149 : Death Carnaval
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Jakarta.
Alan berjalan seorang diri di tengah kota. Tak ada seorang pun di sini. "Aku tidak suka ini ...," gumamnya bermonolog. "Apa-apaan para pencabut nyawa ini?"
Ratusan pria bertopi fedora menyebar berdiri di tiap bangunan dan sudut-sudut kota. Sungguh pemandangan mengerikan yang baru pertama kali ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. "Apakah ini kiamat?"
Dari kejauhan terlihat puluhan mayat hidup berlari ke arahnya. Alan menghisap rokok sambil memicing menatap tiga manusia yang berlari ke arahnya. Seorang pria berjas cokelat gelap, seorang wanita bergaun putih, dan seorang lagi pria paruh baya berpakaian adat Jawa dengan blangkon di kepalanya.
"Lari! Masuk ke dalam kampus di belakangku!" teriak Alan. Ia mengisi amunisi shotgun dan berjalan ke arah mereka. Sambil memutar shotgun, Alan membidik ke arah mereka.
Pria berjas memicing menatap Alan yang menodong mereka. "Bruje ...."
Peluru itu melesat melewati Rama dan melubangi kepala mayat yang hampir menangkapnya.
"Cepat!" teriak Alan.
Rama, Noris, dan Khataka melewati Alan dan memasuki kawasan kampus. Begitu mereka lewat, Alan pun bergegas pergi di belakang mereka. Amunisinya habis, ia butuh rencana baru.
Mereka semua memasuki bangunan dan segera di arahkan oleh beberapa orang untuk menuju aula. Begitu sampai di aula, mereka bertiga langsung berbaring dengan napas terengah-engah.
"Brujeria dan Lullaby tidak berefek pada mayat hidup, santetku juga, begitu juga wayang milik Khataka. Kita seharusnya tidak mengikuti perintah Ratu. Di sini kita hanyalah orang tak berdaya," ucap Noris. "Kecuali kita bisa menemukan pembangkit mereka."
"Apa kau berpikir mereka semua dibangkitkan seseorang dengan ilmu hitam?" tanya Rama.
"Sudah pasti. Peristiwa ini pernah terjadi di masa lalu," jawab Noris.
"Jadi, sihir jenis apa ini?" Alan tiba-tiba ikut berkumpul dengan mereka bertiga.
"Sebelum kau mendapatkan jawaban, aku ingin bertanya satu hal. Mengapa pelurumu bisa membunuh mayat-mayat hidup itu?" tanya Noris.
"Tentu saja karena aku pro," jawab Alan. "Nah, sebelum kita lanjut pembahasan tentang sihir ... kalian ini kenapa berpakaian seperti itu?" Alan mulai mengomentari pakaian mereka bertiga yang terkesan beda.
"Kami pemain teater. Pria berjas ini menjadi seorang kompeni Belanda, aku jadi gadis pribumi, dan orang tua ini menjadi mbah dukun," jawab Noris.
Begitu melihat Alan. Andis dan Ettan ikut berkumpul bersama mereka. Kini enam orang itu berkumpul saling tatap menatap.
"Ehm ...." Alan berdehem. "Jadi siapa orang gila yang mampu membangkitkan mayat-mayat hidup ini?"
"Dogma," Jawab Ettan. "Mereka semua ilmuan gila. Sudah pasti ulah mereka."
"Dari mana kau tahu tentang Dogma?" tanya Noris.
Ettan menunjukkan sebuah tato di lengannya. Tato dengan angka 366. "Aku baru saja kabur dari laboratorium mereka."
"Eksperimen ... apa saja yang sudah mereka lakukan?" tanya Rama.
"Jangan bahas itu sekarang. Sekarang kita bahas bagaimana cara mengakhiri ini?" celetuk Alan. Pria dengan berewok tipis itu membakar rokoknya sambil menatap Noris. "Apa jika orang yang memulai ini semua mati, semua akan berakhir? Apa orang ini memiliki ciri khas?"
"Harusnya sihirnya lepas. Untuk ciri khas, aku tidak terlalu tahu."
"Ada banyak maut di sini," gumam Alan. "Sebaiknya kita bergegas. Firasatku sungguh tak bagus."
Para Satu Darah memicing. "Maut?" tutur Rama.
"Malaikat maut," jawab Andis. Pria bertopi beanie itu menatap Alan. "Kau bisa melihat mereka?"
Alan mengangguk. "Ya, bisa. Mereka berdiri di tiap-tiap bangunan, menyebar di sudut-sudut kota ini. Berkerumun entah menunggu apa." Tiba-tiba Alan mengerutkan kening menatap Andis. "Oi, apa kau juga bisa melihat mereka?"
"Ya, bisa. Satu pertanyaan lagi. Ketika kau berucap saat pertama kali sampai di sini. Dengan siapa kau berbicara?" tanya Andis.
Alan menatap Azriel yang berdiri di belakangnya. "Dengan pria ini." Alan menunjuk Azriel dengan jempolnya.
"Orang ini?" Mereka berlima memicing. Pasalnya, tak satu pun dari mereka yang bisa melihat keberadaan Azriel.
"Apa kau tidak mau menunjukkan wujudmu pada mereka?" tanya Alan.
"Lanjutkan saja perbincangan ini, tidak masalah tidak bisa melihatku. Tidak ada bedanya," jawab Azriel.
Alan menghela napas. "Dia ini ...."
"Malaikat?" celetuk Noris. "Makhluk sombong yang merasa jijik ditatap oleh manusia."
Azriel mengerutkan kening. "Aku tidak suka yang satu ini. Penyihir kecil yang banyak bicara."
Alan tertawa kecil. "Sudah, sudah, kita kembali ke topik utama. Bagaimana kita mengakhiri pandemi zombie ini?"
Semua tampak sedang berpikir, tetapi tak menemukan solusinya. Tidak ada petunjuk yang menampakkan diri.
"Entah, tidak ada petunjuk," ucap Khataka.
"Seperti tidak ada petunjuk, padahal ada," celetuk seorang pria berkaus merah lengan buntung. Ia baru saja tiba dan ikut bergabung dengan rombongan Andis.
Noris, Rama, dan Khataka tersenyum menatap orang itu. "Rakha!"
Rakha, salah satu dari Catur Sanghara tiba di Jakarta. Ia menggenggam ponsel di tangannya. "Berita mengatakan bahwa mayat-mayat ini keluar dari salah satu pemakaman besar yang berada di daerah Karet, Jakarta Pusat. Jika ingin mendapatkan petunjuk, maka harus pergi ke tempat itu."
"Terimakasih infonya." Alan beranjak dari posisinya. "Kalau gitu aku berangkat."
"Aku ikut," ucap Rakha. Pria itu menatap ketiga rekannya. "Kalian tidak perlu ikut. Kalian saat ini hanya beban. Duduk saja di sini dan biarkan aku menyelesaikan semuanya."
Ketiga orang itu sadar akan perkataan Rakha. Mereka sama sekali tak membantah. Namun, berbeda halnya dengan Ettan. "Aku juga ikut." Pemuda itu menatap Andis.
Andis tersenyum. "Aku akan di sini. Paling tidak, orang-orang di sini butuh satu super hero," ucap Andis.
Alan menoleh ke arahnya. "Super hero, katakan siapa namamu?"
"Andis Sagara."
Alan terkekeh. Pantas saja pria itu bisa melihat maut, rupanya memang sesuai dugaan Alan. "Ingat baik-baik, jika kau butuh bantuan. Cari saja aku, Alan Sagara."
Begitu juga dengan Andis. Firasatnya tepat. Pria yang bersama malaikat itu adalah bagian dari keluarga Sagara seperti dirinya.
Mereka bertiga pergi menuju pemakaman yang dimaksud dengan menggunakan mobil taxi Alan.
***
Karet, Jakarta Pusat.
"Kita kedatangan tamu, Vanila," ucap Midnight.
"Ya, aku tahu. Dia bukan orang biasa."
"Siapa?" tanya Midnight.
"Salah satu petinggi Dogma, Hestu Ernesto," jawab Vanila.
"Bagaimana kau tahu dia?"
Vanila menjitak kepala Midnight. "Bodoh! Aku kan agen ganda untuk Satu Darah dan Dogma. Tentu saja aku mengenal semua anggota dan para petinggi baik di Satu Darah maupun Dogma."
"Biar ku urus dia." Midnight hendak pergi, tetapi Vanila melarangnya. "Biar aku saja." Vanila yang pergi keluar dari rumah di tengah makam.
Pria dengan jaket dokter itu menghampiri Hestu yang semakin mendekat. "Yo, Panglima tertinggi angkatan udara, Marsekal Hestu Ernesto," sapa Vanila.
"Dokter Vanila, apa yang kau lakukan di sini?"
"Hendak meringkus dalang dari semua bencana ini." Vanila menunjuk ke arah rumah persembunyiannya. "Anda sendiri?"
"Sama," jawab Hestu.
"Kalau ada seorang Marsekal, sekaligus petinggi Dogma hadir. Saya rasa saya harus mundur. Berarti lawan di dalam sana pasti kuat." Vanila berjalan ke arah Hestu dan melewatinya.
Ketika melewati pria itu, Vanila menyeringai. "Ia mengeluarkan pisau bedah dari kantong celananya dan memutar tubuh untuk menutusuk dari belakang."
"Sedang apa kau, Dokter?"
Vanila terbelalak ketika rupanya Hestu sudah waspada padanya dan memutar tubuhnya hingga mata mereka saling tertatapan. Pisau di tangan Vanila tiba-tiba terlempar sendiriyna dan terbang mengenai kepalanya. Sang Dokter langsung tergeletak di tanah dengan kepala bercucuran darah.
"Aku sudah lama menaruh curiga padamu. Rupanya kau memang pengkhianat. Kau pantas mati." Hestu hendak meraih baju Vanila yang sudah tak bernyawa. Namun, tiba-tiba matanya terbelalak menangkap senyum tipis di wajah Vanila yang baru saja berpura-pura mati. Dengan sangat cepat Vanila melesatkan pisau bedah miliknya, merobek panjang lengan Hestu hingga bercucuran darah.
Hestu mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak. Ketika ia mundur, batu-batu dan benda-benda di sekitarnya mulai melayang. Ia merupakan hasil eksperimen sukses yang mampu melakukan telekinesis.
"Lambat!" Vanila melesat kembali dan menancapkan tangan kanannya menembus dada Hestu. Ia tarik jantung pria itu dan langsung memakannya.
Sebelum mati, Hestu mengerahkan kekuatan terakhirnya untuk menyerang Vanila, tetapi tiba-tiba benda-benda yang ia kendalikan mendadak diam dan jatuh ke tanah. Nyawanya sudah habis.
"Usaha yang bagus," bisik Vanila menemani kematian Hestu.
Jasad itu perlahan bangkit kembali dengan tatapan kosong. Hestu berubah menjadi boneka milik Vanila. Panglima Angkatan Udara itu tumbang begitu cepat di hadapan Vanila yang memiliki jutaan trik kotor. Ia lihai menipu.
"Pantas saja dijuluki Bencana. Kau menghabisi petinggi Dogma kurang dari lima menit," puji Rakha dan ketiga orang yang ikut bersamanya.
"Siapa mereka, Rakha?" tanya Vanila menatap Ettan dan Alan.
"Oh ini. Mereka teman-temanku dari pengungsian," jawab Rakha.
"Oh, kau habis dari tempat pengungsian?"
"Sebelum ku jawab pertanyaan itu. Vanila, apa kau tahu tentang penyebab para mayat ini menjadi hidup kembali dan haus darah? Kemenangan kita sudah di depan mata, tentunya kejadian seperti ini akan menghambat semua rencana Ratu. Hentikan semua ini."
"Kau bertanya seakan menodongkan pistol padaku, Rakha. Apa kau pikir aku adalah dalang dari ini semua?"
"Hanya 1%," jawab Rakha.
"Baguslah, setidaknya ...."
"1% kalau kau bulan pelakunya," lanjut Rakha.
Vanila merubah raut wajahnya. "Jadi kau menuduhku, kan?"
"Ya. Sudah lama aku yakin kau sedang merencanakan sesuatu di belakang Satu Darah. Kau berada di dunia yang berbeda dengan kami. Kau bisa membodohi semua orang, tapi tidak denganku."
Raut wajah Vanila mendadak datar. Ia menunduk sambil menggaruk kepala. Perlahan ia terkekeh hingga tebahak-bahak.
"Apanya yang lucu?" tanya Rakha.
"Tidak ada," jawab Vanila.
Tiba-tiba tanah Rakha berpijak ambruk. Ada tangan-tangan tengkorak yang menarik kedua kakinya hingga merosot masuk sebatas lutut.
Dengan sangat cepat Vanila melesat ke arahnya dan menyabet leher Rakha dengan pisau bedahnya. Darah segar mengucur membasahi tanah.
Berbeda dengan Hestu. Rakha menyeringai menatap Vanila. "Ada apa?! Ayo bunuh aku!" teriaknya sambil sekuat tenaga berusaha keluar dari tanah.
Vanila memegangi lehernya yang berdarah akibat efek kekuatan Rakha yang mampu membalikan serangan lawannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Ettan.
"Entah, apa pun itu. Sebentar lagi ini akan berakhir." Alan menatap ke arah Rakha dan Vanila. "Satu Darah, ya?"
Bukannya malah berakhir. Ratusan tengkorak keluar dari dalam tanah terdalam. Mereka bergerak menuju satu titik, yaitu mengincar yang masih hidup.
"Oi,oi,oi!" Ettan terlihat panik. "Apanya yang berakhir? Nyawa kita?!"
"Azriel, aku butuhpendapatmu," gumam Alan.
"Orang bernama Vanila itu bukanlah makhluk hidup. Ia adalah belatung dari Alam Suratma."
"Cih! Kita tidak bisa membunuhnya, ya?" tanya Alan.
"Akan ku tangani tengkorak-tengkorak ini." Azriel melesat menghancuran puluhan tengkorak.
"Kau tahu kemampuanku kan, Vanila?" tanya Rakha.
Vanila berhenti berpura-pura kesakitan. Ia kini menatap Rakha dengan datar dan dingin. Seekor serangga hinggap di matanya yang tak berkedip. "Justru karena tahu aku akan membunuhmu sekarang. Aku tanya balik, apa kau tahu kemampuanku?"
"Kau hanya belatung yang tidak bisa mati. Akan ku buat kau merasa bahwa mati masih jauh lebih baik daripada berurusan dengan Satu Darah. Dasar pengkhianat." Rakha menerjang ke depan.
Vanila masih bergeming. Mulutnya bergumam membisikan mantra-mantra hitam. Begitu mulutnya berhenti bergumam, angin mendadak hilang. Suasana menjadi sunyi dan mencekam. "... antaka ...."
Rakha melesatkan tinju ke arah wajah Vanila. Pria berjaket dokter itu sukses menghindarinya dan melesatkan pukulan balasan ke perut Rakha. Rakha terbelalak. Tinju Vanila membuatnya memuntahkan darah dan terpental ke belakang.
"Apa yang kau lakukan pada tubuhku?" tanya Rakha sambil mengusap darah di mulutnya. Sudah lama sejak ia tak pernah menerima luka dari lawannya.
"Tidak ada," jawab Vanila singkat.
Mungkin tak ada pengaruh untuk Ettan, tetapi saat ini Alan sedang terheran-heran. Ia tak bisa menggunakan atma.
"Apa yang terjadi?" tanya Alan.
"Orang ini merapalkan mantra kekosongan. Saat ini, di tempat ini tidak ada atma yang bisa digunakan. Itulah mengapa pria bernama Rakha itu terhantam pukulannya," jawab Azriel.
"Hanya ada satu cara." Alan mencabut pedang miliknya. "Azriel."
"Gunakan sepuasmu," jawab Azriel.
Pria Sagara itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi sambil menutup mata, menajamkan konsentrasi. Azriel memberikan energi yang menggantikan atma di sekitarnya. Hal itu membuat Vanila memicing ketika melihat cahaya keluar dari pedang Alan.
"Pedang apa itu?" gumamnya.
Perlahan Alan membuka mata dan melesatkan tebasan. "Benderang Kematian." Sekelibat cahaya melesat ke arah Vanila.
Ettan Dan Rakha menutup mata karena silau. Begitu cahaya menghilang, mereka baru mampu membuka mata dan menatap ke arah Vanila.
"Vanila!" teriak Rakha. "Apa yang kau lakukan?!"
Vanila terkekeh. Di hadapannya, mayat Baskara berdiri melindunginya menggunakan perisai astral. Hanya saja, kali ini perisai itu diciptakan dengan ilmu hitam yang Vanila salurkan lewat mantra-mantranya.
"Heeee ...." Vanila menatap Rakha dengan raut meledek. "Kau marah? Kalau begitu tunjukan kemampuanmu sebagai salah satu Bencana. Kau urutan nomor dua, kan? Ambil kembali jasad rekanmu ini."
"Kau sudah benar-benar keterlaluan." Rakha memang tak bisa menggunakan atma selama mantra-mantra Vanila masih membelenggu atma di sekitar mereka. Namun, aura yang cukup mengerikan meledak-ledak terpancar dari tubuhnya.
"Midnight, kau boleh menjadi dirimu sendiri. Sandiwara kita selesai," ucap Vanila. "Urus mereka."
"Oke." Dari dalam rumah, Midnight keluar membawa sebuah sabit berwarna hitam. Tatapannya dingin, ia juga tak banyak bicara seperti sebelumnya.
Alan dan Ettan merapat pada Rakha. "Tiga lawan tiga, kau ambil yang mana?" tanya Alan.
"Apa paman tidak lihat, ini bukan tiga lawan tiga!" gerutu Ettan menatap tengkorak-tengkorak itu berjalan mengepung mereka. "Ini tiga lawan banyak!"
"Kalian urus saja ikan-ikan teri ini. Biar aku urus tiga hiunya." Rakha berjalan ke arah Vanila. Perlahan Vanila menghilang dari pandangannya, tertelan para pasukan tengkorak. "Cukup bukakan saja jalan untukku."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top