150 : The Disasters

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Rakha dan Vanila saling berhadapan. Meskipun kemampuan 'pangilon' nya tak bisa diaktifkan untuk memantulkan serangan musuh, tetapi tak mengurangi kebrutalan Rakha. Pria garang itu meraih kepala Vanila dan membantingnya ke tanah. "Yang dari tanah harus dikembalikan ke tanah!"

"Kau berucap seperti seorang Peziarah!" Dengan kepala yang masih menempel di tanah, Vanila melesatkan tusukan ke tubuh Rakha, tetapi satu tangan Rakha menangkap tangan kurus itu dan mematahkannya.

"AWAS!" teriak Alan.

Rakha melompat ke samping untuk menghindari serangan Midnight. Pria tinggi kurus itu melesat dengan sabitnya yang baru saja menghantam tanah tempat Rakha tadi berpijak.

"Maaf, yang satu itu pergerakannya sangat cepat," lanjut Alan yang tak sengaja melepaskan Midnight. Seharusnya pria dengan sabit itu menjadi lawannya.

'Seharusnya Midnight tak menggunakan sabit. Ia terampil menggunakan pistol berpeluru atma hitam.' Batin Rakha.

"Bocah, kau urus tengkorak-tengkorak itu," ucap Alan pada Ettan. "Dua orang ini cukup mengerikan."

Ettan yang dianggap hanya anak bawang, akhirnya tak tahan. Aura di sekitarnya berubah, membuat Rakha dan Alan menoleh ke arahnya.

"Jangan anggap aku anak bawang," gumam Ettan dengan sosok kera putihnya. Taring-taringnya begitu mengerikan dengan liur yang menetes ke tanah.

"Rawasura ...," gumam Alan liriih. Ia cukup terkejut mendapati bahwa Ettan merupakan Rawasura.

"Jangan remehkan seorang Rawasura!" Ettan melesat membabi buta, ia sendirian membantai tengkorak-tengkorak di hadapannya hingga membentur perisai Baskara. "Minggir!" Ettan menyerang perisai milik Baskara dengan cakaran bertubi-tubi.

'Untung dia ada disisi yang sama. Jika dia ikut menjadi musuh ini pasti sangat merepotkan.' Batin Alan.

Di tengah keganasan itu, tiba-tiba sebuah batu nisan melayang dan membentur kepalanya. Ettan menoleh ke arah Hestu yang menjadi pelakunya. Setiap yang mati oleh Vanila atau mayat hidupnya akan berubah menjadi pasukan miliknya. Kemampuan mereka sewaktu hidup ikut terekam dan bisa digunakan kembali.

Kini mayat Komandan Dogma dan juga salah satu Komandan Satu Darah berada di sisi yang sama di bawah komando Vanila. Melawan salah satunya saja sudah merepotkan. Ettan justru tak punya pilihan selain melawan keduanya bersamaan. Alan da Rakha terlalu sibuk dengan lawan mereka sehingga tak bisa banyak membantu.

Batu-batu nisan beterbangan dan melesat ke arah Ettan. Ia dapat menghindarinya, tetapi Baskara melesatkan sebuah tinju hingga membuatnya terpental ke dinding makam. Belum sempat bangkit, tiba-tiba puluhan nisan dan batu-batu menghujani Ettan.

Alan yang sedang beradu pedang dengan Midnight hanya bisa menatap kepulan asap debu yang mengerubungi Ettan. "Jika Ettan mati, ini akan semakin merepotkan!" ucap Alan. "Pria bernama Vanila itu bisa merubah orang mati menjadi bonekanya."

"Aku juga tahu, tapi untuk sementara kita tidak bisa berbuat banyak. Aku tidak bisa menggunakan atma!" balas Rakha yang sedang beradu pukulan dengan Vanila.

Baskara berjalan ke arah Ettan yang sedang berbaring dengan mata memutih. Sepertinya ia hilang kesadaran. Baskara mengambil setangkai besi dan terus berjalan sambil menyeretnya. Ujung besi itu runcing dan dapat menusuk, ia ingin mengakhiri Ettan.

"Gawat," gumam Alan. Ia berusaha melepaskan diri seperti Midnight sebelumnya, tetapi pria bersabit itu tak membiarkannya pergi.

"Mau ke mana?" tanya Midnight datar sambil mengayunkan sabit mengincar leher. "Aku tidak sepertimu yang lambat."

Alan menangkisnya dengan pedang miliknya. Ia menatap tajam ke arah Midnight sambil membuang asap rokok yang masih menempel di mulutnya.

Baskara tiba-tiba berlari dan melemparkan besi itu layaknya tombak ke arah Ettan. Namun, sebelum besi itu mengenai Ettan, sebuah tebasan membuat arah lemparan Baskara membelok dan meleset.

Semua terbelalak menatap seoranga wanita yang kini hadir di tengah-tengah mereka. Seorang wanita berkebaya khas Bali berwarna merah dengan pedang bersarung merahnya.

"Ratu ...." Rakha merasa malu karena tak mampu menghabisi musuhnya sebelum Adistri tiba.

"Jangan menunduk, Rakha. Lawanmu belum kalah," ucap Adistri.

Erik, Rio, dan Raksaka muncul dari belakang tubuh Adistri. Sungguh keadaan yang seharusnya membuat Vanila terpojok, tetapi Dokter gila itu sama sekali tak menunjukkan ekspresi tertekan. Ia justru menyeringai dan sesekali tertawa.

"Vanila, apa tujuanmu?" tanya Adistri. "Hentikan mantra ini sekarang juga."

Vanila menunjuk ke arah Adistri. "Tujuannya adalah kau."

"KURANG AJAR!" Erik hendak maju, tetapi Adistri menghalaunya.

"Jangan terpancing, Erik."

Erik Winata, pria itu menunduk dengan ekspresi gusar. "Berikan perintahmu, Ratu."

Adistri kembali menatap Vanila. "Apa kau benar-benar menyatakan perang pada Satu Darah, Vanila?"

"Kau memberikanku julukan pembawa bencana, Ratu. Dan inilah aku ... pembawa bencana," ucap Vanila tertawa gila. "Baik Satu Darah, Dogma, atau apa pun itu. Kalian boleh bergabung sebagai upaya terakhir sebelum semua orang menjadi bawahanku."

"Kalian mengamuklah, tapi jangan sentuh Vanila. Biar aku yang urus." Adistri berjalan sambil membuka sarung pedang merahnya, menampilkan sebilah pedang merah yang terbuat dari darahnya sendiri.

Midnight, Baskara, dan Hestu melancarkan serangan pada Adistri, tetapi Raksaka, Rio, dan Erik menghalaunya.

Perlahan tubuh Erik membesar, ia menjadi seekor Cindaku perkasa yang terlihat garang dan mencabik-cabik Hestu dengan brutal.

Rio berlari mengitari Baskara. Sesekali ia serang perisai kokoh Baskara dan berusaha mencari celah. Di sisi lain Raksaka dan Midnight sedang bertukar serangan. Saka membuka sarung tangan putihnya dan menyentuh Midnight, lalu mundur.

"Kau pikir bisa membunuhku dengan tangan itu?" tanya Midnight.

Raksaka melirik jam di tangannya. Seharusnya Midnight mati akibat sentuhan tangannya, tetapi pria dengan sabit itu masih berdiri dengan tatapan dingin menatap Raksaka.

"Giliranku!" Midnight melesat ke arah Raksaka, ia melayangkan sabitnya secara horizontal.

Raksaka menunduk, lalu menerjangnya dengan pukulan. Midnight terjatuh di tanah, ia langsung dihujani pukulan oleh Raksaka.

Di sisi lain Rio tak mampu menggunakan atma untuk melawan Baskara. Zona ini telah di kosongkan oleh Vanila. Ia hanya bisa menggunakan kemampuan fisik, mengingat dirinya tak memiliki ilmu hitam.

"Cih! Menyebalkan," gerutunya. "Kita bertukar!" Setelah berucap begitu wajahnya mendadak dingin dengan ekspresi datar. "Oke," ucap Rio bermonolog. Mertolulut mengambil alih.

***

Adistri berjalan hingga posisinya sejajar dengan Rakha. "Rakha, kau urus yang lain."

"Baik, Ratu." Rakha pergi untuk membantu yang lain.

Kini Adistri menatap Alan. "Bawa temanmu pergi dari sini." Alan sontak menoleh ke arah Ettan. Ia berlari dan mengecek nadi Ettan. Rupanya Ettan masih hidup. Daya tahan Rawasura begitu kuat.

"Jadi, ini adalah rencanamu, Vanilla?" tanya Adistri.

"Berhenti memanggilku Vanilla. Kau tahu namaku, bukan?"

"Ya, manusia yang hidup tanpa jiwa. Manusia boneka, Rangsa."

Rangsa terkekeh. "Selama ini aku mencari sebuah benda yang hilang di dicuri Dogma, jadi aku menyusup ke sana. Aku paham, aku tidak akan bisa merebutnya jika sendiri, jadi aku memanfaatkan kalian untuk berperang melawan Dogma. Kini aku sudah tidak butuh kalian. Berisaplah, aku akan menghancurkan kalian semua dengan tanganku."

"Jadi ini wujud aslimu?" tanya Adistri.

Rangsa menunduk. "Aku akan merebut kedamaian yang Yudistira perjuangkan, aku akan mengambil semuanya. Dimulai darimu, Yudistira terkutuk!"

Adistri mengangkat pedangnya. "Jangan lupa, bahwa aku adalah anak dari temanmu itu. Wanita berengsek yang membuat ayahku terjebak dalam rayuannya!"

"Jangan membicarakan orang itu. Dia adalah pengkhianat!" Rangsa berlari dan melesatkan kukunya yang tajam ke dada Adistri. Adistri tak tinggal diam, ia melubangi perut Rangsa dengan pedang darahnya.

Dua makhluk abadi itu saling bertukar luka. Adistri menusuk Rangsa, sementara Rangsa menusuknya.

Sebuah mandau terbang menerbangkan kepala Rangsa. Mungkin kalian berpikir bahwa mandau itu adalah milik Arai, tapi kalian salah nyahahaha. Mandau itu adalah mandau milik Adistri. Ia mampu menggunakan kemampuan para bawahannya, termasuk Arai. Mandau miliknya pun merupakan pemberian Arai padanya.

"Apa kau pikir cukup dengan memenggal kepalaku?" tanya Rangsa.

Adistri mengeluarkan darah dari mulutnya. Para anggota Satu Darah terbelalak melihat itu. Ratu mereka terluka akibat serangan Vanilla.

Baskara dan Hestu mundur. Mereka merapat pada Rangsa, begitu juga dengan Midnight. Tubuh tanpa kepala itu masih menembus dada Adistri dengan tangan kirinya. Urat-uratnya mencuat dan menghisap darah Adistri melalui pembuluhnya.

"Bajingan, apa yang kau lakukan?" ucap Adistri sambil berusaha melepaskan tangan itu.

Midnight berjalan mengambil kepala Vanilla dan memasangkannya kembali di lehernya. "Ini adalah sesuatu yang aku sembunyikan." Rangsa menunjukkan tangan kanannya. Sebuah mulut terbuka dari telapak tangannya. Ia kembali menusuk Adistri dan menghisap darahnya menggunakan kedua tangannya. "Makhluk ini sudah menyatu dengan tubuhku dan bisa memakan apa pun, begitu juga dengan darah Angkhara. Apa kau berpikir pandemi zombie ini adalah rencana terbesarku?" Ia terkekeh. "Mantra terlarang yang aku cari adalah cara mentransmutasi manusia dengan makhluk ghaib. Dengan kemampuan ini, aku bisa mengambil kekuatan apa pun yang aku inginkan. Makhluk kecil ini adalah parasit yang bisa menjadi berbahaya jika memakan mangsa inang yang kuat. Ia bisa mengambil kekuatannya."

"Kurang ajar ...." Perlahan tubuh Adistri kurus dan berkeriput. Rambutnya memutih dan dengan lemahnya berlutut di hadapan Rangsa. Sudah ratusan tahun ia hidup, tentunya sosok aslinya hanyalah seorang nenek-nenek. Rangsa membuatnya terlihat menyedihkan di depan anggotanya.

Para Satu Darah mencoba menerobos tabir yang diciptakan Baskara, tetapi seiring bertambah kuatnya Rangsa, dinding itu pun semakin kokoh.

"Benderang kematian!"

Cahaya melesat ke arah Rangsa, tetapi lagi-lagi tak ada yang mampu menerobos perisai Baskara. "Cih!" Alan mulai frustasi. Aura di sekitar Rangsa semakin mencekam seiring dengan melemahnya Adistri.

"Azriel, bagaimana ini?" tanya Alan.

Azriel dan Alan menatap gerombolan pria bertopi fedora yang berkumpul mengelilingi pemakaman.

"Entah, yang jelas ini adalah bencana terbesar umat manusia. Jakarta bisa-bisa dilumat maut." Azriel tiba-tiba menatap ke salah satu maut. Pria dingin itu menunjuk ke arahnya. "Aku mencium bau busuk."

Maut itu mengangkat topi menampilkan wajahnya yang menyeringai. "Apa yang kau lakukan di sini, Azriel? Apa sekarang malaikat sudah menjadi anjing manusia?"

Azriel tak senang dengan ucapan tersebut. "Apa razia kali ini adalah perintah dari Sang Suratma? Atau memang inisiatifmu sendiri, Tarsah?" tanya Azriel balik.

"Para maut ini ada dalam kendali Rangsa. Ia membuat perjanjian dengan banyak maut untuk berpesta. Setelah kami selesai di sini, kami akan menyerang Alam Suratma. Pak Tua itu sudah terlalu lama memimpin dunia kematian. Dewan kematian juga sudah tak sekuat era ku."

Azriel menepuk pundak Alan. "Aku akan ikut terlibat dalam masalah manusia kali ini. Hanya sampai ku robek-robek mulut dewa kematian itu."

***

Alam Suratma

Sang Suratma dan para Dewannya sedang melakukan rapat menentukan nasib Jakarta. Banjir kematian ini tidaklah wajar. Terlebih, tak ada satu pun maut yang menjemput arwah-arwah ini ke Alam Suratma. Semua tertahan di dunia dan menjadi makanan para Iblis.

Semua Dewan menatap pada dua orang maut yang berdiri di hadapan Sang Suratma. Tatapan mereka mengisaratkan kebencian.

"Orang itu adalah temanmu, kan?" tanya Sang Suratma.

Pria di hadapannya tak menjawab. Wajahnya tertunduk ke bawah dengan tangan terkepal.

"Saya akan bertanggung jawab. Kematian tak wajar ini sudah melewati batas," ucapnya. "Saya akan menghabisi semua pemberontak termasuk Tarsah. Tentu saja juga membawa Rangsa ke hadapanmu."

"Apa kau bisa melakukan itu semua? Kita tidak punya kuasa untuk mencabut nyawa seorang belatung. Ia sudah tidak terdaftar di Bumi," balas Suratma. "Apa kau menyesal karena membawa temanmu keluar dari alam kematian?"

"Tuan Suratma, apakah Tuan ingat ketika aku mati dahulu. Tuan memberikan pilihan, apakah aku ingin masuk surga, atau kembali ke dunia? Aku belum sekali pun menggunakannya." Pria yang satunya tiba-tiba membuat sebuah penawaran.

Pria bertopi fedora hijau maju satu langkah. "Pilihan itu sudah kadaluarwa! Lancang sekali kau ...."

"Diamlah, Yashil." Suratma memberikan tanda pada Dewan yang sedang berbicara untuk diam. Ia sedang berpikir mempertimbangkan ucapan arwah bebas di hadapannya.

Semua terdiam menunggu jawaban dari mulut Sang Suratma. "Aku hanya menawarkan untuk satu di antara kalian. Siapa yang akan menerima hadiah itu?"

Semua Dewan sebenarnya kurang setuju dengan keputusan Sang Suratma, tetapi bagaimana lagi? Mereka semua tak ingin memperpanjang urusan. Semakin waktu terbuang, semakin banyak orang yang akan mati sebelum waktunya.

Tomo menatap tajam ke arah Sang Suratma. "Biarkan Jiwasakti menebus dosanya."

"Menunggu reinkarnasi membutuhkan waktu. Aku tidak bisa bertempur dengan wujud anak bayi," ucap Jiwasakti. "Aku butuh inang yang kuat."

"Lancang sekali kau, Jiwasakti! Maksudmu, kau ingin mengambil hak atas kehidupan manusia lain?" ucap Yashil dengan nada tinggi.

"Sekali pencuri tetaplah pencuri," sambar pria betopi fedora jingga.

"Yashil, Tarka, apa kalian ingin menggantikan Jiwasakti?" tanya pria bertopi fedora hitam.

"Kau mendukungnya, Yama?" tanya Yashil.

"Biarpun sikapnya buruk dan menimbulkan bencana, tapi Jiwasakti juga melakukan hal-hal yang benar. Melawan sebelas Rudra, menghabisi Bumantara, membawa Gentar, menangkap Mikail, ia juga membawa belatung lain bersama para peziarah lainnya."

"Di sisi lain, bencana ini disebabkan oleh keliarannya sendiri. Rangsa adalah mahakaryanya dengan para Iblis," celetuk Tarka.

"Berikan dia kesempatan untuk memperbaiki apa yang ia tanam," balas Yama.

Sang Suratma berdehem. "Begini saja, ada tiga belas Dewan. Kita mulai menghitung."

Para Dewan sepakat. Mereka berdiri di sisi Jiwasakti jika sepakat dengan putusan Sang Suratma. Jika menolak, mereka harus berdiri di sisi Yashil dan Tarka.

Total dua belas Dewan sudah memilih. Suara mereka seimbang, tinggal seorang lagi yang belum memilih. Yashil dan Tarka memicing. "Ini tidak adil," ucap Yashil.

Jiwasakti menyeringai. "Hanya tinggal aku yang belum memilih. Tentu saja, aku berdiri di sisiku sendiri."

Keputusan sudah bulat. Sang Suratma mengetuk palu. Ia menatap Jiwasakti. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Namun, ketika kau memilih untuk menjadi manusia kembali, jabatanmu akan dicabut."

"Ya, tidak masalah. Satu hal lagi, saya tidak akan mengambil raga seseorang yang tidak pernah sepakat untuk diambil," ucap Jiwasakti. "Saya permisi." Ia memutar arah dan berjalan pergi, tetapi di tengah langkahnya ia berhenti dan separuh menoleh. "Oh, iya. Saya punya satu permintaan lagi."

"Apa itu?" tanya Sang Suratma.

Jiwasakti kembali menghadap Sang Suratma. "Untuk melumat mereka semua, saya butuh pasukan. Saya tidak akan meminta, hanya saja saya butuh izin. Saya butuh Overkill untuk terlibat."

Semua terbelalak mendengar permintaan Jiwasakti. Overkill adalah nama kelompok yang membawa Uchul mengisi kursi Dewan menggantikan Tarsah pada ujian menjadi dewa kematian. Kini maut tengil itu meminta izin untuk membawa para arwah brutal itu kembali ke dunia.

Suratma memainkan janggutnya sambil berpikir. "Orang-orang bar-bar harus dilawan dengan orang-orang yang lebih bar-bar juga. Baiklah, tetapi ini hanyalah untuk sementara. Setelah masalah selesai, kembalikan mereka ke Alam Suratma."

Uchul menyeringai. "Kekeke sepakat."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top