140 : Prepare For the War.

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Jogja.

Seperti halnya Satu Darah, Dogma juga memiliki tato nomor yang merupakan urutan eksperimen mereka. Nomor empat Dogma kimi berhadapan dengan nomor dua belas Satu Darah. Pemuda Dogma itu berjongkok seperti membuat pose untuk menerjang.

"Bersiaplah, Tuan." Ia melesat dengan cepat. Dari tangannya muncul sebuah benda hitam yang membentuk sebuah kapak. Pemuda itu mengincar kepala, tetapi Rizwana mundur satu langkah dan menjatuhkan dirinya ke tanah.

"Ooops ... hampir," ucap Rizwana.

Pemuda itu menyeringai. "Panggil saja aku, Kil, Tuan Satu Darah."

Rizwana bangkit sambil memutar tombaknya mengincar leher pemuda itu. Kil masih berada pada posisinya. Benda hitam itu bergerak melindungi bagian tubuhnya yang terancam. Dari kapak, kini berubah wujud menjadi seperti zirah darah Karara Reksa, hanya saja berwarna hitam.

"Benda itu ...."

Kil menyeringai. "Darah terkutuk, sepertimu."

Rizwana tersentak dengan jawabannya. "Angkhara?"

"Lebih tepatnya darah Angkhara. Kami para high number memiliki darah terkutuk!" Ia memutar tubuhnya berusaha menyerang Rizwana. Benda hitam itu merubah wujudnya menjadi kepala anjing dan menggigit lengan Rizwana yang terluka akibat serangan Arya Ganapatih. "Aku hanya akan membuatmu sekarat, sekarang cepat panggil bala bantuan. Aku ingin melawan salah satu pembawa bencana."

Rizwana tersenyum. "Omong kosong, kau mermehkanku, heh?"

"Aku hanya tertarik pada orang-orang kuat," balas Kil. "Kau terlalu standar."

Rizwana terkekeh. "Ya, kita lihat saja." Aura di sekitarnya berubah. Muncul enam tombak yang melayang mengitarinya.

"Sambil menunggu rekanmu, sepertinya kau penghibur yang cukup lumayan. Jangan kecewakan aku, Tuan."

"Tidak ada yang akan datang ke sini," ucap Rizwana.

***

Jakarta.

Seorang gadis kecil lari dikejar oleh mayat hidup. Ramai berita bahwa Jakarta kini diserang oleh sekumpulan zombie.

"Aduh!" Anak gadis itu terjatuh akibat tersandung. Kakinya berdarah dan tak bisa berlari lagi. Ia menangis menatap ke belakang. "Ayah ... Ibu ...." Ia berusaha meminta pertolongan pada Ayah dan Ibunya yang entah ke mana. Mereka terpisah akibat kerusuhan.

Ketika mayat itu berhasil meraih si gadis kecil, sebuah tangan mencengkeramnya. Tangan itu memiliki kuku-kuku yang tajam.

"Bocah, di mana orang tua kamu?" tanya seorang pria bersuara berat. Pria dengan jaket gombrong, lengkap dengan topi hip-hopnya.

Gadis itu menggeleng tak tahu. Ia memegangi kakinya yang terluka sembari menangis.

"Jangan nangis lagi. Nanti Abang bantu cari orang tua kamu."

Perlahan tangisan itu terhenti. Gadis itu mati-matian menahan tangisannya. Setidaknya, ada seseorang yang kini menolongnya.

"Tutup mata kamu, ya," ucap pria itu tersenyum. Gadis itu menuruti perintahnya tanpa banyak tanya.

'Sial, jadi harus repot-repot nolongin orang. Dah lah, anggap aja karma deh.' Batinnya.

Ettan Rawasura pernah berjanji pada Jaya untuk berubah. Ia tak akan sembarangan membunuh lagi. Meskipun Jaya tak memaafkannya atas kematian Wengi, tetapi Ettan merasa bersalah dan berusaha menepati janjinya. Daripada membunuh, kini Ettan memilih untuk melindungi manusia.

Perlahan tubuhnya berubah menjadi kera putih. Ia menerjang mayat-mayat itu dan memotong bagian-bagian sendinya agar tak bisa bergerak. Sebab percuma, mereka tak bisa dibunuh. Mereka adalah tentara abadi. Cara melumpuhkan mereka adalah dengan memutilasi jasadnya agar tak bisa bergerak bebas.

Lembut belaian itu membuat si gadis kecil merasa tenang. "Kamu udah boleh buka mata sekarang," ucap Ettan.

Tak ada apa pun. Mayat hidup yang mengejarnya sudah hilang entah ke mana. Ettan menggendong anak itu di pundak. Ia berjalan membawa gadis kecil itu menuju tenda pengungsian.

"Terimakasih, Kakak," ucap si gadis kecil.

Terbesit senyum tipis di bibir Ettan.

***

Di sisi lain Indri mencengkeram lengan Andis. Ia ketakutan setengah mati melihat mayat-mayat hidup mengepung rumah mereka seperti jamur.

"Aku takut ...," gumamnya lirih tak mau melepaskan Andis.

"Kamu tenang, ya. Sembunyi di kamar aja. Tutup semua pintu sama jendela," ucap Andis lembut. Ia meninggalkan istrinya dan berjalan keluar dengan wajah garang. Dengan santai Andis membuka pintu dan jadi pusat sorotan para mayat hidup. "Tidak seharusnya kalian berada di sini," tutur Andis. Para mayat hidup yang kelaparan itu berlarian mengincarnya.

Andis menutup mata, menghela napas, kemudian membuka matanya kembali perlahan. Ia agak membungkukkan tubuhnya sambil menyentuh punggungnya. "Segoro Geni, Segoro Geni, Segoro Geni."

Di sisi lain Harits tiba-tiba merasa mual dan sontak muntah di tengah tragedi kebakaran. Raja Banaspati itu keluar dari tubuhnya dan melesat menuju pemilik aslinya.

Ketika mayat hidup itu hampir menyentuhnya, sebuah cahaya melesat dari angkasa merasuki tubuh Andis. Dalam tayangan lambat, kawanan mayat hidup itu terpental menjauh darinya dengan kondisi terbakar. Kini mata kanan Andis berwarna hitam dengan bola mata putih. Sebuah cambuk api berada dalam genggamannya.

"Mengamuklah, tapi jangan bakar rumahku," gumamnya.

"Oke." Seringai itu tercetak di wajah Andis. Ia bertukar posisi dengan Segoro Geni.

***

Bandung.

Tanpa penutup matanya, Gerhana duduk di tumpukan mayat sambil menatap Sutresna.

"Apa kau yang membunuh Kei?" tanyanya pada Sutresna.

Pria berseragam militer itu tak menjawab. Ia hanya menatap tajam ke arah Gerhana.

Gerhana turun dari puncak mayat dan berdiri menghadap Sutresna.

"Apa kau tuli?"

Sutresna berjalan ke arah Gerhana dengan wajah gusar. Tak seperti manusia biasa, tangan kirinya mirip tangan Bapang versi resonansi jiwa. Hanya saja berwarna hitam. Terlebih, tangan besar itu seperti berdetak.

"Selain mantan Yudistira, aku juga akan membunuhmu dan rekan-rekanmu. Kalian itu kerikil yang menghalangi jalan," ucap Sutresna.

Gerhana melebarkan kuda-kudanya. "Sing duwe bengi."

Sutresna merasakan aura yang luar biasa memancar dari pria di hadapannya.

'Aura macam apa ini?'

"Ngelebur srengenge."

Pengelihatan Sutresna mendadak buta. Gerhana seakan melahap cahayanya. Di tengah bingungnya, matanya membulat utuh ketika sebuah tinju menghantam ulu hatinya. Sutresna terpental dan memuntahkan darah. Perlahan pengelihatannya kembali ketika tubuhnya menghantam sebuah bangunan.

Gerhana, pria itu unik. Ia memang buta, tetapi di kala malam ia mampu melihat dengan samar. Bulan seolah menjadi mata untuknya. Terlebih, ketika 'gerhana' tiba, ia mampu melihat dengan jelas.

"Malam ini kau akan mati," ucap Gerhana. "Apa ada kata-kata terakhir?"

"Bajingan!"

Gerhana tersenyum. "Kata-kata yang indah. Akan ku sampaikan pada keluargamu."

***

Jakarta.

Seorang pria bersinglet putih duduk bersandar di sofa dengan kedua kaki yang lurus berselonjor di atas meja. Ia sedang mengisi amunisi shotgun sambil sesekali melirik ke arah berita di televisi. Sebatang rokok menempel di mulutnya. Ketika shotgunnya sudah terisi penuh, ia memutarnya dan menodong ke arah televisi.

Perawakannya tak terlalu tinggi, tetapi cukup kekar. Berewok tipis yang menghiasi wajahnya membuat ia terlihat seperti seorang pria sejati.

Dering ponsel membuatnya meletakkan senjata itu di atas meja, lalu meraih ponselnya. Pria itu mengangkat telpon sambil matanya tak lepas dari berita.

"Kau sudah lihat berita hari ini?" tanya suara di balik panggilan.

Pria itu mencabut rokok dari mulut sembari membuang asapnya. "Ya. Sudah," jawabnya dengan suara berat.

"Kau tahu maksudku menelponmu berarti."

Pria itu bangkit dari sofa dan berjalan mengambil jaket merah bertuliskan 'Nevermore', lalu mengenakannya. Sesekali ia hisap kembali rokoknya sebelum kembali bicara.

"Melihat berita Jakarta saja aku sudah menduga kau akan menelpon," balas pria itu. Kini ia berjalan mengambil bungkusan panjang berwarna putih. "Kau butuh bantuanku, kan?"

"Aku butuh yang terbaik di antara yang terbaik," jawab suara di balik panggilan.

Kini pria itu mengapit ponselnya di bahu sambil menenteng bungkusan putih dan shotgun. Ia juga melirik seorang pria berkaus putih dibalut jaket parka krem yang sedang bermain rubik dengan wajah datar.

"Hey, habiskan kopimu. Kita akan berburu," ucap pria itu pada rekannya yang terlihat santai. Setelah itu, ia fokus kembali pada suara di balik ponsel.

"Aku mengandalkanmu, Sagara."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top