15 : Dicari! Anak Hilang

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Hujan malam ini begitu awet, bagaikan Melodi yang sedang bersandar di bahu Deva, sedari pagi mereka tampak seperti amplop dan prangko. Gelagar petir dan angin kencang membuat suasana begitu dingin dan mencekam.

"Jangan cemberut gitu dong mukanya," ucap Deva.

"Hari ini batal jalan sama kamu gara-gara hujan ih, sebal." Melodi memasang wajah cemberut sambil sesekali mencubit Deva.

"Kalo marah sama hujan, kok aku yang dicubitin sih?"

"Ya masa aku cubit hujan?" Kini gadis itu menatap Deva sambil menggembungkan pipinya. "Kamu harus diem kalo aku lagi marah!"

Deva hanya tersenyum. "Oke, cubit aja enggak apa-apa."

Lonceng di pintu berbunyi, seorang wanita masuk ke kafe mengenakan sebuah payung. "Maaf, boleh saya numpang nempel poster dikaca?" ucapnya sambil membawa beberapa lembar kertas.

Deva beranjak dari duduknya dan melihat poster apa yang wanita itu bawa. Rupanya poster yg berisi sebuah foto bertulisakan 'Dicari! Anak Hilang'.

"Siapa ini, bu?" tanya Deva sambil meminta selembar poster.

"Anak saya dari kemarin belum pulang. Saya sudah lapor polisi, tapi belum juga ketemu. Jadi saya pasang poster. Dia pasti kehujanan sekarang. Dia juga pasti belum makan." Wanita itu tampak berkaca-kaca. Wajahnya yang lusuh menandakan bahwa ia tak tidur beberapa hari ini, sepertinya ia terus berusaha mencari putri kecilnya yang belum pulang sedari kemarin.

"Yaudah, monggo, bu, silakan ditempel. Nanti kita juga bantu cari deh. Kalo boleh, saya minta beberapa poster buat saya bantu tempel juga di area kampus-kampus terdekat."

"Makasih ya, nak." Wanita itu memberikan setengah dari poster yang ia bawa pada Deva, kemudian mengambil payungnya dan berjalan pergi keluar.

Deva kini menggenggam topeng Tumenggung.

"Kamu mau ke mana? Ujan-ujan gini." Melodi berjalan ke arah Deva. Deva memberikan sebuah poster pada Melodi. "Ibu itu kehilangan anaknya, kasihan. Dia pasti khawatir banget."

"Terus kamu mau cari ujan-ujan gini?"

"Firasatku enggak enak. Aku pergi dulu, ya." Deva mengenakan topengnya, lalu dalam hitungan detik ia menghilang dari Mantra.

Melodi pun juga mengambil payung. Ia ingin membantu Deva mencari anak itu, tetapi ketika ia hendak keluar, Nada muncul bagaikan jin tomang, lalu menarik tangannya.

"Kenapa?" tanya Melo.

"Ikut." Tak bisa dipungkiri. Nada pernah menjadi bagian dari Tantra. Ia sudah beberapa kali menjalankan misi pencarian, karena memang dulu Nada dan Kevin menjadi regu pencari.

Tantra sendiri merupakan sebuah grup yang berisikan anak-anak indigo juga. Beranggotakan enam orang termasuk Deva dan Nada. Memiliki semboyan 'Kekuatan Ada Untuk Melindungi yang Lemah' Tantra kerap membantu dan membuka jasa untuk menolong sesama secara cuma-cuma. Sayangnya--beberapa waktu lalu kelompok kecil ini bubar karena sebuah insiden.

"Yaudah ayo kita cari anak itu. Kemampuan kamu sangat berguna di situasi begini, Nad." Sebelum mereka pergi, Melodi menatap Harits yang sedang bermain game di ponselnya. "Cebol! Kamu mau bantu cari anak ini enggak?"

"Ga, malez, nyahahaha."

"Ngeselin banget sih lu! Dasar enggak punya hati nurani!" Melodi dan Nada keluar kafe bermodalkan dua payung.

Ketika semua orang pergi, Harits merubah raut wajahnya. Ia meletakkan ponselnya dan berjalan keluar sambil membalik tag di pintu menjadi 'tutup'. Harits membuka kandang Lajaluka, ia mencabut poster dikaca dan menunjukkannya pada Lajaluka. "Cari orang ini." Dengan sangat patuh, burung hantu ghaib itu terbang entah ke mana.

Setelah itu, Harits berjalan ke kamarnya dan menggambar sebuah sigil bintang terbalik dengan darahnya sendri, lalu duduk di tengahnya. Harits juga mengambil sebuah kain hitam. Ia mengoleskan darahnya ke matanya yang tertutup, kemudian menutupi matanya menggunakan kain hitam itu. Di dalam pikiran Harits, ia melihat visualisasi dari atas langit. Ya, Harits berpindah vision ke Lajaluka yang terbang mencari anak itu. Sebuah ilmu hitam yang pernah diterapkan oleh si buta Mikail, yang memindahkan pengelihatannya ke burung hantu.

***

Berdasarkan poser, Nada mengetahui lokasi rumah wanita yang kehilangan anaknya barusan. Ia mulai menyentuh benda-benda di sekitar sana untuk memperoleh informasi.

"Mobil kijang biru ...," ucap Nada. "AB 1112 BS."

"Bantul," sambung Melodi.

Nada memicingkan matanya. "Bantul?"

"Kode plat nomor itu punya makna. AB itu daerah Jogja, sementara setelah angka itu ada huruf belakangnya BS, yang artinya B itu Bantul."

"B itu bantul?" tanya Nada.

"A Jogja, B Bantul, W Gunung Kidul, N Sleman, P Kulon Progo," jawab Melodi. "Berbeda sama angka di depan yang mewakili kota. Angka di belakang itu nentuin wilayah kendaraan tersebut."

Mata Nada berbinar. "Wah, Melo keren!"

"Bukan waktunya terkagum-kagum sama kehebatanku, Nada," ucap Melodi kembang kempis dengan wajah sombong. "Kita harus cari tau tentang mobil itu." Melodi kini berjalan ke rumah milik wanita tadi dan mengetuk pintunya, berharap menemukan informasi.

***

Di sisi lain, Deva sedang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika hendak berpindah tempat lagi, dering ponselnya berbunyi. Ponsel Deva bermerk Martawangsa Phone, keluaran Martawangsa Foundation. Ponsel itu anti air dan tahan banting, jadi dalam kondisi hujan lebat, Deva masih bisa berkomunikasi. Ia mengangkat panggilan tersebut.

"Kamu di mana?!" Panggilan itu dari Melodi.

"Aku baru selesai ngobak-ngabrik Kaliurang, sekarang mau pindah ke arah Malioboro."

"Anak ini ada di Bantul! Kamu coba mobile di Bantul dan sekitarnya ya. Nada dapet petunjuk dan aku baru aja ngobrol sama si Ibunya, dan ternyata belakangan ini di komplek emang lagi marak penculikan. Udah beberapa hari ada mobil kijang biru keliling di sini dengan dalih sales internet yang lagi nawarin produk. Oh iya, petunjuknya cuma foto anak itu, mobil kijang berwarna biru dengan plat nomor AB 1112 BS, dan dua orang pria. Yang satu gemuk dan botak, yang satunya kurus dan tinggi, ada tompelnya di bawah mata sebelah kanan."

"Oke. Aku berangkat dulu." Dalam sekejap, Deva menghilang dari tempatnya berpijak.

Sementara itu, Harits mengikuti Deva menggunakan Lajaluka. Sepertinya ia juga menguping pembicaraan mereka. Memang, untuk Harits tak perlu kemampuan meretas dengan teknologi, karena ia memiliki Lajaluka yang serba bisa.

"Bantul, ya ...." Harits melepaskan kain hitamnya dan berjalan ke bawah membawa kunci mobil.

Setelah Harits pergi, Melo dan Nada kembali. Sejujurnya Melodi sadar jika mobil mereka tak ada. Ketika ia masuk, Harits meninggalkan pesan. "Aku cari makan dulu."

"Ih! Sempet-sempetnya mengkhawatirkan perut sendiri!" gerutu Melodi. Namun, tanpa kata sebenarnya Nada paham. Ke mana perginya pria bertopi aneh itu.

***

Tangisan gadis-gadis kecil terdengar cukup nyaring, tetapi tak bisa membuat teriakan tersebut menembus dinding-dinding yang dilapisi peredam. Mungkin ada sekitar empat anak. Mereka semua sedang menangis ketakutan.

"Diam!" bentak si kurus sambil memukul meja.

"Sabar, bro. Sebentar lagi jemputan kita dateng."

Dua orang ini adalah seorang broker gelap yang menjual anak-anak perempuan. Malam ini mereka sedang menunggu mafia yang sedang menuju ke sana untuk membawa anak-anak itu.

"Gua beli rokok dulu, pusing pala gua." Si kurus beranjak dan berjalan keluar gudang. Sementara di gendut yang menjaga anak-anak ini.

Hujan menyisakan gerimis-gerimis romantis. Si kurus berjalan menuju warung untuk membeli rokok. Di depan gudang ia berpapasan dengan pria berkaos putih lengan panjang, pria itu tampak kebasahan dan terlihat sedang memperhatikan mobil kijang biru milik si kurus sambil melangkah. Mungkin karena tidak fokus, bahu mereka berbenturan.

"Woy! Kalo jalan sambil liat-liat dong!"

"Sorry, bang," balas pria itu.

"Ada aja yang bikin kesel. Apa lagi anak-anak gila itu! Kalo bukan karena pekerjaan, enggak akan gua mau jagain mereka!" gerutu si kurus.

Pria yang kini berada di belakang si kurus tiba-tiba berhenti. Ia berjalan kembali menghampiri si kurus.

"Sorry, bang. Numpang tanya, pernah lihat anak ini enggak?" Pria itu menunjukan sebuah poster anak hilang.

Wajah si kurus seketika berubah, tetapi ia mencoba terlihat tenang. "Enggak tau!" jawabnya dengan logat yang masih marah.

"Oh, maaf ganggu waktunya."

Si kurus berjalan agak cepat dan berbelok ke arah yang berlawanan dengan warung. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi si gendut.

"Kita terendus! Ada pemuda berkaos putih, dia nyari salah satu dari anak-anak itu!"

"Oh, ternyata tau, ya? Pantes familiar sama tompel dan mobil kijang birunya."

Suara itu mengagetkan si kurus dan menoleh. Dilihatnya pemuda tadi yang kini mengenakan sebuah topeng. Dengan mudah Deva melumpuhkan si kurus.

"Oi! Apa yang terjadi?" suara dari ponsel itu jelas terdengar. Kini si gendut mulai panik, tak ada jawaban dari si kurus.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Suara ketukan pintu terdengar, hal itu membuat si gendut kaget setengah mati.

Itu pasti bedebah yang mencoba mengagalkan rencana kami. Si gendut bersiap dengan pistolnya. Ia berjalan ke arah pintu. Dengan was-was ia membuka pintu dan menodongkan pistol ke arah keluar. Namun, bukannya terlihat panik, ia justru menyeringai.

***

Setelah mengotak-atik ponsel si kurus, Deva mendapatkan alamat gudang yang menjadi tempat perjanjian antara pihak broker dan salah satu kelompok mafia. Ia dengan tumenggung bergegas menuju tempat itu.

Ketika Deva berhasil menemukan tempat itu, dengan hati-hati ia masuk ke dalam gudang. Deva bergerak dengan sangat hati-hati hingga ia berada di sebuah ruangan yang besar. Keempat anak perempuan sedang duduk dengan kondisi terikat tangan dan kakinya. Salah satu anak itu adalah yang Deva cari.

"Tajam juga penciuman lu," ucap si gendut.

"Lu punya waktu sepuluh detik buat menyelamatkan diri lu sendiri. Tinggalin anak-anak itu," balas Deva.

Si gendut hanya menyeringai. Melihat ekspresi si gendut yang meremehkannya, Deva mulai menghitung. "Gua enggak bercanda, bang. Satu, dua, tiga, empat ...."

Si gendut menodongkan pistol pada Deva. "Lima, enam, tujuh, delapan, sembilan ...."

Dia mau narik pelatuknya, ya?

"Sepuluh. Waktu habis." Deva hendak bergerak, tetapi sebuah besi menghantam kepalanya dari belakang hingga membuatnya hampir hilang kesadaran. Topeng tumenggung terlepas dari wajahnya. Deva tersungkur di lantai sambil memegangi kepalnya yang berdarah.

Dor.

"AAAAAAAAAAAAAA!" Pria gondrong itu teriak bukan main. Sebuah peluru bersarang di paha kanan Deva. Darah mengucur membasahi lantai gudang.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top