14 : Pasangan Pembuat Onar

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Malam masih panjang, Harits masih sibuk dengan pekerjaannya sambil sesekali melirik Sekar yang berada di depan. Gadis itu tampak sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Nada diam-diam memperhatikan senyum tipis di bibir Harits. Ketika mentari terbit, bulan pasti tenggelam, begitulah mereka jika diibaratkan mentari dan bulan.

Denial adalah kondisi saat seseorang mengabaikan fakta yang terjadi di depan mata, terutama ketika situasi tak sesuai yang diharapkan.

Melodi kini paham, sebenarnya Nada menyukai Harits, tetapi Nada menolak fakta tersebut karena berada di antara dua pilihan. Nada memang tak pernah jatuh cinta sebelumnya, jadi ini kali pertama ia mengalami sebuah gejolak dalam dirinya.

Faris memang pria yang Nada sukai, tetapi karena pernah mengintip masa lalu Harits, tanpa sadar, Nada mengaguminya juga. Seperti halnya Tama yang menyukai Aqilla karena sebuah kenangan dari pick gitar yang tertinggal di Mantra Coffee dulu.

"Senyam-senyum sendiri aja. Suka ya, mas?" tanya Jaya yang melihat Harits sering melirik ke arah Sekar. Seketika itu wajah Harits menjadi datar. Ia menatap Jaya tanpa kata, membuat Jaya tersenyum dengan keringat dingin.

Duh, salah ngomong. Dipukul deh ....

"Lu enggak akan ngerti, Jay," ucap Harits sambil berjalan menuju pintu. "Lu itu culun."

Perasaan kita selevel deh. Jay menggeleng sambil menatap punggung Harits.

Deva yang merasa tak ada kerjaan berjalan ke arah dapur. "Nad, ajarin aku bikin beberapa menu dong. Untuk kopi aku udah bisa sih dikit-dikit, tapi non coffee nya belum terlalu bisa."

Nada memberikan isyarat pada Jay untuk mengambil alih. Nada melepas apronnya dan berjalan ke arah Melodi.

"Jadi minta diajarin, mas Deva?" tanya Jaya.

"Sebenernya aku mau ngajak Nada ngobrol aja sih, jadi sekadar basa-basi. Aku bisa kok buat semua menunya." Deva tersenyum dan kini mengambil alih bagian dapur bersama Jaya.

"Dia cemburu kayaknya," ucap Jay.

"Yah ... siapa yang tau."

Di sisi lain Harits datang menghampiri Sekar dan duduk di sebelahnya. "Tugas apa sih?"

"Nyari artikel buat bahan presentasi," jawab Sekar.

"Kamu mau pulang kapan?"

"Nanti aja kalo kafe udah close. Aku enggak mau ganggu kamu kerja."

"Santai aja sih, ada banyak rakyat di dalem," balas Harits. "Ini juga lagi enggak terlalu rame kok."

"Kopi racik tubruk yang biasa, ya, Bos!" Tiba-tiba seseorang merangkul Harits dari belakang. Harits menoleh dan mendapati Wira yang berdiri di belakangnya menatap Sekar. "Oi, Kar. Ngapain kamu di sini?"

"Wira, ngapain kamu?" tanya Sekar ketika Wira menyapanya.

"Yeh, malah nanya balik," balas Wira. "Aku emang sering nongki di Mantra."

"Kalian pacaran, ya?" tanya Harits mendadak. Membuat Sekar dan Wira menatap ke arahnya.

"Siapa yang pacaran?" ucap seorang wanita yang berada di belakang Wira. Seketika itu, Wira dan Sekar berkeringat dingin, Wira menoleh ke belakang. Sementara Sekar menarik Harits, dan berbisik. "Harits ... Wira itu udah punya pacar, dan pacarnya itu--galak."

"Enggak kok, itu si Harits aja yang ...."

"Kamu punya pacar lagi?" potong wanita itu dengan tatapan yang mengintimidasi Wira. Memang, ini kali pertama Wira membawa pacarnya ke Mantra Coffee. Karena biasanya Wira selalu datang sendirian.

"Enggak ada, sumpah! Pacarku itu cuma kamu doang, Dewi," ucap Wira.

Dewi berjalan ke arah mereka dan mendapati Sekar di sana. "Oh, Sekar. Kamu pacarnya Wira juga?"

Juga? Harits memicingkan matanya.

"Bu-bukan, Dew."

"Kok gagap?" Dewi memasang ekspresi seolah siap membunuh Sekar kapan saja.

Sejujurnya Dewi memang wanita yang menyeramkan. Wira, Sekar, dan seluruh orang yang mengenalnya pasti merinding ketika berurusan dengan Dewi. Namun, tak seperti Sekar dan Wira, Harits justru meneguk ludah menatap Dewi.

Bagaimana tidak? Dewi itu cantik, hanya saja sedikit garang. Ia juga mengenakan hot pants berwarna hitam, yang kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Selain itu, pakaiannya cukup sexy dengan kaus belahan rendah dan ukuran aset yang sangat membagongkan, membuat lelaki mana pun meneguk ludah termasuk Harits. Ada tato harimau di bagian atas dadanya.

"Sayang, kamu jangan liatin Dewi sampe begitu ah matanya. Aku cemburu." Sekar menarik tangan Harits dan menggandengnya seolah-olah mereka adalah seorang pasangan.

"Oh, pacarnya si cebol," ucap Dewi sambil mengunyah permen karet. Kini wanita garang itu menatap Wira. "Awas kalo selingkuh. Aku bunuh kamu, Wir."

"E-enggak akan kok." Wira membawa pacarnya ke dalam kafe, meninggalkan Harits dan Sekar yang masih bergandengan.

Sekar menghela napas tenang. "Maaf, ya." Gadis itu melepaskan gandengannya. "Maaf banget. Aku takut banget sumpah sama Dewi, jadi refleks cari aman gandeng kamu. Dia itu ratunya seluruh cewek-cewek jahat di dunia."

"Nyahaha bisa gitu ya. Aku juga enggak tau kalo Wira punya pacar yang sangar. Kamu sama Wira jadi harus kena masalah gara-gara aku sembarangan ngomong."

Sedikit obrolan santai, lalu Harits kembali ke dalam. Ia menatap Deva yang sedang membuat beberapa menu pesanan. "Bang gondrong, sok iye dah."

"Elu nya kabur, jadi gua deh yang repot," balas Deva.

"Nada mana?" tanya Harits.

"Itu di kasir," jawab Jay. Harits menoleh ke arah Nada. "Oh iya, enggak liat."

Enggak liat?

"Matanya rabun ayam," celetuk Nada dengan wajah datar.

Seperti ada medan magnet, mata Harits mengarah pada Dewi yang sedang duduk memainkan ponselnya. Matanya jelalatan menatap pada ... ah sudahlah.

"Bukan rabun deh, tapi mata keranjang!" lanjut Nada.

Sindiran Nada membuat Dewi menoleh. Karena hanya dia wanita yang menjadi sasaran mata jelalatan para lelaki. Dewi memergoki Harits yang salah tingkah. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Harits. "Lihat apa?" tuturnya lembut menggoda.

Harits meneguk ludah. "Ha-harimau ...," jawabnya.

Deva dan Jaya mengusap jidat dan tak berani menatap Harits. Nada langsung berpura-pura tak melihat, seolah tak tahu apa-apa.

Suasana Mantra seketika panas seolah AC mereka tak berfungsi. Entah, keringat mulai bercucuran. Namun, Melodi sadar, panas ini bukan karena udara. Hawa panas ini familiar untuknya, ketika Wira menghajar Harits dan seluruh Mantra.

Nowei!

Melodi segera bertindak. Ia berjalan agak cepat dan menarik topi Harits, lalu membawanya keluar.

"Ah! Topi gua!" Harits tak senang dengan siapa pun yang melepas mahkotanya. Ia segera mengejar Melodi. "Balikin topi keren gua!"

"Woy, spongebob! Topi gua ...." Topi birunya terlempar hingga menutupi wajah Harits.

"Udah aku bilang, kan. Jangan cari gara-gara sama Wira, ih!"

"Aku enggak ada masalah sama Wira." Gara-gara Melodi, logat Harits berubah menjadi aku-kamu.

"Dia itu bukan orang biasa!"

"Terus apa? Orang luar angkasa? Alien?"

"Pokoknya jangan cari masalah! Jangan jelalatan sama pacarnya! Mata kamu tuh dijaga!"

"Aku liatin tatonya doang," balas Harits. "Jangankan dia. Mas Abet aja aku liatin terus."

"Kamu suka sama mas Abet?"

"Tatonya, Melodi. Tatonya mas Abet! Najong banget banget liatin cowok tanpa alasan. Aku suka tatonya doang, pokoknya apa pun yang artistik."

"Tapi itu cewek tatonya di dada! Mana bajunya aduhai banget lagi tuh orang. Pokoknya jangan buat Wira marah!"

"Takut banget sih sama Wira. Dia cuma lebih tua setahun doang. Santai aja kali."

"Ih! Pokoknya awas!" Melodi berjalan menuju kafe. "Inget, ya!"

Apaan sih cewek gila ....

Harits melirik ke arah Sekar yang sedang menatapnya. "Pertikaian sepasang kekasih?" ucap Sekar sambil tersenyum menyandarkan dagu pada telapak tangannya.

"Enggak, ya! Gatel-gatel aku kalo suka sama dia mah," balas Harits.

"Kamu masih sibuk? Aku mau pulang, tugasku udah selesai."

"Enggak kok. Yuk, aku anter. Sebentar ya, ambil kunci motor." Harits masuk ke dalam Mantra.

***

"Seru ya, bisa kuliah sambil kerja? Mana kerjanya bareng temen-temen," ucap Sekar di jok belakang motor.

"Suka duka deh pokoknya." Harits fokus pada jalanan. Namun, ia melaju lambat agar dapat berbincang santai dengan Sekar.

"Aku masih penasaran ...."

"Tentang?"

"Kamu."

Harits terdiam beberapa saat. "Aku?"

"Entah, aroma kamu familiar."

"Oh, aku pake parfum Ayahku. Daripada enggak ada wangi-wangian jadi pake parfum dia deh. Mau beli juga males, jadi yaudah deh, yang ada aja. Mungkin kamu pernahnya ketemu Ayahku, maybe?"

"Aku cuma merasa, kita pernah ketemu aja, tapi cuma perasaanku aja sih kayaknya."

"Mungkin ...." Harits berusaha mengingat, tetapi memang tak ada memori sejenis itu di kepalanya. Setelah itu tak ada kata yang terucap di antara mereka hingga Sekar tiba di kos-kosanya.

"Jangan lupa kalo main ke Mantra Coffee bawa temen-temen yang banyak. Sekalian bawa cewek jomblo, mau aku kenalin sama Jay," ucap Harits.

Sekar turun dari motor Harits. "Iya, nanti aku bawa temen-temenku. Betewe, makasih banyak, ya. Maaf ngerepotin." Ia berjalan masuk ke gerbang sambil menatap Harits.

"Santai. Yaudah, aku pulang dulu."

"Hati-hati di jalan, Harits."

.

.

.

TBC




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top