139 : Bloody Reuniun

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Tasikmalaya.

Deva segera berkemas. Ia berniat kembali ke Jogja setelah melihat keadaan Mantra Coffee dari berita.

"Mau ke mana? Baru juga sampe," ucap Mila.

"Mau ke Jogja lagi."

"Mau ngapain?"

"Deva khawatir sama temen-temen, Bu. Mereka mau tinggal di mana coba? Rumah yang kita tempatin udah hangus terbakar jadi abu."

Dirga tiba-tiba muncul dari balik tubuh Mila. Melihat Deva yang bersikukuh pergi, Mila menatap Dirga. "Bilangin tuh anaknya. Keras kepala banget kayak kamu."

"Dev." Dirga memanggilnya.

Deva menghela napas. Ia tak ingin melawan Dirga kali ini. Tentu saja ia tidak akan ke mana-mana jika harus mengalahkan Dirga terlebih dahulu. Sejenak ia menatap wajah ayahnya dengan raut pasrah.

"Sini ayah anter sampe dapet bus ke Jogja."

Mila mencubit Dirga. "Heh!"

"Awww!"

"Kamu tuh gimana sih?!" tanya Mila.

"Lah, biarin aja sih. Kalo dilarang juga dia bakal kabur." Dirga menatap Deva. "Kabur, kan?"

Deva mengangguk. "Pasti."

"Daripada begitu, terus kejadian gara-gara enggak dapet restu orang tua. Mending izinin aja sekalian biar dapet berkah," ucap Dirga.

"Bapak sama anak sama aja!"

"Lah, kalo beda bingung. Anak siape?" balas Dirga.

Mata Mila berkaca-kaca. Dirga mengusap dagunya sendiri. 'Yah elah, jurus andalan.'

"Kalo emang gitu, kamu pergi sekalian! Temenin Deva, sekalian cari kosan baru. Enggak usah cariin bus, sana anter sampe Jogja! Pastiin dia enggak kenapa-napa!" ucap Mila.

"Dia bisa jaga diri, aku lebih khawatir sama kamu di sini," ucap Dirga.

"Di sini ada Tirta sama Mas Gemma, ada Rava juga sama Ageng dan Wisesa. Udah sana, kalo kamu enggak mau temenin Deva. Aku enggak mau ngizinin!"

"Ya udah, aku anter," balas Dirga sembari menggaruk kepala. Ia sontak menatap Deva. "Dev, nanti ke Jogjanya bareng Ayah. Besok pagi aja. Sekarang kamu istirahat dulu."

"Oke, Yah." Deva berjalan ke tepi kasur, lalu membaringkan dirinya menatap langit-langit.

Mila menatap Dirga dengan sinis, kemudian berjalan pergi diikuti Dirga.

"Kamu tuh harusnya larang Deva, sekarang ini di luar sana lagi banyak kejahatan, kan? Makanya kita ngungsi ke sini sekarang," ucap Mila.

"Deva anak yang baik, tapi dia keras kepala. Aku tahu apa yang akan terjadi jika kita ngelarang dia pergi. Percaya sama aku."

"Jagain dia ya, Sayang," gumam Mila lirih. "Kalian itu bisanya cuma bikin aku khawatir terus."

Dirga membelai rambut Mila. "Dia anakku. Enggak usah kamu suruh pun aku pasti jagain dia, kamu, dan Dinda."

Mila tersenyum. "Makasih, ya."

***

Kalimantan Tengah.

"Arai." Seorang anak kecil berlari dan memeluk Arai disusul anak-anak lainnya. Mereka tertawa bersama sambil menempel pada Arai untuk melepas rindu.

Tawa-tawa riang itu berubah riuh memanggil namanya. Hingga pada satu titik suara-suara itu melirih, dan terdengar suara lembut wanita menyapa telinganya. Wanita itu memegang tangan Arai. Mereka saling bergandengan menatap Sungai Kapuas. Sesekali wanita itu mengusap lengan kekar Arai yang kasar dengan jari lembutnya.

"Arai, jangan berhenti menari. Aku suka tarianmu," ucap wanita itu sambil menyematkan senyum terindahnya.

Air mata pria kekar itu luruh membaur dengan deras hujan. Tak ada siapa pun. Hanya ratusan mayat tanpa kepala yang berada di sekeliling Arai. Riuh yang menyapa hangat mendadak dingin kesepian. Hujan lebat membasahi Arai Purok di tanahnya sendiri. Semua hilang, yang tersisa hanyalah kenangan.

Semua orang di desanya telah mati akibat perang yang terjadi ketika pemerintah membabat habis tanah Dayak. Bertahan dari senjata-senjata berat bukanlah hal yang mudah. Era telah berganti.

"Jangan bergerak!" Rombongan tentara datang mengepung Arai dengan senjata berat. Tubuh mereka gemetar ketika berdiri di tengah padang manusia tanpa kepala.

"Danum ... seperti katamu. Aku akan terus menari-nari, menyanyikan mantra-mantra api dengan nada-nada yang gusar." Arai kembali menari dengan wajah penuh murka. Mandau-mandaunya melayang menerbangkan kepala-kepala lawan di hadapannya. "Dayak tidak akan pernah mati!"

Arai tak berperang sendirian. Suku Dayak yang masih bertahan dan ingin melakukan pemberontakan karena merasa dijajah pun ikut membantu Sang Panglima Burung untuk merebut kembali tanah Dayak dari kerakusan setan-setan tanah.

Salah seorang perwira terjatuh lemas dengan tubuh gemetar. "Tolong ampuni saya!"

"Ampun?" Arai berjalan pelan menghampiri orang tersebut. "Apa yang kalian pikirkan saat membunuh anak-anak dan para wanita Dayak yang tak bersalah?"

"Ka-kami hanya menjalankan perintah dari atasan," balas perwira tersebut. Ia merasakan kematian berjalan disampingnya.

"Ya, sama sepertimu. Aku pun mengikuti perintah dari atasan. Atasanku adalah hasrat membunuhku sendiri, dan saat ini ia memerintahkanku untuk membunuh kalian tanpa belas kasih!"

Salah satu mandaunya melesat memengal kepala perwira tersebut. Darahnya membasahi kaki Arai yang sedang menatapnya rendah.

"Jangankan kalian. Jika dunia berusaha menjajah Dayak, aku akan berdiri di garis depan untuk berperang." Arai berjalan pergi. Pekerjaannya masih banyak untuk merebut kembali provinsi-provinsi yang dikuasai oleh Dogma dan para pasukan kotor pemerintah.

***

Yogyakarta.

Rizwana dihadapkan dengan mantan rekannya di Kencana Selatan. Rupanya selama ini Arya merupakan antek dari pemerintah yang bertugas memantau pergerakan Kencana Selatan dan kelompok gelap lainnya.

"Bersiaplah, Ular. Aku akan membunuhmu."

"Ular?" Arya tertawa. "Ya, keluarga Ganapatih memang identik dengan darah siluman ularnya, tapi aku sudah berada di level yang berbeda." Arya Ganapatih membuka tudung hoodienya. Rizwana menatap tajam ke arah dua tanduk di kepalanya. "Ular ini telah bertransformasi menajdi seekor naga!" Ia melesat ke arah Rizwana dengan sosok siluman naga. Bagian perut kebawahnya tiba-tiba berubah wujud menjadi naga. Sementara bagian atasnya masih manusia, tetapi bersisik.

Ganapatih menggenggam dua bilah keris. Keris-keris tersebut merupakan warisan keluarga Ganapatih. Keris Sancaka dan keris Taksaka.

Rizwana melukai dirinya sendiri. "Zirah darah." Darah dari lukanya menjalar hingga menutupi tubuh Rizwana. Ia menangkis keris tersebut dengan tombak Karara Reksa.

"Kau sudah tidak berguna, Rizwana. Sekarang aku akan membunuhmu."

Rizwana tersenyum di balik zirah. "Wah, wah, wah, aku jadi tidak sabar." Ia mementalkan Arya, lalu menyerang balik dengan menghunuskan tombaknya.

"Sebaiknya kau merasa takut. Sebab aku akan menunjukkan kemampuan asliku sebagai Komandan Dogma." Arya berdiri di atas tombak Rizwana. Ia menatap rendah mantan pimpinannya tersebut. "Aku tidak akan meremehkanmu, Rizwana. Jadi bersiaplah, kita mati-matian dari awal!"

Rizwana mengayunkan tombaknya, Arya pun melompat turun. Ia melesat kembali seperti ular dan menikam bagian kedua lengan pada zirah darah.

Rizwana mengerutkan kening. Zirah merah itu perlahan menghitam dan menyebar. Pusatnya berada di titik serang keris Sancaka dan Taksaka.

"Hati-hati, keris ini bernapas. Napas mereka adalah racun," ucap Arya.

Rizwana hendak melepaskan diri, tetapi Arya menjatuhkannya ke tanah dan mengunci ruang gerak Rizwana.

"Zirah ini adalah darahmu, kan? Sebentar lagi darah terkutuk mu itu akan bercampur dengan racunku. Kita lihat siapa yang lebih kuat, darahmu? Atau racunku!"

Racun dari Sancaka dan Taksaka menyebar masuk ke dalam luka Rizwana. Detak jantung Rizwana berhenti sesaat. Seketika itu Rizwana terbelalak dan zirahnya hancur. Kini kedua keris itu menembus dua lengannya yang tak terproteksi sambil menyuntikkan racun mematikan. Arya Ganapatih terbahak-bahak melihat tubuh Rizwana yang tiba-tiba mengejang. Dari matanya dan semua lubang di wajahnya keluar darah.

"Bagaimana rasanya racun dari Sancaka dan Taksaka, Rizwana?!"

Pada satu titik, Rizwana berhenti bergerak dengan tatapan kosong menatap langit. Mulutnya menganga seolah ingin berucap sesuatu, tetapi tak bisa.

"Bagaimana rasanya dihadapkan dengan ketidakberdayaan, hah?!" Arya tertawa melihat Rizwana yang mematung dengan wajah pucat membiru. "Keluarkan senyum bodohmu! Cepat!"

Di tengah tawanya, tiba-tiba Arya terdiam. Ia merinding menatap Rizwana yang tiba-tiba tersenyum lebar. Rizwana menempelkan jari telunjuknya ke bibir. "Stttt ... jangan bilang siapa-siapa, ya." Dari lukanya, darah-darah hitam melesat keluar dan menusuk Arya, menembus sisiknya yang tebal.

"Bajingan ...," gumam Arya yang langsung mundur setelah terkena serangan itu.

Rizwana menepuk tangannya hingga membuat gerakan Arya berhenti total. Tubuh Arya tak bisa merespons apa yang diperintahkan otaknya. Rizwana yang berbaring sambil menempelkan kedua telapak tangannya kini menatap Arya yang mematung dengan tampang psikopat. "Kau ingin lihat mana yang paling mengerikan? Darahku? Atau racunmu?" Rizwana tertawa seperti orang gila. "Hey, Arya. Karena sebentar lagi kau akan mati, akan aku beritahu rahasia kecilku." Rizwana bangkit dari posisinya.

Arya terbelalak menatap apa yang terjadi di hadapannya. "Hey ... apa yang kau lakukan?!" Pandangannya perlahan gelap.

Rizwana terbahak-bahak. Darah hitamnya bergerak seperti makhluk hidup dan membuat sebuah kotak hitam yang perlahan mengurung Arya.

"Benda hitam apa ini, Rizwana?!"

"Kemampuan darah hitamku," jawab Rizwana sesaat sebelum kotak itu tertutup rapat. "Kau ingin tahu mana yang terkuat, kan?"

Dalam sekejap, Arya terkurung di dalam darah tersebut. Rizwana merubah raut wajahnya menjadi serius.

"Mungkin kau tidak bisa mendengarku lagi, tapi tak masalah. Aku akan beritahu kenapa keluarga Angkhara di asingkan ke dalam hutan dan dibantai. Selain orang-orang terdahulu merencanakan pemberontakan, tentu saja ... itu karena kami berbahaya dan berpotensi membawa sanghara." Rizwana mengarahkan tangannya ke arah kotak hitam itu, lalu mencengkeramnya sekuat tenaga. "Pandora kematian."

Kotak hitam itu retak bagaikan kaca. Darah segar mengalir dari celah-celah pecahan tersebut. Rizwana menggenggam erat tangannya yang sedang mengacung ke arah kotak hitam tersebut. Seketika, kotak itu pecah bersamaan dengan tumpahan darah tanpa jasad.

Rizwana tersenyum, tetapi ia menangis. "Selamat tidur, kawan lama."

Suara tepuk tangan membuat Rizwana menoleh. Ditatapnya seorang pemuda berseragam SMA sedang menyeringai ke arahnya.

Rizwana mengerutkan kening, ia tak melihat aura apa pun dari pemuda itu, tetapi merasakan aura yang berbahaya memancar darinya. Entah, hanya intuisi belaka.

"Siapa kau?" tanya Rizwana. Sedari awal ia benar-benar tak menyadari keberadaan pemuda itu. Ia serasa dipermainkan.

"Berapa nomormu, wahai Tuan Satu Darah?" tanya pemuda itu dengan suaranya yang terdengar meledek. Ia menunjukkan lengannya, ada tato angka empat di sana. "Aku harap kau seorang dari empat pembawa bencana."

Rizwana membalas seringainya dengan senyum lebar. "Sayangnya bukan." Ia menampilkan nomor dua belas pada pemuda itu.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top