146 : Bandung Lautan Api

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Suara sirine memenuhi area kuburan mobil ini. Pria berbatik merah keluar membawa sebuah pengeras suara diikuti unit kepolisian. "Kembar Martawangsa, kalian ditahan atas tuduhan bersekongkol dengan Satu Darah."

"Apa yang kau bicarakan Mentri Pertahanan, Sudarsana Prawiraharja?" Tirta menatap pria itu dengan sorot mata yang tajam. Ia terlihat gusar, tak seperti dirinya yang selalu tenang. "Kalian semua ditahan atas dasar pengkhianatan pada Negeri ini."

"Deva, mundur," ucap Dirga. "Ini bukan panggungmu."

Deva menendang Sutresna dari atas bus terbengkalai itu hingga tersungkur di tanah. Kemudian ia menatap Dirga. "Lantas, panggung siapa? Jangan memerintahku, Ayah. Mantra sudah hangus terbakar. Amarahku ikut tersulut." Dirga menghela napas. Entah apa yang akan ia katakan pada Mila jika nanti Deva terluka.

Di sisi lain Karta mundur karena kemunculan Tirta. Ia menjaga jarak dari pria satu lengan itu. Meskipun hanya memiliki satu lengan, tetapi teknik berpedangnya tak boleh diremehkan.

"Aku tanya sekali lagi ... siapa di antara kalian yang membunuh mantan Yudistira?!" teriak Tirta.

"Tentu saja kalian, kan?" Sudarsana membengkokan fakta yang terjadi di depan banyak bawahannya. Tidak ada yang percaya ucapan seorang yang dicap kriminal. Apa lagi kini di hadapan kepolisian, Tirta membela seorang Satu Darah.

Gerhana masih duduk sambil memulihkan diri. "Pembunuhnya adalah Sutresna."

Tirta mengerutkan kening menatap Sutresna. "Jendral besar Angkatan Darat, Sutresna. Apa ada kalimat terakhir?" tanya Tirta. Ia merendahkan posisinya, bersiap untuk menyerang.

"Tirta, tahan diri lu," ucap Dirga.

"Enggak ada yang perlu ditahan, Bro, mengamuklah. Itu kan keadilan yang selama ini lu yakini? Jika hukum enggak bisa menjadi pedang keadilan, lalu siapa yang akan menghakimi para penjahat? Prinsip itu yang selalu lu genggam, kan?" Tirta melapisi pedangnya dengan atma. "Badama."

"Yaaaa—tapi lu harus bisa ngukur keadaan," balas Dirga. "Di hadapan lu ada orang-orang yang enggak bersalah. Mereka hanyalah korban kebenaran yang disembunyikan."

"Cukup, Dirga. Gua lakukan dengan keadilan yang gua percaya." Tirta melesat ke arah Sutresna.

Namun, pedangnya kembali tertahan oleh pedang lainnya. Karta tak akan semudah itu membiarkan Tirta menyerang Sutresna.

"Minggir, Keparat!" bentak Tirta.

Karta mementahkan serangan Tirta. Dari arah samping, seekor manusia kuda melesat ke arah Tirta dengan cepat. Beruntung Dirga menariknya dan membawanya ke tempat aman dengan kemampuan topeng Sabrang yang meniru Tumenggung.

"Blok, goblok!" Ia menjitak kepala Tirta. "Lu boleh marah! Tapi inget, kepala lu harus tenang. Jadilah ombak yang terlihat tenang, tapi garang di dalam. Jangan biarin amarah menggerogoti pikiran lu. Itu kan yang selama ini lu bilang ke gua?"

Tirta hendak mengoceh, tetapi Dirga menjitak kepalanya lagi. "Jangan ceroboh lagi! Keluarga kita tinggal bertiga doang. Kalo lu mati, gua tinggal berdua sama si kunyuk Gemma!"

Tirta terkekeh. Ia kembali menjadi dirinya sendiri. Kata-kata Dirga meresap ke dalam otaknya. "Gua frustasi. Pimpinan sekaligus sahabat gua tewas dan disaat yang sama kita semua difitnah jadi dalang pembunuhannya. Keluarga kita terancam dan terpaksa harus ngungsi ke Hutan Larangan karena kasus lama yang sengaja diangkat lagi. Unit Dharma dihapus karena diduga jadi mata-mata di kepolisian mengingat kejadian Tara dulu, padahal Tara bekerja dengan baik di bawah Inspektur Dendi. Ditambah, Dharma sering banget ngangkat narapidana jadi anggota dan menghapus keberadaan orang tersebut. Banyak hal yang dimanipulasi oleh oknum-oknum pengkhianat ini. Termasuk menggunakan pemberontakan Septa."

"Udah bukan hal yang asing," balas Dirga. "Unit Dharma adalah satuan yang berdiri di pinggir jurang. Tinggal tunggu waktu seseorang muncul dan mendorongnya ke jurang itu. Sementara mereka bermain aman dan menggunakan nama Dharma untuk mengkambing hitamkan segala kebusukannya."

"Maaf memotong ... jadi, apa rencana selanjutnya?" tanya Gerhana.

Tirta tersenyum. "Deva, lumpuhkan para pasukan bersenjata. Dirga, hadapi si batik merah, aku akan hadapi Karta, sementara kau hajar Sutresna, Satu Darah. BERGERAK!"

Mereka semua menghilang dari pandangan lawannya. Satu per satu anggota kepolisian berjatuhan tak sadarkan diri. Mereka dilumpuhkan oleh Deva seorang diri.

"Sial! Raigor, hentikan orang itu!" titah Karta. Raigor melesat ke arah Deva.

Karta terbelalak, ia merasakan kehadiran seseorang dan langsung mengangkat pedangnya. Pedangnya kembali beradu dengan pedang milik Tirta.

"Khawatirkan dirimu sendiri," gumam Tirta. Ia menyerang dengan satu tangan. Pedangnya bagaikan bagian dari tubuhnya. Karta kewalahan menghadapi Tirta. Memang, serangannya tak begitu kuat, tetapi kecepatannya sangat mematikan.

Di sisi lain Gerhana muncul di hadapan Sutresna. Ia menghajar Sutresna secara bertubi-tubi. Namun, Sutresna menghajar bagian yang terluka. Gerhana terpental sambil memuntahkan darah. Ia memegangi bagian rusuknya yang terasa semakin perih sambil bertahan untuk tidak terjatuh.

"Kali ini ku pastikan kau mati, Gerhana."

"Coba saja," balas Gerhana. Ia bangkit dan kembali memasang kuda-kuda.

Sementara itu Dirga berhadapan dengan Sudarsana. Ia melakukan perkelahian tangan kosong. Sudarsana masih terlihat santai dengan wajah datarnya. Ia mampu mengimbangi Dirga yang merupakan veteran perang Rahwana.

Dirga mengamati Sutresna yang memiliki tangan kiri seperti monster. Juga Karta yang mampu memanggil arwah berwujud makhluk berkepala kuda. Namun, kuhusus yang satu ini tak memiliki sesuatu yang mencolok, bahkan Dirga tak merasakan apa pun dari lawan di hadapannya. Ia seperti dibenturkan oleh ketidaktahuan.

"Kau terlalu banyak berpikir, Tuan Martawangsa." Sebuah pukulan bersarang di pinggang kiri Dirga.

Dirga terkekeh sambil kembali memantapkan kuda-kudanya. "Oke, kita mulai ronde kedua." Ia dan Sudarsana bertarung bak dua orang petinju.

Di sisi lain, Deva sudah melumpuhkan para pasukan bersenjata dengan mudah. Ia berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan cepat. Para pasukan tak mampu berbuat banyak, jika mereka menembak, takut-takut malah menembak sesama unit. Namun, yang jadi masalahnya sekarang adalah makhluk berkepala kuda. Makhluk itu bergerak cepat dan menyerang dengan kakinya.

Makhluk itu terlalu cepat. Ke mana pun Deva menghilang, ia akan segera dikejar begitu muncul kembali. Terlalu menguras tenaga jika harus terus menerus menggunakan blink.

"Resonansi jiwa." Deva menyatukan dirinya dengan Tumenggung. Muncul tato-tato bertuliskan huruf aksara di lehernya. Selendang merah menjadi aksesoris seorang penari Malangan. Ia menggenggam sebuah gada perkasa.

Ketika makhluk itu melesat, Deva menghantamnya dengan gada miliknya. Sontak membuat makhluk itu terpental menghantam badan sebuah mobil tronton. Deva mengambil ancang-ancang dan melempar gadanya. "Braja!" Gada itu melesat bagaikan petir yang menyambar si kuda. Belum juga mampu bergerak, tiba-tiba Deva muncul di hadapannya dan memukul perutnya dengan sangat keras.

"Raigor!" teriak Karta yang melihat makhluknya terdesak.

"Khawatirkan dirimu sendiri!" balas Tirta tak memberikan jeda pada serangannya.

"Keparat!" Karta berusaha bertahan sekuat tenaga. Bukan waktu yang tepat memikirkan peliharaannya, atau pun orang lain.

"Deva, bantu Satu Darah itu," lanjut Tirta.

Deva melesat ke arah Sutresna dan menghantamnya dengan gada miliknya, tetapi Sutresna menahan gada itu dengan tangan hitamnya.

"Sudah cukup bagus," gumam Gerhana. Ia muncul dan menghajar perut Sutresna hingga terpental sambil memuntahkan darah.

Keadaan berbalik, Dogma mulai terpojok. Mendadak suasana hening, bahkan udara pun enggan berhembus. Di tengah keheningan itu ...

"Apa yang kalian lakukan?"

Suara berat Sudarsana membuat Karta dan Sutresna merinding. Mereka berdua segera bangkit karena tekanan itu. Aura yang terpancar semakin tajam hingga membuat napas terasa semakin sesak. Kabut tipis muncul mempersempit jarak pengelihatan mereka semua.

"Apa yang terjadi ...," gumam Dirga.

Sebuah tangan menghantam perutnya hingga Dirga terangkat dari tanah dan mundur beberapa meter. Belum sempat mencerna apa yang terjadi, lagi-lagi sebuah tinju menghantam kepalanya.

"Apa-apaan ini ...," gumamnya bermonolog. Ia mencoba merasakan pergerakan di sekitarnya dengan pendengaran, tetapi kabut ini menghalangi indranya.

Bukan hanya Dirga. Baik Tirta, Deva, dan Gerhana pun diserang oleh tinju mesterius. Hingga pada satu titik, Gerhana memperlebar auranya hingga kabut-kabut ini menghilang.

"A-apa-apaan ini?!" Semua terbelalak menatap patung Budha raksasa berwarna hitam di belakang Sudarsana yang mengeluarkan banyak tangan hitam dari tubuhnya.

Sudarsana menatap mereka semua dengan pandangan dingin. "Sata Hasta Antargata."
Seratus tangan tersembunyi.

"Bahkan ini sudah melampaui Dasa hasta antargata milik Gardamewa! Apa yang Dogma lakukan?! Penelitian apa yang kalian lakukan selama ini?!" seru Tirta.

"Jangan kaget, bahkan mereka mampu membuat Mata Suratma dan prototype mata penguasa pada Agha," tutur Dirga. "Mereka berencana membuat monster untuk berperang."

Sudarsana menyeringai. "Dengan eksperimen ini, kita akan menjadi Bangsa yang terkuat. Kita akan menguasai dunia dan menjadi kiblat negara lain dalam berbagai aspek. Bahkan nuklir tidak akan bisa menghancurkan negeri ini. Berterimakasihlah para sampah." Tangan-tangan itu melesat ke arah mereka berempat.

"Matilah kita," gumam Gerhana. Ia merasakan tangan-tangan hitam yang sedang melesat ke arahnya.

Karta dan Sutresna dengan cepat menerjang Tirta dan Dirga. Kini si kembar itu kesulitan untuk bergerak karena ditahan oleh dua orang berpangkat Jendral.

"Game over," ucap Sudarsana sambil tertawa riang.

Deva menatap tangan-tangan itu dalam tayangan lambat dengan sorot matanya yang tajam. Ia melebarkan kuda-kuda sambil memancarkan cahaya keemasan dari tubuhnya. Sebuah mahkota tak kasat mata muncul menghiasi kepalanya. "Indra ketujuh, Sahasrara."

Semua terbelalak mendengar istilah Sahasrara. Pemuda tanpa topeng itu menggunakan indra ketujuh yang konon hanya merupakan mitos belaka.

Tirta tak heran melihat hal ini. Sebelumnya ia sudah pernah melihat Deva menggunakannya di Walpurgis. "Anak lu hebat, Dir."

Dirga tersenyum. "Jelas! Lu pikir siapa bapaknya?!"

"MAJULAH!" teriak Sudarsana.

Deva merendahkan lututnya. Kaki kanan yang merupakan kaki terkuatnya berada di depan, menjadi tumpuan bagi langkah pertamanya. Pijakannya retak menampung letupan atma yang keluar. Dalam waktu singkat, Deva melesat bagaikan cahaya.

Deva bagikan peluru cahaya, tetapi Sudarsana tak semudah itu ditembus. Makhluk raksasa di belakangnya mengincar Deva dengan seratus tangan. Beberapa tangan bersatu dan menjadi besar, lalu memukul Deva dengan telapak tangannya hingga Deva terpental ke salah satu mobil. Mobil itu ikut terpental akibat kerasnya serangan Sudarsana.

"DEVA!" Dirga berusaha menolong Deva, tetapi rupanya Karta menahan pergerakannya.

"Kau tidak akan ke mana-mana," ucapnya pada Dirga. Makhluk kudannya sudah pulih kembali dan ikut membantunya melawan Dirga.

Tirta juga tak mampu bergerak karena dihadapkan dengan Sutresna. Manusia bertangan hitam itu tak memberikan celah bagi Tirta untuk membantu Deva.

Deva bangkit, tetapi tangan-tangan hitam Budha hitam itu memeganginya. Menarik tangan dan kaki Deva dan menariknya hingga membuat Deva berteriak kesakitan.

"Akan ku bagi menjadi dua bagian," gumam Sudarsana sambil tertawa gila.

"Arrrgh!" teriakan Deva semakin keras. Rasanya tubuhnya hampir robek terbagi dua.

Baik Dirga dan Tirta tak mampu menolong Deva saat ini. Keadaan kembali berbalik. "HENTIKAN, SUDARSANA!" teriak Dirga.

"Di hadapanku, pengguna indra ketujuh pun tak bisa apa-apa. Setelah anakmu, berikutnya giliranmu, bersabarlah," balas Sudarsana.

Mendadak cuaca berubah menajdi dingin dan berangin. Sebuah gelombang angin melesat dan memotong puluhan tangan Budha hitam yang memegangi Deva.

"A-apa?!" pekik Sudarsana. Ia terbelalak menatap seorang yang sangat ia kenali sedang berdiri di atas satu-satunya bangunan di tempat ini. Ia ditemani dua orang lainnya.

"Anjana ...," gumam Sutresna. "Apa yang barusan kau lakukan?"

"Kau kenal mereka, Anjana?" tanya Chandratama.

"Ya." Anjana menunjukkan tato eksperimen miliknya yang berangka dua puluh tiga.  Ia menghapus angka itu menggunakan sayatan celurit Jatayu. Darah segar mengalir dari lengannya.

"Apa maksudnya ini?" tanya Karta. "RAIGOR, BUNUH ANJANA!" Makhluk kuda hitam miliknya melesat ke arah Anjana. Sepertinya Anjana akan disibukkan dengan makhluk mengerikan tersebut untuk sementara waktu.

"Pergilah, biar ku urus makhluk aneh itu," ucap Anjana.

Salah seorang yang ikut bersama Anjana turun dari bangunan itu dan berjalan sambil menyeret pedang hitamnya ke arah Sudarsana. Deva menatapnya sambil berusaha bangkit. "Topeng itu ...."

Sosok itu adalah Jaya. Hanya saja agak berbeda. Bapang yang seharusnya berwarna merah, kini berubah menjadi hitam. Kedua pergelangan jaya juga ikut menghitam.

"Bapang," gumam Deva.

Jaya menatap tajam ke arah Sudarsana. "Beraninya menyakiti Mas Deva!" Ia mengangkat pedangnya dengan dua tangan. Atma hitam terhisap ke pedang hitam miliknya. "Resonansi jiwa!" Seperti resonansi jiwa Bapang pada umumnya, Jaya bertranformasi. Namun, kali ini pedangnya juga ikut berubah. Pedang itu menjadi agak besar dan agak bergerigi. "Pinjamkan aku kekuatanmu, Akara." 

Deva pun bangkit, ia menahan sakit dan memusatkan atma pada satu tinjunya. Kuda-kudanya melebar dengan tangan yang tertahan ke belakang menunggu untuk dilesatkan. Ia dan jaya mengumpulkan atma hitam dan emas dengan skala besar.

Di sisi lain, Sudarsana juga mengumpulkan atma hitam pada Budha raksasa miliknya. Budha hitam itu membuat sebuah bola hitam dari mulutnya.

"MATILAH KALIAN!" Sudarsana melepaskan tembakan bola hitam itu ke arah Jaya dan Deva.

Deva meninju ke arah Sudarsana dan melepaskan seluruh atma emas yang ia serap. "Gantari."
Cahaya matahari.

Jaya melesatkan pedangnya secara vertikal, melepaskan atma hitam yang ia serap menjadi tujuh gelombang. "Sapta Timira."
Tujuh kegelapan.

Benturan atma berskala besar itu bertabrakan dan saling mendorong. Baik Deva maupun Jaya, keduanya sama-sama baru pertama kali menggunakan jurus barusan. Mereka sangat kelelahan menahan serangan itu agar tidak kalah dengan milik Sudarsana. Sementara Sudarsana masih terlihat kokoh dengan kuda-kudanya. Ia menyeringai. Namun, di tengah seringai itu ia merasa ada hal yang janggal. Ada sesuatu yang ia lewatkan.

'Ke mana si Satu Darah itu?'

Tak ada unit bantuan yang datang. Selain itu juga para bawahannya yang dilumpuhkan Deva menghilang. Tak ada orang lain di daerah ini kecuali para pengguna atma. 'Ke mana perginya mereka semua?'

Pada satu titik, Sudarsana terbelalak menyadari sesuatu. "SUTRESNA, KARTA, CARI SI BUTA!"

Mereka berdua pun baru menyadari bahwa Gerhana menghilang dari tengah-tengah pertempuran. Namun, mereka tak mampu berbuat banyak mengingat Dirga dan Tirta masih menjadi lawan mereka.

Seringai itu terpampang. Gerhana melepaskan jari-jarinya yang saling menempel. "Menghilanglah ...," gumamnya lirih.

Semua yang ada di area itu mendadak terkejut. Pasalnya mentari baru saja absen pergi, sementara bulan naik tahta ke singgasana langit. Perlahan tabir ghaib yang menyelubungi medan tempur luntur memudar.

"Apa yang terjadi?" tanya Sutresna.

Sudarsana mengerutkan kening. "Orang itu menutup area ini dengan tabir ghaib. Pantas saja tak ada yang datang membantu kita. Hal itu juga yang menjelaskan hilangnya orang-orang kita dari tempat ini. Ketika tabir ghaib aktif, garis waktu akan terpecah antara waktu di dunia nyata dan di dalam tabir. Waktu yang berada di luar tabir akan lebih cepat bergulir, sementara yang di dalam tak akan merasakan perbedaan waktu."

"Jadi itu alasan orang ini terus bersembunyi!" seru Sutresna.

"Yo." Gerhana keluar dari tempat persembunyiannya. Ia seperti orang yang sehat tanpa luka. Sangat berbeda dengan keadaannya yang sedari tadi setengah sekarat. "Terimakasih banyak atas waktu dan bantuannya. Sekarang silakan beristirahatlah. Serahkan sisanya padaku. Biarpun jahat, aku ini gemar membalas budi." Ia menyeringai menatap Sutresna. "Dimulai dari kau. Sing duwe bengi ...." Gerhana memasang kuda-kuda andalannya. "Ngelebur srengenge."

Sutresna terbelalak. Gerhana menjadi kepulan asap hitam dan muncul di depannya. Mendadak mata Sutresna mengalami buta total, tak ada cahaya barang setetes pun. Gerhana mencengkeram kepala Sutresna dan membantingnya ke tanah hingga kepala itu mengalami pendarahan serius. "Ini untuk satu-satunya sahabatku!" Ia melesatkan satu pukulan penuh atma tepat di kepala Sutresna. Tanah tempat kepala itu beralas langsung hancur bersamaan dengan kepala Sutresna.

Raigor mengganti targetnya. Makhluk itu melesat ke arah Gerhana. Sontak Gerhana menoleh ke arah makhluk itu dengan kedua mata yang masih tertutup tanpa penutup matanya. Gerhana mencengkeram kepala makhluk itu dan meremuknya hingga pecah seperti balon air.

"KURANG AJAR!" Belum sempat mulutnya tertutup. Karta terbelalak ketika Gerhana tiba-tiba muncul di belakangnya sambil mendekap kepalanya. Tanpa kata, Gerhana memutar kepala itu hingga menghadap ke belakang. Nyawa Karta hilang di tempat.

Lesatan hitam milik Sudarsana masih beradu dengan serangan gabungan Deva dan Jaya. Kini Sudarsana merasa terpojok. Jika ia melemahkan serangan itu, bisa-bisa serangan gabungan Deva dan Jaya mengakhiri hidupnya, tetapi jika dibiarkan ... Gerhana yang menjadi ancaman baginya.

"Sepertinya kau sedang dalam kondisi yang tidak bagus, Tuan Mentri," ucap Gerhana mendongak. "Maaf, mksudku, Tuan penjahat."

"JANGAN MENATAPKU REMEH, SATU DARAH!" Tangan-tangan milik Budha hitam melesat cepat mengincar Gerhana.

Gerhana tertawa gila. Ia membuka kedua matanya perlahan. "Purnomo." Mata kanannya memiliki bola mata merah dengan tulisan aksara jawa bermakna purnama. Mata itu mampu melihat gerakan pun dalam tayangan lambat. Gerhana menghindari setiap serangan tangan hitam itu dan berpindah dari satu titik ke titik lain dengan merubah dirinya menjadi kepulan asap hitam.

Mata kirinya pun memiliki sebuah ukiran aksara jawa bermakna sabit. Dengan mata itu Gerhana mampu memprediksi masa depan untuk mengambil keputusan. Ia mampu mengantisipasi serangan dan melancarkan serangan secara efektif.

Perlahan Gerhana menjadi kepulan asap hitam dan berpijak pada tangan-tangan hitam itu hingga melambung tinggi ke angkasa. Dirinya kini berada tepat di atas Sudarsana. Sedikit lebih tinggi dari patung Budha hitam raksasa.

Budha hitam menarik tangan-tangannya kembali, lalu menyatukannya menjadi satu tangan raksasa. Ia lesatkan satu pukulan itu untuk membunuh Gerhana.

Gerhana tersenyum. "Tak ada yang mampu mengalahkanku di malam hari, bahkan keempat Bencana sekali pun." Tubuhnya mengeluarkan cahaya kebiruan akibat menyerap cahaya bulan. Ia tatap lesatan tangan hitam itu dalam tayangan lambat dengan mata kanannya. Ia tempelkan seluruh jari-jarinya membentuk segitiga yang mengarah lurus ke tangan hitam itu dan juga Sudarsana. Suasana mendadak hening.

"Kidung chandra."
Nyanyian bulan.

Gerhana menarik atma ke mulutnya dalam-dalam, ia tahan sejenak, lalu ia hempaskan melewati jari-jarinya untuk mempertajam serangannya. Sebuah lesatan cahaya melumat habis tangan hitam itu dan menghancurkan Budha raksasa hitam tersebut. Bukan hanya itu, sebuah ledakan terjadi di sekitar area Sudarsana berpijak. Kidung Chandra, Gantari, dan Sapta Timira saling beradu di titik tersebut, membuat sebuah ledakan kecil yang membakar area itu.

Gerhana yang terjatuh dari ketinggian segera merubah dirinya menjadi kepulan asap hitam dan menghilang dari pandangan mereka semua. Bak seorang hantu. Tanpa jejak, tanpa aroma.

Sudarsana berlutut dengan kedua bola mata hangus yang membulat utuh tanpa nyawa. Darah mengalir dari telinga, mata, hidung, dan mulutnya. Serangan barusan juga membuat telinga mereka semua berdengung cukup lama, hingga pada akhirnya kembali normal seperti semula.

Dalam sekejap, hanya seorang diri saja Gerhana membantai tiga orang paling berpengaruh di Dogma. Pada malam sebelumnya, musuhnya terlalu banyak sehingga ia harus menghemat tenaga. Namun, kali ini berbeda. Musuhnya hanya tiga orang, ditambah, ia memiliki sekutu sementara. Pertempuran di Bandung ditutup dengan kekalahan telak Dogma.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top