauh. Satu-satunya lawan yang paling berat adalah stamina kita sendiri. Kalo sampe kita kelelahan di sini, bisa-bisa kita yang jadi mayat hidup, Wa."
Katarsis mulai bergerak atas mandat Sang Raja. Chandra sudah mendengar kabar tentang Jakarta. Ia tak bisa ikut membantu dalam waktu dekat. Semua penerbangan menuju Jakarta di pending sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
"Kinan sama Seyan enggak cocok sama perburuan zombie ini. Seyan ahli strategi, Kinan itu master ilusi. Mayat-mayat begini enggak bisa dikibulin pake ilusi. Tinggal kita berdua nih inget."
"Iya, iya." Dewa menurunkan egonya. Ia kembali menatap wanita yang sedang berbaring di tanah memulihkan tenaganya. "Neng, ayo kita ngungsi."
Tugas utama Katarsis saat ini adalah melakukan evakuasi warga Jakarta. Daripada menghabisi, titah Chandra turun hanya untuk menyelamatkan. Selagi Dewa dan Riki melakukan evakuasi, Kinan dan Seyan berusaha menyelidiki dalang di balik ini semua.
***
Karet, Jakarta Pusat
Adistri kini tak berdaya. Seluruh kekuatannya telah dicuri oleh Rangsa. Ilmuan gila itu tertawa ketika berhasil menyedot habis wanita terkuat di Satu Darah hingga berubah sosok menjadi nenek-nenek rapuh.
"Inilah wujud asli ketua kalian," ucap Rangsa dengan tatapan rendah. Ia mengambil gagang pedang Adistri dan mengayunkan pedang itu sembarang. Seketika itu pedang merah tersebut mencair menjadi darah, meninggalkan gagangnya saja. Rangsa membuat pedang darah baru dengan darahnya sendiri. Kini pedang itu telah menjadi miliknya.
"Kalian mundur dari sini," ucap Erik. Ia berjalan maju hingga berada di depan mereka semua. Ia menatap Rangsa dan pasukannya dengan sorot mata yang tajam.
"Mundur?" Rakha memicingkan matanya.
"Ratu sudah kalah. Satu Darah sudah selesai. Hiduplah dan terus berkembang. Sebuah anak panah akan melesat ketika ditarik mundur. Pastinya mereka tidak akan membiarkan kita mundur. Paling tidak, harus ada yang menahan Vanilla di sini. Itu tugasku. Tugas kalian adalah kembali lagi lain waktu dan jadilah lebih kuat. Kumpulkan anggota dan rebut apa yang seharusnya jadi milik kita. Penjahat harus berperan sebagai penjahat, pejabat harus berperan sebagai pejabat. Penjahat yang berperan sebagai pejabat bukan gaya kita."
"Kalau begitu, serahkan ini padaku," ucap Rakha. "Aku bisa menahan mereka lebih lama."
"Rakha. Kau diangkat menjadi nomor dua karena kecerdasanmu. Siapa pun boleh mati, tapi kau harus pergi hidup-hidup dan menyusun ulang rencana mematikan untuk menghabisi mereka!" balas Erik. "Lagi pula, sekarang kemampuan utamamu sedang tidak bisa digunakan, bukan?"
Rangsa menatap mereka dari jarak yang agak jauh. Ia memicing. "Apa yang mereka rencanakan."
Erik kembali menatap ke arahnya. Manusia harimau itu mengaum ke arah Rangsa, kemudian ia berlari dengan cepat untuk menerjang.
"Midnight, kejar mereka. Jangan biarkan satu pun lolos," ucap Rangsa.
Midnight melesat ke arah rombongan Rakha, tetapi Erik tiba-tiba berbelok dan menerjangnya. Cindaku itu menerkam leher Midnight dengan taringnya. Di antara mereka semua, Erik merupakan orang tercepat. Mobilitasnya sangat fleksibel dan jarak terkamnya cukup jauh. Ia bisa memperlambat siapa pun yang berusaha mengejar Rakha dan rombongannya.
"Kembalilah hidup-hidup, Erik!" teriak Rakha. Ia dan rombongannya berlari sejauh mungkin.
Erik sedikit tersenyum mendengar suara yang tak lagi memiliki wujud. Ia berdiri membelakangi Rakha dan teman-temannya.
"Aku tidak akan pergi tanpa Ratu ...," gumamnya lirih.
Perlahan telepatinya memudar. Semua anggota Satu Darah merasakan sebuah ancaman dari komunikasi yang hilang secara mendadak itu. Koneksi mereka terputus, yang artinya Ratu atau Rakha dalam bahaya, bahkan bisa jadi mereka sudah dikalahkan.
***
Stasiun Gambir, Jakarta Pusat
Seorang pria berhoodie biru dengan celana pendek hitam berjalan di depan dua orang gadis. Pria itu mengenakan masker hitam dan juga membawa tas stick billiard berwarna hitam.
"Berkat ayah kamu, kita bisa sampai di Jakarta. Titip salam dan terimakasih ya, Radhi."
Radhi menatap Melodi dengan tatapan heran. "Ayahku?"
"Heh." Nada memukul pundak Melodi pelan. "Om Gintara itu ayahnya Kevin tau." Gadis dengan tas panah di pundaknya itu menatap Melo dengan wajah datar.
"Oh iya, ya. Maksudnya titip salam dan terimakasih ke om Gin. Sama Bunda kamu juga," ucap Melo sambil terkekeh.
"Oke," balas Radhi. "Ngomong-ngomong, apa yang kakak bilang itu semua betulan?"
Melodi menatap sapu tangannya yang penuh dengan bercak darah. "Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Dunia akan hancur dalam waktu beberapa hari lagi."
"Bukannya abis Walpurgis kamu enggak bisa lagi gunain Retrokognision?" tanya Nada.
"Entah, Nad. Aku udah coba berkali-kali, tapi selama ini emang enggak bisa. Seakan kemampuan ini yang mengkehendaki dirinya sendiri untuk digunakan. Kalo aja aku bisa gunain sesuka hati aku. Ippo pasti ...."
Nada menepuk pundak Melodi. "Jangan sedih gitu. Ippo pasti bangga kalo kamu sekali lagi bisa nyelamatin nyawa orang banyak dengan kemampuan kamu. Tanpa kamu, di Walpurgis kita semua udah enggak akan ada. Semangat, Melo!"
Melo berusaha tersenyum. "Makasih, Nada."
Radhi menatap kembar yang saling menyemangati itu. Ia paham, kedua gadis ini tidaklah sekuat yang terlihat. Jauh di dasar hati mereka, Melodi dan Nada ketakutan. Hanya saja kemampuan Melodi menuntun gadis itu secara paksa untuk ikut terlibat. Begitu juga Nada yang mewarisi pena Suratma dari Gintara. Menurut penataran Gintara, musuh mereka kali ini kemungkinan seorang belatung. Insting pria itu hampir tak pernah salah.
"AYo, Kak. Kita harus cari informasi." Radhi melanjutkan langkahnya diikuti kembar Mahatama.
***
Yogyakarta
Wira sedang merenung seorang diri di dalam kamar rumah sakit. Semenjak Walpurgis, pria itu sering menyendiri. Kehilangan kekuatan membuatnya frustasi. Pria itu jadi bersahabat dengan rumah sakit jika selesai berhadapan dengan pengguna atma atau ilmu hitam. Ia merasa malu jika harus dilindungi terus-terusan oleh Dewi. Wira sudah mengajak Dewi putus dengan alasan ia tak bisa lagi menjaganya, tetapi Dewi tak mau. Wanita sexy itu suka Wira apa adanya.
Wira menghela napas. Pada satu titik ia menertawai takdir, lalu menutup matanya. Ketika ia membuka matanya kembali, sontak keningnya mengkerut.
"Siapa kau?" tanya Wira. Ia berada di tempat yang berbeda. Kini ia berdiri di depan sebuah kuil tempatnya dibesarkan dahulu. Kuil itu bernama kuil Naga.
Seseorang di dalam kuil kecil itu menyeringai menatap Wira. Ia adalah seorang pria yang mirip dengan Wira, hanya saja berkulit merah.
"Aku adalah kau, kau adalah aku. Kita adalah satu," ucapnya.
"Apa maumu?"
"Apa mau ku?" Seringai di wajah pria itu semakin lebar. "Aku ingin semuanya kembali. Aku ingin melindungi semua orang yang berada di sisiku. Aku ingin dapat menggunakan atma lagi. Aku ingin kekuatan."
Wira mengepalkan tangannya sambil menatap tajam ke arah pria itu. Pria itu tahu benar apa saja keinginan Wira. Ia menunjuk ke arah Wira. "Tanyakan dirimu sendiri. Apa yang kau mau kekeke."
Pria Sakageni itu masih bergeming menatap sosok tersebut.
"Aku bisa membantumu untuk memperoleh masa kejayaanmu. Aku mengenal Sakageni jauh sebelum dirimu. Aku ingin menawarkan kekuatan. Kau bisa melindungi semuanya."
"Apa untungnya untukmu menawarkan pria cacat ini?" tanya Wira.
"Aku akan mendapatkan sebagian tubuhmu. Tentu saja persentasenya hanya 70 banding 30. Kau punya porsi yang lebih banyak daripada aku. Percayalah, dunia sedang tidak baik-baik saja saat ini. Kita punya peluang untuk menjadi pahlawannya."
"Maksudmu tubuhku bukan lagi seutuhnya milikku?"
"Ya! Seperti itu. Kita seperti Yudistira Chandra dan Surya! Bagaimana? Menarik, bukan?! Bahkan kita akan lebih kuat daripada Yudistira. Jadi--apa ada kesepakatan di antara kita?"
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top