134 : Thirteen
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Delapan orang muncul di hadapan Adistri. Seorang pria yang selama ini menemani Andistri kini berjalan menuju kedepalan orang itu dan ikut berbaris sejajar menghadap Adistri.
"Rakha, Arai, Gerhana, Raksaka, Erik, Rio, Noristera, Rama ...." Adistri menatap seorang pria berpakaian dalang. "Dan kau?"
"Khataka, Yang Mulia," ucap Khataka.
"Dia orang yang pantas untuk menggantikan Baskara, Yang Mulia," timpal Rakha.
Adistri menatap Rakha. "Baiklah, jika salah satu Bencana mengakuinya, berarti orang ini memang layak." Adistri berpindah tatap pada Khataka. "Mendekatlah."
Khataka maju dari barisan dan berjalan mendekat pada Adistri. Wanita itu mengambil sebuah cawan dan menggores lengannya hingga darahnya menetes di cawan itu. "Minumlah."
Khataka meminum darah itu. Begitu darah itu masuk ke tubuhnya, tiba-tiba uratnya seakan memberontak keluar. Matanya merah membulat utuh diiringi darah yang mengalir dari celahnya. Khataka berteriak kesakitan, tetapi tak ada yang menolongnya. Jika ia bertahan, berarti ia memang layak menjadi bagian dari Satu Darah.
Pada satu titik, Khataka berhenti merasakan sakit. Napasnya terengah-engah menoleh ke belakang, menatap delapan orang rekannya.
"Selamat bergabung," sambut Adistri.
Khataka menundukkan diri, lalu berjalan kembali ke barisan.
"Ini pertama kalinya kita berkumpul bersama," ucap Adistri. "Meskipun tiga orang lagi tidak bisa hadir di sini, aku bangga pada kalian semua. Kalian pasti sadar kenapa aku mengumpulkan kalian dalam satu tempat, bukan?"
Semua mengangguk tanpa berani berkata.
"Ini perang terakhir. Mungkin setelah ini, salah satu dari kita tidak bisa berkumpul bersama lagi karena kehilangan nyawanya. Mungkin setelah ini tak ada yang tersisa selain darah dan gelimpangan mayat kita semua. Alasan kita bergerak adalah tumbangnya Yudistira. Perjanjian telah dibatalkan, orang itu telah gagal, tetapi kita akan meneruskan api estafet ini dengan cara kita sendiri. Detak jantung nurani sudah berhenti, keadilan telah lama mati. Bangsa ini butuh hakim sejati."
Adistri menyentuh tato Satu Darah miliknya sambil merapalkan sebuah mantra. Seluruh anggota Satu Darah merasakan denyut di tato-tato mereka. Semua tato satu berwarna merah itu perlahan berubah dan masing-masing anggota memiliki nomor yang berbeda.
Rakha tersenyum meledek Arai, lantaran tato di lengannya berangka dua. Artinya saat ini kekuatan tempurnya berada satu angka di bawah Adistri, dan tentu saja satu angka di atas Arai.
"Cih!" Arai berdecak. Tato di tangannya berangka tiga.
Nomor lima dimiliki oleh Gerhana, enam Raksaka, tujuh Erik, delapan Rio, sembilan Noris, sepuluh Khataka.
"Cih! Tiga belas?!" gumam Rama.
Rio menertawakan Rama.
"Jangan tertawa, berengsek!"
"Diam!" bentak Adistri. Semua mendadak merinding dan diam. "Kalian tidak percaya dengan penilaianku? Kalian semua memang kuat, tetapi kalian semua juga sangat rapuh. Setiap kekuatan memiliki kelemahan, kalian harus sadar dan mengakui hal itu. Apa ada yang keberatan dengan angka yang kalian dapatkan?"
"Tidak!" Semua sigap menjawab pertanyaan itu.
"Bagus. Anggota terlemah kita bisa menumbangkan seribu orang seorang diri. Berbanggalah dan jangan menundukkan kepala."
Adistri berjalan hingga berada tepat di depan Gerhana. Ia menatap semuanya secara bergantian. "Umumkan ini pada tiga anggota lain, Erik. Aku ingin semua anggota mendengarnya."
Erik duduk bermeditasi, ia mampu memberikan telepati jarak jauh yang akurat. Kini semua anggota Satu Darah saling terkoneksi.
"Dogma tersebar di seluruh provinsi, langkah pertama kita sederhana," tutur Adistri. Ia menatap tajam rekan-rekannya. "Tiga belas Satu Darah, tiga belas provinsi. Rebut setengah kekuatan tempur Dogma." Kini ia menatap Arai. "Arai!"
"Ya!" jawab Arai.
"Apa kau ingat ketika bangsa ini menumbangkan hutan para Dayak untuk kepentingan kantong mereka?! Berapa banyak saudaramu yang gugur mempertahankan tanah mereka?!"
Arai kali ini tak menjawab, ia mengepalkan tangannya.
"Erik!"
"Ya!" Erik berdiri tegap menjawab panggilan Sang Ratu.
"Kau masih ingat bagaimana para penjaga Gunung Kerinci dilumpuhkan?! Hewan-hewan digiring ke kebun binatang sementara mereka sibuk membabat hutan kalian?! Apa kau ingat wajah-wajah rekan Cindaku mu yang telah gugur demi melindungi tanah mereka?!"
Erik diam, ia menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.
"Rama!"
"Ya!" jawab Rama.
"Tanah kampung halamanmu yang direbut dan diratakan dengan tanah itu ... berapa banyak orang-orang yang dihabisi demi kepentingan berkedok nasionalis mereka? Tanah agraris tinggal cerita! Apa kau ingat wajah orang tuamu yang berdiri di garda depan memperjuangkan tanah mereka dari setan-setan berjas rapi itu?! Mereka dihabisi para penguasa demi kepentingan tahta kekuasaan!"
Rama berusaha menahan semua luapan emosinya.
"Kita adalah gusar yang tercipta dari keadaan, kita adalah segala dendam yang terlahir dari nyawa orang-orang yang mereka habisi. Kita adalah buah karma dari segala bibit perbuatan yang mereka tanam. Kita adalah bencana yang mereka takutkan," lanjut Adistri.
Wanita itu mengambil sebuah pita merah panjang dan mengikatnya di kepala. Seluruh anggota Satu Darah mengambil pita yang serupa dan mengikatnya di kepala mereka.
"Tiga belas Satu Darah, tiga belas provinsi," ucap Adistri.
"Tidak ...," gumam Arai lirih. Ia menggengam mandaunya dengan sangat erat. "Berikan saya seluruh Kalimantan."
"Dan Kalimantan milikmu, Arai" balas Adistri.
Arai menunduk sebagai ucapan terimakasih.
"Berpencarlah," lanjut Adistri.
Satu Darah yang baru berkumpul, kini mulai berpencar lagi ke tanah-tanah mereka untuk merebut apa yang telah hilang. Untuk melawan kejahatan, harus menggunakan kejahatan lainnya. Di malam hari Cahaya dilumat gelap. Hanya gelap akan bisa membunuh kegelapan lainnya.
***
Di sisi lain Rizwana menatap angka dua belas di lengannya. Ia menyeringai dan mengambil sebuah pita merah dari kantung celananya, lalu mengikatnya di kepala.
"Sura, bawa Harits dan Radika keluar dari tempat ini," tutur Rizwana.
"Kau tidak ikut?" tanya Sura.
Rizwana terkekeh. "Manusia anjing ini punya nyawa yang cukup banyak. Yaaa ... makhluk-makhluk kriptid seperti Asu Baung, Cindaku, Orang Bati, dan sebagainya memang memiliki pertahanan dan regenerasi yang gila."
Reynar mencabut tombak Rizwana dari dadanya yang berlubang. Perlahan luka itu menutup dengan sendirinya.
"Bagaimana dengan anjing-anjing neraka itu?" tanya Sura. "Kau butuh orang untuk membantumu, kan?"
"Pergi, aku tidak ingin membunuhmu dan teman-temanku," balas Rizwana. "Saat ini, aku sedang bersemangat! Aku tidak bisa mengontrol energiku."
Sura meneguk ludah. Tiba-tiba saja hawa membunuh Rizwana sangat pekat. Tawa pria itu membuat Sura tak berani melanggar perintahnya. Sura membawa Harits dan Radika pergi.
"Bocah bertopi itu mampu menahan para hellhound dan cereberus dengan pasukan setannya. Tanpa bocah itu, kau benar-benar ingin bunuh diri di tempat ini rupanya, Satu Darah," ucap Reynar.
"Jangan salah paham, asu. Justru karena masih ada hati nurani, aku menyuruh mereka pergi." Rizwana menancapkan dua tombak yang ada dalam masing-masing gengamannya ke tanah. Ia memasang kuda-kuda bertarung, tetapi bukan untuk bertarung. Beberapa ba'it mantra ia gumamkan lirih. Dari atas langit, empat tombak lain jatuh menancap di sisi kanan dan kiri Rizwana.
"Berapa nomor urutmu di antara para Satu Darah?" ucap Reynar.
"Dua belas," jawab Rizwana dengan senyum khasnya.
Reynar tertawa. "Lucky."
"Ya, entah keberuntungan bertemu si nomor dua belas, atau malah kesialan sih. Kita harus lihat sampai ini berakhir deh," balas Rizwana.
Reynar merubah raut wajahnya. "Kenapa kau tersenyum seolah-olah sudah menang? Aku tak suka itu."
"Hey, kau dengar itu?" Rizwana maju mengambil tombak Tulungagung. Ia menghentakkan pangkal tombak ke tanah. Samar-samar terdengar suara deburan ombak.
Reynar mengarahkan tangannya ke arah Rizwana. Anjing-anjing neraka menggonggong dan berlarian mengincar nyawa Rizwana.
"Terhempaslah, bedebah." Ketika hentakkan kedua dilakukan, tiba-tiba entah dari mana gelombang ombak besar muncul dan menghempaskan anjing-anjing neraka, membanjiri area yang seharusnya jauh dari laut itu. Ombak besar masih melaju menghantam Reynar.
Rizwana mengangkat dua tombkat lain. "Karara Mulya, Punjul Wilayah." Seketika itu hujan darah dan juga badai turun. Gelombang air yang menggenang sebetis kaki Rizwana tiba-tiba menjadi liar karena badai ini.
Reynar yang sempat ikut terhempas kini berdiri menatap Rizwana. Pria itu sudah mencabut satu tombak lagi dan melukai dirinya sendiri.
"Karara Reksa." Darah Rizwana bergerak sendiri dari lukanya hingga membentuk sebuah baju zirah yang terbuat dari darah.
"Sebenarnya siapa kau ini?" tanya Reynar.
"Rizwana Radja Maheswara, Komandan Simfoni Hitam, salah satu divisi Dharma yang kau bubarkan itu. Sekaligus Satu Darah, dan pimpinan Kencana Selatan yang memimpin Walpurgis. Yaaaa, portofilioku terlalu banyak."
Kepala asu baung lepas dan melesat ke arah Rizwana. Rizwana langsung melempar tombak yang berada di tangannya hingga menghantam kepala itu. Ia menyeringai, lalu berlari membawa semua tombak yang tersisa. Dengan cepat Rizwana sudah berada tepat di depan tubuh Reynar. Ia melempar kelima tombaknya ke udara.
"Kau tidak akan bisa membunuhku!" teriak kepala Reynar. Kepala anjing hitam itu melepaskan diri dari tombak Rizwana dan melesat kembali.
Rizwana terkekeh. Ia menunjukkan sebuah tato bergambar ikan koi berwarna hitam dan putih pada masing-masing punggung tangannya.
"Terjatuhlah." Rizwana menempelkan telapak tangannya. Seketika itu juga kepala yang melesat itu terjatuh. Reynar tak mengerti apa yang terjadi.
Rizwana langsung menancapkan satu tombak di telapak tangan Reynar, satu tombak di telapak kirinya, satu di betis kanan dan satu di betis kiri, lalu satu lagi di bagian dada.
Setelah melakukan itu semua, Rizwana berjalan mengambil satu tombak terakhir beserta kepala Reynar. Ia meletakkan kepala itu pada tempat yang seharusnya.
"Aku juga seorang Angkhara. Kau sudah terkontaminasi oleh darahku lewat hujan darah. Setiap yang bernyawa, pasti akan menemui titik diam. Aku bisa memaksa orang yang terkontaminasi dengan darahku untuk diam. Ya, sejenis melumpuhkan syaraf-syaraf mereka."
"Aku akan membalasmu, Satu Darah!" teriak Reynar.
Rizwana memutar tombak Karara Reksa di udara. "Sayang sekali, kau tidak akan hidup lebih lama. Selamat tinggal." Rizwana melesatkan tombak terakhir di kepala asu baung. Tombak-tombak yang tertancap membentuk bintang terbalik. Rizwana merapalkan mantra dan melebarkan kedua kakinya. Tangannya terkepal di samping pinggang.
"WARINGIN SUNGSANG!" Ia pukul dada Reynar sekuat tenaga dengan teknik waringin sungsang.
Mayat-mayat anjing neraka milik Reynar tiba-tiba menghilang. Tubuh pria itu juga berubah ke asalnya, menjadi pria jabrik yang terkapar tak bernyawa. Rizwana tertawa gila, ia duduk di atas jenazah Reynar. Perlahan hujan darah mulai reda dan banjir ombak mulai surut.
"Daerah Istimewa Yogyakarta beres," ucap Rizwana sambil tersenyum.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top