136 : Anugerah Terkutuk

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Jakarta

Malam ini Jakarta terlelap dengan damai, Vanilla berjalan menyusuri lorong bangunan. Bangunan ini merupakan salah satu laboratorium untuk eksperimen manusia. Ia berjalan memasuki sebuah ruangan yang beraroma tak sedap. Ruangan itu adalah tempat eksperimen, di mana banyak manusia mati sebagai objek gagal.

Vanilla berdiri menatap seorang pria yang berdiri dengan kedua tangan dirantai ke atas. Pria itu menggigil dengan kulit pucat. Bibirnya biru, matanya menghitam kurang tidur, banyak darah dan luka di sekujur tubuhnya. Pria itu menoleh ke arah Vanilla dengan tatapan lemah.

"Bunuh saja aku ...," gumamnya lirih.

"Daripada membunuhmu, aku punya sesuatu yang lebih menarik. Apa kau ingin bebas, Ettan Rawasura?"

Ettan tak menjawab pertanyaan Vanilla.

"Bunuh saja aku ...."

Vanila menghela napas. Ia mendekat pada Ettan, tak ada siapa pun selain mereka berdua di tempat itu.

"Aku tahu, jauh di lubuk hatimu, kau marah. Aku akan memberikanmu kesempatan untuk mengamuk malam ini. Bagaimana? Kau bisa membunuh semua orang yang kau benci."

Ettan menatap pasrah pada Vanilla. Matanya membulat utuh ketika melihat Vanilla mengeluarkan sebuah suntikan.

"BUNUH SAJA AKU, BAJINGAN! JANGAN MASUKAN APAPUN LAGI KE DALAM TUBUHKU!"

Vanilla terlihat acuh, ia menyuntik Ettan dan memasukkan cairan berwarna biru. Seketika itu urat-urat Ettan mencuat seperti ingin keluar. Ettan berteriak kesakitan.

"Tenang, ini bukan cairan macam-macam, ini sebuah suplemen yang mempercepat regenerasimu," ucap Vanilla.

Perlahan Ettan terlihat membaik. Cairan itu bekerja seperti sebuah sihir yang bahkan membuat Ettan terheran-heran. Vanilla melepaskan rantai yang membelenggu Ettan.

"Mengamuklah, kau bebas," lanjut Vanilla. Ia memberikan kartu akses yang berguna untuk membuka setiap pintu ruangan, dan berjalan menuju pintu. Namun, tiba-tiba matanya membulat utuh. Darah segar mengalir dari mulutnya lantaran sebuah tangan berkuku runcing menembus dadanya dari belakang. Vanilla menoleh ke belakang. "Apa yang kau ...."

"Orang yang pertama ingin ku bunuh adalah kau, bajingan." Ettan menarik tangannya hingga membuat Vanilla pendarahan.

Pintu tiba-tiba terbuka. Teriakan Ettan barusan menjadi penyebab utamanya. Semua merinding melihat Ettan terbebas. Ettan menatap mereka semua penuh amarah.

"Bagaimana bisa dia lepas?!"

Ettan berjalan ke arah mereka, perlahan tubuhnya berubah menjadi kera putih. "Matilah kalian semua." Ia berlari dan membantai orang-orang di laboratorium.

"Rawasura lepas! Dokter tewas dibunuhnya!" Seorang pria melaporkan keadaan tepat sebelum ia mati. Alarm berbunyi sebagai tanda warning. Ettan berjalan meninggalkan ruangan itu setelah memastikan orang terakhir mati.

Seperginya Ettan, Vanilla membuka mata dan duduk menatap mayat-mayat di hadapannya. Ia menyeringai dengan indahnya. Ini semua adalah rencananya. Menyembuhkan Rawasura, membebaskannya dan membuat dirinya sendiri dibunuh. Kemudian Rawasura mengamuk sebagai pengalihan isu, sementara dirinya punya banyak waktu untuk melakukan hal lain.

"Maggots?" ucap seorang pria yang bersandar di dinding berlawanan dengan arah pintu.

Vanilla menoleh ke arahnya dan merubah ekspresinya menjadi datar. "Oh, ada saksi? Tipis sekali hawa keberadaanmu, sampai-sampai aku dan Ettan tidak merasakan keberadaanmu. Aku terpaksa harus mengotori tanganku sendiri."

"Sayangnya saksi ini adalah seorang Komandan Dogma," ucapnya.

"Ya, itu hanyalah seekor Dogma." Vanilla menunjukkan tato angka empat berwarna merah di lengannya.

"Satu Darah? Nomor empat."

Vanilla tersenyum tipis. "Salah satu empat bencana, Vanilla."

Bukannya takut, Komandan Dogma itu tertawa. "Ini bagus, kepalamu bisa membuatku naik jabatan lebih cepat, dan lagi seorang maggots? Ini akan menjadi eksperimen yang bagus. Rawasura bukan lagi prioritas, kau prioritas utamanya malam ini, Dokter."

"Kau terlalu meremehkanmu, Komandan," balas Vanilla. "Aku berada di sini lebih lama daripada kau. Aku adalah salah satu peneliti senior, sebelum Dogma dibentuk."

"Lebih tua bukan berarti lebih kuat, kan?"

"Ya, jika itu lebih tua hanya selisih sepuluh tahun mungkin. Bagaimana jika selisih jarak usianya berabad-abad?" tanya Vanilla. "Apa kau tahu tentang eksperimen pertama di tempat ini? Cikal bakal semua eksperimen ini berjalan?"

"Kau membicarakan eskperimen nomor satu," tutur Komandan. "Setiap kami memiliki nomor eksperimen, tapi itu bukanlah tingkatan kekuatan seperti kalian Satu Darah."

"Biar aku beritahu sesuatu. Eksperimen nomor satu berhasil lolos tidak lama setelah aku bergabung, kau tahu apa artinya itu?"

Komandan mengerutkan keningnya. "kau yang membebaskannya? Seperti halnya Rawasura?"

"Ya, ya, ya, dan laboratorium di Lembang beberapa tahun lalu juga."

"Kau yang membebaskan si Mata Suratma?" tanya Komandan. Ia menggenggam gagang pedangnya.

"Biar aku ceritakan dongeng pengantar tidur untukmu," ucap Vanilla. "Darah terkutuk yang kalian produksi untuk eksperimen itu berawal dari si eksperimen nomor satu. Manusia yang satu ini agak unik, kau tahu apa yang membuatnya unik?"

"Cepat selesaikan bicaramu. Aku ingin mengorek informasi sebelum memenggal kepalamu," balas Komandan.

"Oke, oke, santai. Dimulai di era Yudistira pertama, Satria. Dia memiliki dua orang anak,  satu keturunan yang mewarisi kekuatan Sang Yudistira, dan satu lagi anak biasa tanpa warisan kekuatan. Sejak saat itu garis keturunan Yudistira terpecah dua. Keturunan yang mewarisi, dan keturunan yang iri. Terjadi perang saudara yang cukup lama. Melihat itu, musuh abadi Yudistira, Jiwasakti, mempermainkan keturunan Yudistira dengan memperkosa salah satu keturunan wanita. Kau tahu apa artinya itu? Seorang anak dengan darah terkutuk yang lahir dari rahim seorang keturunan Yudistira. Sang anugerah terkutuk."

"Aku belum pernah mendengar cerita itu," ucap Komandan.

"Tentu saja, ini adalah aib! Tidak banyak yang mengetahu hal ini."

"Lantas, bagaimana kau tahu?"

Vanilla merubah ekspresinya. "Itulah letak permasalahannya. Aku adalah seorang peneliti dan juga pemburu mantra kuno. Salah satu tetua Dogma mencuri gulungan mantra milikku dan bersembunyi dengan membuat ini semua. Sebuah catatan kuno milik Ngarai Yudistira."

"Jadi itu yang membuatmu berada di sini?"

"Ya, aku mencari pencuri itu," jawab Vanilla.

"Katakan, apa kaitan ceritamu dan eksperimen nomor satu?"

Vanilla menyeringai. "Darah terkutuk memiliki kemampuan yang berbeda. Naga Angkhara dapat mengendalikan targetnya, Rizwana dapat menghentikan pergerakan targetnya, Jentaka bisa meremuk jantung targetnya, bagaimana dengan si anugrah terkutuk ini? Dia bisa menggunakan setiap kemampuan orang yang melakukan kontrak darah, dan bisa memberikan kekuatan yang ia miliki."

"Dan eksperimen nomor satu mendapatkan kemampuannya?"

"Bukan, kau salah paham akan sesuatu." Vanilla menyeringai. "Eksperimen pertama bukanlah orang yang mendapatkan kekuatan, melaikan orang yang menyebarkan. Dia menyerap segala kekuatan, termasuk keabadian. Jika aku abadi karena kematian, ia abadi karena kekuatannya. Dia bukan maggots, dia merupakan keabadian itu sendiri. Kalian para Dogma memiliki kekuatan yang ia miliki. Bayangkan jika ada satu manusia yang bisa menggunakan berbagai macam teknik atma dan ilmu hitam."

"Orang itu pasti bencana besar."

Vanilla terkekeh. "Ya, dia adalah bencana besar. Kau tahu kenapa kami disebut Satu Darah? Ratu kami memiliki tato angka satu di tubuhnya. Tato itu bukanlah peringkat seperti kami, tapi tanda bahwa ia pernah menjadi eksperimen di tempat ini. Dan kami, memberikan kemampuan kami dengan imbalan kekuatan. Dia bisa memperkuat kemampuan kami baik secara fisik, maupun spirituil. Apa kau pernah bertanya, kenapa atasan selalu mengincar Satu Darah? Karena mereka takut, tapi di sisi lain karena mereka serakah."

Komandan terbelalak mendengar ucapan Vanilla. Ia memiliki informasi tentang pimpinan lawannya, tentu saja ia harus melaporkan hal itu pada atasan.

"Jika matahari hitam, Katarsis adalah pelindung Sang Yudistira. Maka Satu Darah adalah matahari merah milik Ratu kami."

Komandan mencabut sarung pedangnya dan hendak menyerang Vanilla. Vanilla bergumam sesuatu sambil menunjukkan sebuah kalung pada Komandan. Pada satu titik, Vanilla berhenti bergumam. "Kau tahu benda apa ini, Komandan?"

Komandan melesat ke arah Vanilla mengincar kepalanya.

Vanilla menyeringai. "Orang yang mengajarkan cara menangkap maut pada Siriz adalah aku."

Komandan terbelalak ketika sebuah sabit dewa kematian berada tepat di depan lehernya. Ia tak mampu berhenti, dengan kecepatan itu, kepalanya tersangkut dan terpotong sendiri dari lehernya. Vanilla berjalan diikuti dewa kematian meninggalkan jasad Komandan. Secara fisik, kepalanya masih terpasang dilehernya. Hanya saja secara roh, kepalanya telah terpenggal.

Bali

Puluhan polisi dan tiga orang Komandan Dogma mengepung rumah yang diduga tempat persembunyian Satu Darah.

"Bli," Seorang polisi menatap pria kekar dengan blakas di punggungnya.

Notes : Blakas merupakan senjata khas Bali, berupa pisau besar seperti pisau pemotong daging.

"Ya, aura di tempat ini terlalu mencekam." Ia mendobrak pintu hingga hancur. Para pasukan khusus masuk di belakangnya, menodongkan senjata pada seorang wanita dengan kebaya Bali berwarna merah.

Wanita itu membelakangi mereka semua. Ia sedikit menoleh dan memberikan senyum pada orang-orang yang masuk secara brutal ke dalam rumahnya.

"Aku sudah menunggu. Kalian terlalu lambat, aku jadi kalah cepat oleh Rizwana," tuturnya lembut.

Karena merasakan sebuah ketakutan, seorang polisi menembak kepala wanita itu, tetapi tiba-tiba ia tumbang dengan lubang di kepalanya.

"Jangan ada yang menembak! Wanita ini bisa memantulkan serangan fisik," ucap pria kekar. "Serahkan ini pada kami." Ia dan kedua rekan Komandan maju.

"Siapa kau?" tanya Komandan lainnya.

"Adistri, pimpinan Satu Darah." Ia menunjukan tato Satu Darah di lengannya.

Mereka semua merinding mendengar dan melihat itu, tetapi percaya tidak percaya.

"Satu Darah dipimpin oleh seorang wanita?"

Adistri menatap seonggok mayat polisi. "Apa orang biasa bisa melakukan itu? Santai di depan puluhan polisi dan tiga Komandan Dogma?"

"Jangan remehkan wanita ini," ucap pria kekar.

Adistri menggenggam dua bilah senjata. Satu pedang berwarna merah, dan satu lagi mandau. Ia menarik mandau keluar sarangnya dan meletakkannya di mulut, lalu menekannya hingga kedua sisi bibirnya berdarah. Setelah itu Adistri mulai menari. Mandau itu melayang dengan sendirinya dan menghilang.

"KELUAR DARI RUMAH INI!" teriak pria kekar.

"Terlambat," ucap Adistri.

Kepala para pasukan sudah terpelas dari lehernya. Mandau terbang membantai mereka semua.

"Sial!" Satu komandan melesat maju. Ia menebas Adistri dengan sebuah celurit, tetapi Adistri berubah menjadi kepulan asap hitam dan berpindah dari posisinya ke belakang orang itu. Satu sabetan pedang merahnya menghabisi nyawa Komandan tersebut.

"Pedang apa itu?" tanya pria kekar. Ia menatap tangan kanan Adistri yang tiba-tiba mengecil kurus dengan keriput kebiruan seperti kurang darah.

"Ini sebuah pusaka keramat yang mematikan, pedang darah namanya. Dibuat dari seratus taring Mariaban. Pedang ini haus darah, bahkan menghisap darah penggunanya sendiri ketika sarungnya dicabut. Dari tanganku, kau harusnya sudah paham, darah di tanganku terus dihisapnya. Sebagai gantinya, jika aku membunuh orang lain dengan pedang ini, ia akan memberikan darah tambahan yang akan memulihkan lukaku."

Selagi Adistri berbicara, tiba-tiba seorang Komandan menerjangnya.

"Brujeria ...."

Kepala Adistri tertebas dan terputus dari lehernya. Pria itu menghela napas.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak pria kekar.

Sontak Komandan itu terbelalak ketika yang ia tebas bukanlah Adistri, tapi hanyalah angin malam.

"Yah, ini memang tidak sempurna tanpa kotak tidur milik Rama, tapi tak apa. Setidaknya alam bawah sadarmu sudah dalam genggamanku." Pedang darah menusuk dada Komandan itu. Tersisa satu orang yang berdiri. Melihat itu Adistri memasukan kembali pedang darah ke sarangnya.

"Jangan cabut pedangmu ketika berhadapan denganku!" Pria kekar itu melesat menerjang Adistri. Ia menusuk perut wanita itu dengan blakas miliknya. Adistri mengeluarkan darah dari perut dan mulutnya."

"Matilah, Jalang!" Pria itu menekan lebih dalam senjatanya.

"Kasar sekali." Tangan lentik Adistri menyentuh dada kekarnya. "Padahal kau punya kulit yang lembut dan otot yang merangsang."

Pria itu mengangkat blakasnya dan hendak memotong Adistri menjadi dua bagian, tetapi tiba-tiba dadanya merasa sakit. Ia menjatuhkan blakasnya dan mencengkeram dadanya sendiri sambil berlutut.

"Maaf, tangan ini bisa membunuh apa pun yang disentuhnya," tutur Adistri sambil tersenyum. "Satu hal lagi, kau perlu lebih dari sekadar menusuk jika inign mencabut nyawaku."

Pria kekar itu tumbang karena serangan jantung. Adistri baru saja menggunakan tangan kematian milik Raksaka. Kini wanita itu menghela napas dan berjalan keluar rumah. Ia menatap bulan yang tertutup awan.

"Bali sudah bersih kembali," tuturnya. "Sisanya aku serahkan pada kalian, para pasukanku."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top